the next day...
chapter 10: Meet and Chat With Landon (part 1)
Beberapa saat dalam pelukan, Cheryl tak mampu lagi menahan emosi negatifnya. Terlebih ingatannya akan sosok sang ayah kandung mulai muncul, kemudian diikuti serangkaian kejahatan sang kriminal ini, dan akhirnya perlakuan tidak adil yang diterimanya sebagai pasangan saudara kembar.
Amarah, dendam, kebencian, dan pembalasan memenuhi hatinya. Dan jika itu tidak segera ditumpahkannya, jiwanya akan hancur oleh semua energi negatif tersebut.
Segera saja kedua tangannya beraksi tanpa henti menghajar Landon—menampar, mencubit, mencakar, dan memukul.
Seakan telah memprediksi akan mengalami kejadian yang amat tidak menyenangkan ini, dengan siap serta sigap, Landon menghadapi semua kekerasan fisik terhadap dirinya dengan pasrah. Dia tidak sanggup melawan—menangkis pun tidak. Dirinya memang sungguh pantas mendapatkan perlakuan buruk yang cukup brutal ini.
AJ mengamati momen cukup mengerikan itu dengan waspada. Jika memang Cheryl tak terkendali dan sungguh membahayakan Landon—usia laki-laki itu sudah mendekati separuh baya—dia siap mengambil tindakan tegas. Dengan amat terpaksa, Cheryl harus keluar dari ruangan Mr. Simmons!
Karena semua aksi kekerasan fisik yang dilakukannya dengan kedua tangan—terbakar oleh semua emosi negatif—napas Cheryl tentu menjadi terengah-engah. Namun, semua itu dirasanya masih belum cukup! Sosok jahat yang satu ini harus benar-benar mengalami segala akibat perbuatan jahat tanpa ampunnya!
Kaki kanannya mulai beraksi—bergerak menghantam badan Landon, hingga tubuh yang mulai menua itu melayang membentur dinding, dan melorot ke bawah.
Tendangan sang anak tiri ini dirasakan Landon masih cukup kuat untuk ditahannya. Untuk ukuran seorang perempuan, kekuatan tenaga Cheryl memang cukup dahsyat. Dia bergerak maju, dengan kaki kanan yang tadi mulai mengarah pada rusuk Landon.
Menyadari bahaya yang mungkin segera dialaminya, satu telapak tangan Landon segera menghadang—mencengkeram kuat bagian depan sepatu perempuan yang berwarna merah muda.
"Cukup, Cheryl! Kendalikan emosimu!"
Kekuatan entakkan ke depan kaki Cheryl tak mampu mengalahkan tenaga laki-laki pada telapak tangan Landon. Akibatnya, terpaksa dipilihnya gaya dorong ke belakang—melepaskan satu kaki itu dari sepatu yang menjadi alasnya.
Karena disertai rasa lelah telah menghabiskan banyak emosi serta tenaga, diempaskannya tubuh mudanya ke belakang. Menyandarkan punggung pada kaki sofa yang empuk. Meletakkan kepala pada dudukan sofa di belakangnya itu. Tarikan dan hembusan napas melalui hidung masih memburu.
Cheryl berusaha menenangkan diri. Meski sudah berkurang karena telah tersalurkan, rupanya masih tersimpan banyak emosi dalam hati kecilnya—hasil dari dua hari terakhir yang dijalani dirinya dengan berat ini. Semua perasaan tanpa sesuatu yang dapat terjelaskan dengan baik. Tangisannya serasa ingin pecah kembali.
Landon menurunkan sepatu merah muda itu sambil menasihati, "Menangislah, Cheryl. Jangan ditahan-tahan! Pokoknya kau harus menangis!"
Segera dihampirinya sosok anak tirinya ini, langsung didekapnya dalam pelukan hangat seorang ayah. Hatinya kini dipenuhi sekian banyaknya penyesalan karena telah mengikuti permainan jahat dan licik sepupu perempuannya.
Maka, dia berusaha ikut membantu Cheryl menenangkan diri. Kedua tangannya yang cukup kekar mengelus lembut kepala, rambut, tangan, pundak dan lutut anak tirinya ini dengan penuh kasih sayang.
"Kau boleh memanggilku 'ayah'," bisiknya dengan kemesraan seorang ayah.
Serasa mendapat yang diidamkannya, Cheryl terperangah.
"Ayah," panggil Cheryl dengan penuh kebahagiaan. Kini, lenyap sudah seluruh emosi negatif yang selama dua harian memenuhi hatinya. Giliran rasa haru, rindu, dan kasih sayang seorang anak atau keponakan mendorong kehidupannya.
Kasihan Chester yang di bawah sana... tapi sekarang, harus kutuntaskan misiku.
Keduanya melihat bagian waktu pada ruangan ini. Rupanya mereka telah menghabiskan dua puluh menit untuk urusan perasaan.
Tak lama kemudian, Landon dan Cheryl duduk berhadapan—masing-masing di sofa empuk yang berbeda. Mereka sudah tenang kembali, dan siap untuk berbicara.
Landon sudah mengerti apa yang hendak dijalaninya—interogasi oleh anak tirinya sendiri yang telah berfungsi sebagai detektif. Sebaliknya, Cheryl jadi enggan untuk membahas dua kasus yang telah melibatkan Mr. Simmons.
"Ayah," Cheryl merasa canggung untuk memulainya, "sebenarnya aku tidak menginginkan kita bertemu pertama kalinya dalam kondisi begini."
"Maafkan diriku, Cheryl. Sekali lagi, mohon maafkan aku," Landon masih larut dalam rasa penyesalan yang diakuinya terlambat.
"Aku juga minta maaf atas perlakuan fisikku...," timpal Cheryl.
"Sshhh," satu telunjuk Landon menghentikan kalimatnya, disertai dengan kata-kata, "Aku memang pantas mendapatkannya darimu. Bahkan juga dari Chester—kalian layak mengeroyokku. Aku jadi berhutang sesuatu darinya, karena dia tidak bersamamu di sini."
"Tapi lihatlah sisi baiknya juga, Ayah," rasa simpati mulai mengalir dari hati Cheryl. "Kami—aku dan Chester—tidak bakalan bertemu, dan tidak akan berkumpul kembali dengan keluarga asal kami, seandainya tidak terjadi peristiwa yang mengguncang kita semua ini."
"Kejadian ini sudah direncanakan sejak awal oleh Brenda. Dia tidak menginginkan kembarannya mendapatkan yang terbaik dengan kehadiran lengkap semua anaknya. Intinya, dia tidak rela jika Brandon bahagia."
"Jadi aku dan Chester terpisah oleh keinginan bibi kami sendiri?"
"Sebenarnya bukan dia saja. Aku juga awalnya tidak menghendaki kalian menjadi bagian dari keluarga Cherlone. Jadi, ketika kalian lahir, aku berusaha menyelamatkan nama baik keluarga dengan...," Landon kembali ingin terisak.
"Maafkan kami, sayangku... kami harus 'membuang' kalian. Padahal justru kalianlah harta yang sesungguhnya paling bernilai bagi keluarga Cherlone kami, karena kalian pasangan kembar lawan jenis," ucapnya dengan penuh penyesalan.
Mata Cheryl kembali berkaca-kaca. Dia tidak memedulikan lagi usaha Chester yang sedari tadi 'mengintip' pembicaraannya dengan Landon. Dia menyadari bahwa Chester juga punya hak yang sama dengan dirinya untuk mengetahui fakta ini.
"Aku sudah mengerti alasannya. Karena kami lahir di luar nikah, bukankah begitu?" tanya pemudi ini, yang kembali pecah dalam isak tangis.
"Lalu, apakah Ayah dan Greta mengetahui keberadaan kami? Apa yang terjadi pada ibu kandung kami selanjutnya? Di manakah keberadaannya hingga kini?"
Rentetan pertanyaan yang terasa sulit dijawab Landon dengan kata-kata. Mulutnya berulang kali hendak menjawab, tapi berulang kali pula bibirnya kembali menutup. Logikanya mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan inilah yang pasti akan dihadapi jika penyamaran dirinya terbongkar.
Ketika berkomplot dengan Brenda, perempuan 'sakit' itu tidak memberikan petunjuk peluang fakta yang mungkin terjadi, seandainya Don palsu terbongkar oleh si kembar. Dia akan berhadapan dengan pasangan anak tirinya sendiri.
Emosi Cheryl kembali tersulut menyaksikan kebungkaman Landon—tidak memedulikan pergulatan batin yang tengah dialami ayah tirinya tersebut.
"Jawab aku, Ayah!" kedua tangannya spontan bergerak maju, mengguncang-guncangkan tubuh ayah tirinya, "Jawab! Jangan diam begini saja!"
"Bagaimana jika kubocorkan dahulu kejadian pembunuhan Daxton Phelps?" tanpa diduga, Landon menawarkan topik lain ini, langsung disertai alasannya, "Bukankah dirimu ada di sini untuk kepentingan penyelidikan kasus itu?"
Melihat reaksi Cheryl yang terenyak, dia segera menambahkan, "Jangan kuatir, aku bisa bekerja sama untuk pihak ERBI yang telah menangkap basah diriku. Memang aku bersama Brenda ada di kantor Daxton semalam. Bibimu itu yang menembaknya dengan pistol miliknya sendiri. Akan kuceritakan kronologisnya."
Cheryl terperanjat, spontan bertanya, "Pistol? Jenis listrik atau laser?"
Sambil melontarkan pertanyaan itu, secara refleks pikirannya bekerja cepat. Memori tentang keadaan kantor Daxton yang tanpa cahaya terputar kembali dalam benaknya. Tidak percuma juga dirinya bersama Chester pergi ke kantornya tim Logan.
Bukankah dia sudah 'hadir' dalam 'ruang' dan 'waktu' peristiwa pembunuhan tersebut, dari rekaman visual yang diputar di sana?
"Pistol klasik dengan peluru," jawab Landon, yang mengira lawan bicaranya tidak menduga sama sekali. "Bibimu itu punya alasan cerdas menggunakannya. Sistem penyelidikan terakhir dengan melacak asal peluru dilakukan pada saat menjelang pengujung abad dua puluh satu."
Pikiran Cheryl melakukan dua hal sekaligus. Selain mencerna penjelasan yang cukup panjang itu, benaknya memikirkan trik sikap berikutnya pada Landon.
"Baiklah. Kumohon Ayah menceritakan kronologis peristiwa di kantor Daxton," pintanya dengan kemanjaan seorang gadis cilik, "tapi aku punya satu permintaan kecil yang pasti sepele bagi Ayah."
Di balik sikap kekanak-kanakan yang sesungguhnya hanya berpura-pura saja, Cheryl menyimpan rasa percaya diri yang besar. Sepertinya hukum karma telah menghampiri Landon yang satu harian kemarin sukses besar memerankan Don Cherlone.
"Katakan saja ‘nak," jawaban ini mengindikasikan kata-kata peringatan Brenda tentang kemampuan indigo si kembar telah menguap dari kepala Landon.
"Bolehkah tanganku menggenggam telapak tangan Ayah selagi Ayah bercerita?"
"Tentu saja," jawab Landon sambil mengangguk.
Tak lama kemudian, Cheryl melakukan apa yang diinginkannya. Landon pun mulai menjalankan apa yang diniatkannya.
Maka, terjadilah sensasi yang belum pernah dialami dan dirasakan Cheryl pada semua penglihatannya sebelumnya. Maksudnya, yang kali ini terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama.
Dalam sekejap, kalimat pertama Landon membuyarkan ruangan tempat mereka berada. Sosok sang ayah tiri langsung lenyap dari hadapannya—ibarat sebuah pertunjukan sulap.
Ruangan isolasi Mr. Simmons berganti menjadi ruang rahasia utama rumah keluarga Cherlone, yang ditemukannya bersama Chester semalam. Semua barang beserta perabotan rumah tangga di situ tetap utuh, lengkap, sekaligus berada pada posisi sewaktu dirinya bersama sang kembaran memasuki ruangan yang sejatinya.
Hanya, kini seseorang bertubuh besar sedang duduk di kursi kerja utama. Posisi badan memang menghadap ke arah yang semestinya.
Kacamata klasik dengan aksesoris tali dari salah satu sisi kacanya, menggantung di depan sepasang matanya yang menyorot tajam. Model serta motif pakaian yang dikenakan terkesan kuno untuk zaman ini, tapi berfungsi uniseks. Model rambutnya juga sama. Membuat siapa pun yang melihat sosok ini, akan meragukan jendernya.
Demikian juga dengan Cheryl—belum mengetahui benar siapa orang di hadapannya ini. Untuk kesekian detik, pikirannya terlintas akan gambaran Brandon pada foto-foto di rumah keluarga Cherlone di Area London.
Tiba-tiba pintu masuk terbuka dengan dorongan yang keras dari luar. Masuklah seorang laki-laki berbadan kekar dan bertampang sangar, terhuyung oleh kasarnya dorongan dari laki-laki di belakangnya.
bersambung ke part 2
@yurriansan saya luruskan ya.. judul sebelumnya, The Cherlones Mysteries. Kalo seri, saya baru masukin Duo Future Detective Series yang cerita pertamanya ya dwilogi The Cherlone Mysteries dan The More Cherlone Mysteries ini.
Comment on chapter #3 part 2Oh ya, kalo mao nulis cermis ya harus baca jenis cerita ini terlebih dulu. Dwilogi ini lahir setelah saya getol baca serinya Sherlock Holmes dan punya si ratu cermis Agatha Christie