Loading...
Logo TinLit
Read Story - Forget Me Not
MENU
About Us  

Aku telah sering mendengar orang-orang dari kota mengeluh tentang keadaan mereka. Sejumlah orang berjiwa besar telah mencoba untuk menyesuaikan keadaan Nilfheim yang kini semakin parah, berusaha untuk bertahan hidup dan berusaha untuk waras. Namun, aku tahu hasilnya hanyalah kesia-siaan. Mereka manusia beradab yang terdiri dari pemain judi, pelacur, penggemar sex, penuntut harta, pemakan daging manusia atau saudara-saudaranya, dan sebagian adalah ahli-ahli agama berbaju putih, yang bertindak seolah mereka bersih, tapi menyimpan banyak kotoran di balik baju-baju mereka. Di kota, setidaknya, memiliki suasana yang wajar. Mereka berperut besar, hampir menggelayut ke tanah sakin banyaknya daging yang mereka makan. Juga otak mereka yang semakin mengerut, semakin kecil, hanya berisi hal-hal yang tidak berguna, tidak berarti, dan tidak menarik. 

Jalan-jalan Nilfheim yang dulunya rapi, dengan pepohonan rindang dan bunga-bunga yang harum di sisi, kini telah dipenuhi debu, kerikil, dan panas. Hujan masih terjadi, tapi bukanlah hujan yang bersahabat. Hampir setiap kali hujan, rumahku terendam hingga betis. Namun itu adalah hal yang biasa. Manusia-manusia kota itu sering tenggelam, air memakan mereka hingga leher, dan tak banyak korban yang mati akibat hujan yang tidak seberapa. Para ahli agama itu beranggapan kalau musibah yang terjadi di Nilfheim hanyalah cobaan biasa. 

Nilfheim, tiga tahun lalu mengalami peperangan hebat dengan Aljaera. Aku ingat, saat itu, ada banyak kepala-kepala yang terputus dari tubuhnya. Mata mereka melotot, seperti ingin keluar, seperti ingin menyampaikan rasa sakit, marah, dan kebencian mereka. Aku yang masih berumur lima belas saat itu sangat tahu karena jalan-jalan rumah kami yang dulunya tenang, berubah menjadi kuburan dadakan. Bukan kuburan, lebih tepatnya, di sisi-sisi jalan, ada banyak tumpukkan mayat yang disatukan membentuk gunung. Mereka dilumuri darah yang bau, juga hewan-hewan menjijikkan seperti ulat, belatung, lalat, burung pemakan daging, dan tikus. Jujur saja, aku mual setiap kali keluar rumah. Kami bersembunyi di balik rumah beratap geribik. Kadang, kami membolongi lantai rumah dan membentuk jalur untuk bersembunyi di bawah tanah ketika dentuman-dentuman atau bunyi senapan terdengar. 

Beberapa dari kami, khususnya para perempuan bertubuh molek yang masih muda dan cantik diambil, dijadikan pelacur, disiksa, dan dibunuh dengan cara yang mengerikan. Kepala mereka hampir terlepas dari tubuh, tapi tidak dibiarkan terlepas, tubuh mereka disalib dalam keadaan telanjang. 

Dan, ya ... bisa dibilang saat itu adalah masa suram Nilfheim setelah lebih seratus tahun berdiri. Dan sialnya, aku tumbuh di masa itu. Namun, aku tetap bersyukur. Aku bukan bagian dari tumpukkan mayat atau perempuan-perempuan yang disiksa dan digantung dengan tidak layak itu. Aku sebatang kara. Ayahku dipenggal, sedangkan ibuku menjadi bulan-bulanan lelaki sinting. Namun, hebatnya, saat itu, aku yang hampir dijadikan pelacur malah selamat. 

Semua itu berkat seseorang. Dulu, ketika melihat lelaki bertubuh besar dengan pakaian loreng-loreng khas penjahat perang itu mendobrak masuk rumah dan mengambil orang tuaku, aku hanya bisa bersembunyi di dalam lemari kayu yang hampir roboh. Aku melihat ibuku diperkosa dan dibunuh dari balik celah lemari. Namun, ketika mereka hendak menggeledah rumah dan hampir menemukanku, seorang lelaki berpakaian hitam-hitam menembak mereka. Lelaki itu bertubuh jangkung dan kurus, rambutnya panjang sedikit melewati tengkuk, dan wajah tampan yang tirus dengan mata yang tajam.

Tangan kanannya diberati senapan laras panjang, sedangkan di pinggangnya terdapat sabuk yang berisi pisau kecil berujung melengkung dan sekantung peluru. Ia bermain-main dengan senapan itu, seolah benda itu tidak memiliki berat. Aku melihatnya, ia menari begitu indah di dalam ruangan sempit yang berbau darah, disoroti cahaya matahari senja yang memerah, menerobos masuk lewat jendela reyot yang kaca-kacanya sudah pecah. Aku melihatnya, jubah hitam itu melambai, mengikuti tiap gerakannya yang cepat dan menawan. 

Saat itulah, aku menyadari sebuah hal. Bahwa Tuhan masih mengizinkanku untuk hidup. 

Setelah memberesi lelaki sinting itu, ia mulai menggeledah ruangan. Sepertinya ia berharap menemukan makanan atau apa pun yang bisa mengganjal perutnya. Saat itu, aku berpikir, haruskah aku keluar dengan persediaan makanan yang disembunyikan orang tuaku. Toh, pada akhirnya, aku yang selamat dan harus bertahan hidup. Namun, bisakah aku melakukannya sendirian? Atau ... bisakah aku berharap padanya? Memohon agar ia mau membawaku yang merepotkan ini untuk hidup damai di tempat lain? Atau malah, ia yang akan membunuhku dan menjadikanku pelacur? 

Namun, belum sempat aku menjawab semua itu, pintu lemari telah dibuka. Mata kami bertemu. Mata hitamku yang legam dan suram bertemu dengan  miliknya yang berwarna merah terang. Seperti setan, kataku. Namun aku tahu bahwa dia adalah lelaki yang tidak lembut, tidak baik hati, tapi ... ia membiarkanku hidup. 

Saat tahu aku berada di dalam lemari, ia tidak menembakkan senapannya padaku dan memilih untuk berbalik, melangkah keluar. Aku sempat mematung, tapi tidak meratapi nasib orang tuaku yang malang. Bukan berarti aku tidak sedih, tapi, hanya bersedih tidak akan menyelamatkan apa pun, bahkan nyawaku sendiri. Air mata yang tidak berarti ini tidak akan bisa menyelamatkan orang tuaku yang sudah mati, sudah tenang, dan dengan egoisnya meninggalkan aku seorang diri. Aku tidak ingin menangis dan memang tidak bisa menangis. Saat itu, dengan melalui jasad orang tuaku yang berlumur darah, aku berlari mengejarnya, dan menahan lengannya tanpa tahu diri. 

Izinkan aku ikut denganmu, kataku waktu itu. Dan, ia berbalik, menatapku kebingungan. Tunggu, apa ia tidak mengerti apa yang kubicarakan? Ataukah ia berasal dari tempat lain? Tidak, tidak. Ia mengerti, tapi sepertinya terperanjat mendengar permintaanku. Ia tidak menjawab dan kembali melangkah dengan wajah datar. Saat itu, aku tersenyum. Ia memang tidak memberiku jawaban, tapi aku tahu ia mengizinkanku mengikutinya, bersembunyi di balik tubuh kurus yang ditutupi jubah hitam. Senapan laras panjang itu tak memiliki tempat, memberati tangan kanannya setiap kami melangkah, menuju sisi lain Nilfheim. 

Lelaki itu bukanlah lelaki sinting seperti yang lain. Aku melihatnya sendiri. Ia mencuri gandum, susu, atau makanan lain dari para tentara, lalu membagikannya pada orang-orang miskin yang masih selamat. Aku juga melihat kemampuan medisnya yang cukup unik. Ia punya sihir dan hal itu adalah hal langka di Nilfheim. Seingatku, hanya dua dari sepuluh orang yang mampu menggunakan sihir, salah satunya keluarga raja. Konyolnya, saat itu keluarga raja dikatakan sudah tewas terbunuh, bahkan pangeran mereka—Reon. 

Saat itu, ketika kami tertidur dan ia mengizinkanku masuk ke dalam rengkuhannya, bergelung manja dalam hangat selimut yang melindungi tubuhku dari dinginnya hutan, aku melihat lencana keemasan. Dugaanku benar. Lelaki ini adalah Reon, sang pangeran yang telah meninggal. Aku mengerti kenapa ia bersembunyi seperti ini, tapi bagaimana bisa Nilfheim bangkit jika pangerannya begini? Aku tidak menuntutnya untuk bertarung dan bertaruh nyawa, tapi ....

Entahlah, aku belum mengerti tujuannya. 

Saat itu, kami terus berkelana. Aku semakin mengenalnya. Aku tahu kebiasaan makannya yang buruk, juga tingkahnya yang kekanakan. Ia tidak menyeramkan, bahkan terkesan seperti anak-anak. Mata merah yang kukatakan mata setan itu ternyata begitu lembut, selalu memperhatikan setiap gerak dan reaksi orang lain. Dan perlahan, aku mulai mengerti kenapa ia melakukan ini. 

Ia ingin menjadi pahlawan tanpa nama, membiarkan orang-orang melupakan kalau kondisi Nilfheim perlahan membaik tanpa ada yang menyadari. Para tentara itu ia bunuh secara berkala. Ketika pasukan kerajaan yang tolol dan tidak berguna itu malah menggunakan kekuasaan mereka dengan salah, ia tak segan membunuhnya. Saat itu, setiap wilayah yang kami hampiri selalu berakhir baik. Tak ada tentara yang berani masuk atau pemimpin mereka yang sok hebat. 

Dia bilang kalau orang-orang itu hanyalah bagian busuk Nilfheim. Ia sudah tahu itu sejak lama dan berusaha memberantasnya secara diam-diam. Entah kenapa, aku berpikir itu adalah hal yang keren. Memang ia keren. Begitu tampan dan menawan. 

Namun, pada suatu hari, salah satu pemimpin Aljaera mengetahui keberadaan kami. Kami dikejar, pemimpin itu mengerahkan sebagian besar pasukannya untuk membunuh kami—tepatnya Reon. Kami terus berlari dan bodohnya, aku selalu terjatuh. Namun, ia tidak mempermasalahkannya. Tangan besar, kurus, dan kasar itu tidak pernah melepaskan genggamanku. Ia terus melindungiku, bahkan ketika kami terkepung sekalipun. Ia menyembunyikanku di balik jubah hitamnya. 

Saat itu, aku tahu kalau Reon memang bukanlah pangeran biasa. Ia tidak tolol dan rakus seperti sang raja—yang hanya menghabiskan uang Nilfheim untuk membesarkan perutnya saja. Lencana kerajaan itu ia gunakan. Aku tidak tahu bagaimana pastinya, tapi, aku hanya merasakan kilatan cahaya memenuhi mataku. Pandangan yang tadinya gelap terhalangi jubah menjadi putih, lalu tak lama, ia menarikku keluar. 

Tentara yang mengepung kami sudah bertebaran menjadi mayat. Kepala mereka tidak terpenggal, tubuh mereka utuh, tapi tak bernyawa. Aku mendongak, melihat dagunya yang ternyata kokoh. Namun saat itu, aku melihat darah menetes dari ujung dagunya. Tubuhnya merosot ke tanah, bersimpuh, dan senapan itu jatuh. Mata merah setan itu terpejam dengan darah yang mengalir keluar, membuatku bergidik ngeri. Namun saat itu, aku sadar kalau ia telah mengorbankan kedua matanya untuk bertahan hidup. Ia telah membunuh salah satu pemimpin Aljaera yang memiliki pengaruh besar dalam perang. Dan saat itu, ia tidak menangis. Ia tidak menangisi kedua mata indahnya yang telah berkorban. Ia tersenyum lebar, begitu bahagia. Karena ia tahu, dengan begini, Nilfheim akan membaik. 

Benar dugaannya.  Dalam kurun waktu dua bulan, pasukan Aljaera mengalami kemunduran. Pasukan kerajaan yang dipimpin para pejuang telah berhasil mengambil alih Aljaera, tapi hal itu hanya bertahan sementara. Aku dan Reon memutuskan untuk menetap di dalam hutan, yang dipenuhi tanaman berwarna biru keunguan yang indah. Aku tidak tahu apa namanya, tapi bagiku itu adalah tanaman yang indah. Hari-hari kami seperti biasa. Reon tidak keberatan meski tidak memiliki mata dan aku tidak keberatan untuk menggantikannya. Aku tidak melindunginya, ia tetap melindungiku, tapi aku telah menjadi matanya. 

Aku, menjadi matanya. 

Dan itu indah. 

Kami terbebas dari Nilfheim, meskipun sesekali mendengar kabar dari para petualang yang lewat. 

Kami bebas. 

Kami hidup.

Dan entah bagaimana, aku menikmati semua ini. Reon tidak pernah menuntut apa pun. Ia tidak cerewet masalah makanan, tidak cerewet ketika pakaiannya belum kucuci, atau ketika gubuk tak kubersihkan. Ia duduk diam di atas kursi dengan mata yang terpejam, seolah menikmati semua ketenangan ini. Bunyi riak air yang berasal dari danau kecil di samping gubuk, suara cicitan burung yang bersahutan, juga dedaunan yang saling bergesekan. 

Kami hidup untuk menghabiskan sisa usia, bersama, tanpa ada yang menghalangi atau membebani. 

Sesekali, aku diminta Reon menemaninya ke kota, sekadar berjalan-jalan. Di sana, saling bertumpuk di antara satu dengan yang lainnya, para pelaku pacuan, penari-penari balet berbulu angsa, atau orang-orang biasa yang berdagang. Kami tidak menemukan tentara sinting seperti dulu, tapi kami menemukan penjajah lain. Aku melihat ada cafe-cafe berisikan perempuan telanjang dan lelaki bernapsu, juga toko-toko penjual barang antik yang pemiliknya selalu tersenyum, hanya tersenyum, ketika perempuan berdada besar yang masuk hanya untuk melihat-lihat, atau para pemabuk dengan dua wanita di masing-masing sisinya. 

Tak hanya hal itu, kami juga melihat beberapa monumen anggota kerajaan yang diletakakn di tengah-tengah kota. Nilfheim memang begitu. Mereka rusak, tapi tetap menghargai para leluhur mereka meskipun ada yang tidak waras. Aku membawa Reon menjelajahi monumen itu. Mulai dari monumen berwajah penemu Nilfheim yang tidak kuketahui namanya. Sungguh, pelajaran tentang leluhur yang dulu kudapatkan di sekolah amat tidak menarik. Aku tidak tahu apa pun dan hanya tahu bahwa keluarga kerajaan mampu mengeluarkan sihir seperti Reon waktu itu. 

Ia menyentuh permukaan monumen, seperti orang buta yang menyentuh untuk mengidentifikasi. Ia tersenyum, lalu kubawa menuju monumen selanjutnya, hingga monumen yang terakhir, miliknya. Kuperhatikan baik-baik monumen yang terukir wajahnya. Kulihat tanggal lahir dan hari kematian palsunya. Ia berumur dua puluh saat Niflheim dilanda kehancuran. Tidak berbeda jauh dariku dan pantas saja, aku merasa nyaman berada di dekatnya.

Saat itu, aku melihat Reon menyentuh ukiran namanya, lalu tersenyum. Ia memegang lencana kerajaan yang masih tergantung indah di lehernya. Mengingat betapa mengerikan Nilfheim saat itu, juga betapa kacaunya Nilfheim saat ini. Ia tidak merasa sedih dengan Niflheim saat ini. Ia tahu kalau kondisi Nilfheim sekarang adalah pilihan para warga dan penguasanya. Ia sudah lama mati dan terus seperti ini. 

Setelah berlama-lama di depan monumen itu, Reon memintaku untuk membawanya kembali ke tempat kami. Ia memintaku untuk membuatkannya makanan yang biasa ia dapat di istana dengan bahan-bahan yang kami beli tadi. Aku tidak pandai memasak, tapi aku tahu bagaimana caranya. Masakan yang kubuatkan tidak pernah mendapat komplain, entah karena memang enak atau bagaimana, aku tidak tahu. 

Setelahnya, aku memutuskan untuk pergi mencuci pakaian. Kubiarkan ia duduk di tempat biasa atau lebih tepatnya tertidur. Ia suka kursi itu, entah apa alasannya, dan aku suka melihatnya. Aku suka ketika kepala lelaki itu terantuk beberapa kali ke samping. Wajah bantalnya yang konyol itu seolah mengenyahkan sisi menyeramkan Reon dulu, bahwa lelaki inilah yang mengalahkan sebagian besar pasukan Aljaera seorang diri. Aku tidak pernah bertanya kapan ulang tahunnya atau hal semacam itu. Aku tidak ingin ia bersedih dan anggap saja, ia lahir setiap hari, dan harus bahagia setiap hari. 

Kami selalu baik-baik saja. Tidak memiliki perasaan spesial yang seperti dibayangkan orang-orang ketika melihat kami pergi bersama. Kami memang waras. Aku seorang perempuan berambut hitam panjang bertubuh pendek dan kurus, sedangkan Reon adalah lelaki sempurna yang waras, berambut hitam, bertubuh kurus, sekaligus buta. Namun, itu bukan berarti kami harus saling mencintai, 'kan? 

Aku adalah matanya. Anggap saja hal itu sebagai tanda terima kasih karena ia telah menyelamatkanku dulu. Aku tidak mau mengeluh. Aku tidak ingin kenikmatan yang aku dapat sekarang lenyap hanya karena kebodohanku sendiri. Reon telah memberikan segala yang ia bisa, jadi untuk apa aku mengeluh? 

Toh, aku yang memaksanya untuk membawaku waktu itu. Jika tidak, bisa saja aku menjadi pelacur atau mati di tangan lelaki-lelaki sinting itu.

Saat aku kembali, hampir sore, aku tak melihat Reon di kursi itu, juga di dalam gubuk. Perlahan, aku mulai merasa cemas. Tidak kutemukan lelaki kurus itu di sekitar, tapi aku juga tidak meremehkannya. Reon memang buta, tapi ia tidak bodoh. Ia bisa melindungi dirinya sendiri meskipun tanpa mataku. Namun, apakah ia pergi? 

Kenapa?

Apa aku ditinggalkan? 

Sekelebat pemikiran bodoh itu menghantuiku, mendorongku untuk kembali melangkah mencarinya. Kutelusuri hutan yang rindang itu, tapi, ketika hari semakin gelap, aku maish belum menemukannya. Kuputuskan untuk kembali sambil berharap lelaki itu sudah pulang, tapi tidak kutemukan juga. Aku duduk di depan gubuk, memeluk kedua kakiku yang dilipat, lalu menenggelamkan wajahku di antaranya. Aku ingin menangis, tapi kenapa terasa begitu tolol? 

Tidak. Aku bahkan tidak menangis ketika orang tuaku dibunuh. Kenapa harus menangisi lelaki asing? 

Asing? Tidak. Kupikir, Reon bukanlah lelaki asing. Ia telah bersamaku selama beberapa tahun dan aku mengenalnya cukup dalam. 

Aku hampir tertidur, tapi ia muncul. Dengan pakaian yang dipakai tadi, ia berjalan dari arah hutan yang tadi kulalui. Ia terlihat gagah, tapi wajahnya lesuh. 

Namun, untuk pertama kalinya, aku melihat Reon terdiam, murung, seperti memikirkan sesuatu. Ia mengatakannya padaku. Bahwa sejak siang, ia berniat mengunjungi Nilfheim sendirian dan menemukan beberapa hal yang mengerikan di sana. Ia tidak bisa melihat, tapi ia bisa merasakan. Ia pergi ke ibukota dan melihat para mentri, juga pejuang yang dulu menyelamatkan Nilfheim dari Aljaera justru menjadi penyerang Nilfheim sekarang. Mereka tidak kompeten dan suka memakan daging saudaranya. Pajak-pajak bagi pedagang kecil justru menjadi tinggi, sedangkan pajak bangsawan direndahkan. Mereka bersenang-senang, berpesta, menambah pasokan dosa bersama-sama. 

Dan saat itu, kami pun sadar. 

Nilfheim tempat kelahiran kami telah berubah, hancur menjadi abu, melupakan siapa yang sebenarnya berjasa. 

Seperti halnya ikan yang hidup di laut dalam yang bernapas menggunakan paru-paru. Juga seperti halnya burung-burung yang tak bisa terbang dengan baik berama angin. Mereka telah berubah menjadi debu, begitu kotor, dan harus segera dibersihkan. 

Saat itu, aku merasa iba. Pengorbanan seorang pangeran yang terbuang telah menjadi tak berarti. Bahkan jika bisa mengulang waktu pun, aku yakin tidak akan banyak yang berubah. Jika ia kembali muncul sebagai pangeran sekali lagi, maka tidak akan ada yang percaya. Ia hanyalah seonggok tubuh muda yang berkarat, buta. Namun, aku ingin Reon tahu aku selalu di sampingnya. 

Aku menghampiri lelaki itu dan memeluknya. Kutanyakan, apakah ia masih ingin berpergian seperti dulu? Ke suatu tempat, beramal, dan bertindak seperti orang bodoh. Ia menjawabku dengan gelengan pelan. Ia menggenggam kedua tanganku yang melingkar di tubuhnya. Kudengar sebuah bisikan yang menyuruhku untuk tetap di sini, bersamanya, dan bertahan hingga mati. 

Saat itu, aku pertama kalinya mendengar Reon memintaku. Aku mendengarnya dan saa itu juga, ia memberiku sebuah nama. Bukan berarti aku tidak punya nama atau melupakan namaku, tapi karena Reon ingin aku adalah dirinya dan ia adalah diriku. 

Reona. 

Ia menambahkan satu huruf dari namanya untukku. Dan aku menangis. Kami menangis bersama. Aku bahkan tidak sanggup mengatakan sepatah kata ketika ia melanjutkan permintaannya. Aku hanya melihat dirinya. Melihat wajah tampan yang dulu bertemu denganku ketika pintu lemari itu terbuka. Aku ingin melihatnya sekali lagi, mata merah yang kukatakan setan itu. 

Kami tidak tau alasan kenapa kami hidup dan kenapa kami ingin meninggalkan sebuah makna. Baik dari segala dosa yang tak hilang juga rasa sakit yang dulu sempat menderaku. Kini semuanya telah berubah menjadi kebahagiaan yang tak berujung.  

Dan saat itu, aku berharap bahwa bunga-bunga kecil yang terlupakan itu akan terus mekar dan menemani kehidupan kecil kami di sini. 

Tempat di mana kami hidup. 

Penuh lumpur. 

Berdosa. 

Namun, aku tahu, Reon akan membersihkan semua itu dariku. 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Penantian
3881      1695     16     
Romance
Asa. Jika hanya sekali saja, maka...
EFEMERAL
139      126     0     
Romance
kita semua berada di atas bentala yang sama. Mengisahkan tentang askara amertha dengan segala kehidupan nya yang cukup rumit, namun dia di pertemukan oleh lelaki bajingan dengan nama aksara nabastala yang membuat nya tergila gila setengah mati, padahal sebelumnya tertarik untuk melirik pun enggan. Namun semua nya menjadi semakin rumit saat terbongkar nya penyebab kematian Kakak kedua nya yang j...
Di kereta
509      296     3     
Short Story
Sebuah Puisi tentang pembunuhan
Separuh Langit
336      230     0     
Short Story
Seorang gadis yang membenci dunia kejam ini, Adista Kirania selalu berharap supaya ia mendapatkan dunia baru yang hanya ditempati oleh dirinya dan kekasihnya, Gilan Adhitama. Sampai dimana waktu yang memisahkan mereka berdua, Gilan hilang dan lenyap seperti ditelan bumi. Adista yang saat itu menderita bipolar disorder berusaha mencari Gilan setelah berlarut dengan kesedihannya. Hingga suatu hari ...
Je te Vois
568      404     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
God's Blessings : Jaws
1848      847     9     
Fantasy
"Gue mau tinggal di rumah lu!". Ia memang tampan, seumuran juga dengan si gadis kecil di hadapannya, sama-sama 16 tahun. Namun beberapa saat yang lalu ia adalah seekor lembu putih dengan sembilan mata dan enam tanduk!! Gila!!!
Over panik
334      205     1     
Short Story
Kalian semua pasti pernah merasakan yang namanya panik. Gara gara kepanikan yang tidak terkontrol menciptakan perilaku yang kurang wajar.
Nuraga Kika
32      29     0     
Inspirational
Seorang idola sekolah menembak fangirlnya. Tazkia awalnya tidak ingin melibatkan diri dengan kasus semacam itu. Namun, karena fangirl kali ini adalah Trika—sahabatnya, dan si idola adalah Harsa—orang dari masa lalunya, Tazkia merasa harus menyelamatkan Trika. Dalam usaha penyelamatan itu, Tazkia menemukan fakta tentang luka-luka yang ditelan Harsa, yang salah satunya adalah karena dia. Taz...
Taruhan
48      46     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
If I Called Would You Answer
398      287     1     
Short Story
You called her, but the only thing you heard was ' I'm Busy '