Ashira dan Kematian
Kecuali jika waktu berkenan untuk berputar kembali, menciptakan kilas balik yang indah nan bahagia, dimana Ashira masih bisa bergandengan tangan dengan Gabriel, dan memakan es krim bersama di kedai dekat apartemen mereka. Mungkin garis takdir memang sudah demikian, yakni Gabriel pergi dan melepas gandengan itu. Ashira mengakui bahwa ia gagal menjaga Gabriel.
Seperti hari biasa, Ashira, atau yang kerap dipanggil Sher itu duduk termenung di atap apartemen yang memiliki dua puluh lantai. Gaun putih selututnya melayang-layang terkena angin. Kakinya ia ayunkan pelan, seperti ingin menendang sesuatu tanpa semangat. Matanya sayu memandang luasnya pelataran kota dengan keramaian orang yang penuh tawa. Ia berpikir, kenapa hanya ia yang bersedih dan pilu?
Disampingnya ada pisau tajam yang bisa menembus kulitnya kapan saja. Tak hanya itu, ada juga beberapa obat-obatan yang ia dapat secara illegal, yang sewaktu-waktu bisa menyesakkan jantungnya kala ia menelannya. Ia mau hidupnya berakhir, ia mau bersama Gabriel selekas mungkin.
Gabriel, pujaannya yang sebulan lalu memakaikan cincin di jari manisnya, kini tak ada lagi di sampingnya gara-gara kelakuan seseorang yang ceroboh. Kalau bukan karena pencuri itu, pasti gabriel masih hidup dan akan membelikan es krim untuknya. Ah, pencuri sialan. Matilah kau setelah ini.
Ashira selalu berpikir, entah hidup siapa dulu yang harus berakhir, berhenti melaju dengan waktu. Hidupnya dahulu atau hidup pencuri itu dulu? Jika hidupnya dulu yang di akhiri, maka pencuri itu akan tetap berkeliaran secara leluasa. Namun jika pencuri itu yang harus lebih dulu diakhiri, maka Ashira tak dapat menyaksikan bagaimana si pencuri itu meminta maaf pada Gabriel. Berakhir secara bersamaan? Ah, tampaknya itu ide yang bagus.
“Sher!”
“Sadar!”
“ Sadar! Kumohon!”
Suara itu makin terdengar di telinganya, berisik dan Ashira membencinya. Perlahan ia membuka matanya saat suara itu makin keras. Bau obat-obatan langsung menyengat ke indra penciumannya. Temaram lampu di atasnya menyilaukan mata, dan seorang perempuan di sampingnya sangat menganggu.
“Sial!” umpat Ashira dalam hati.
Lagi-lagi ia harus menelan kegagalan.
“Sher,” panggil perempuan itu lembut, penuh dengan kehati-hatian.
“Pencuri itu sekarang dimana?” tanya Ashira pada Arum, si perempuan.
“Pencuri mana yang kamu maksud, Sher?”
“Pencuri yang membuat Gabriel pergi.”
“Sher, sudah. Kamu belum pulih, pasti pikiranmu masih kemana-mana. Tadi aku menemukanmu pingsan di atap.”
Ashira membelalakkan mata, “dengan siapa? Kenapa aku pingsan?”
“sendiri. Kamu pingsan karena kelelahan.” Jelas Arum. “Aku keluar dulu. Kamu istirahat.”
Arum keluar dari ruangan Ashira. Terlihat ia sangat gusar, berjalan mondar-mandir di depan ruang itu sambil menggigit ujung kuku jari telunjuknya.
“Gimana keadaannya?” Wildan datang dengan suara pelan sambil melihat keadaan sekitar.
Arum berdiri tegak, menegang, ingin menampar Wildan namun tidak jadi setelah melihat Wildan yang tampak kusut ditambah lengan kanan yang terbalut perban.
“Seharusnya kamu lebih hati-hati. Jangan menampakkan diri di depannya!”
Wildan menarik tangan Arum agar mengikuti langkahnya. “Ayo, jangan disini.”
Urusan akan tambah panjang saat Ashira melihat keberadaan Wildan.
“Bagaimana bisa dia menemukan kamu?” tanya Arum dengan suara penuh penekanan.
“Aku nggak tau, Rum. Tiba-tiba dia masuk ke apartemenku dengan pisau tajam di tangannya. Wajahnya juga sangat seram.”
Arum melihat lengan Wildan yang sudah dibalut perban. Untung tadi Arum datang, jika tidak, mungkin wildan akan bernasib sama dengan Gabriel.
“Sher harus segera dilarikan—”
“sssttt.. jangan ikut campur soal keadaan Sher kalau kamu tidak mau bernasib seperti Gabriel.”
“Tapi..” Wildan menghentikan ucapannya.
“Aku yang akan mengurusnya. Tugasmu hanya memastikan agar keluarga Gabriel tidak tahu soal ini. Jika mereka tahu, mereka akan memanfaatkan keadaan dan menjatuhkan Sher..”
“Arrrggghhh... kehidupan emang makin menggila.” Wildan mengacak-acak rambut keritingnya.
“Obati lukamu sampai sembuh.” Arum memberi Wildan beberapa lembar uang. “Jangan berpenampilan seperti ini, kamu bisa lebih baik dari ini.”
Arum bergegas pergi kembali ke ruangan Ashira. Takut kalau terjadi apa-apa dengan Ashira tanpa pengawasannya.
Sementara Wildan masih berdiri. Ia memperhatikan penampilannya. Rambut keriting, alis tebal, kaos oblong ketat, celana ripped jeans, dan beberapa tato di lengan, juga jam mahal pemberian Arum. Sebuah penampilan berandal yang cukup sukses, bukan? Tambah tampang yang menjanjikan.
*****
“Regan tahu tentang ini?!”
Seperti ada petir yang menyambarnya secara mendadak, Arum tiba-tiba terduduk lemas di lantai.
“Sudahlah, Rum. Sudah sepatutnya Regan tahu.”
“Kamu gila, ya, Wil? Bagaimana Ashira akan baik-baik saja kalau Regan tahu soal ini?”
Wildan mengedikkan bahu, tak mau tahu. Ia malah menggigit apel yang disajikan di atas meja makan apartemennya.
“kamu harus pindah dari apartemen ini.” Ujar Arum.
“Apa?!” Wildan tersedak mendengar pernyataan Arum. “Nggak mau. Nggak ada apartemen yang lebih bagus dari ini.”
“Jangan tinggal di apartemen. Cari saja kontrakan yang murah dan tinggal kesana.”
Wildan tercengang. Apa yang salah dengan otak Arum? Memangnya apa yang Wildan perbuat sampai ia harus menerima hukuman seperti itu?
Hukuman?
Ya, pernyataan Arum di atas adalah sebuah hukuman bagi Wildan karena membiarkan Regan tau tentang semua ini.
“Bukan aku yang meberitahu Regan tentang ini, Rum.” Wildan membela diri.
“Iya, aku tahu. Tapi kamu sudah membiarkan Regan mengetahui semua ini dan tidak berusaha mencegahnya.”
Wildan memutar bola matanya, jengah. “Lama-lama kamu makin gila. Bagaimana Regan tidak tahu sementara Gabriel adalah kakak kandungnya, dan seluruh keluarganya bekerja di badan hukum?”
“tunggu saja, kamu dulu yang akan menerima timbal baliknya.”
“setelah itu kamu. Lalu, Ashira Clawn.” Wildan tersenyum miring, melanjutkan acara makan apelnya.
Sementara Arum telah berhasil dibuat geram oleh Wildan. Sebenarnya jantungnya sudah tak cukup kuat untuk berdegup lebih kencang. Tak bisa disembunyikan bahwa Arum sangat ketakutan. Wildan tersenyum puas melihat Arum yang sudah berkeringat dingin.
*****
Ashira menciumi aroma bunga mawar dari Arum yang diletakkan di nakas tempat ia dirawat. Pagi ini agak mendung, awan-awan putih bersembunyi dibalik kelabu. Sungguh disayangkan, cuacanya sangat berbalik dengan suasana hati Ashira yang bahagia.
“Dari Gabriel.” Katanya sambil tersenyum dan tetap menciumi aroma mawar itu.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Ashira menoleh dan mendapati Arum datang dengan sekeranjang buah segar dan beberapa buku komik kesukaan Ashira saat masih kecil.
“Kenapa membawa komik, Rum?” tanya Ashira, meletakkan kembali mawar itu ke dalam fasnya.
“agar kamu tidak bosan di tempat ini, Sher.”
Ashira mengangguk. “Kapan aku boleh keluar?”
“Sampai sembuh.”
“Aku sudah sembuh.”
Arum tersenyum, “Kita tidak akan keluar dari sini sebelum semua urusannya beres.”
“Urusan apa?”
Arum menggenggam kedua tangan Ashira, menatap Ashira dengan penuh rasa sayang, laiknya seorang kakak yang ingin melindungi adiknya. “Kita akan memulai hidup baru di tempat yang jauh dengan orang-orang yang belum kita kenal.”
Ashira segera melepaskan tangannya dan membulatkan mata. “Kenapa, Rum?”
Arum menggeleng. Tidak mungkin ia mengatakan semuanya. Arum tidak tega melihat kondisi Ashira. Ashira sudah seperti adiknya sendiri, meski pada kenyataannya mereka adalah orang yang dipertemukan sebab kebencian. Arum pernah membenci Ashira, namun perasaan benci itu hilang tatkala ia melihat Ashira merawat Gabriel dengan rasa sayang yang tulus saat gabriel masih ada di dunia yang sama.
“Kita harus mengunjungi Gabriel terlebih dahulu sebelum pergi.” Arum mengambil sebuah jeruk untuk diberikan pada Ashira.
“Jangan pergi dulu sebelum Regan kesini. Regan bilang dia akan kesini untuk menjengukku.”
Sontak lagi-lagi Arum merasa seperti tersambar petir secara dadakan. “Kapan kamu bertemu Regan?”
“Kemarin, saat kamu keluar dari sini.”
“Jangan lagi bertemu dengannya.”
“Kenapa?”
“Tidak boleh. Kamu harus menghindarinya.”
Ashira mengangguk. namun ia tak akan menuruti Arum. Dia harus bertemu Regan untuk meberitahunya tentang siapa yang sudah membuat Gabriel pergi. Regan harus membantunya untuk menangkap si pencuri itu.
Setelah yakin akan jawaban Ashira, Arum keluar ke kamar mandi untuk mencuci muka. Matanya terasa sangat berat karena semalaman ia terjaga, khawatir dengan Wildan dan Ashira. Wajahnya terasa segar seteah ia basuh dengan air. Namun, tak lama kemudian rasa segar itu berubah menjadi panik tatkala ada seseorang yang sengaja menguncinya di kamar mandi. Berulang kali Arum menggedor pintu itu, sayangnya hasilnya tetap nihil. Ia bersusah payah membuka pintu itu. Lalu beberapa saat kemudian ia menggunakan kepalanya untuk berpikir. Ia segera menghubungi Wildan agar mengeluarkannya dari kamar mandi.
Cepat ke rumah sakit. Ashira dalam bahaya. Ada orang yang sengaja mengurungku di kamar mandi.
Tulis Arum melalui pesan teks yang dikirim ke Wildan.
Sementara di ruangannya, Ashira memang sudah menunggu kedatangan Regan. Ia terlihat lebih ceria ketika melihat Regan datang dengan membawa buku dongeng Gabriel.
“Selamat pagi, Kak Sher.” Sapa Regan dengan senyum yang sangat lebar. “Maaf baru bisa datang karena sibuk mengurus kasus kak Gabriel.”
Ashira mengangguk. “Kapan pelakunya bisa ditangkap? Dan apa hukumannya?”
“sesegera mungkin. Dan hukumannya adalah mati. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata, dan nyawa dibalas nyawa. Begitu hukum yang harusnya berlaku dalam hidup, Kak.” Regan tampak serius. “Kak Sher kelihatan bahagia hari ini.”
“Iya, Gan. Gabriel datang dan membawa bunga untukku.” Ujar Ashira penuh percaya diri.
Regan menanggapinya dengan biasa. Pernah sesekali ia tertegun, tapi sekarang tidak lagi.
“Dasar. Lagi-lagi halu.” Desisnya. “Kak Gabriel sudah tidak mungkin kesini, Kak.” Tambahnya dengan suara normal.
Regan membuka-buka isi tasnya, berusaha mencari sesuatu. Ia terlihat tergesa sebelum Arum berhasil keluar dari kamar mandi. Namun sial, keberuntungan tak berpihak padanya. Tiba-tiba pintu ruangan itu didobrak oleh Wildan. Suasana menjadi kacau saat Wildan dengan spontannya meninju Regan hingga tersungkur ke lantai.
“Sialan!” umpat Wildan.
Ashira yang amat terkejut menutup mulutnya, setelah itu berteriak heboh seperti ketakutan sendiri. Ia meringkuk ke sudut, memeluk lututnya dan berdesis pelan, “dia pencurinya, dia pencurinya, dia pencurinya. “ kalimat itu terus menerus keluar dari bibirnya.
Keringat dingin makin membasahi kepala Ashira ketika ia melihat Regan sudah tidak bisa melawan Wildan. Kedua tangannya dikunci oleh wildan, tinggal siap-siap saja kapan Wildan akan mendorongnya. Barusaja Wildan akan melakukan aksinya, Ashira berdiri dan berlari ke arah Wildan. Ia menggigit lengan Wildan yang kemarin sempat terluka, tergores pisau karenanya.
Regan berhasil meloloskan diri. Ia merapikan seluruh bawaannya dan melesat pergi dengan ketakutan. Senjata yang ia bawa tak cukup untuk melawan orang lain selain Ashira.
Ashira menjertit-jerit tidak jelas. Ia ingin mengusir Wildan dari ruangannya. Namun yang terjadi Wildan malah semakin mendekat. Wajah khawatir Wildan dan uluran tangan Wildan, dimata Ashira terlihat seperti ancaman yang menakutkan.
“jangan mendekat!” teriak Ashira kencang.
Beberapa perawat dan dokter masuk untuk melihat keadaan. Mereka langsung membius Ashira dan menyuruh Wildan untuk keluar agar Ashira bisa beristirahat.
Arum sudah keluar dari kamar mandi berkat seseorang yang mendengar teriakannya. Ia segera menemui Wildan yang terduduk lemas di kursi depan ruangan Ashira sambil memegangi lengannya yang berdarah.
“Gimana Ashira?” tanya Arum khawatir.
“Sudah ditenangkan oleh dokter dan perawat.”
“Tanganmu?” Arum menyentuh sedikit lengan Wildan yang berdarah.
“Digigit Ashira.”
“Ayo, diobati lagi.” Ajak Arum. Tetapi Wildan menolaknya. Ia menggeleng dan tak mau beranjak. Ia mengintip Ashira dari balik jendela. Gadis itu sudah terlelap, seperti seorang anak kecil yang tertidur karena lelah habis bermain.
“Sudah, Wil. Jangan terlalu khawatir.” Arum mengelus punggung Wildan.
“Aku kangen dia, Rum. Aku nggak bisa lupa soal Sher.”
“Kamu harus lupain dia.”
“Nggak,Rum. Meski sekarang kondisinya begitu, tapi aku tetap tidak bisa pura-pura untuk membencinya.”
“Kenapa Sher yang kamu pilih untuk menerima perasaan kamu?”
Wildan menghela nafas. “Karena dia Ashira Clawn. Perempuan yang sangat manis sebelum mengenal Gabriel.”
“Sher tidak pernah mengenal kamu, Wil.”
“Iya aku tahu. Seharusnya aku dulu yang mengenalkan diri pada Sher, sebelum Gabriel memulainya dan membuatnya menjadi demikian.”
Arum menggeleng. Ia tahu bagaimana perasaan Wildan, sayangnya ia tidak bisa berbuat apa-apa.
*****
Sher tersadar dari tidur nyenyaknya. Ia berdiri, berjalan gontai menuju jendela, membuka tirai dan membiarkan cahaya matahari masuk. Sore sudah menyapanya. Matahari yang sebentar lagi tenggelam telah memberinya salam. Lagi-lagi ia kehilangan keceriaan. Matahari yang akan terbenam itu ia lihat sebagai Gabriel, yang tadi meneranginya, membawanya ke dalam suasana hati yang ceria, kini perlahan pergi meninggalkannya seorang diri. Meski ia sempat memperlihatkan senjanya, namun senja itu akan tetap hilang berganti malam yang sangat gelap. Disitulah letak sepi nan gelap bagi Ashira, dimana yang ia jalani selama ini hanya sebuah sederet hidup yang gelap, tanpa Gabriel sebagai penerangnya.
Ashira membuka jendela itu dengan lebar. Ruang tempat ia dirawat lumayan tinggi. Di bawah, orang-orang terlihat sedang bergurau. Mereka masing-masing punya teman untuk diajak bicara. Sher mengambil kursi. Mungkin ia bisa menghancurkan momen gurauan mereka. Yaitu dengan membuat kehebohan. Pasti mereka akan terkejut dan ketakutan.
Sher tersenyum. Ia hanya perlu melangkah untuk membawa dirinya melayang, jatuh bersama terpaan angin. Kursi yang ia gunakan cukup tinggi. Sempurna untuk melangkah. Tangannya sudah ia regangkan, matanya sudah terpejam, tinggal menghitung satu; dua; tiga; dan terbang sebelum akhirnya seseorang mencegahnya dari belakang.
“Sher, jangan putus asa.” Kata orang itu, lembut dan pelan.
Dia terlihat lemah, namun Sher dapat mengenalinya dengan aroma tubuh itu.
“Turun, Sher. Jangan membuang hidupmu.” Tambahnya.
Ashira tertegun melihat orang di hadapannya. Wajah itu masih rupawan meski pucat, tangannya dingin, dan matanya kosong. Ashira dapat melihatnya dengan jelas, sampai-sampai ia sendiri malah terjatuh ke lantai daking tak percayanya.
“Gab..” panggilnya pelan. Isakan tangisnya dimulai bersamaan dengan pikirannya yang kacau.
Ini fana atau nyata? Gabriel berdiri di hadapannya dan memegang tangannya? Ya Tuhan, apa Sher memang sudah diijinkan untuk bertemu Gabriel? Apa mereka telah disatukan dalam dunia yang baru?
Ashira tersenyum, berdiri dan meraba pipi itu.
“Gab..” panggilnya lagi.
“Hiduplah dengan baik, Sher. Aku selalu di dekatmu.” Katanya.
“Kamu bohong. Kamu tidak lagi menemaniku setiap hari.”
“Sulit untuk melakukannya lagi.” Gabriel duduk di ranjang tempat Ashira dirawat. “Sini, duduk.”
Ashira menurutinya, “Kamu baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku, seharusnya kamu lebih mengkhawatirkan dirimu sendiri.”
Ashira mengelap air matanya. Ia masih sedikit tersedu melihat Gabriel duduk bersandingan dengannya.
“Sher, jangan menemui Regan.” Pinta Gabriel.
Mata Ashira langsung melotot. Ia menarik tubuhnya ke belakang, tak mau dekat-dekat dengan orang itu.
“Pergi!” usir Ashira keras. “Pergi kamu!”
Ashira mundur beberapa langkah, menemukan vas bunga di atas nakas. Ia membuang seluruh mawar yang ada disana, lalu memecahkan vasnya dan mengambil beberapa bagian kaca yang kiranya cukup tajam sebagai senjata.
“Pergi!” teriaknya lagi, lalu tersenyum mengintimidasi. “Atau pergi saja.”
“Sher, sadar!” seseorang menariknya dari belakang.
Pecahan vas bunga yang dibawa Ashira terlempar entah kemana. Gadis itu sekarang sudah tak membawa apapun. Ia meronta, meminta untuk dilepaskan. Namun asal kalian tahu saja, Arum tidak akan melepaskannya. Seberapapun usaha Ashira untuk lepas, kekuatan Arum jauh lebih kuat.
“Pergi dari sini, Wil!” Arum meminta Wildan untuk keluar. “Panggil dokter.”
Beberapa saat kemudian setelah Wildan lari dari tempat itu, seorang dokter dan seorang perawat membius lengan Ashira sampai gadis itu tak sadarkan diri. Kondisinya masih parah. Seharusnya Arum sudah bisa membawa Ashira tadi pagi kalau saja Regan tidak datang kesini dan menghancurkan semuanya.
Arum menghela nafas memperhatikan Ashira yang sudah tertidur di atas ranjang. Malangnya nasib gadis itu. Hingga kini Arum masih selalu berusaha untuk melindunginya.
Mengingat Wildan, Arum lalu pergi keluar untuk menemui laki-laki itu. Ia akan memarahinya habis-habisan. Ia tidak terima karena telah membuat Ashira hampir mencelakai orang lain.
Dilihatnya Wildan sedang duduk termenung di depan air mancur, memperhatikan aliran air yang berjatuhan secara rapi dan senada. Seandainya hidup juga ditata demikian, rapi dan senada, pasti segalanya akan baik-baik saja.
“Wildan!” teriak Arum. Tanpa basa-basi, ia langsung menampar pipi Wildan dengan keras. “Sudah kubilang bahwa jangan memperlihatkan diri di depan Sher!”
“Sher mau bunuh diri!” teriak Wildan tak mau kalah. Yang ia lakukan hanyalah ingin melindungi Ashira, tapi Arum selalu menanggapinya dengan salah.
Arum menutup wajahnya, merasa frustasi dengan semua keadaan ini. “Kita harus segera membawa Sher pergi dari sini.”
“Oh, bagus. Bawa pergi aja, ke rumah sakit jiwa!” ceplos Wildan saking jengkelnya.
Dan tak butuh waktu lama lagi, tamparan keras dari Arum langsung mendarat di pipi Wildan.
“Jangan sembarangan bicara. Sher tidak gila, dia hanya sedang banyak pikiran.”
“Terserah kalau mau melihat Sher terus-terusan begini.”
“Cari cara agar Regan tidak berhasil membuka kasus Gabriel.”
“Untuk apa? Sher tidak butuh perlindungan dari kita, yang dibutuhkan hanya perlindungan dari Regan. Dia lebih percaya Regan daripada kita.”
“Itu karena Sher belum tahu tentang semua ini!”
Wildan tersenyum miring, “Dasar gila.”
*****
“Selamat pagi, Sher.” Sapa seseorang yang sedang membuka tirai ruang Ashira.
Ashira memicingkan matanya karena terkena silau matahari yang sudah beberapa jam lalu terbit. Ia tersenyum melihat siapa yang datang. Ia duduk di ranjang, mengamati gelagat orang itu dan ingin memeluknya.
“Aku pasti mimpi.” Ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari orang itu.
“Nggak, Sher.” Orang itu mengelus rambut Ashira. “Aku kangen kamu.”
“Gab..” panggil Ashira.
“Iya, aku Gabriel, orang yang mencintai kamu.”
“Aku tahu.” Jawabnya tersenyum.
Tak hentinya tatapan mereka beradu. Kehangatan menyelimuti. Mereka seperti sepasang sejoli yang barusaja melakukan hubungan jarak jauh.
“Sher, jangan sakit.” Ujar Gabriel.
“Aku sehat, Gab. Kamu yang sakit. Lihat, kamu sangat pucat dan tubuhmu dingin.”
“Aku lebih sehat dari yang kamu kira.” Canda Gabriel, menyentil ujung hidung Ashira.
Gabriel mengulurkan tangannya dan Ashira langsung menerimanya.
“Mau kemana?”
“Ke bawah untuk melihat kondisi Arum.”
“Arum kenapa?” Ashira terkejut.
Gabriel tetap menarik tangan Ashira menuju ruang dimana Arum dirawat dan belum sadarkan diri.
“Arum kenapa, Gab?” tanyanya lagi tatkala melihat kondisi Arum.
“Seseorang sudah melukainya.”
“Siapa?”
“Tanyakan saja pada Arum setelah sadar.” Gabriel melepas gandengan tangan itu. “Aku pergi dulu.”
Ashira menhentikan Gabriel, ia menarik tangan Gabriel dengan sangat kuat, tak mau pisah lagi.
“Aku mau ikut kamu.”
“Nggak boleh. Belum waktunya. Kamu harus berjalan bersama waktu dan membiarkan semuanya. Kamu berhak menjalani hidup yang baik-baik saja.”
“Aku nggak pernah baik-baik saja sejak kamu pergi.”
“kamu akan baik-baik saja kalau kamu tidak menemui Regan lagi.”
Ashira tertegun. Kali ini ia tidak langsung ketakutan dan memecahkan vas bunga, namun yang ia lakukan adalah sebaliknya. Ia tetap menatap gabriel, menanti alasannya.
“Kamu tidak harus percaya siapa-siapa. Pergi saja dengan Arum dan memulai hidup yang baru di tempat yang sangat jauh dari sini.”
“Regan yang akan membantumu, Gab.”
“Dia tidak akan membantuku, dia hanya ingin memanfaatkanmu.”
“Dia berusaha keras untuk menyelesaikan kasusmu.”
“Jangan bawa-bawa omong kosong itu lagi. Sudah kubilang, Regan tidak akan melakukannya. Kamu harus menghindari Regan.”
Ashira menggeleng. “aku percaya dengannya. Dia pasti akan menangkap pencuri itu.”
“Sher, jangan percaya siapapun selain orang-orang yang kamu cintai. Mereka bisa saja bohong. Tolong turuti perkataanku karena aku mencintaimu.”
“Regan yang akan membantu kamu, Gab. Ngerti nggak, sih?”
“Dia tidak akan melakukannya, Sher. Percaya sama aku. Pergi saja dengan Arum setelah Arum sadar. Jalani hidupmu dengan baik-baik saja dan jangan sakit lagi.”
“Gab.. kenapa?”
“Sher, sudah lupakan semua tentang kejadian sebulan silam.”
“Tapi pencuri itu sudah menghancurkan semuanya.”
“tidak ada pencuri yang kamu maksud. Pencuri itu hanya bayanganmu saja. Tolong, jangan lagi menemui Regan dan mempercayai segala celotehnya.”
Ashira menggeleng.
“Terserah. Aku pergi dulu.” Gabriel berjalan maju dengan pelan, meninggalkan Ashira dalam lamunannya.
“Gab..” lirih Ashira.
“Sher, mentari akan tenggelam saat tiba waktunya. Begitu juga manusia. Mereka juga akan pergi, sama seperti mentari yang meninggalkan hiruk pikuk keramaian siang, dan akan digantikan bulan di langit yang hitam.”
Tiba-tiba kalimat itu berputar di otaknya, seperti kaset rusak yang hidup dengan sendirinya dan memutar semua kenangan di masa silam. Ada yang pahit, ada yang manis, ada yang sepah. Semua berputar secara otomatis.
Ashira masih membeku di depan tempat Arum terbaring.
“Tapi, Sher, yang perlu kamu tahu adalah bahwa sebenarnya mentari tidak benar-benar pergi meninggalkan buminya. Ia akan menyinari siang, menemani manusia melakukan aktivitasnya. Kemudian saat menjelang malam, ia akan memberi senja untuk dititipi salam. Saat malam hari, ia menitipkan sinarnya pada rembulan. Dan menjelang pagi, ia menampilkan fajar untuk sandaran harapan. Lalu saat hujan, matahari bersembunyi sibalik gumpalan awan, lalu akan menggantinya dengan pelangi saat hujan reda. Dia tidak pernah benar-benar meninggalkan kita, membiarkan kita hidup sendiri dan merasa sepi.”
Lagi dan lagi. Ashira mundur beberapa langkah hingga punggungnya membentur tembok, lalu secara perlahan tubuh itu merosot. Kakinya menekuk. Ia lipat kedua tangannya dan ia topangkan di atas lututnya. Posisi nyaman untuk merenung.
Ia barusaja bertemu Gabriel. Dan itu nyata. Namun Gabriel melarangnya untuk mempercayai Regan. Padahal tidak ada yang bisa Ashira harapkan selain Regan. Pencuri itu harus segera ditangkap.
“Kak Sher.”
Ashira mendongak, mendapati Regan berdiri di hadapannya dengan wajah hangat.
“Kenapa disini, Kak?”
Ashira berdiri, gagap sendiri mau bilang bagaimana. “Anu.. Arum..”
Regan menautkan alis, menanti jawaban Ashira.
“Aku pergi dulu, Gan.”
Regan mencekal lengan Ashira saat Ashira akan kabur darinya. Lengannya sangat kuat, sementara Ashira tak punya tenaga lebih untuk melawan.
“Kak Sher udah nggak bisa pergi kemana-mana lagi.”
“Ke-kenapa?”
“Kak Sher harus ikut dengan Regan.”
“Kemana?”
“Ke tempat yang pantas untuk Kak Sher.”
Ashira terus berusaha membebaskan tangannya dari Regan. Namun lama-lama cekalan itu malah bertambah erat. Ia berharap seseorang akan menolongnya. Namun mustahil kiranya, sebab Ashira tidak berada dalam sebuah cerita yang selalu memperlihatkan keberuntungan.
“Kemana, Gan?”
“Ke tempat yang sama dengan Kak Gabriel? Atau ke tempat yang sangat pengap dan sunyi?”
“Nggak mau, lepasin.”
“Nggak bisa dilepasin kalau Kak Sher nggak mau ikut Regan.”
“Pencurinya harus segera kamu tangkap, Gan.” Ahira masih terus berusaha melepaskan cengekaraman tangan Regan.
“Sudah saya lakukan, Kak.”
“Lepaskan saya, Regan.” Pinta Ashira. Ia sudah mulai ketakutan.
Regan melepaskannya. Namun tak membiarkan Ashira lari karena sebuah ancaman yang dilontarkannya. Regan membekap Ashira hingga gadis itu tidak sadarkan diri, lalu membawanya ke sebuah tempat yang agak gelap dengan beberapa mobil disana.
“Bangun!” Regan menampar pipi Ashira.
“Gimana tidurnya, Kak? Nyenyak?” tanya Regan
Ashira mendapati dirinya di ikat di sebuah tiang. Ia memperhatikan keadaan sekitar. Sepi, tak ada orang sama sekali. Hanya ada beberapa mobil yang sudah lama tidak digunakan pemiliknya.
Regan mengeluarkan sebuah pisau tajam dari tasnya. Ia melihatnya dengan mata berbinar, lalu menatap Ashira.
“Kak Sher pernah menyentuh benda ini?” tanya Regan.
Ashira menggeleng. “Pencuri itu yang pernah menyentuhnya.”
“Ya, memang si pencuri itu yang pernah menyentuhnya hingga membuat seseorang pergi. Kak Sher merasa benci dengan pencuri itu?”
Ashira mengangguk.
“Sama. Regan juga membencinya.” Regan tersenyum miring. “Maka dari itu, Regan ingin menangkap pencuri itu.”
Ashira mengangguk lagi.
“Sudah siap, Kak?”
“Pencuri itu pasti masih berdiam di rumahnya.” Jawab Ashira.
“Tidak. pencurinya ada disini.”
Ashira terbelalak. Ia ingin melihat pencuri itu. Ia ingin melakukan hal tak terduga kepada pencuri itu. Namun tiba-tiba semuanya gelap. Tak ada yang bisa Ashira lihat.
*****
“Kamu sudah sadar?” Arum tampak menangis di samping Ashira.
“Arum? Apa yang terjadi denganmu? Ashira melihat kepala Arum dililit perban.
“Jatuh.”
“Benar?”
“iya.”
“Regan mana?”
“Jangan mencarinya.”
“Dia sudah menangkap pencuri itu, Rum.”
“jangan percaya padanya.”
Ashira melihat ke sekeliling. Ruangannya berbeda dari ruangan yang ia tempati sebelumnya. Kali ini ruangannya lebih sempit dan lebih terang.
“Saudara Arum, tolong temui saya sebentar.” Seorang dokter memanggil Arum.
Arum mengangguk.
“Jangan kemana-mana. Tolong.” Pinta Arum penuh permohonan.
“Iya.”
Arum keluar dari ruangan itu untuk menemui dokter. Begitu sampai di ruang dokter, ia langsung dipersilakan untuk duduk.
“Ashira Clawn mengalami gangguan schyzoprenia. menurut pernyataan polisi dan bukti-bukti yang diperoleh pengacara Gabriel, memang benar bahwa Ashira adalah orang yang membunuh Gabriel. Namun Ashira tidak mau menerima kenyataan itu tidak mau mendapati dirinya sebagai pelaku yang membunuh kekasihnya sendiri. Sehingga dia menyalahkan Wildan, dan melihat Wildan sebagai pembunuh itu karena kebetulan waktu itu Wildan lah yang ada disitu untuk menolongnya.”
“Apa dia akan dibawa ke penjara?” tanya Arum gusar.
Dokter menggeleng. “tidak akan karena mengingat kondisi kejiawaannya.”
“Dia akan terus melihat Wildan sebagai pelaku. Dan jika dia mengetahui bahwa dia adalah orang yang telah menyebabkan semua ini, maka Ashira mungkin akan melakukan hal diluar dugaan untuk dirinya sendiri. Sebab ia akan merasa sangat terpukul dan merasa terbebani dengan kesalahannya.”
“Menurut pengacara berdasarkan bukti cctv, waktu itu Ashira bertemu dengan Wildan di tempat parkir mobil yang sudah lama tidak difungsikan. Ia marah pada Wildan karena Wildan sudah mengangggu hubungannya dengan Gabriel. Ashira ingin memberi sedikit pelajaran pada Wildan, namun yang terjadi adalah Gabriel datang untuk menghadang, namun tancapan yang terjadi secara tidak sengaja itu tidak bisa dihindari lagi. Wildan membuat Ashira pingsan dan membawanya pergi, lalu membuat Ashira lupa dengan kejadian-kejadian itu. Namun sayangnya yang Ashira tangkap adalah bahwa Wildan merupakan orang yang membunuh Gabriel.”
Arum mengangguk. “Saya permisi dulu.”
“Jangan biarkan Ashira tau tentang ini.”
Arum kembali ke ruangan Ashira. Namun hal yang tak terduga benar-benar terjadi. Didapatinya Ashira sudah tergeletak dengan busa-busa yang memenuhi bibirnya. Denyut nadinya sudah tak berasa, detak jantungnya tak lagi terasa. Tubuh gadis itu sudah dingin. Arum menangis sejadi-jadinya. Ia mendapati Ashira sudah berhenti melaju bersama waktu.
[ ]
7 Juli 2019
Silfa Adz