Aku amati bangunan yang ada di hadapanku, bingung. Pasalnya bangunan itu hanya beridentitas papan nama bergambar lengkungan menyerupai sabit dengan titik di bagian bawahnya. Tidak lebih.
“Tanda tanya?” bisikku perlahan. Aku masih saja mengamati papan nama (kalau bisa dikatakan begitu) saat tiba- tiba pintu di hadapanku terbuka.
“ Kau mau masuk?” tanya cowok yang baru muncul dari balik pintu. Tak ada basa- basi, tidak ada senyuman dan tidak ada pertanyaan yang harus dijawab, karena dia langsung menggeser badannya mengisyaratkan agar aku masuk.
Tak bisakah aku menolak? Tanyaku dalam hati.
Bertolak belakang dengan hati, kakiku justru memasuki bangunan itu perlahan.
“ Tempat apa ini?” tanyaku saat aku melewatinya.
Tidak ada jawaban. Dan itu memang tidak perlu. Karena pertanyaanku telah terjawab begitu aku memasuki bangunan itu. Beberapa toples terlihat berderet rapi, berisi biji- bijian yang aku kenal dengan nama kopi. Entah apa yang membedakannya hingga dimasukkan ke dalam toples yang berbeda.
Haruskah aku tahu?
Aku rasa tidak.
“Mau minum?” tanyanya sambil menyiapkan cangkir berwarna putih bersih.
Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya. Tidak ada pertanyaan lanjutan. Dia langsung membuatkan aku sesuatu. Entah apa. Aku tidak tahu. Karena lima belas menit selanjutnya, hanya diisi dengan kesunyian dan bunyi-bunyian denting sendok dan mesin kopi, meninggalkanku yang sibuk menelisik keheningan kedai.
Selain dua orang tamu yang terlihat mengobrol tenang di pojok kedai, memang hanya aku yang menjadi pengunjung kedai ini. Padahal menurutku kedai ini terlihat sangat menarik.
Deretan buku terlihat menjadi sekat beberapa space, berbagai ornamen berwarna kayu juga terlihat menjadi tema utama tempat ini. Dan satu lagi, lukisan abstrak di sudut ruangan itu entah mengapa terlihat begitu menarik, padahal aku sendiripun tak tahu apa makna di dalamnya. Hanya saja campuran warna itu membuatku merasa lega.
“Minumlah” secangkir kopi dengan gambar kelinci diletakkan lembut di hadapanku.
“Hmm...” sahutku singkat. Demi menghormati kemurahan hatinya, yang tidak menanyakan banyak hal, segera ku seruput kopi di hadapanku. Sedikit.
“Pahit, manis...” bisikku perlahan. Ku letakkan kembali cangkir itu di tempatnya. Dia hanya tersenyum mendengar bisikanku. Sekilas. Tapi cukup membuatku terpana beberapa menit. Atau bahkan, bisa berjam- jam lamanya jika dia tidak mengajakku kembali berbicara.
“Abimanyu” aku mengerutkan kening, tak paham. “ Kau bisa panggil aku Abimanyu”
“Oh...” aku mengangguk mengerti setelah sepersekian detik berpikir “ Kau bisa panggil aku Utari” lanjutku memperkenalkan namaku tanpa diminta.
“Oh... Jadi aku bisa memanggilmu Istriku?” tanyanya sambil tersenyum.
Mataku membola saat ia mengucapkan hal itu. Bagaimana bisa ada orang yang dengan santainya mengatakan hal itu. Dan sejak kapan dia menjadi murah senyum begitu? Kemana perginya sang pangeran kutub itu? Orang aneh.
"Bukannya Utari istri Abimanyu? dalam pewayangan" lanjutnya.
“Jangan lakukan. Atau kau akan kena gampar dari suami orang”
“Kau sudah bersuami?”
“Belum” jawabku singkat. “Kau akan kena gampar jika kau lakukan pada orang lain” Imbuhku
“Aku hanya melakukannya padamu jadi no problem"
Aku mendecih kecil mendengar omongannya, merasa tak nyaman. Sebaiknya aku membahas hal lain.
“Kenapa tanda tanya?”
“Apanya?”
“Nama kedai ini?”
“Kenapa Kau bertanya?”
“Tak bolehkah?”
“Pentingkah?”
“Kenapa kau tak jawab saja?”
“Kenapa harus?”
“Aisss... kenapa kau begitu menyebalkan? Tak bolehkah aku penasaran?” Tanyaku jengkel. Kenapa dia menanggapi semua pertanyaannku dengan pertanyaan?
Dia tertawa kecil. Memperlihatkan gigi taringnya yang bertumpuk. Terlihat mempesona memang. Tapi itu tidak mengurangi rasa jengkelku padanya. Itu adalah hal yang berbeda.
“Aish... wajahmu terlihat lebih baik sekarang” ia mengusak kepalaku gemas.
Aku langsung menepis tangannya tak suka. Ingatlah aku tidak mengenal cowok aneh di depanku ini, aku hanya mengenalnya sebatas nama. Tapi lihat apa yang dia lakukan? Ah apa yang dia katakan tadi? Wajahku terlihat lebih baik? Memangnya wajahku seperti apa? Dan lebih baik bagaimana? Aku sedang marah sekarang.
“Abi...”
“Hemm...?”
“Apa yang ada dalam otakmu sebenarnya?”
“Hemmm,,, banyak pertanyaan. Tapi aku tidak harus mendapatkan jawaban” ujarnya sambil menopang dagu dihadapanku. Manik matanya yang hitam menatap lurus kearahku.
“Why?” tanyaku bingung. Bukannya pertanyaan seharusnya dijawab?
"Karena mungkin saja pertanyaanku membuatmu tidak nyaman”
“Oh...” ucapku paham.“Kau tak nyaman dengan pertanyaanku tentang tempat ini?”
“Tidak juga”
“Lalu?”
“Apa kah harus aku menjelaskannya?”
“Kenapa tidak?”
“Kenapa harus?”
“Yak... kau melakukannya lagi” sungutku kesal. Dia terkekeh puas. Ia kembali mengulurkan tangannya mengusak kepalaku kasar. Membuatku menggerutu panjang dan pendek namun tak kutepis tangannya kali ini. Jujur saja, aku mulai menyukai perlakuannya padaku. Terasa hangat.
"Pulanglah" ucapnya tiba- tiba.
"Kau mengusirku?" tanyaku agak kaget.
"Hmmm..."
"Kenapa?"
"Kenapa tidak?"
Aku mendengus, takku hiraukan senyuman Abi yang terkembang.
"Pulanglah" ujarnya lagi. Setelah itu dia menghilang entah kemana.
Bahkan aku belum menghabiskan minuman yang ia buatkan untukku. Tapi aku menurut juga. Sudah malam. Bisa merepotkan jika orang rumah mulai bertanya.
"Berapa?"
Alih- alih memberikan bill, kasir itu justru menyerahkan kertas yang terlipat rapi.
Aku akan menjawab semua pertanyaanmu dikunjunganmu berikutnya.
Aku menggelengkan kepalaku perlahan. Apa yang ia bilang? akan menjawab pertanyaanku dikunjunganku berikutnya? Aku tak akan datang atau menemui dia lagi.
***
Aku mematung memandangi tanda di atas kepalaku. Sama seperti sebelumnya, aku hanya berdiri diam tak ada niatan untuk masuk. Entah apa yang membuatku melangkahkan kemari, yang ku tahu aku butuh tempat untuk lari. Dan di sinilah aku sekarang.
Seseorang membuka pintu dari dalam. Abi. Ia pandangi aku tepat di mataku. Mata kelam itu menuntutku memberikan penjelasan. Tapi bibirnya menyunggingkan senyuman miringnya.
. "Baby kau bahkan lupa dimana letak pintu ini? " ucapnya sambil mengamitku untuk masuk. Ia mendudukkanku di sudut ruang yang nyaman. Tanpa bicara lagi ia membuatkan aku minuman yang entah mengapa semua bahannya sudah tersedia di tempat itu.
"meja ini untuk yang membutuhkan privasi" ujarnya seolah tahu pertanyaan dalam benakku.
"Tanda tanya, aku berikan nama itu karena menarik. Bukankah hidup ini penuh tanya?" Apa yang akan terjadi besok, apa yang harus ku lakukan dan bahkan saat kau sampai di sini pun kau langsung banyak bertanya" tangannya kini meletakkan cangkir dengan uap mengepul di hadapanku.
"Minumlah" setelah itu ia beranjak.
"Apakah kau selalu seperti ini?" Abi menghentikan langkahnya. berpikir sejenak.
"Hanya padamu" ucapnya sambil tersenyum. Aku menyesap minumanku sambil tersenyum. Senyuman pertamaku di tempat ini.
Setidaknya aku bisa melupakan masalahku di sini. Meski hanya sejenak.
@Hiqtia makasih