Hujan. Ya, hujan. Baunya yang menguar lewat tanah basah sangat menyengat. Suara tetesannya yang mengenai atap selalu menggetarkan gendang telinga. Payung-payung plastik memenuhi jalanan, kendaraan bermotor menepi dan membuat kemacetan. Tipikal tak sedia payung sebelum hujan.
Disinilah seorang wanita yang hidup di umurnya yang tak lagi muda. 23 tahun. Menurutnya, ia sudah mengalami quarter life crisis. Padahal menyentuh 25 tahun saja belum. Tapi, namanya manusia punya hidup yang tak dapat di tebak oleh yang menjalani.
Namanya Wilhelmina. Ia memiliki rambut hitam legam sebatas dada dan bergelombang membuat kawan-kawan wanita nya iri dan selalu bertanya, “berapa jam kau habiskan untuk membuat rambut curly mu itu?” atau “rambutmu bagus, aku suka. Kau mendatangi salon mana?” ya, begitulah.
Wilhelmina masih berada pada tahap ahkir di kuliahnya, melakukan penelitian dan berahkir dengan sidang skripsi. Ia hanya berputar di sekitaran itu disaat teman-temannya sudah memiliki penghasilan bulanan dengan dua digit angka, menyebar undangan pernikahan atau melalang buana untuk mengejar pendidikan Magisternya. Bahkan, ada yang akselerasi langsung ke pendidikan Doctoral.
Mina a.k.a Wilhelmina sangat terkenal karena kecantikan sekaligus sikap dingin dan cueknya. Setiap kali dirinya menjadi seorang asisten dosen atau praktikum, sebutan “asdos galak” selalu mampir ditelinganya dan ia tak mengelak. Bahkan, ia bisa melempar mikroskop pada tiap mahasiswa yang tak menjalankan perintah atau peraturannya. Walau begitu, dirinya tampak pendiam dan terkesan tak acuh pada apapun di sekelilingnya.
***
Mina sedang mendengarkan lagu favoritnya berjudul change dari seorang rapper yang sudah tiada, xxxtentacion. Ia menggerakkan bibirnya sesuai dengan liriknya sambil menganggukan kepalanya seirama lagu. Kedua maniknya menangkap seorang lelaki dengan setelan rapi sedang berlari sambil melindungi kepalanya dari tetesan air hujan yang semakin deras. Ia berlari di atas trotoar seberang apartemen Mina. Mata mina yang tak memiliki cacat apapun melihat paras lelaki itu. Manis, tampan dan lucu. Tiga ungkapan kata yang ia dapat dari garis wajah si lelaki pada pandangan pertama.
“Tipeku.” Gumamanya sambil menyeringai. Pertama kali selama ia memasuki bangku kuliah ada seorang lelaki yang mampu menggetarkan jiwanya lewat parasnya.
“Tapi, dia mau kemana?” Mina bermonolog setelah melihat lelaki itu berjalan lebih lambat ke arah rumah kecil di sebelah minimarket yang bersebrangan langsung dengan apartemennya.
“Itu rumahnya?” Tanya mina entah pada siapa—jelas karena ia sendirian. Mina masih memperhatikan lelaki itu yang sedang merogoh sesuatu—sepertinya kunci—dari salam saku celananya. Kemudian, ia membuka pintu rumah itu dan masuk.
“Yah...” Mina menelan kekecewaannya setelah melihat lelaki tersebut menutup pintu rumah. Sedetik kemudian, ia memiliki ide cemerlang agar bisa berkenalan dengannya.
“Oke, setelah reda nanti.” Ia menyeringai bahagia dan mengembalikan pandangannya ke arah layar leptop dengan jajaran tulisan dan grafik yang membuat tangannya gatal untuk mengacaukannya.
Selama satu jam penuh Mina tak beranjak dari tempat duduknya. Kesepuluh jarinya menari di atas keyboard leptop dan kedua bola matanya bergerak dari kiri ke kanan seirama dengan tulisan-tulisan yang ia ketik. Sejatinya, ia sudah lelah dengan semua ini. Ia selalu menyumpah serapahi dosen pembimbingnya yang mempersulit dan menguras habis uang orang tuanya untuk biaya kuliah tiap semester.
“Terkutuklah kau Valery—namanya Mrs. Valery—aku muak dengan semua coretan tak masuk akalmu!” Mina membuang setumpuk kertas skripsinya yang penuh dengan tinta merah disana-sini ke arah lantai. Kertas-kertas itu berserakan dan membuat coco—anjing peliharannya—terkejut dan berlari ke arahnya.
“Oh maaf, aku membangunkanmu sayang.” Mina meraih coco ke atas pangkuannya dan mengusap-usap kepalanya dengan lembut.
“Ah, sudah reda.”
“Saatnya misi dijalankan!” Mina mendorong kursi berodanya ke belakang dan ia berdiri sambil mengangkat coco tinggi-tinggi. Senyumnya mengembang sejurus kemudian dan ia mendekap coco erat sambil kaki-kakinya melangkah ke arah walking closet.
“Coco, menurutmu ini lebih cocok atau yang ini?” Mina mengangkat satu kaus polos berwarna maroon di tangan kanan. Sedangkan di tangan kirnya terdapat kaus hitam bergambar dr. Stephen Strange versi kartun dengan pose andalannya ketika melawan musuh.
“Yang ini?” Mina mengangkat kaus maroon polosnya ke arah coco yang sedang menjulurkan lidahnya sambil menatap sang majikan berbicara sendiri.
“Ku anggap itu sebagai yes!” Mina mengembalikan kaus dr. Strange ke lemarinya dan tak lupa ia mengusak kepala coco karena terlampau gemas.
Mina mengganti pakaiannya dan menukar sweatpants abu-abu dengan celana kulot berwarna hitam. Ia berjalan ke arah cermin dan berkaca sambil memutar tubunya 360 derajat. Ia tersenyum senang karena merasa outfit sederhananya sedang on point.
Setelahnya, ia meraih sebuah botol kecil berisikan conditioner praktis—tak perlu di bilas menggunakan air—dan menuangkannya di atas telapak tangan sebelah kiri. Ia tangkupkan kedua telapaknya dan mulai mengaplikasikannya pada rambut. Bibirnya maju ke depan karena mendendangkan sebuah lagu lewat siulannya sambil tubuhnya ia goyangkan ke kanan dan ke kiri.
Ia menyisir rambut menggunakan jari-jarinya dan wala! Dirinya siap melakukan aksinya.
***
“Selamat datang ke 24/7 minimarket.”
Kedatangan Mina saat melangkahkan kakinya ke dalam disambut oleh petugas kasir yang tersenyum ramah ke arahnya. Ia berbalik dan melihat wajah kasir itu sekilas, lalu tersenyum simpul. Mina berjalan menuju jejeran pendingin yang menampilkan banyak minuman dan buah didalamnya. Ia memandanginya dari bagian paling kiri. Saat kepalanya berputar ke arah kanan, kedua matanya tak mampu berkedip, jantungnya berdebar kencang bahkan kedua kakinya lemas seperti jelly.
“Hai!” sapanya dengan senyum mengembang.
Mina mengerjapkan kedua matanya sambil memproses kembali apa yang baru saja ia lihat. Lelaki yang beberapa jam lalu ia lihat dari seberang apartemennya dan merupakan tipenya.
“Eh, h—hai!” Mina mengangkat satu tangannya dan tersenyum kikuk.
“Em, aku ingin mengambil minuman itu.” Lelaki ini menunjuk sebuah minuman di hadapan Mina dengan telunjuknya. Namun, mina masih setia menatap wajahnya bahkan tak bergeming.
“Bisakah kau bergeser ke kiri? Aku ingin mengambil minuman itu.” Pintanya sambil tersenyum. Mina yang sadar dari lamunannya segera menggeser tubuhnya dan mundur beberapa langkah sambil mempersilahkan lelaki itu membuka pintu lemari pendingin.
“Thank you.” Balas si lelaki sambil tersenyum dan satu tangan yang bebas menutup pintu lemari pendingin. Ia beranjak pergi dan Mina seakan ingin bertanya sesuatu, tetapi ia urungkan. Namun, semesta sedang mendukungnya hari ini. Lelaki itu berbalik sambil mengacungkan tangan yang sedang menggenggam minuman dingin.
“Apakah kau tinggal di apartemen itu?” ia menunjuk apartemen Mina dengan dagunya. Mina pun mengangguk.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Mina.
“Aku sering memerhatikanmu keluar masuk gedung itu dan hampir setiap hari kau kemari.”
“Ah, benarkah?” Semburat merah di pipi Mina tidak dapat di sembunyikan. Ia jadi malu karena “idola” nya ternyata memperhatikan ke-eksistensiannya. Lelaki itu pun mengangguk dengan senyum cerah di wajahnya yang membuat jiwa Mina semakin lemah.
“Oya, siapa nama mu?”
“Aku?” tanya Mina dengan bodohnya.
“Ya, siapa lagi?” Lelaki itu terkekeh.
“Namaku Wilhelmina, kau bisa memanggilku dengan Mina.” Mina mengulurkan tangan kanannya dan disambut baik oleh lelaki tersebut.
“Ah, we have the same name. Namaku juga Wilhelmina, tapi panggil saja Wil.” Mina tampak terkejut karena “kembarannya” adalah seorang lelaki.
“Ku pikir nama Wilhelmina hanya untuk perempuan.”
“Mungkin orang tua ku mengira aku lahir sebagai wanita.” Lalu, keduanya tertawa.
Mereka berdua berjalan menyusuri tiap rak sambil berbagi cerita layaknya karib lama yang sudah tak berjumpa.
Mina dan Wil melebur begitu saja di setiap cerita mereka walaupun Mina merasa dirinya berubah menjadi orang pemalu dan lebih banyak mendengarkan. Sejatinya, Mina sangat senang berbicara hingga orang-orang di sekitarnya jemu dan ia tipikal blak-blakan.
Mina mengakui pesona Wil yang semakin menjadi setelah mereka berkenalan. Jika dari jarak belasan meter ia mampu mengaguminya, kini hanya berjarak sekian sentimeter membuat dirinya jatuh lebih dalam.
Wil memiliki tinggi sekitar 180 sentimeter, rambut hitam legam dan sedikit bergelombang sama seperti Mina, juga panjang—karena ia menggulung rambutnya ke atas dengan gaya man bun. Tubuhnya terlihat atletis dengan urat-urat di kedua lengannya sangat kentara. Matanya bulat berwarna coklat terang bahkan di cahaya redup sekalipun matanya masih terlihat coklat, bulu matanya panjang dan lentik—membuat Mina berpikir untuk tanam bulu mata. Alis nya sedikit tebal dan rahangnya tegas ditambah dengan lesung pipi di bagian kanan wajahnya.
Mereka berdua ahkirnya duduk di kursi yang disediakan minimarket tersebut. Karena cuaca masih mendung dan udara mendingin, mereka memutuskan untuk menyeduh mie instan cup sambil bercengkrama ria.
“Ah, aku melupakan minumanku!” Mina menerawang melalui kaca di mana petugas kasir sedang mengangkat air mineral yang ia beli karena ia lupa mengambilnya.
“Biar aku yang ambil, kau tunggu disini saja.” Belum sempat Mina berdiri dari duduknya, Wil sudah lebih dahulu beranjak. Ia berjalan masuk dan mengambil air mineral dari tangan si petugas kasir. Mina memandangi Wil dari luar dan ketika mata mereka bertemu, Mina dengan cepat kembali mengaduk mie instannya.
“Silahkan...” Wil membuka segel botol air mineral yang ia pegang dan diserahkan pada Mina.
“Oh, terima kasih. Aku merepotkanmu.” Jawab Mina dengan senyum malunya.
“Ah, tidak juga.” Wil membalasnya dengan senyum dan mereka kembali melanjutkan makan.
***
Mina berjalan gontai menuju gedung fakultasnya. Ia sudah tak memiliki teman sebaya dikampus dan banyak adik-adik kelasnya merasa segan untuk sekedar menyapanya. Aura yang ia pancarkan pun tak bersahabat. Ia hanya mengenakan kaus rumah di balik jaket jeans berkerahnya, celana hitam yang sobek di bagian lutut kiri, sepatu kesayangannya yang sudah menganga di bagian depan dan rambut yang ia gulung ke atas dengan acak-acakan.
Ia nampak tak acuh dengan beberapa orang yang memenuhi gedung fakultasnya. Ia hanya bersikap baik kepada para dosen dan staff, namun tidak dengan yang lain. Ia duduk di kursi panjang yang disediakan di dalam, menunggu sesuatu yang tidak pasti karena dosen pembimbingnya ini super sibuk. Ia sudah terlalu sering di beri harapan palsu olehnya. Ia sudah kebal.
“Mina?” Salah satu dosen pria memanggil namanya saat ia akan melewati Mina.
“Oh—“ Mina mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa gerangan yang memanggil namanya.
“Selamat siang Sir!” Mina secara reflek berdiri dari duduknya dan tersenyum ke arah dosen pria tersebut.
“Menunggu Mrs. Valery?” tanya dosen itu karena siapa lagi yang Mina butuhkan saat ini.
“Iya Sir.”
“Sayang sekali Mrs. Valery masih diluar kota, ia belum kembali.” Mina sudah mengepalkan kedua tangannya walau senyumnya tetap mengembang.
“Tapi beliau meminta saya untuk bertemu hari ini, Sir.”
“Setahu saya, rencananya memang beliau akan kembali hari ini. Tetapi, entahlah beliau belum kembali."
“Yang sabar ya...” Dosen pria itu tersenyum pada Mina.
“Baik Sir. saya undur diri kalau begitu. Terima kasih atas infonya.” Mina menundukkan kepalanya dan berlalu dari hadapan dosen pria tersebut.
Mina hampir saja membuang kumpulan kertas skripsi tebal di tangannya ke tong sampah yang baru saja ia lewati. Ia sudah muak dengan skripsinya yang tak menemukan titik terang. Proposal penelitiannya beratus kali di tolak oleh beberapa dosen disana karena topiknya kurang sesuai dengan lulusan sebagai Strata-1. Terlalu jauh, kata beberapa dosen yang menolaknya. Sialnya, satu-satunya dosen yang ahkirnya bersedia membimbing Mina menggarap penelitiannya adalah Mrs. Valery. Dosen yang selalu ia sumpah serapahi dari pertama ia menginjak semester satu hingga sekarang.
Mrs. Valery selalu memiliki “anak emas” di setiap angkatannya, memerlakukan mereka dengan istimewa dan beliau memiliki sejuta kesibukan di luar jam mengajarnya yang membuat para mahasiswa sulit menemuinya. Sayangnya, Mina tidak termasuk sebagai “anak emas” beliau.
“Sial!” Mina membanting skripsi tebalnya ke atas jok mobil setelah melempar tasnya ke dalam. Ia duduk di kursi kemudi dan memukul keras stirnya.
“DINNN!” Tak sengaja ia menekan tombol klakson yang terdapat di tengah stir mobilnya. Suara keras itu membuat dua orang mahasiswa yang sedang berjalan didepan mobilnya terkejut.
Mina menangkupkan kedua telapak tangan di depan wajahnya dan mengucapkan “maaf” pada dua orang tersebut dari balik kaca mobilnya. Ia memperlihatkan sederetan giginya karena merasa bersalah.
Tiba-tiba, ponsel Mina yang ia letakkan di jok sebelahnya berbunyi. Ia mengedikkan kepalanya dan melihat sebuah nama yang muncul di layar ponselnya. Ia berdecak keras dan segera meraih ponsel itu. Mina membuka pesan tersebut dan membalasnya secepat kilat, lalu kembali melemparkan ponselnya ke tempat semula.
From: Mrs. Valery
Saya akan ke fakultas jam 8 malam sampai jam 9 malam. Silahkan jika ingin berkonsultasi, saya tunggu.
From: Wilhelmina
Baik Mrs.
“Seenaknya jadi dosen!” Mina memutar kunci mobilnya ke kanan dan memasukkan persneling ke gigi 1. Ia menurunkan hand rem dan menekan pedal gas lalu keluar dari dalam parkiran kampus.
***
Tepat jam 8 malam Mina kembali duduk di kursi panjang yang siang tadi ia duduki. Mina melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih menunjukkan jam 8 malam dan ia belum menemukan batang hidung dosen pembimbingnya. Mrs. Valery memang hobi menghuni gedung fakultas hingga malam, dan konsultasi pada malam hari sudah biasa Mina lakukan seperti sekarang ini.
30 menit kemudian, Mina belum kunjung melihat Mrs. Valery datang hingga ia memutari seluruh ruang dosen di gedung fakultasnya. Semua nampak kosong, hanya ada satpam yang sudah hapal dengan kehadirannya.
“Mina?” Ia terkejut mendengar namanya dipanggil dari belakang. Ia menemukan sang dosen pembimbing berdiri tak jauh dari tempatnya duduk.
“Kita bicara di ruang seminar saja karena lebih terang. Ayo!” Mrs. Valery berbalik meninggalkan Mina menuju ruang seminar di lantai 3—lantai paling atas gedung tesebut.
“Baik Mrs.!” Mina beranjak dari duduknya dan mengekor Mrs. Valery ke lantai 3.
Selama satu jam Mina tak bergeming mendengarkan penjelasan Mrs. Valery yang lebih seperti membual di matanya. Beberapa kali kening Mina mengerut karena pernyataan-pernyataan yang tak sesuai dengan teori yang ia baca. Bahkan, Mrs. Valery tak pernah melihat perkembangan penelitiannya di laboratorium.
“Baik, sampai sini konsultasi dengan saya. Senin minggu depan kita bertemu kembali, oke?” Mrs. Valery menyerahkan setumpuk kertas yang baru ia baca hari ini bersamaan dengan tumpukan dari konsultasi minggu lalu.
“Ini naskah mu minggu lalu sudah saya koreksi. Ingat semua yang saya ucapkan tadi, di perbaiki lagi.” Mrs. Valery tersenyum sambil menutup pena merahnya.
“Tidak bisakah saya konsultasi dengan anda lusa?”
“Maaf, lusa saya harus konsultasi dengan anak-anak bimbingan saya yang lain.”
“Kalau boleh tahu siapa ya Mrs?”
“Anna dan Kevin.” Mina menghela napasnya perlahan, ia sudah bisa menebak nama dua orang adik kelasnya itu. Anak emas Mrs. Valery.
“Setelah itu saya akan pergi dan baru kembali hari senin depan.”
Setelah konsultasi yang membuat tubuh Mina panas-dingin, ia lebih dahulu pulang meninggalkan Mrs. Valery lewat tangga belakang gedungnya. Ia ingin berteriak sesampainya di luar agar tidak terdengar oleh satpam didepan.
“ARGH!” Mina melempar tas dan membanting tumpukan kertasnya ke tanah. Ia mengerang frustasi melihat hampir semua grafik yang sudah ia kerjakan dengan seksama hampir seminggu lamanya, di beri tanda silang besar menggunakan tinta merah.
Ia mengeratkan kepalan tangannya dan kepalanya mendadak pusing karena menahan amarah selama ia berkonsultasi dengan Mrs. Valery. Setiap kali Mina membeberkan alasan untuk menentang opini dari Mrs. Valery, ia hanya kembali menelan pil pahit. Semua yang Mrs. Valery katakan adalah benar.
***
Hari sabtu yang cerah, walau ada awan gelap sedikit tak membuatnya malas untuk mengurai semua teori yang dihubungkan dengan hasil penelitiannya. Ia berkutat di depan leptop dari jam 8 pagi hingga jam 12 siang. Penghuni perutnya tak mau diajak kompromi dan membuat konsentrasi Mina buyar.
“Aku lapar!” ia berteriak sambil merentangkan kedua tangannya. Ia memutar kursinya dan menemukan coco berangsur naik ke atas tempat tidurnya.
“Coco, jangan sampai kau kencing di atas kasurku. Oke?”
“Aku akan keluar membeli makan.” Tambahnya. Ia beranjak dengan malas dan meraih ponsel serta dompetnya.
Mina melangkah keluar dan turun menggunakan lift dari apartemennya di lantai 5. Sesampainya di pintu keluar, mata Mina menangkap Wil yang sedang menyapu halaman rumahnya. Ia tersenyum dan kemudian kepalanya menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat kendaraan yang lalu lalang.
“Wil!” Mina melambaikan satu tangannya dan membuat Wil menoleh ke arah suara.
“Hei!” Wil menghentikan kegiatannya sambil memutar seluruh tubuhnya menghadap Mina yang berjalan mendekat ke arahnya.
“Kau terlihat sibuk siang ini.” Mina berbasa-basi sambil tersenyum.
“Kau lapar, ya?” Wil menyeringai melihat wajah Mina terkejut.
“Bagaimana kau tahu?”
“Tidak, aku hanya menebaknya.” Wil terkekeh kemudian. Ia melanjutkan sebentar acara menyapu halamannya dan mengembalikan sapu ke tempat semula.
“Mau ku temani makan siang?” tawarnya yang membuat senyuman Mina semakin merekah dan hatinya berbunga-bunga. Mina mengangguk dengan semangat.
“Baiklah, tunggu aku sebentar. Aku akan mencuci tangan dan berganti baju.” Wil tersenyum sambil beranjak dari tempat duduknya. Ia melepas gelungan rambutnya dan menyisirnya ke belakang—sedikit mengibaskannya—sambil tersenyum dengan lesung pipi yang berhasil membuat Mina terbang ke langit ke tujuh.
Selama 5 menit Mina berdiri di teras rumah Wil dan ia mencium bau vanilla yang menguar dari arah belakang. Ia berbalik dan mendapati Wil sudah berganti pakaian dengan kaus hitam lengan panjang dan jeans serta sepatu santainya. Wil tersenyum sambil bibirnya mengapit karet rambut yang membuat lesung pipi manisnya terlihat, bahkan lebih jelas. Kedua tangannya berada di atas kepala sambil menggelung rambutnya ke atas, lalu ia ikat menggunakan karet tersebut.
Wil berjalan ke tempat dimana Mina berdiri dan ia menghentikan langkah kakinya saat ujung sepatunya menyentuh alas kaki milik Mina. Kedua tangannya masih sibuk membenahi tatanan rambutnya, kemudian turun ke atas bahu Mina.
“Siap?” tanya Wil sambil mengusap bahu Mina perlahan.
“O—oke, ayo!” Mina salah tingkah dan ia tersenyum kikuk menanggapi sikap Wil yang tiba-tiba.
Mereka berjalan beriringan menuju tempat makan yang jaraknya tak jauh dari tempat tinggal mereka. Wil menempatkan posisinya di trotoar yang dekat dengan bahu jalan dan Mina berada di sisi dalam trotoar. Selama mereka menyebrangi jalan beberapa kali, satu tangan Wil secara otomatis meraih tangan Mina dan menjaganya agar tak tertinggal di belakang.
Dipastikan jantung Mina menjadi lemah setelah ini dan wajahnya sudah merah bak kepiting rebus.
“Kau suka kemari?” tanya Mina saat memasuki tempat makan yang mereka sambangi. Wil mengangguk sambil menarik kursi untuk Mina.
“Eh? Terima kasih.” Mina tersenyum melihat sikap Wil dan ia mendudukkan diri di atas kursi tersebut.
“Kau akan pesan nasi goreng sea food?”
“Tanpa sayur, kecap dan udangnya harus tanpa kepala?” tanya Wil membuat dua mata Mina terbelalak.
“Tunggu, bagaimana kau tahu?” tanya Mina sambil memicingkan kedua matanya. Wil pun tersenyum.
“Aku selalu melihatmu memesan menu itu disini dan aku selalu mendengar para pelayan membicarakanmu karena perminataan mu terlalu banyak.” Wil terkekeh melihat Mina memutar kedua bola matanya.
“Karena aku benci sayur dan manis dalam bentuk apapun, juga udang yang mereka sajikan selalu utuh, aku tidak bisa makan bersamaan dengan kepalanya. So, benar katamu mereka memang selalu mengeluh dengan permintaanku.”
Mina dan Wil menikmati makan siang dengan gelak tawa mengiringi waktu yang terus berlalu. Mereka menghabiskan hampir 2 jam di tempat makan tersebut hingga Mina sudah menghabiskan dua gelas es teh manis tanpa sadar, padahal cuaca mulai mendingin. Awan gelap semakin bergeser dari tempatnya semula dan menjamur di atas langit. Suara gemuruh dari atas mengiringi langkah kaki mereka saat kembali ke rumah.
“Hujan...” Mina berhenti di tengah jalan dan menengadahkan telapak tangannya. Ia merasakan titik-titik hujan menyentuh kulit.
“Ayo, sebentar lagi akan hujan deras!” Wil meraih tangan Mina untuk berlari bersamanya.
“Nanti kau bisa sakit, aku tahu kau sedang berkutat dengan skripsimu.” Tambah Wil. Mina mengerutkan keningnya. Setahu nya ia tidak pernah bercerita mengenai hal itu. Namun, Mina mengurungkan niatnya untuk bertanya karena baju mereka semakin basah di terpa air hujan.
“Kau mau langsung kembali ke apartemenmu?” tanya Wil sambil mengusap lengannya yang basah. Mereka berdua berdiri di depan rumah Wil.
“Ada payung? Hujannya deras.” Tanya Mina sambil mengusak rambut basahnya.
“Payungku rusak.” Wil tersenyum hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya. Mina yang mendengar hal itu hanya menghela napasnya pelan. Alamat terjebak disini—batinnya.
“Berteduh di rumah ku saja dahulu, mungkin jam 5 akan reda. How?” tawar Wil dan Mina mengangguk. Ia mengekor Wil masuk ke dalam rumahnya.
“Kau mau minum apa?” Mina menoleh saat ingin mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu.
“Kau ada air putih hangat?” Wil pun tersenyum dan mengangguk.
“Terima kasih.” Balasnya dengan senyuman.
“Bisakah kau tidak banyak tersenyum? Kau semakin tampan.” Mina bermonolog sambil berbisik.
“Apa?” Wil memutar tubuhnya setelah mendengar bisik-bisik dari Mina.
“Ah, nothing.” Jawabnya dengan gelagapan.
***
Mina menghabiskan waktu berteduhnya dengan menonton film komedi sekaligus kembali bercengkrama dengan Wil. Mereka berbicara mengenai kisah hidup masing-masing yang tak ada habisnya.
“By the way, kau tinggal disini sendiri?” Mina bertanya sambil membenarkan posisi duduknya.
“Yap, orang tuaku tinggal di luar kota.”
“Wah, kita sama!” Mina mengangkat satu tangannya berniat untuk memberi high five. Namun, Wil hanya memandangi nya dengan wajah bodoh. Mina pun terkekeh dan mengambil satu tangan Wil, lalu disatukan dengan tangannya tadi.
“High Five!” Tawa Mina disusul oleh Wil yang baru mengerti maksudnya.
“Kau lucu sekali!” Wil mengusak surai Mina dan tertawa hingga kedua matanya hampir hilang bak ditelan bumi.
“I know.” Jawab Mina dengan percaya diri.
“Oya, apakah kau begitu menyukai udang?” tanya Wil. Tangannya memainkan kesepuluh jari Mina dan ditarik ke atas pangkuannya.
“Kau memakannya begitu lahap.” Wil terkekeh.
“Sangat menyukainya!” Mina menekankan kata “sangat.”
“Tapi sayang—“ Mina menunjukkan wajah sebalnya.
“Si Valery—Mrs. Valery—juga sangat menyukai udang. Sempat beberapa kali ia memberiku kotak makan siang dengan udang yang melimpah. Tapi, aku tetap membencinya.”
“Itu dia baik.” Mina menghempaskan jari-jari Wil yang bertautan dengan miliknya.
“Aku tetap tidak suka!” Kukuhnya.
“Hei, kenapa? At least, dia tetap memerhatikanmu walaupun dirinya memiliki anak emas dan kau tidak termasuk.” Wil kembali meraih tangan Mina yang sudah ia lipat didepan dada.
“Sudah hampir 7 tahun aku berkuliah dan seperti cerita ku tadi, kapan penelitian ku selesai?!” Mina mengerang walaupun lipatan tangannya mulai melemah dan Wil dapat meraihnya. Ia mengusap kedua punggung tangan Mina perlahan.
“Kau bilang ia janda beranak 3, bukan?”
“Dia juga punya banyak bisnis yang harus ditangani?” Mina mengangguk dengan tatapan bertanya “kenapa?”
“Itu artinya dia menjadi tulang punggung keluarganya. Jadi dosen saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ketiga anak dan dirinya. Apalagi seperti katamu, ketiga anaknya kuliah di kedokteran. Ia butuh biaya yang banyak. Maka dari itu, ia sibuk kegiatan di luar kampus.”
“Sudah tahu susah, kenapa dia membiarkan anaknya masuk kuliah kedokteran?” tanya Mina tak terima.
“Namanya seorang ibu, seorang orang tua akan selalu mengusahakan apapun untuk anaknya. Toh, jadi dokter banyak untungnya.”
“Soal anak kesayangannya, sepertinya itu karena dirimu yang jarang sekali konsultasi.”
“Karena aku sudah muak!” Mina memalingkan wajahnya dan mendengus kasar. Wil yang melihatnya hanya terkekeh, ia tarik satu sisi wajahnya.
“Aww!” Mina memekik karena tarikan Wil pada pipinya betulan sakit.
***
Mina memandangi layar ponselnya yang tertera nama Mrs. Valery. Beliau memberi pesan untuk menemuinya jam 8 malam di gedung fakultasnya seperti minggu lalu. Ia hanya membacanya dan tak berniat untuk membalas. Ia melempar ponselnya ke arah kasur dan berdecak keras.
Mina melirik jam digital yang terdapat di atas meja kerjanya. Tertera disana jam 19.45 dan ia sama sekali tak beranjak dari kursi putarnya. Padahal perjalanan dari apartemen menuju kampusnya menempuh 30 menit perjalanan. Ia sudah berencana untuk membuat Mrs. Valery menunggu.
“Sial! Aku malas melihat wajahnya!” Mina ahkirnya beranjak dari kursi dan berjalan ke dalam walking closet untuk berganti pakaian.
Jam ditangannya sudah menunjukkan jam 20.05 dan ia sudah berada di dalam lift. Ia langkahkan kakinya satu persatu keluar. Ia menyeret kakinya untuk berjalan menuju basement dimana mobilnya terparkir sambil membawa sebuah tas besar berisi leptop dan skripsinya.
“Mina!” ia menoleh ketika suara seorang lelaki mampir ditelinganya.
“Wil?” ia mengerutkan kening melihat Wil berlari ke arahnya dengan tergesa-gesa.
“I need your help!”
“Sebentar saja...” Will memohon padanya.
“Tapi, aku harus menemui Mrs. Valery sekarang.”
“No! Jangan!” Mina curiga mengapa Wil melarangnya. Ia melirik pada pergelangan tangan yang sudah diganggam erat oleh satu tangan Wil.
“Please stay with me, be with me. Just tonight.” Mina memicingkan kedua matanya memandang Wil dengan kecurigaan.
“Tidak, aku bukan pria mesum. Aku hanya ingin kau bersama ku. Kali ini saja!”
“Wil, skirpsiku adalah hidup dan matiku dan kau memintaku untuk menemanimu? What the heck?”
“Ini lebih penting dari pada skirpsimu.”
“Kau gila?!”
“Sudah, ayo ikut ke rumahku! Aku tahu kau akan melakukannya!” Wil menarik pergelangan Mina dan menyeretnya keluar basement.
“Melakukan apa?!”
“Wil! Wilhelmina!” Mina terus mencoba melepas genggaman Wil di pergelangan tangannya. Namun, kekuatannya tak sebanding.
“Ssst.. percayalah padaku.”
***
“Halo?” Mina menempelkan ponsel di telinga kirinya sembari berbaring di atas kasur bersama coco di bawah ketiaknya.
“Mrs. Valery dibunuh!”
“Hah?!” Mina bangkit dari tidurannya.
“Kepalanya putus dan itu terjadi semalam.”
“Semalam? Jam berapa?”
“Sekitar jam 20.05 dan beliau di bunuh di ruang seminar fakultas kita. Mungkinkah mahasiswanya yang membunuhnya?”
“Sebenarnya semalam aku harus menemui dia, tetapi aku tidak jadi berangkat.”
“Siapa selain dirimu yang selalu berkonsultasi malam hari dengan beliau?”
“Tidak ada, hanya aku.”
“Baiklah. Ini aneh. Lalu, nasib skripsimu bagaimana?”
“Itu dia! Lebih baik aku mengundurkan diri dari kampus dari pada harus pindah dosen pembimbing lagi.”
“But, thanks atas infonya. Poor her.” Mina menutup sambungan teleponnya dengan salah seorang teman seangkatannya yang dahulu merupakan anak bimbingan Mrs. Valery.
Mina menatap lurus ke arah jendela kamar dan ia berpikir siapa yang sudah menebas kepala dosen pembimbingnya. Lalu, ia harus bagaimana sekarang?
“Argh!” Mina mengacak rambutnya kesal karena ia bisa di caci maki oleh keluarganya akibat tak jadi lulus tahun depan. Ia pun malas harus berganti dosen karena semua dosen dimatanya sama saja. Tak ada yang mau membimbingnya selain Mrs. Valery.
Hening menyelimuti ruang kamarnya sebelum seseorang mendobrak masuk.
“Mina!”
“Wil?” Mina memutar tubuhnya dan mendapat Wil menggenggam sebuah pisau daging yang di sepanjang bagian tajamnya terdapat darah kering.
“M—mau apa kau?” Mina beranjak dari duduknya di atas tempat tidur. Ia membuat tameng menggunakan kedua tangannya yang diletakkan didepan wajahnya.
“Kenapa kau tak mendengarku?!” Suara Wil meninggi dan membuat Mina beringsut duduk di atas lantai.
“Mina? Kenapa?” Wil berjongkok menyamai tinggi Mina dan ia angkat wajahnya supaya pandangan mereka dapat bertemu.
“Kenapa kau melakukannya? Kenapa kau tak pernah mau mendengarku? Kenapa kau tega?” Pertanyaan Wil membuat mata Mina merasa panas. Air mata sudah di pelupuk dan membuat pandangan Mina kabur.
“Aku selalu berusaha untuk membawamu keluar dari zona ini. Tetapi, kau selalu menolakku.”
“Kau terpesona dan menerimaku, tetapi saat itu juga kau menyingkirkanku.”
“Wil...” Tangisan Mina pecah hingga ia tersedu. Wil mengusap wajahnya yang basah menggunakan satu tangan yang bebas.
“Kau tahu siapa diriku sebenarnya. Jangan terus mengelak, aku tahu kau menginginkan aku.” Wil meletakkan pisau daging yang ia genggam ke lantai dan mengangkup wajah Mina.
“Aku tipe mu bukan?” Mina pun mengangguk.
“Mengapa kau tak membiarkanku masuk?”
“A—aku tidak bisa—“ Suara Mina tercekat melihat wajah Wil yang terluka.
“Mina, mengapa kau se-egois ini?” Mina menggeleng dan menjauhkan pandangannya dari Wil.
“Kau membiarkan dirimu dikuasai kebencian. Sedangkan, kau selalu datang padaku. Kau selalu ingin menjadi diriku, alter ego mu yang sebenarnya adalah sosok impianmu. Sosok yang jauh lebih baik dari seorang Mina sekarang.”
“Kau tak pernah membiarkan aku menjadi dirimu. Kau selalu mendorongku menjauh dan menarikku kembali. Kau selalu berpikir dunia disekitarmu bergerak tanpa tujuan.” Wil mengambil kembali pisau daging yang tergeletak dilantai. Ia arahkan pada urat nadi Mina di lehernya.
“W—Wil?” Pandangan Mina turun ke arah pisau tersebut. Badannya gemetar karena ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Maaf Mina, kau harus pergi dengan cara yang sama seperti yang kau lakukan pada Mrs. Valery. Wanita yang sama sekali tak bersalah, karena sejatinya kau sendiri yang memperlambat semuanya.”
“Wil, no! Ku mohon! Aku akan membiarkanmu mengendalikanku!” Mina mencoba mendorong pisau itu menjauh.
“Saat aku berusaha mencegahmu untuk melakukan aksimu kemarin malam, kau berbohong padaku dengan kalimat itu. Kau membuatku percaya ketika membiarkanku mengendalikanmu. Tetapi, kau mendorongku kembali hingga wujud Mina yang sekarang menguasai dirimu lagi.”
“Please...” Mina merengkuh pergelangan kaki Wil dan ia bersujud.
“Tidak lagi untuk sekarang jika kau benar-benar ingin berubah, biarkan aku membunuh wujud mu yang sekarang.”
“Aku akan mengaku kepada polisi jika kau pembunuhnya.” Wil mengayunkan pisau tersebut seiring dengan teriakan Mina yang menggema di seluruh ruangan. Pisau daging itu memotong kepala Mina dengan sekali tebasan dan ia menghilang di antara sinar matahari yang menembus jendela kamar.
Wil menutup kedua matanya dan ia menitihkan air mata. Sesaat kemudian, ia membuka mata. Ia kembali memandangi pisau daging dengan noda darah kering di sepanjang bagian yang tajam. Ia mengingat bagaimana semalam aksinya lancar terkendali. Mengayunkan pisau itu dan menggorok leher Mrs. Valery tanpa ampun dan tanpa terpergok satpam sekalipun.
Wil berdiri dan berjalan ke arah cermin di ujung ruangan. Ia memandangi tubuhnya sambil mengambil napas dalam-dalam. Setelah sekian lama berdebat dengan sosok Mina yang asli, alter ego Mina yang bernama Wil menang. Di mata Mina, Wil merupakan sosok yang sempurna. Sosok yang sangat ia ingin miliki, yang membuat batinnya bergejolak setiap kali Wil akan mengambil alih dirinya. Sosok yang memiliki energi positif yang bertentangan dengan aura Mina. Sosok yang sulit untuk ia tetapkan berdiam diri. Sosok yang selalu ia dorong kembali ke alam sadarnya.
“Mina, ini konsekuensinya. Berubah sekarang atau tidak sama sekali.” Mina menghela napasnya dan berjalan mengambil ransel serta ponselnya. Ia melangkahkan kaki keluar apartemen dan menuju ke kantor kepolisian yang menangani kasus kemartian Mrs. Valery.
***
“Ceritakan bagaimana kronologinya!” Seorang polisi lengkap dengan pakaiannya bersama dengan empat orang aparat lain menginterogasi Mina di ruangan khusus.
Mina memandangi kedua pergelangan tangannya yang terikat oleh sebuah borgol di atas meja. Ia melirik sebuah tape recorder yang sedang merekam dan CCTV di ujung ruangan. Tubuhnya bergetar hebat, ia ketakutan. Tetapi, ia bersalah dan bersedia menerima hukuman apapun.
“Saya melakukan konsultasi dengan beliau pada jam 8 malam. Sebelum saya masuk ke ruang seminar, saya menekan saklar lampu dari luar dan ruangan menjadi gelap gulita. Beliau mamanggil nama saya dan saya masuk tanpa sepengetahuannya. Saya berdiri dibelakang kursinya dan membekap mulutnya. Saya ayunkan pisau tersebut tepat pada lehernya dan menebasnya sebanyak 3 kali.” Mina menunduk dan menggigit bibir dalamnya agar tangisannya tidak pecah.
“Saya menggunakan sarung tangan hitam agar sidik jari saya tidak ada disana. Setelah kepalanya terguling ke lantai, saya membuka sepatu dan jaket saya yang bersimbah darah dan memasukkannya ke dalam tas beliau yang isinya sudah saya keluarkan terlebih dahulu. Saya bergegas keluar ruangan dan menuruni tangga belakang agar satpam tak melihat saya. Di gedung fakultas pun hanya beliau dan saya saat itu disana.”
***