Pukul 7 malam, gedung auditorium School Art telah dipadati anak-anak dari berbagai jenjang pendidikan, baik dari SMA, SMP, bahkan dari SD. Keramaian timbul di setiap sudut. Apalagi pemicunya kalau bukan riuh antusiasme para pendukung dari masing-masing sekolah. Ya. Para juara tahun lalu akan menunjukkan aksi mereka malam ini dalam rangka pembukaan School Art Music Festival 2016 yang diselenggarakan School Art bekerja sama dengan Nishii Group. Acara dihadiri oleh semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan festival tahunan ini, ada Bapak Mahendra selaku direktur utama School Art, Pak Galih sang menejer, dan Nishimura-san selaku menejer utama Nishii Group yang berperan sebagai sponsor utama acara ini. Para guru pendamping juga turut hadir mendampingi siswa mereka dalam acara ini.
Acara dibuka dengan sambutan dari Ibu Nadya, dilanjutkan Nishimura-san, lalu terakhir ketua panitia. Selanjutnya adalah acara yang paling ditunggu-tunggu, yaitu penampilan para juara. Satu per satu setiap juara tampil di atas panggung secara bergantian. Penonton sangat menikmati penampilan dari setiap juara.
“Maaf! Permisi!”
Misca menoleh saat mendengar suara tak asing dari seberang. Seorang gadis bergaun pink kini tengah berjalan dengan hati-hati menuruni anak tangga. Ia tampak sibuk mencari seseorang. Begitu melihat wajahnya, ia segera mengenalinya sebagai Allexa.
“Allexa?!” panggil Misca. Ia bangkit dari duduknya. berusaha agar Allexa bisa menemukaannya. Matanya berbinar melihat penampilan Allexa yang begitu elegan dan mengagumkan. “Ku pikir kamu nggak dateng—jadi kami masuk duluan.” Terang Misca apa adanya seraya membentuk huruf “V” dengan jari telunjuk dan jari manisnya. “Ngomong-ngomong, kamu cantik banget All! Gaunmu juga cantik!” ucap Misca menggebu-gebu.
“Thank’s. Mama yang mendandaniku seperti ini.” Balas Allexa.
Keduanya kini berjalan beriringan menuju dua tempat duduk kosong di sebelah Okka. Setelah duduk nyaman, barulah Misca kembali membuka percakapan seperti biasanya. Allexa sibuk mendengarnya seraya mengamati suasana di sekitarnya. Tribun penonton sudah terisi penuh. Panggung megah di depan sana. Ini mirip acara konser saja. Tidak sengaja matanya beradu pandang dengan cowok bernama Okka yang duduk di seberang Misca. Cowok itu menunjukkan senyum ramah seperti biasa. Tidak ada kata yang diucapkan, tapi ia tahu cowok itu cukup ramah. Penampilannya terlihat casual sekaligus maskulin. Sebuah kemeja warna maroon berlapis jaket hitam. Rambut cepaknya disisir ke samping. Membuat kesan jelas pada kedua alis tebal dan lengkung garis matanya.
“Kamu bikin aku iri deh All.” Celetuk Misca mengejutkan.
Baru ia sadari, rupanya Misca masih saja memperhatikannya. Gadis ini terus memuji hasil Mamanya yang sukses mendandaninya seperti tuan putri. Allexa juga merasa demikian. Untuk acara nonton pertunjukkan, rasanya dandanan ini berlebihan baginya. Tapi mau bagaimana lagi, rencana awal adalah dia mengikuti pameran desain tapi dia terpaksa datang ke acara pertunjukkan karena merasa penasaran dengan pertunjukkan Lollipop seperti yang diceritakan Misca dan Okka tadi siang.
Kini Misca sedang mengomentari tatanan rambut di kepala Allexa.
“Kau juga cantik. Gaunmu juga!”
Ucapnya berusaha mengalihkan perhatian. Nyatanya ia gagal. Bukannya merasa senang, misca justru merasa terpuruk dengan penampilannya. Dia bilang dia memakai gaun pesta tahun lalu yang ia gunakan untuk tampil di acara pensi sekolah. Sebenarnya ada pilihan lain. Kakaknya memiliki banyak gaun pesta. Meski ia memiliki berat dan proporsi tubuh yang mirip dengan Kakaknya yang kini duduk di bangku kuliah, tapi anehnya, gaun Kak Tina, begitu dia memanggilnya, tidak ada yang cocok dengannya.
Allexa menahan tawa saat Misca kembali melirik gaun yang dipakainya itu. Detik berikutnya wajah Misca berubah terkejut. Mulutnya ternganga. Ia yakin, sesuatu terbesit di kepalanya. Kedua matanya membulat seketika. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan mulutnya.
“Jangan bilang kamu kabur dari acara pameran desain?”
“Jangan mengada-ada.” Kekeh Allexa.
“Beneran? Kamu nggak kabur kan?” Misca menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Ia mengamati wajah Allexa yang mulai merasa tidak nyaman.
Allexa menggeleng. “Aku sudah ijin Mama. Lagi pula Mama mengijinkanku.”
“Sebentar lagi Lollipop akan tampil.” Potong Okka.
Selama sepersekian detik, Allexa beradu pandang dengan Okka.
Lampu mulai meredup. Semua cahaya seakan tersedot ke panggung yang megah. Sang MC memberitahu bahwa acara akan dibuka dengan penampilan dari para pemenang kompetisi musik School Art tahun lalu. Tak lama kemudian sebuah tayangan video muncul di layar monitor besar yang terletak di bagian belakang panggung. Tulisan Lollipop tergambar jelas. Detik selanjutnya tergambar siluet berjumlah empat orang. Perlahan-lahan siluet berubah menjadi gambar masing-masing personel Lollipop. Suara petikan gitar mulai terdengar. Teriakan-teriakan penonton mulai mereda.
“Lollipop. We always together, whatever matter.”
Sebuah tayangan video pun ditampilkan. Sebuah grup band dengan latar belakang pemandangan taman hijau, pohon sakura, dan guguran bunga sakura. Sebuah lirik lagu mulai terdengar. Musik mengalun. Suara drum membuka sekaligus mengawali lagu yang dinyanyikan Davine. Davine menyanyikan lagu berjudul Ceria, karya J-rock band. Lirik demi lirik mulai terdengar.
“Lollipop! Lollipop!”
“Mereka ada di Tokyo!”
“Lollipop ada di Tokyo!”
“We love you!”
Semua bersorak sorai. Meski hanya sebuah tayangan video, namun antusiasme penonton tidak jauh berbeda seperti saat menonton pertunjukkan band secara live.
Alih-alih Allexa terus memfokuskan perhatiannya pada pertunjukkan grup band bernama Lollipop ini. Satu per satu ia amati wajah masing-masing personel grup itu. Seorang cowok berwajah tampan, berambut cepak, sedikit poni menutupi dahi, adalah sang vokalis sekaligus gitaris. Selain itu, masih ada tiga pemain yang lain. Yaitu bassist, rhythm, dan drummer.
Menyadari ekpresi keseriusan di wajah Allexa, Misca yang duduk di sebelahnya tidak sabar ingin memberi tahu. “Kak Davine dia leader Lollipop, vocalist sekaligus gitarist, Kak Indra drummer, Kak Terra rhythm, Kak Ade bassist. Mereka semua alumni SMA 21 kecuali Kak Ade yang masih duduk di kelas XII. Kau ingat kan?” terang Misca penuh harap.
Allexa mengangguk-angguk seraya menajamkan ingatan di kepalanya. Wajah anggota Lollipop memang tidak asing dalam ingatannya. Sejauh ini ingatannya kembali pada masa saat di mana ia terlibat dalam pertunjukkan acara perpisahan kelas XII tahun lalu. Ia menjadi pengiring saat pertunjukkan sebuah paduan suara. Kemudian Lollipop tampil sebagai penutup acara. Ia melirik ke tempat duduk di sebelahnya. Kepala Misca terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia seperti sedang mencoba memastikan sesuatu.
“Hanya video? Jadi mereka benar-benar tidak datang? Jangan bercanda.” Gumam Misca.
“Ini isi CD rekaman yang ingin ku tunjukkan padamu.” Okka menoleh pada Misca di sebelahnya.
“Tapi di mana Lollipop! Kenapa hanya sebuah video? Di mana mereka?” Suara Misca mendadak terdengar panik.
“Misca mau ke mana?!” Okka bangkit mengikuti Misca yang tiba-tiba saja bangkit dari duduknya. keduanya berjalan ke sisi anak tangga yang berada di tepian.
Menyadari hal itu, Allexa buru-buru bangkit dari duduknya. Ia menatap bayangan dua sahabatnya yang menjauh dari jangkauannya. Berbagai pertanyaan melintas di kepalanya. Ia kembali menjatuhkan pandangannya pada panggung di depan sana. Tayangan video hampir berakhir. Setiap orang mulai berkasak-kusuk. Mereka sibuk berbisik membicarakan hal yang tidak bisa didengarnya dengan jelas.
Lampu kembali terang. Allexa berhasil menemukan posisi Misca dan Okka. nampak jelas, bagaimana Okka mencoba menghalangi Misca yang hendak meninggalkan tempat ini.
“Misca! Okka!” pekik Allexa. Ia mulai panik. Perhatian di sekitarnya lekas tertuju padanya. Perasaan canggung mulai merayapinya. Ia bergegas keluar dari deretan tempat duduk ini. Berjalan menepi. Lalu ia langkahkan kaki satu per satu untuk menuruni anak tangga dengan hati-hati. Ia kembali mendengar sorak sorai yang riuh. Ia menoleh. menyempatkan diri untuk melihat perubahan suasana di atas panggun.
Backgorund panggung sudah berubah. Sebuah grand piano warna hitam ada di atas sana. Pandangannya langsung terfokus pada sosok pemuda bertubuh tinggi yang kini tengah berdiri seorang diri di atas panggung. Pemuda itu memakai tuxedo berwarna hitam gelap. Pemuda itu melangkah menuju kursi kecil di sebelah piano. Ia duduk di atas kursi itu dengan gaya yang elegan. Selama beberapa saat, perhatian Allexa benar-benar terfokus pada sosok pianis yang akan segara menunjukkan aksinya di atas panggung. Sampai-sampai ia tidak sadar bahwa lampu di atas sana kembali meredup.
Sebuah suara tuts yang ditekan cukup menimbulkan sebuah gema yang cukup menghipnotis kesadarannya. Disusul dengan bunyi-bunyi tuts selanjutnya. Melodinya terdengar sangat indah. Gemuruh tepuk tangan menggema di seluruh penjuru gedung.
“Holan!”
“Holan! We love you!”
Sorak sorai penonton terlontar memekakan telinga. Suara-suara yang terus menggema. Atmosfer yang sangat berbeda. Bau yang kering. Hawa dingin yang kaku. Atmosfer ruangan yang menusuk kulit. Semua ini hanya menimbulkan hipnotis.
“Beethoven. Symphony Fate nomor 1.” Desis Allexa.
***
Allexa berdiri mematung. Perhatiannya terus tertuju pada ujung sepatu high heels-nya. Di hadapannya, Bima berdiri seraya berkacak pinggang. Keduanya masih diam sejak Bima terpaksa membawa Allexa keluar dari bangku penonton.
“Mama memintaku untuk menjemputmu.” ucap Bima berusaha menahan emosinya. Bagaimana dia tidak kesal. Dua kali dia datang ke tempat ini demi menjemput adiknya. Seakan tengah mengadili seorang anak kecil, ia ingin menunjukkan bahwa kakaknya ini tidak suka jika adik perempuannya pergi sendiri malam-malam begini.
“Tadi aku sudah izin sama Mama—” Ucap Allexa berusaha membela diri. Ia tak berani menegakkan kepalanya atau ia hanya akan melihat ekspresi kemarahan di wajah Kakaknya ini. Ia akan seperti ini terus sampai Bima benar-benar kehabisan kata untuk mengomel. Allexa berpaling membuang muka ke samping.
“Kak Bima!” panggil Misca.
Bima menoleh. Dua sahabat Allexa, Misca dan Okka, telah berdiri di belakang Allexa. Seakan memberi isyarat pembelaan, keduanya menatapnya dengan wajah ingin tahu.
“Kak Bima juga datang ke sini ya? tanya Misca dengan nada ingin tahu.
Bima tersenyum simpul. “Ya, aku harus menjemput anak ini.” Selorohnya seraya menjatuhkan pandangan pada Allexa yang kini tak berani menatapnya.
“Maaf. Aku harus pulang.” Ucap Allexa terdengar begitu terpaksa. “Kakakku ini memang—over protect—“
“Diam!” potong Bima merasa malu.
Misca dan Okka sama-sama melihat senyum dipaksakan di wajah Allexa. Saat melihat Bima yang berdiri di sebelah Allexa, keduanya pun memakluminya.
“Okay. Sampai besok All!” balas Misca seraya melambaikan tangannya saat melihat Allexa berbalik dan mulai berjalan menuju pintu keluar. Keduanya kembali terlibat percakapan serius.
***
@yurriansan Hallo kak, maaf kalau cuma menemukan prolognya saja. Karena novel ini sudah terbit. Next aku unggah beberapa BAB nya ya.. Terima kasih sudah membaca :)
Comment on chapter PROLOG