FLASH BACK
Usai mengumpulkan berkas peserta yang akan mengikuti pentas drama, Vella buru-buru menuju Cheery&Bakery karena tiba-tiba Indra menelpon dan memintanya segera datang ke cafe untuk menggantikan dirinya yang sibuk menyelesaikan tugas sekolah. Alasan yang kelewat biasa sih. Tapi toh tanpa alasan itu ia memang harus ke Cherry&Bakery seperti biasanya. Hanya saja ia masih tidak habis pikir kenapa dia merasa begitu dipermainkan hari ini. Setelah berkeliling SMA 21 mencari-cari panitia pentas drama, sekarang dia harus on time di Cherry&Bakery.
Hari mulai gelap, Vella lekas membuka pintu belakang cafe Cherry&Bakery, pintu darurat yang biasanya digunakan petugas yang ingin menuju dapur roti yang ada di belakang cafe ini. Ia berhasil masuk tanpa hambatan dan kini ia bergegas mengganti baju seragamnya dengan seragam pelayan cafe.
Selesai ganti baju, Vella meluncur menuju dapur cafe dan seseorang lekas memberinya nampan berisi pesanan.
“Kamu Vella kan?” tanyanya seraya memberinya nampan.
Vela memegang nampannya dengan sigap. “Iya. Kenapa—“
Vella tidak menyelesaikan kalimatnya saat seorang waitrees ini buru-buru berbalik. Wajahnya sempat terkejut hingga membuat Vella penasaran barangkali ada sesuatu yang salah dengan seragamnya. Tapi kemudian ia putuskan untuk berbalik.
“Kamu lagi!”
Ia mendapati wajah Kak Nanda yang erlihat kesal.
“Ya, aku di sini karena Kak Indra—“
“Ya aku tahu, aku tahu.”
Vella terkekeh dan hanya mengedikkan bahu. Alih-alih ia masih sibuk mengatur napasnya setelah datang ke tempat ini dengan tergesa-gesa.
“Apa ada pesanan yang mau diantar?” tanya Vella hati-hati. Ia celingukan. “Chef Brian di mana?”
“Dia sibuk sama tugas kuliahnya.” jawab Nanda ketus.
“Jadi Chef Brian masih sibuk sama tugas kuliahnya ya,” ulang Vella.
Nanda memiringkan kepalanya. Melihat nampan Vella yang kosong, terbesit ide di kepalanya.
“Baiklah, kau pasti menunggu dikerjai—ini.” Nanda meletakkan tiga roti tart ukuran jumbo di atas nampan Vella. Selanjutnya ia menambahkan tiga gelas minuman soda di sebelahnya. Otomatis nampan di atas tangan Vella menjadi penuh dan berat.
Vella meringis merasa nampan ini terlalu berat di tangannya. Ia menahan diri untuk tidak mengumpat gara-gara disuruh bawa roti tart jumbo begini. Tumben banget ada pembeli pesan roti jenis ini dan dimakan langsung di cafe.
“Nampannya berat ya? “
Vella mengangguk.
“Tadi kamu bilang mau menggantikan tugasnya Indra. Itu tugasnya Indra.” cibir Nanda pada Vella yang terlihat bimbang. “Kalau nggak mau, nanti biar aku laporin—Indra ke Chef.”
Vella berjengit kaget dan buru-buru menegakkan tubuhnya kembali. Ia menahan napas agar nampannya tidak terguncang.
“Baiklah-baiklah, aku bisa kok.” kata Vella sambil
membetulkan posisi gelas yang miring.
“Kalau begitu. Antarkan pesanan itu ke meja nomor 25. Cepatlah, mereka sudah menunggu,” ucap Nanda kemudian berlalu begitu saja.
***
Vella menggembungkan pipinya sambil melangkah hati-hati keluar dari dapur cafe. Karena terlalu banyak menu yang dibawanya, ia sempat menjadi pusat perhatian. Apalagi meja pesanan itu ada di ujung ruangan ini. Membuatnya makin lama menjadi sorotan pengunjung.
Ia memandang berkeliling mencari-cari meja dengan papan nomor 25. Baru kali ini dia ada di cafe malam-malam. Suasana cafe di malam hari terlihat berbeda. Lampu artivisial bercahaya temaram. Sementara lampu-lampu gantung di atas sana, terlihat bagus dengan suasana pencahayaan lampu utama di tengah cafe.
Sibuk menikmati suasana cafe, Vella sampai lupa kalau dia harus mencari meja nomor 25. Tunggu dulu. Cafe ini memiliki dua tempat. Tidak salah lagi, meja nomor 25 ada di sebelah ruangan ini. Di dekat taman belakang bersama meja-meja kecil yang hanya ada dua kursi yang saling berhadapan.
Vella beranjak keluar. Dia berbelok ke kiri saat ada tikungan kecil di ujung ruangan. Ia mencoba berjalan santai dan untungnya tempat ini sepi—suasananya tidak seperti biasanya.
“Tumben sepi banget di sini?” gumam Vella pada dirinya sendiri.
Saat melihat papan nomor 25 ada di ujung sana, Vella dengan semangat melangkah melewati meja-meja pengunjung di sekitarnya.
Semakin dekat dia melangkah, nyatanya meja itu kosong. Di mana orang-orang yang katanya memesan menu-menu jumbo ini?!
Batin Vella mulai bertanya-tanya. Ia kembali melangkah. Tetapi,
sesutu tampaknya baru saja menghalangi langkah kakinya. Vella terpelanting jatuh menimbulkan bunyi gemelontang yang ramai. Vella sukses terjerembab ke lantai dengan wajah penuh krim akibat roti tart yang tadi dibawanya. Hancur semua roti tart ini.
“Aduuh gimana ini?!” sesal Vella ketakutan.
“Hei! Apa kamu nggak bisa lebih berhati-hati?” tukas seseorang dari belakang.
“Apa dia pegawai baru di sini?”
Suara-suara itu terdengar begitu mengerikan di telinga Vella. Ia tidak berani berbalik karena merasa bersalah. Ia masih belum berani bangkit dari posisi jatuhnya.
“Kenapa hanya diam saja. Cepat bereskan itu semua!” Seru satu orang lagi.
Vella lekas mengusap krim di wajahnya agar bisa melihat dengan jelas. Wah, betapa berantakannya roti tart ini di atas lantai keramik di hadapannya. Minumannya pun tumpah ke mana-mana.
“Vell! Kamu dengar tidak?!” gertak seseorang lagi.
Vella tercekat. Ia menguatkan dirinya. Dengan hati-hati bangkit dari posisi duduknya. Ia berputar secepat kilat untuk memastikan siapa orang-orang di belakangnya yang begitu ramai mengomentarinya ini.
“TARRAA! HAPPY BIRTHDAY TO YOU!”
Seru semua orang kompak. Belum sempat Vella mengenali satu persatu orang-orang ini, tiba-tiba saja wajahnya kembali dihujani krim dan tepung.
Rasa kesal di hati Vella sempat menghilang begitu menyadari kalau ternyata ini kejutan ulang tahun. Tapi dia makin tidak suka saat orang-orang ini semakin seenaknya saja mem-bully-nya begini.
“Hentikan! Aku bilang hentikan!” gertak Vella.
Suaranya yang keras itu mengalihkan perhatian sebagian pengunjung cafe ini.
“Vella smile, cheeeze!” kata Ovie tak peduli dengan gertakan Vella.
Sekarang, semua orang bergantian memotretnya. Suara-suara kamera dan cahaya lampu blitz terus saja menerpa wajahnya tanpa henti. Vella berusaha menutupi wajahnya dengan kedua punggung tangannya.
“Vella! Panggil seseorang.
Vella melihat salah seorang dari mereka mengulurkan sebuah tisu.
“Ovie!” seru Vella terharu melihatnya.
“Ini pakailah untuk membersihkan wajahmu!” ucap Ovie masih sambil menahan tawa. “Wajahmu kaya roti tart. Kamu bener-bener berantakan!” dia tertawa lepas juga akhirnya.
“Bisa nggak sih udahan ngerjainnya.” Rengek Vella penuh harap.
Satu persatu dari mereka lekas mundur.
“Jangan marah Vella...”
“Kalau begitu, terimalah kado dari kami!”
Vella menoleh. Siapa sangka Rendy dan Ferdy tersenyum lebar di hadapannya dengan kado di tangan mereka berdua.
“Kamu nggak mau nerima kado dari mereka?” tanya Aga sambil berkacak pinggang.
“Sudah-sudah! Kalian ini belum puas mengerjai Vella ya?!” tukas Ivy dari seberang. Dia membawa nampan penuh kado. Detik itulah Vella tersadar dari lamunannya. Dia baru menyadarinya. Ucapan Happy Birthday itu, adalah ucapan selamat ulang tahun yang tadi sempat mereka katakan bukan?
“Jadi, aku ulang tahun ya?” pekik Vella.
Semua orang melongo dibuatnya.
“Serius? Kamu benar-benar lupa hari ulang tahunmu?” sindir Ovie nggak nyangka.
Vella menatap Ovie dalam tanya. Kemudian ia beralih pada semua orang di sekitarnya. Dia akhirnya memahaminya.
“Kami sengaja ngerjain kamu Vell.”
“Iya, pas kamu ngumpulin berkas itu—“
“Tapi kamu nggak nyadar juga!”
“Iya,” sahut Belinda. “Lo mikir apa si Vell kok kelihatan bingung gitu?”
Vella tertegun dalam tanda tanya.
“Vella kamu baik-baik aja?” tanya Indra khawatir. Ia beralih pada teman-teman Vella di sebelahnya. “Aku minta maaf kalau tadi—sempat bohongin kamu—ya supaya kamu dateng ke sini.”
Vella menoleh. Ia mendapati wajah Indra yang baru saja dilihatnya. Ia menghirup napas dalam-dalam dan lekas bangkit dari duduknya.
“Aku baik-baik saja.” Vella mengambil posisi siaga membuat semua orang waspada. “Ternyata Kak Indra ikut ngerencanain ini semua ya?” tanyanya tanpa menatap wajah Indra.
Semua orang malah saling beradu pandang saat suara Vella terdengar lebih tenang.
“Sebagai gantinya,” Vella menegakkan kepalanya. Menatap Belinda dan Indra bergantian. “Apa yang kalian dan Chef Brian rencanakan?”
“Lo ngomong apa Vell?” tanya Belinda.
“Emang siapa itu Chef Brian?” selidik Ovie.
“Yang punya cafe ini.” lanjut Belinda.
“Ehm!” Indra berdehem membuat semua orang tenang. “Kalau
kamu mau tau—“
“Kak Indra!” sela Belinda. Ia menggelengkan kepala berusaha menghentikan perkataan Indra.
“Yang jelas, kami cuma bantuin Chef Brian. Nggak ada maksud yang lain.”
Sementara mereka bertiga sibuk dengan percakapan ini, semua oarng mulai bertanya-tanya.
“Mereka ngomongin apa sih”
“Aku juga nggak tahu.”
“Jawab atau kalian harus kena krim juga!”
“Jangan bilang kamu mau balas—“
“Lariii!”
“Jangan lari!” seru Vella. Dengan cepat kilat dia mengusap wajah setiap orang yang ada di hadapannya dengan tangannya yang penuh krim dan dan coklat.
“VELLAA!!”
“LARII!!”
Semua orang berteriak dan sibuk melarikan diri saat Vella mulai mengejar mereka satu persatu. Meskipun terlihat kacau dan berantakan, mereka terlihat bahagia dan menikmatinya.
***
“Jadi Vella ulang tahun?”
Seseorang berbiara membuat Nanda menoleh. “Eh, chef Brian!”
“Kok aku nggak diundang?” keluhnya. “Dan mereka bahkan ngerayain di cafe-ku.” Brian terkekeh.
“Chef terlalu sibuk dengan kuliah, makanya nggak diundang.” Nanda hanya mengedikkan bahu. “Oya ngomong-ngomong soal cafe, satu dari mereka udah nyewa tempat ini seharian.”
“Siapa?”
“Adiknya chef,” jelas Nanda.
“Adikku?” tanya Brian bingung.
Nanda mengangguk. “Akhir-akhir ini, adik chef—Ivyandra sering dateng ke sini nanyain chef—dan dia sendiri yang sengaja merencanakan ultah Vella di sini.”
Brian menoleh. Dia melipat kedua tangannya ke depan. “Benarkah? Jadi, selama aku sibuk ngurusin tugas kuliah, Ivyandra sering datang ke sini?”
Nanda mengangguk. “Ya. Hampir tiap hari.” Ia mengernyit. “Aku nggak nyangka kalau dia rela pindah ke Jakarta demi ngajakin chef biar mau balik Italy dan tinggal bareng keluarga chef di sana.”
“Dia menceritakan itu padamu?”
“Ya. Dia ingin chef balik ke Italy.”
Brian terkekeh. “Sejak awal, keluargaku memang tinggal di Italy. Aku di sini untuk melanjutkan penelitian dan bisnis keluarga. Kalau udah selesai aku juga bakal balik ke Italy.”
“Kayaknya kalian nggak akur ya?” tebak Nanda penasaran.
“Bukannya nggak akur Nda, tapi dia sama sekali nggak ada hubungannya denganku ataupun dengan keluargaku,” terang Brian. “Dia itu cuma ngaku-ngaku sebagai adikku demi membujuk semua orang—termasuk kamu supaya aku balik ke Italy.”
Nanda menelan ludah. “Serius Chef?! Jadi dia bohong soal—“
“Kak Bryen!” seru seseorang dari arah belakang.
Brian dan Nanda sontak berbalik.
“Eh, kamu?” Brian hampir melompat karena terkejut saat Ivy tiba-tiba berdiri di hadapannya.
“Bryen?!” ulang Nanda bingung.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa tidak ikut berkumpul ngerayain ultah teman kamu?” tanya Brian dengan nada mengancam, namun tidak membuat Ivy merasa gentar.
Bagi Ivy, lama dia tidak bertemu orang ini justru membuatnya merindukan sifat keras kepalanya yang lama tidak dilihatnya.
Ivy tersenyum. “Akhirnya aku menemukan waktu yang tepat untuk ketemu Kakak di sini. Ternyata Syukurlah, kakak masih sama kaya dulu, dasar keras kepala.” Dia bergumam sambil menahan tawa.
Brian menatapnya sinis. “Ngapain kamu di Jakarta? Bulan ini juga kamu harus balik ke Italy. Atau aku terpaksa menyuruh seseorang untuk memaksamu pulang.”
“Aku sama sekali nggak ngerti sama situasi ini, jadi sebaiknya aku pergi. Permisi.” Nanda berlalu tanpa peduli dengan rasa penasarannya.
“Kak Nanda, kapan-kapan buatin aku menu favorit lagi ya Kak!” seru Ivy.
“Tentu!”
Ivy berbalik. Ia beralih pada Brian di hadapannya, lalu mendengus malas.
“Yah, seperti yang Kakak lihat. Aku punya banyak teman di sini. Aku tidak akan pulang sampai Kakak selesai dengan penelitian Kakak di sini.” tandas Ivy.
Brian menyunggingkan sebelah senyumnya. “Terserah kau saja.”
Ivy melangkah menjauh. “Aku akan selalu memantaumu dari sudut manapun.”
Brian diam dan tak mengatakan apa-apa.
“Oya,” Ivy menghentikan langkah kakinya. Ia berbalik dengan sesuatu di tangannya. Sebuah pigura foto berukuran 20x15 sentimeter.
“Dari mana kamu dapat foto itu?” tanya Brian terkejut.
“Tadi aku sempat mampir ke ruangan Kakak, hm, jika dilihat-lihat, wajah cewek ini sama seperti wajah cewek yang ada di pigura foto di rumahmu di Italy. Apa dia tunanganmu?” tanya Ivy penasaran. “Dari penampilannya, sekarang aku tahu seperti apa tipemu.”
“Orang tuaku berencana menjodohkan kami bedua. Tapi aku tidak menyukainya.” Pungkas Brian. Ia beralih pada Ivy.
Ivy mengangguk. “Jadi, Kak Bryen sedang menyelesaikan penelitian—atau menghindari perjodohan?”
“Tidak usah ikut campur urusanku. Dan kamu, berhenti memanggilku Kakak!” kecam Brian. Diapun melenggang pergi begitu saja.
Ivy tercekat. selama beberapa saat, ia hanya diam sambil terus menatap punggung pemuda jangkung itu yang menjauh.
“Aku nggak akan berhenti manggil kamu Kakak kalau kamu masih nganggep aku adikmu!”
Hening. Tak ada tanggapan yang terdengar.
“Aku pikir dia benar-benar Kakakmu.”
Seseorang mengajak Ivy berbicara.
“Vella?!” Ivy terkejut. Wajahnya terlihat gugup. “Sejauh ini aku menganggapnya Kakak. Karena dia selalu menganggapku sebagai adiknya.”
Vella mengangguk-angguk mencoba memahami arah berfikir gadis ini. “Ngomong-ngomong thank’s ya udah bikin kejutan ini buat aku.” Ia tersenyum lugu. “Tadi, Kak Nanda kasih tahu aku, kalau kamu yang ngerencanain acara ini.”
Ivy mengedikkan bahu. “Sebenernya aku hanya merekomendasikan tempat ini. Kalau rencananya sih dari—Ovie!”
panggilnya saat Ovie melintas di hadapannya.
“Kamu manggil aku?” tanya Ovie memastika. Ia menghampiri Ivy yang melambaikan tangan padanya.
“Kamu yang rencanaain kejutan ultahnya Vella kan?”
“Err—sebenernya—bukan aku—“ Ovie menoleh pada Vella dengan wajah gusar. “Ini rencananya Aga.”
“Aga?!”
***
@yurriansan makasiih banyak yaaa ... ☺️
Comment on chapter FLASH BACK