Lama kedua remaja itu terdiam membisu di bangku taman itu, membiarkan daun – daun berguguran satu – satu di sekitar mereka karena diterpa angin, membiarkan seekor kupu – kupu hinggap diantara mereka dan kemudian terbang lagi. Rosaline mempermainkan botol minuman dinginnya yang sudah tinggal setengah itu dengan perasaan tidak menentu. Dalam hati gadis itu bertanya – tanya apa yang terjadi pada keluarga Grey sehingga mama Grey memilih jalan pintas itu untuk mengakhiri hidupnya. Rosaline teringat dengan sosok mama Grey yang cantik, lemah lembut dan ramah, seorang mama yang sangat menyayangi Grey lebih dari apapun. Ah pasti Grey sangat terpukul dengan kepergian mamanya yang begitu tragis itu, saat usia Grey masih 10 tahun, usia yang masih sangat membutuhkan perhatian seorang mama, batin Rosaline iba.
"Kamu pasti bertanya – tanya kenapa mamaku sampai bunuh diri kan?” kata Grey tiba – tiba, membuat Rosaline terjengah.
“Ah tidak....Eh anu, maksudku...Yah memang terus terang sangat mengejutkan, Grey.” sahut Rosaline tergagap. “Apa yang terjadi Grey?”
Grey tampak menghela nafas panjang seolah begitu tersiksa harus mengulang kisah tragis mamanya yang selalu menghantui hidupnya selama ini, kisah yang ingin dihapusnya dari ingatannya tapi tak mampu. Pemuda itu menghabiskan minumannya dan kemudian melemparkan botolnya ke dalam tong sampah yang ada didekat situ, tapi karena lemparan Grey penuh emosi, botol itu berdentang kuat didasar tong sampah kosong yang terbuat dari seng itu, membuat Rosaline sedikit terlompat kaget dibuatnya.
“Eh maaf, kalau kamu tak mau menjawabnya, tak apa Grey...Pasti berat ya bagimu?” kata Rosaline buru – buru.
“Oh no, no...It’s Ok, nggak apa kok...Aku memang mau menceritakan ini padamu, aku pikir pasti lega rasanya bisa melepaskan apa yang selalu berputar - putar di dalam sini...” kata Grey sambil menunjuk kepalanya. “Karena baru kamu, sejak kepergian mama bertahun – tahun yang lalu, yang mau menanyakan apa yang terjadi...”
“Ooh...” cuma itu yang keluar dari mulut Rosaline.
“Selama ini tak pernah ada yang menanyakan kenapa mama meninggal begitu mendadak, semua keluargaku seolah selalu menutup – nutupi kepergian mama, dan berbohong kalau mama meninggal karena serangan jantung, what a bullshit!” Grey memulai ceritanya, tapi pemuda itu tampak emosi mengingat masa – masa lalu yang tidak menyenangkan itu. “Padahal jelas – jelas aku melihat dengan mata kepala sendiri! Mama menelan pil – pil itu! Banyak sekali! Mama waktu itu....”
Grey menutup wajahnya dengan kedua tangannya tak sanggup meneruskan kata – katanya. Dimata Grey seolah tergambar lagi kisah tragis itu, saat dia melihat mamanya jatuh terkulai di lantai dengan mulut berbusa dan tubuh kejang – kejang, saat dia menangis sejadi – jadinya sambil memeluk tubuh mamanya. Dunianya serasa ikut hancur dan gelap waktu itu. Seharian Grey mengurung diri di kamar, setelah pemakaman mamanya, menangis, tanpa ada yang datang menghibur atau membujuknya. Satu – satunya yang didengar Grey, suara papanya di balik pintu kamarnya, yang mengatakan, ‘biarkan saja, anak itu terlalu manja dan cengeng, nanti juga keluar sendiri dari kamar..’ Baru setelah dua hari Grey tak keluar kamar, bibi pengasuhnya dan supir papa mendobrak masuk kamar dan mendapatkan Grey sedang berbaring dengan tubuh menggigil karena demam.
“Grey....” Rosaline mengusap – usap pundak Grey, bermaksud menenangkan sahabatnya itu.”Papamu juga pasti sangat shock ya waktu itu?”
“Papa?!” Grey tiba – tiba berdiri membuat Rosaline sampai berpikir apakah salah dia menanyakan papa Grey? Rosaline melihat Grey tampak begitu galau dengan kata – kata papa. Pemuda itu berjalan mondar – mandir sebelum mulai berbicara lagi pada Rosaline.“
Papa tidak akan pernah shock, karena papa lah penyebab mama bunuh diri! Sejak dia membawa perempuan bule itu, mama jadi sering menangis dan sakit – sakitan!” Grey tampak geram. “Apalagi perempuan bule itu membawa seorang anak balita yang katanya adalah anak papa....Mama tentu saja sangat shock mendengarnya, karena itu berarti selama ini papa sudah membohonginya.....Aku pun baru tau belakangan ternyata selama kami di Amerika, setiap kali papa harus bolak – balik ke Indonesia karena urusan bisnisnya, papa selalu ditemani perempuan bule sialan itu!”
Rosaline hanya bisa menggeleng- gelengkan kepala mendengar cerita Grey. Ternyata selama sembilan tahun ini, banyak cerita kelam yang dilalui Grey. Rosaline tak menyangka. Dulu sepertinya keluarga Grey baik – baik saja. Mama Grey tampak bahagia – bahagia saja sepertinya. Tapi entahlah, waktu itu dirinya dan Grey masih terlalu kecil untuk memahami persoalan orang dewasa.
“Sebulan setelah kepergian mama, papa malah mengajak perempuan bule itu beserta anak sialannya tinggal serumah dengan kami!” lanjut Grey, pemuda itu teringat betapa dia mengamuk pada perempuan bule itu, menuduhnya jadi penyebab kematian mamanya. Waktu itu papanya cuma menyuruhnya masuk kamar, dan berjanji akan membelikannya sepeda model baru kalau Grey mau bersikap baik dengan Alicia – nama perempuan bule itu - karena Alicia akan jadi mama barunya. Grey yang waktu itu baru berusia 10 tahun tak berdaya menentang keinginan papanya untuk menikahi perempuan bule itu.
“Sekarang saat kalian pindah kembali ke Indonesia, perempuan bule itu ikut..?” Rosaline bertanya dengan hati – hati.
“Ya sudah pasti dia ikut, makanya aku malas serumah dengannya, aku mending tinggal di salah satu apartemen papa!” sahut Grey tanpa menoleh ke arah Rosaline.
“Ooh....” Rosaline hanya bergumam menjawabnya, tapi entah kenapa gadis itu merasa Grey tidak terlalu jujur untuk jawaban ini.
“Nanti kapan – kapan kuajak kamu melihat apartemenku...” lanjut Grey lagi, kali ini dia menoleh ke arah Rosaline. “Aku banyak membawa foto – foto dan barang – barang kenangan kita dulu ke apartemen itu. Selama di Amerika, foto dan barang kenangan itulah pemberi semangatku, aku selalu bermimpi suatu hari nanti aku pasti akan bertemu lagi denganmu dan bahagia seperti dulu lagi... Ternyata sekarang telah menjadi kenyataan, aku bertemu lagi denganmu disini...”
Rosaline begitu iba mendengar kata – kata Grey, tampak jelas pemuda itu sangat kesepian sejak ditinggal pergi mamanya. Gadis itu dapat memahami betapa besar luka hati Grey yang harus menyaksikan langsung kematian tragis mama yang sangat dicintainya. Betapa sebetulnya Grey butuh perhatian seseorang yang bisa membantunya keluar dari mimpi – mimpi buruk kematian mamanya. Tak terasa Rosaline menggenggam tangan Grey, mencoba menghibur sahabatnya itu.
“Ya kita kan sudah bertemu lagi sekarang. Kamu tak perlu kuatir lagi, Grey.” kata Rosaline penuh simpati.
Grey tersenyum walau senyum itu tampak sedih.
“Terima kasih, butterfly kecil, sudah mau mendengarkan ceritaku yang tidak menyenangkan ini.” kata Grey pelan.
“Tak apa, Grey, itulah gunanya seorang sahabat.” sahut Rosaline. “Kapan saja, kamu membutuhkan seseorang untuk bercerita, telepon aku, ok?”
“Thanks a lot...” tangan Grey terjulur hendak membelai rambut Rosaline, ketika tak terasa hujan mulai menetes satu – satu membasahi, membuat kedua remaja itu terjengah dan terpaksa bangkit meninggalkan bangku taman itu, meninggalkan cerita – cerita masa lalu Grey yang kelam, berdua mereka berlari menuju parkiran motor Grey. Karena rumah Rosaline dekat dengan taman itu, Grey mengantarkan gadis sahabatnya itu pulang.
“Grey tidak berteduh dulu?” bujuk Rosaline di depan pagar rumahnya, ketika Grey menurunkan dirinya dari motor Kawasaki Ninjanya. “ Kak Reyna dan ibuku pasti ingin bertemu kamu juga, Grey.”
Grey menggeleng.
“Besok saja aku ke rumahmu lagi, ok?” kata Grey ditengah hujan yang mulai melebat.
“Tapi Grey....Hujan....”
“It’s Ok, but I think I have to go now...”
Rosaline hanya bisa memandangi Grey yang tersenyum kepadanya dan kemudian melesat dengan motornya menembus rinai hujan siang itu tanpa menoleh lagi . Gadis imut – imut itu heran kenapa Grey sepertinya mendadak terburu – buru hendak pergi. Rosaline tak pernah tau – atau setidaknya belum tau - kalau cerita kelam masa lalu Grey tidak hanya sampai pada pernikahan papanya dengan Alicia perempuan bule itu saja.
*************
Hari itu hampir sebagian besar siswi di SMU Harapan Bangsa tampak tidak ingin beranjak pulang dari sekolah, padahal bell pulang sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Rosaline tidak heran karenanya. Di lapangan basket, sedang ada latihan basket siswa yang merupakan tim basket sekolah mereka. Akan ada pertandingan persahabatan dengan SMU lain minggu depan. Jika disebut siswi – siswi itu betah menunggui sekolah karena anggota tim basketnya, ganteng – ganteng seperti Danni, dan siswa – siswa bertubuh jangkung lainnya, itu jawaban yang salah! Karena jawaban yang benar adalah, hari ini tim basket mendapat anggota baru, menggantikan Irvan, anggota tim yang sedang cedera, dan anggota baru itu Grey! Yang mendadak dangdut..Eh maksudnya mendadak jadi bintang baru di sekolah itu sejak pertama dia masuk sekolah itu, karena semua orang tau Grey anak konglomerat Darmawan Adinegoro! Ck..Ck..Ck...
Rosaline pun tak bisa mengelak kalau dia pun ingin menonton Grey bermain basket. Walau Sheila dan Tika meledeknya habis – habisan, tapi Rosaline pura – pura tak dengar. Sheila dan Tika tidak tau kisah Grey yang sudah membuat Rosaline jatuh simpati.
“Wah, ternyata Grey hebat juga ya bermain basket!” kata Tika sumringah. Sedangkan Sheila yang menonton latihan basket itu sambil makan es mambo jualan ibu kantin, tak sadar kalau es nya sudah luber menetes – netes karena Sheila lebih banyak terpana melihat tubuh jangkung Grey yang berkulit putih, basah berkeringat berlari – lari ditengah lapangan mendribble bola basket, ketimbang menikmati es mambo tersebut.
“Hey, dudul, es mambomu!” tegur Rosaline sambil cekikikan menyenggol Sheila menyadarkan gadis itu. Sheila gelagapan melihat es nya sudah cair menetes mengotori seragamnya.
“Kok ada mahluk sekeren Grey ya? Sudah ganteng, kaya...Eeh ternyata jago basket lagi!” Sheila tetap berkomentar setengah bermimpi.
"Lebay ah!” rutuk Rosaline pada Sheila. Ya memang terlalu lebay mengatakan Grey jago basket, menurut Rosaline jauh lebih jago permainan Danni ketimbang Grey. Dunia memang kadang terlalu lebay, yang kaya selalu didewa-dewakan, padahal sebetulnya biasa saja, justru yang berkualitas dianggap remeh karena dia berasal dari keluarga biasa. Huh, tidak adil! Rutuk Rosaline dalam hati. Yeah, Rosaline tak menyalahkan Grey yang terlahir dari keluarga kaya sih, gadis itu pun memahami, belum tentu Grey sendiri suka menyandang status anak konglomerat itu. Tapi terus terang Rosaline melihat Grey terlalu bersemangat bermain basket hari ini, bahkan terlalu berlebihan. Lihat, berapa kali dia ditegur Coach mereka, pak Iwan, guru olahraga mereka, karena beberapa kali Grey melakukan pelanggaran karena bermain solo karir, seolah lupa kalau permainan basket itu adalah permainan tim bukan perorangan. Terakhir Danni yang mengamuk karena Grey menabraknya karena terlalu bersemangat hendak melakukan shoot jump, untung pak Iwan segera melerai mereka.
“Bisa main nggak sih?!” terdengar teriakan Danni pada Grey.
“Hey, what's up, bro? I just play...”
“Jangan sok bule kamu!”
“Apa?!”
Pak Iwan buru – buru menarik Grey agar menjauh dari Danni dan menggiring Grey keluar lapangan, walau diiringi pekikan – pekikan kecewa siswi – siswi yang menonton. Rosaline bergerak dari keramaian penonton dan mendekati Grey yang sedang menenggak minumannya di pinggir lapangan.
“Aku main terlalu berlebihan ya?” tanya Grey begitu melihat Rosaline datang mendekat.
"Yah...Mungkin cuma terlalu bersemangat saja kok.” kata Rosaline sambil tersenyum.
“Jelas aku bersemangat mulai hari ini...” sahut Grey, nada suaranya terdengar ceria, seolah tak peduli kalau dia baru saja dikeluarkan karena pelanggaran yang dilakukannya di lapangan.
“Memangnya bersemangat kenapa sih?” tanya Rosaline ingin tau.
“Karena sudah ketemu kamu...” Grey begitu bercahaya saat mengatakannya.
“Ah bisa saja, kamu...” Rosaline tersipu malu mendengar kata – kata Grey.
“Eh, setelah ini kamu sibuk nggak?”
“Kenapa memangnya?”
“Kita makan Pizza yuk? Dulu kamu kan suka sekali makan Pizza, am I right?”
Rosaline tertegun mendengar ajakan itu.
“Iya Pizza favoritku, tapi Grey... “
“Kenapa?”
“Maafkan aku, Grey, tapi...Anu...Sudah duluan bang Danni mengajakku makan bakso...Sebagai ganti waktu aku menolak traktiran bang Danni sehabis pentas Putri Salju kemarin...Aku...Aku nggak enak menolaknya lagi, Grey.”
“Ooh....”
“Tak apa ya Grey? Mungkin lain kali kita bisa makan Pizza bareng...”
“Oh, okey...I know...” sahut Grey singkat, tapi Rosaline jelas – jelas melihat perubahan raut wajah pemuda itu. Grey kecewa, Rosaline tau. Gadis itu serba salah, disatu sisi, dia iba dengan Grey sahabatnya, di satu sisi, dia merasa tak enak sudah hampir dua kali dia menolak Danni seandainya dia mengikuti ajakan Grey sekarang. Danni selalu baik padanya selama ini tak sampai hati Rosaline mengecewakan abang Sheila itu. Oh Tuhan, aku harus bagaimana? Batin Rosaline bingung.