Enorcher
Senyum kecil dari bibir Enorcher seakan meliarkan aura gelap menyelimuti tubuhnya yang duduk terpasung pada sebuah kursi khusus bagi seorang terdakwa yang sedang menjalani proses interogasi. Dari tatapan matanya yang lugas, menunjukkan sikap percaya diri yang tidak terbantah, tanpa dia mengatakannya. Sebenarnya dia membalas tatapan mata Margo yang merasa menang lima puluh satu persen bahwa dia berhasil menangkap pria dengan kemampuan membunuh misterius yang pada bulan ini menjadi buronan bintang tiga.
Didampingi Edi algojo ruang interogasi dari kepolisian yang berbadan kekar yang berdiri di sebelah kanan dan Agen Intel Mario di sebelah kirinya, sepertinya Margo memegang urusan dengan pria berjaket kanvas hitam bertudung yang berjarak lima kaki dari meja interogasinya.
“Enorcher, fuque your nick!" sambil perhatikan satu per satu lembar foto beberapa korban yang terbunuh dengan berbagai macam keadaan. "Menarik. Lu bisa kendalikan korban dan buat skenario kematiannya. Gimana caranya?” Margo beranjak dari kursinya, menghampiri Enorcher yang terpasung.
“Apa lu pernah percaya kalau gue bisa instan pindah tempat?” Enorcher balik tanya.
“Maksudnya?”
“Maksud gue pindah dari tempat asal ke tempat yang gue tuju dalam hitungan detik.”
“Dia ngomong apa?” bisik Edi lirih ke Mario.
“Dia ngaco. Kelihatan dari senyumnya ada gawar-gawarnya gitu, ” jawab Mario, maksud dia "gawar" adalah enggak waras.
“Laporan investigasi gue bisa bermasalah kalau lu halu gitu. Bantu gue biar enggak nulis narasi fantastik di laporan. Gimana kalau lu ubah sudut pandangnya? Menurut ilmu fisika atau psikologi misalnya," kata Margo.
“Ah, gimana, ya?" Enorcher sedikit pikirkan saran itu. "Tapi bener kalau gue bisa ngilang.”
“Harusnya Margo nanya ilmu sulap,” bisik Edi ke Mario.
“Bodo amat,” Mario tidak peduli.
“Lu lakuin sendirian?” lanjut Margo.
“Pernah. Tapi biasa lakuin sama diri gue yang lain. Kadang kalau situasinya susah gue minta bantuan diri gue yang lainnya lagi,” jawab Enorcher tidak menunjukkan adanya tanda mengarang secara spontan sebagaimana Margo lihat, yakin mengatakannya.
“Mungkin maksudnya, temen dia yang namanya Enorcher,” komentar Edi.
“Mungkin bentar lagi Enorcher satunya datang,” balas Mario.
“Lebih jelasnya?” tanya Margo.
“Gue bisa lebih dari satu.”
“Sampai berapa banyak?”
“Selama ini paling banyak tiga, tapi lebih sering berdua.”
“Semacam jurus seribu bayangan gitu?”
“Enggak nyampe seribu,” jawab Enorcher.
“BACOT!" Margo membentak. "Enggak usah halu, goblok! Langsung ke intinya! Gimana cara lu membunuh?” Margo mulai pasang wajah serius.
“Okay, gue tunjukkin. Tapi gue tanya sekali lagi, apa lu percaya kalau gue bisa ngilang?”
“Sama sekali tidak,” tegas Margo, jawabnya formal.
“Gue enggak ngebunuh di hari biasa, karena... saya membunuh pada hari yang tidak terdaftar.”
“Hari apa? Tidak terdaftar?” Margo belum dapat maksudnya.
“Kadang di hari Versteta, Bihvolach dan Nascosta.”
“Hari apa itu?”
“Hari yang tidak terdaftar.”
Margo mengernyit. “Terus seharinya dua empat jam?”
“Gue enggak tahu pasti karena jumlah jamnya berubah-ubah. Kadang begitu cepat kadang begitu lambat.”
“Di mana hari itu di antara Minggu sampai Sabtu?”
“Enggak nentu.”
“Apa itu hari libur?”
“Bisa hari libur, bisa enggak.”
“Dalam minggu ini jatuh tanggal berapa hari itu?”
“Tanggal yang tidak terdaftar. Kalau dalam minggu ini, setelah hari ini dan sebelum besok ada Hari Versteta yang jatuh pada tanggal dua puluh kuevo.”
“Dua puluh kuevo? Kuevo itu angka? Ganjil, genap, prima?
"Belum tahu juga, tapi kuevo memang angka. Angka yang tidak terdaftar.”
"Pakai kalender mana, sih dia? Kok bisa enggak terdaftar gitu?" bisik Edi ke Mario.
"Entah waktu dunia mana," balas Mario.
“Ck!" Uap dalam otak Margo mulai naik, dia mulai kesal. “Hemh, okay. Sekarang bikin gue percaya!”
“Okay. Pertama, lihat dua rekan lu!" Enorcher maksud adalah Edi dan Mario. Margo balik badan, terkejut dengan apa yang terjadi pada kedua rekannya, sungguh tidak dapat dipercaya!
“Edi, Mario!" segera Margo menghampiri kedua rekannya yang tergeletak di belakang bangku interogasi. Mario periksa nadi dan beberapa bagian kulit mereka berdua. Pingsan, tidak ada luka pada tubuhnya, tidak ada racun atau obat pada mulut dan lubang hidungnya. Margo berpaling kepada Enorcher, tapi pemandangannya kali ini tidak kalah mencengangkan.
“Enorcher!” Mata Margo memindai ke semua sudut ruang interogasi, percuma. “Gimana mungkin!? Enorcher... hilang ke mana?" Magro ingat suatu hal, bergegas memeriksa pasung pada kursi penyekap Enorcher. "Masih terkunci!? Gimana bisa!?”
Tiba-tiba pandangan Mario menjadi hitam, gelap.
Perlahan, gambaran tempat keberadan semakin jelas, Mario membuka mata. Dia sadar bahwa dia sedang berada dalam kantornya. Dihadapan arahnya memandang ke pintu, seorang wanita berpakaian formal membukanya, masuk sambil membawa segelas minuman -menghampiri Margo.
“Pagi! Apa kabar, Penyelidik?”
“Baik, aku lebih dulu kebangun sebelum kamu datang. Kamu ngerasa aneh enggak hari ini, Irana?”
“Enggak, kayaknya hari yang aneh khusus buat kamu,” jawab Irana sambil menaruh segelas minuman yang dia bawa ke atas meja kerja Margo. “Diminum! Masih anget.”
“Kopi moka kesukaan aku, makasih ya!” Margo minum sedikit. “Apa yang aneh sama aku hari ini?”
“Hmhm, kayaknya sih, Enorcher mau bunuh kamu pada tanggal dua puluh kuevo, tepatnya hari ini, Hari Vesteta,” jawaban Irana itu mengejutkan Mario, membuatnya dua kali lebih sadar daripada efek seseduh kopi moka.
“Tapi sekarang Hari Rabu tanggal dua puluh tiga.”
“Enggak, itu kemarin, Margo. Lihat kalendermu!” sambil menunjuk kalender meja daily fiew.
Margo pastikan apa yang Irana bilang barusan, mata kepalanya sendiri melihat daily fiew kalender di sebelah kanan di atas meja kerjanya, karena itu Margo terkejut kali ini dengan yang dia lihat. Kalender menunjukkan Hari Vesteta tanggal dua puluh kuevo yang tidak sedang tanggal merah. Margo membolak-balik kalendernya ke tanggal sebelum dan sesudah tanggal aneh itu. Dua puluh tiga, dua puluh kuevo, dua puluh empat. Jadinya, Margo beralih menatap Irana.
“Aku lagi mimpi, ya? Kamu masuk dalam mimpiku?”
Irana mengernyit. “Entahlah. Apa kamu percaya adanya hari ini, Margo?”
“Enggak bisa dipercaya. Halu banget, aku pasti lagi mimpi sekarang. Kopi moka ini juga dalam mimpi. Padahal aku baru aja kebangun tapi masih dalam mimpi. Lucid dream, nih? Ugh!? Uuugh!?” Margo mendadak mual. “Erh! Kepalaku pusing, Irana. Uugh!? Kamu... bikin kopi moka apaan, sih?”
“Bukan aku, itu kopi dari Enorcher. Dia tahu kamu suka.”
Margo merasa detak jantungnya menjadi sangat kuat dan menyesakkan. Dadanya bersandar pada meja kerja transparan dengan posisi masih duduk, tubuhnya kejang. Terakhir, matanya menatap kosong.
"Inikah yang dia maksud…" tapi sisa kesadarannya lebih dulu habis. Pandanganya mulai kabur hingga dipenuhi kegelapan.
Di dunia nyata hanya Irana seorang yang masih tinggal ketika pelayat lain sudah pergi. Dia bersimpuh sambil meringkuh nisan yang bertuliskan nama Margo Ardenis, 14/03/1990 – 23/07/2019. Tidak ada seorang pun lagi di samping Irana yang paling lama tersendu meratap.
“Jadi enggak enak sama Margo, tanggal kematiannya salah tulis di nisan,” kata seorang bersuara pria yang membuat Irana menoleh ke belakang.
Irana perhatikan sosok pria tersenyum berdiri yang berjaket kanvas hitam dan bertudung di kepalanya, seolah aura gelap menyelimuti tubuhnya dengan liar.
DA_Prantoko
Batam, 14 Juli 2019
@Kang_Isa wew. Makasih Kak Isa 😊 maaf kalau EBI-nya belum sempurna.