Seorang gadis kecil berambut panjang dengan dress berwarna pink polkadot telah terbangun dari tidurnya. Matanya menatap sekeliling, ia menatap suasana di sekitarnya dengan tatapan yang aneh. Bagaimana tidak? Saat ini, ia sedang berada di sebuah ruangan yang lapuk dengan kardus di sekelilingnya. Ia pun menatap ke samping kiri, di sana ia melihat kedua orang tuanya tengah berbincang dengan seorang nenek tua.
Gadis kecil berusia tujuh tahun itu hanya bisa menatap dengan bingung, kenapa orang tuanya berbincang sambil bersalaman—seperti tengah membuat kesepakatan—sambil membiarkan tubuhnya berbaring di ruangan asing. Anak tersebut menorehkan kedua bola matanya ke bawah, ia sungguh terkejut saat melihat kedua tangan dan kakinya dalam keadaan terikat.
‘A-aku kenapa?’ batinnya ketakutan.
Tubuhnya tampak bergetar, ia begitu takut. Ia menatap kedua orang tuanya dengan pandangan memohon, seolah meminta agar mereka mau melepaskan tubuhnya yang terikat. Namun apa daya, kedua orang tuanya tampak acuh tak acuh—tak hanya itu—bibirnya juga kelu akibat shock, membuatnya tak mampu untuk berteriak.
Anak itu hanya bisa menangis, menatap ke langit seolah berharap agar Tuhan mau membantunya melepaskan tubuhnya, dan sesekali melirik ke arah orang tuanya agar mereka mau menghampirinya. Ia pun menoleh dan terkejut saat kedua orang tuanya justru beranjak dari sana untuk pergi tanpa menghampirinya terlebih dahulu.
‘Ma-mama sama Pa-papa mau ke-kemana?’ batin gadis kecil itu ketakutan.
Ia pun menatap ke sekeliling tubuhnya. Gadis kecil itu baru sadar, bahwa ia tengah tertidur di kelilingi oleh lilin-lilin di sekitar tubuhnya. Tak hanya itu, ia juga mencium bau dupa yang sangat menyengat dan menusuk hidungnya. Ia pun melihat ke bawah, di tatapnya lantai tempat ia tiduri—tengah menggambarkan sebuah pentagon yang mengelilingi tubuhnya.
Anak itu mungkin masih kecil dan polos. Namun jika ada orang dewasa yang datang menghampirinya, mereka pasti bisa menebak kalau gadis kecil itu akan ditumbalkan untuk ritual pemujaan setan. Dengan polos dan ketakutan, ia hanya bisa menangis dan berharap ada orang yang mau datang lalu menolongnya.
Saat ia tengah menangis, seorang nenek tua dengan rambut serba putih, lipstick hitam di bibirnya, serta jubah hitam—dengan kapak di tangan kanannya terlihat datang menghampirinya. Nenek tua itu pun berlutut di hadapan anak kecil yang tengah ketakutan itu. Bagaimana keadaan anak itu? Jangan tanya lagi, ia benar-benar ketakutan sampai air mata yang mengalir dan tubuh yang bergetar hebat—tak dapat ia bendung.
Nenek tua itu mengelus pipi anak kecil tersebut sambil tertawa kencang—seperti seorang iblis—saat anak itu menunjukkan ekspressi polos dan ketakutan di hadapannya.
“HAHAHAHAHA.”
Gadis kecil itu hanya bisa menangis ketakutan. Jika seseorang berada di posisi anak tersebut, pastilah mereka merasa bingung dan juga ketakutan. Bagaimana mungkin ada orang tua yang meninggalkan anak mereka dalam posisi tersebut? Pastilah, orang tua itu memiliki maksud lain bagi anak mereka sampai-sampai ada seseorang yang berwujud penyihir duduk di samping anak tersebut.
“Diana, Diana, Diana... dasar anak malang. Lihat orang tuamu itu, mereka tidak menginginkanmu—sampai-sampai, mereka menumbalkan nyawamu hanya demi segepok uang. AHAHAHAHA.” Nenek tua itu pun tertawa.
Bagaimana dengan gadis yang disapa Diana tersebut? Ia hanya bisa menangis saat mengetahui faktanya. Bagaimana mungkin kedua orang tua yang begitu ia cintai dengan tega menjualnya pada sesosok iblis? Apa salahnya?
“Ke-kenapa Ma-mama sa-sama Pa-pa j-j-jahat?” tanya Diana dengan nada terbata.
Nenek tua berwujud penyihir itu hanya tertawa mendengar pertanyaan Diana. Ia pun mengelus pipi gadis itu dan kembali mengeluarkan tawa iblisnya. Benar-benar anak polos, tentu saja jawabannya sudah pasti karena mereka lebih memilih uang dibanding dirinya. Namun, Nenek tua itu meletakkan kapaknya seraya mendekatkan bibirnya pada telinga gadis itu—seolah ingin berbisik dan memberikan jawaban atas pertanyaan yang diucapkan Diana.
“Kamu benar-benar ingin tahu, anak manis? Benarkah kamu ingin tahu? AHAHAHA.”
Diana mengangguk dengan wajah merah nan penuh ketakutan. Nenek tua itu tersenyum, mulutnya bergerak dan akan segera menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Diana.
“Itu karena mereka ingin menumbalkan nyawamu pada iblis. Kau tahu kenapa mereka melakukan itu? Karena mereka ingin kaya. Jadi, mereka lebih menyayangi uang daripada dirimu, AHAHAHAHA!"
Diana menangis usai mendengar jawaban dari Nenek tersebut. Benarkah orang tuanya sejahat itu padanya? Kenapa mereka rela menjual nyawanya hanya demi uang? Di mana hati nurani mereka?
“Ma-ma sa-ma Pa-Pa hikss... jahat,” isak Diana sambil menangis.
Nenek itu hanya tertawa kencang mendengar ucapan Diana.
“Tentu saja, bocah kecil... memangnya kau bisa apa? Bagi orang tuamu, kau tidak ada apa-apanya dibanding uang itu AHAHAHA.” Nenek penyihir tersebut berkata hingga membuat Diana menangis kencang karena sakit hati.
Ia pun beranjak dari poisisi berlututnya dan tersenyum saat melihat Diana yang mulai menangis. Nenek penyihir tersebut pun berdiri di hadapan kaki Diana sambil merapalkan mantra yang akan ia buat untuk ritual. Ia pun memutar tangannya hingga membuat seluruh lilin di sekitar Diana pun redup.
Diana pun terhenyak, gadis kecil yang belum remaja itu sadar akan apa yang terjadi.
“Bersiaplah untuk ritual pengambilan nyawamu, Diana. AHAHAHA.”
Tubuh Diana pun langsung bergetar ketakutan saat Nenek tua tersebut mulai memutar kapaknya. Hanya berhitung beberapa detik saja, dipastikan jika kapak itu akan bersiap untuk memotong kepalanya. Dengan penuh rasa ketakutan, Diana pun berteriak histeris seolah memohon agar ritual itu dihentikan.
Namun, sang Nenek tetap terus melayangkan kapaknya hingga kapak itu mulai bersiap menyerang kepalanya.
“JAAANGAAAAANNNN.”
...
Jakarta, 17 Oktober 2019
Pagi hari yang cerah di STM Permata Cerdas, para murid terlihat berlarian ke sana dan ke mari. Murid-murid yang didominasi oleh para laki-laki tersebut, terlihat sungguh nakal dan berandal. Banyak yang saling melempar sandal, ada yang terlihat mengeroyoki seorang adik kelas, bahkan ada juga yang terlihat sedang bermain sepakbola di lapangan olahraga yang disediakan.
Suasana di sekolah tersebut, persis seperti sebuah sekolah tanpa guru. Hari itu padahal adalah jam pelajaran... namun, banyak sekali murid yang berkeliaran di luar sekolah bagaikan jam istirahat. Bahkan tak jarang, ada satu kelas yang justru kosong tak berisikan murid karena banyak murid yang memilih bermain di luar dibanding berada di dalam kelas.
Sekolah tersebut memang sangat berisik, guru-guru di sana terlihat seperti tidak ada sama sekali. Tapi bukan berarti di sekolah tersebut tidak ada kelas yang kosong, masih ada beberapa kelas yang terlihat masih mengikuti mata pelajaran. Namun murid-murid di kelas lain, sepertinya sedang ada pelajaran kosong dalam waktu yang panjang.
Namun suasana tersebut tampak berbeda di Kelas 12, murid-murid yang awalnya berkeliaran sudah mulai memasuki kelas. Hal ini disebabkan karena seorang guru telah datang dan itu berarti mereka sudah bersiap untuk memasuki pelajaran. Begitulah siswa STM Permata Cerdas—meskipun mereka terlihat nakal, tapi mereka semua adalah siswa yang begitu hormat pada seorang guru sekalipun guru tersebut adalah guru muda.
Suasana di Kelas 12 tampak hening, sehingga membuat seorang guru laki-laki yang berdiri di depan kelas mereka terlihat tersenyum puas ketika melihat kelas yang dimasukinya dalam keadaan tertib.
“Baiklah anak-anak, pada hari ini kita akan kedatangan seorang murid baru. Kehadiran murid baru ini sangatlah langka, karena murid baru yang akan berada di kelas ini adalah seorang perempuan,” ujar guru berkumis tersebut kepada semua muridnya.
Tentu saja, murid di kelas tersebut bersorak karena akhirnya mereka akan mendapatkan seorang murid perempuan. Saat mereka tengah bersorak, seorang murid perempuan pun datang memasuki kelas. Murid tersebut tampak cantik dengan rambut panjang berponi miliknya serta dengan mengenakan rok di atas lutut, membuat beberapa murid laki-laki mesum terlihat mimisan dibuat olehnya.
Hampir semua murid laki-laki di kelas tersebut terpana, oleh kecantikan yang diberikan murid perempuan yang baru tersebut. Banyak yang bersiul menggodanya dan bahkan ada yang sampai tak bisa bergerak karena terpesona melihat kecantikan murid baru tersebut.
“Baiklah, semuanya... kalian bisa diam terlebih dahulu. Dina, perkenalkan dirimu.”
Gadis bernama Dina tersebut menatap ke seluruh teman sekelasnya sambil membungkuk.
“Perkenalkan, nama aku Dina dan aku pindahan dari STM Cendekia. Semoga kalian bisa senang denganku,” ujar Dina memperkenalkan dirinya.
Setelah mendengar Dina memperkenalkan dirinya, semua teman sekelasnya terlihat bertepuk tangan—seperti senang menyambutnya. Dina tersenyum puas, gadis itu tampak lega karena kehadirannya di sekolah baru—ternyata disambut baik oleh siswa di sana meski, ia sendiri akan menjadi murid perempuan satu-satunya.
Kedua mata Dina pun melirik ke samping, di sana ia melihat ada seorang laki-laki berkacamata dan berambut jabrik terlihat tersenyum menatap dirinya penuh pesona. Seketika, sebuah seringai pun muncul dan menghiasi bibir tipis Dina.
“Bobby!” seru guru berkumis tersebut kepada pemuda yang duduk di bangku paling belakag.
Pemuda tersebut berdiri sambil berseru, “Saya hadir, Pak!”
“Nah, Dina... kamu bisa duduk di sebelah Bobby. Bobby tidak masalah ‘kan kalau Dina duduk di sebelah kamu?”
Bobby yang terlihat ikut terpesona dengan Dina hanya tersenyum mengangguk. Semua teman sekelasnya tampak menatap Bobby dengan tatapan iri.
“Tapi, Pak... saya tidak kelihatan kalau duduk di paling belakang. Boleh tidak saya duduk di sana?” pinta Dina sambil menunjuk kursi yang terlihat sudah diduduki dua orang.
Guru berkumis itu menangguk dan seolah mengerti, pemuda yang duduk di sana langsung mengusir teman sebangkunya, dan menarik mejanya untuk mempersilahkan Dina duduk di sana. Dina pun tersenyum, ia pun berjalan lalu duduk di atas bangku tersebut. Saat ia tengah menduduki bangku tersebut, tatapan Dina pun berubah tajam saat ia mengetahui dengan siapa ia duduk.
‘Kelihatan seneng banget ini cowok, belum tau aja gue itu siapa dan siapanya dia,’ batin Dina sambil menatap laki-laki yang tengah bersiul menggodanya dengan sinis.
“Cantik, kenalan dong... nama abang Martin—panggil aja Mark biar keren.”
Dina hanya tersenyum tipis penuh kepalsuan sambil menjabat tangan Martin.
“Hallo, Mark... aku Dina—“
‘—belum tau aja kalau gue udah kenal lu dari orok,’ lanjut Dina dalam batinnya.
Selama jam pelajaran, Martin terlihat terus menggoda Dina—seperti mengelus rambutnya, mencolek pipinya, bahkan sampai merangkul tubuh Dina seenaknya. Dina yang diperlakukan seperti itu oleh Martin hanya terdiam dan tidak melawan. Terkadang, Dina juga tersenyum saat Martin memperlakukannya seperti itu. Bukan karena ia senang, melainkan karena ia punya maksud lain terhadap Martin.
‘Tch, genit amat ini cowok... Lihat aja nanti, gue yakin ini anak bakalan kicep pas tau gue itu siapa!’ batin Dina sinis.
...
Jakarta, 25 Oktober 2019
Sudah genap satu minggu Dina bersekolah di STM Permata Cerdas, berarti sudah satu minggu pula Dina berteman dengan teman sebangkunya yang bernama Martin. Sebenarnya, Dina sendiri sungguh malas berteman dengan Martin—melihat pemuda tersebut sangat gatal terhadapnya dan juga sedikit culun. Namun apa daya, ia harus bisa berteman dengan Martin agar dapat menjalankan rencana gelapnya.
‘Tch, sebenarnya gue males temenan sama itu anak. Tapi, gapapa lah ya daripada rencana gue jadi gak lancar.’ Begitulah isi batin Dina yang harus berteman dengan Martin secara terpaksa.
Di sebuah rumah tua yang menyeramkan—dengan aksesoris berbau penyembahan iblis di dalamnya, terlihat Dina yang tengah menyantap hidangan sarapan bersama dengan seorang wanita cantik yang wajahnya terlihat awet muda. Wanita tersebut terlihat seperti Ibu Dina jika seseorang melihat interaksi mereka sekilas.
“Dina.”
Dina mendongakkan wajahnya sambil bertanya, “Ada apa, Bunda?”
Wanita dengan rambut bercepol satu itu hanya terkekeh usai mendengar perkataan Dina.
“Bagaimana rencanamu? Kau tidak lupa, kan?”
Dina menghentikan aktivitas makannya sambil menatap wajah Bundanya dengan kernyitan kening. Mengetahui putrinya yang terlihat bingung, Sang Bunda kembali berkata.
“Kamu jangan pura-pura lupa, deh. Rencana yang selama ini kita rancang dari kamu kecil, jangan bilang kamu lupa.
Dina tertawa kecil usai mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Ibunya. Setelah beberapa saat bingung dengan maksud “rencana,” Dina pun akhirnya tau apa yang ibunya maksud dengan kata “rencana.”
“Yaampun, Bunda... tenang aja kali, yakali aku lupa sama rencana yang kita buat dari aku masih kecil. Kalau aku lupa, gak mungkin aku sampai rela mau temenan sama si Martin.”
Bunda tersenyum sambil mendekati putrinya dan mencubit hidungnya gemas.
“Nah, itu baru namanya anak Bunda—“
Dengan posisi berjongkok, Bunda pun menangkupkan kedua tangannya ke pipi Dina dengan gemas.
“—kamu mau awet muda tidak, sayang? Biar kamu bisa seperti Bunda,” tawar sang Bunda terhadap Dina.
Dina yang sangat antusias langsung menangguk dengan wajah berbinar.
“Mau! Mau!”
Bunda pun mengelus pipi Dina dan tersenyum saat melihat putrinya yang sungguh antusias. Ia pun menarik Dina ke dalam pelukannya sambil sesekali membelai rambutnya.
“Tapi, ritualnya panjang banget loh... kamu gapapa hari ini bolos sekolah?”
Dina melepaskan pelukan Bunda nya sambil menjawab dengan manja.
“Hari ini sekolah ‘kan masuk siang, Bunda sayaang.”
Bunda hanya tertawa kecil dan ia segera merangkul Dina untuk berdiri dari tempatnya.
“Yasudah, sekarang kamu buka pakaian kamu. Kita akan mulai mandi kembangnya.”
Dina mengangguk dan mulai melepaskan bajunya di depan Sang Bunda.
‘Ini mungkin bisa menjadi cara... untuk menjerat mereka agar dapat masuk ke dalam rencanaku.”
...
Suasana di STM Permata Cerdas sungguh ramai dan tak terkendali. Banyak sekali murid-murid yang berkeliaran di luar kelas, serta banyak sekali kelas-kelas yang ruangannya kosong nan tak berguru. Maklum, sekolah tersebut hari ini memang sedang jadwal masuk siang karena guru-guru di sekolah tersebut sedang ada rapat penting yang membuang waktu.
Namun pada pukul 11.00, di Kelas 12 terlihat Martin dan Dina sedang duduk berdua di dalam. Karena kelas pada saat itu lagi kosong, Martin pun memanfaatkan waktunya untuk merayu Dina sepuasnya di dalam. Dina pada saat itu memang risih... namun demi rencana gelapnya terhadap Martin, Dina pun harus merelakan dirinya digoda habis-habisan oleh pemuda dengan watak yang sangat culun tersebut.
“Hey, Dinn... diem-diem aja. Ngobrol sama gue napa,” ujar Martin sambil mengelus dagu Dina yang lancip.
Dina yang berada di samping Martin hanya menatapnya dengan pandangan ilfil.
“Yah, habisnya gue bosen....”
Martin hanya tersenyum menggoda usai mendengarkan jawaban Dina. Dengan berani, ia pun memeluk Dina dari belakang seperti orang yang tidak tahu malu. Dina hanya mampu bertahan dari kerisihannya, saat Martin dengan berani seperti mengelus lehernya.
‘Ini cowok, udah gatel mana mesum lagi. Tapi, gapapa... semua gue jalanin demi rencana gue.’
Sesaat kemudian, Dina pun berdeham dan membuat Martin menghentikan kegiatannya.
“Ada apa, Din?” tanya Martin sambil menempelkan dagunya pada bahu Dina.
“Lu tahu gak, sih kalau hari ini gue ulang tahun?”
Martin melepaskan pelukannya dari tubuh Dina lalu, menangkup kedua pipinya dengan gemas.
“Seriusan lu ultah? Happy birthday ya, Din... muach muach,” ujar Martin sambil mencium kedua pipi Dina.
‘Dih, jijik banget... pake nyiumin gue segala,’ batin Dina jijik.
Dina yang diperlakukan seperti itu oleh Martin, hanya dapat mencoba untuk bersikap tenang. Tentu saja, ia bisa menyerang Martin hanya dengan satu mantra saja. Namun apabila Martin sampai meninggal aneh di sekolah, bisa-bisa ia dikucilkan dan identitasnya sebagai seorang penyihir pun diketahui orang banyak.
Dina pun membiarkan Martin saat pemuda itu saling menempelkan hidung mereka dan memainkan pipinya. Dina sebenarnya sangat risih pada saat itu... namun, ia juga tak bisa melawan karena bisa saja identitasnya sebagai seorang penyihir ketahuan—ya kalau ia tak bisa mengendalikan emosi dan berujung mengeluarkan jurus sihir andalannya.
Martin pun melepaskan tangannya dari pipi Dina dan itu membuat Dina langsung lega setelahnya. Namun kelegaan Dina tak berujung saat Martin justru berlutut di hadapannya, sambil mengelus pahanya yang terbuka.
“Terus, lu rayain gak ulang tahun lu? Soalnya, lu ‘kan ulang tahunnya ke-17.”
Dina tersenyum sambil menjawab, “Iya, gue rayain kecil-kecilan di rumah. Dateng ya nanti ke rumah gue jam delapan, ajak keluarga lu juga kalau bisa. Btw, rumah gue di Jalan Merbabu 9... pokoknya yang paling tusuk sate”
Martin tersenyum, sambil mencubit dagu Dina gemas.
“Siap.”
Dina pun tersenyum licik usai mendengarkan jawaban Martin—yang menyetujui ajakan palsunya.
‘Siap-siap ke neraka lu, Tin.’
...
Malam hari pun, tanpa terasa telah tiba menghampiri. Di sebuah rumah yang letaknya terpencil, terlihat Martin dan keluarganya telah berada di depan rumah yang diketahui adalah Rumah Dina. Bentuk rumah itu dari depan sangat menyeramkan, seperti rumah Casper dalam sebuah kartun jaman dahulu. Dari luar, suasana rumah tersebut tampak sangat dingin dan mencekam.
“Martin, kamu serius temen kamu tinggal di sini? Salah rumah kali,” ujar Mama Martin yang merasakan suasana mencekam tersebut.
“Iya, bener kata Mama kamu, Tin. Aneh banget ini rumah,” ujar Papa Martin sambil mengelus lehernya—tanda ia merasa merinding.
Namun Martin hanya acuh tak acuh mendengarkan perkataan kedua orang tuanya. Tentu saja, alamat rumah ini persis seperti apa yang diberitahu oleh Dina. Sebuah rumah yang letaknya di Jalan Merbabu dengan letak yang paling ujung, alias paling tusuk sate. Lalu, di mana kesalahan dari alamat tersebut? Martin sangat yakin kalau rumah di hadapannya sekarang benar-benar rumah dari Dina.
Martin menghela napas, lalu menoleh ke arah kedua orang tuanya dengan tatapan bosan.
“Ma, Pa, udahlah... aku yakin banget kalau ini rumah emang rumah Dina. Dina sendiri yang bilang waktu di sekolah, udah ah mending kita masuk.”
Usai mengucapkan hal tersebut, Martin langsung berjalan untuk memasuki rumah Dina. Kedua orang tua Martin hanya menghela napas usai mendengar putranya yang nampak tak peduli dengan keadaan rumah Dina. Mereka pun menghela napas dan berjalan mengikuti putra mereka dari belakang.
...
Setibanya mereka di dalam, mereka dikejutkan dengan keadaan rumah yang tampak menyeramkan. Rumah tersebut lebih mirip klinik paranormal dibanding sebuah rumah. Banyak sekali ornamen-ornamen iblis yang menghiasi isi rumah. Tak hanya itu, suasana juga tampak gelap dan hanya berisikan cahaya remang dari sebuah lampu tua serta lilin.
“Tin, kita pulang aja ya,” ujar Mama Martin yang merasa ketakutan dengan suasana di sekitarnya.
Begitu juga dengan Martin, pemuda tersebut sama ketakutan dengan kedua orang tuanya. Bulu-bulu di tubuhnya sudah berdiri, ia ingin sekali cepat-cepat melangkahkan kakinya dari sana.
“Sama, Ma, Pa... kita pulang ya.”
Mereka bertiga pun mengangguk dan mulai berjalan mundur untuk keluar. Namun sebelum mereka bertiga mencapai pintu...
BRUUUUKKKK
Sebuah pukulan dilayangkan ke leher mereka. Seketika itu juga, semuanya pun berubah menjadi gelap.
...
Martin mengerjapkan kedua matanya, ia terbangun dengan terkejut saat berada di sebuah tempat yang aneh. Ia pun menoleh ke arah kedua orang tuanya... Mamanya yang sedang menangis ketakutan dan Papanya yang sedang melotot karena rasa shock yang ia alami. Begitu juga dengan Martin, ia sangat merasa terkejut saat mengetahui dirinya sedang ada di mana.
Ia pun menoleh ke bawah dan melihat kedua kaki serta tangannya tengah dalam keadaan terikat. Ia pun mencoba melepaskannya namun tak bisa. Ia sedang diikat oleh sebuah rantai besi, yang hanya dapat dibuka dengan kunci. Martin menatap lebih dalam ke bawahnya, ternyata ia tertidur di atas lantai yang sudah diberi gambar pentagon dengan lilin-lilin di sekitarnya. Persis seperti orang yang ingin ditumbalkan pada iblis.
‘Gile, gue lagi ada di mana,’ batin Martin dengan penuh sirat ketakutan.
Tentu saja, bagaimana mungkin mereka tidak takut? Berada di sebuah tempat asing dengan keadaan sedang ingin ditumbalkan—siapa pula yang tidak akan merasa takut. Itulah yang saat ini tengah dialami oleh Martin dan kedua orang tuanya saat ini. Martin justru lebih dibuat bingung saat ibu dan ayahnya justru menangis bukannya ketakutan. Ditambah lagi, tangisan mereka bukanlah terdengar seperti tangis ketakutan melainkan seperti sebuah tangis penyesalan.
Suara decitan pintu pun terbuka dan membuat Martin menoleh. Di sana ia melihat Dina dan Bundanya tengah berdiri di depan pintu, sambil membawa kapak di tangan mereka.
“Masih mengingatku, Mama, Papa, dan Kak Martin?”
Kedua mata Martin pun membeliak saat Dina memanggil kedua orang tuanya dengan Mama dan Papa.
“Gak usah sok kaget gitu. Iya, gue Diana... anak yang pernah kalian tumbalin.”
...
“JAAANGAAAAANNNN.”
Namun ternyata Diana salah, kapak tersebut tidak memenggal kepalanya melainkan menancap di sisi kiri tempatnya terbaring. Diana pun menghela napas lega tanpa mengalihkan tatapannya pada Nenek tua yang kini wajahnya telah berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik dan muda—persis seperti noni-noni Belanda era penjajahan.
Wanita itu ternyata adalah penyihir yang sempat ingin menumbalkan Diana.
“Aku tak akan mungkin tega membunuh anak naif sepertimu.”
Setelah wanita tersebut mengucapkan kalimat itu, seluruh ikatan di tubuh Diana pun terlepas. Gadis kecil itu langsung beranjak ke posisi duduk sambil menatap wanita di hadapannya dengan tatapan bingung.
“Perkenalkan, namaku Madame Nousand. Kamu bisa memanggilku Bunda.”
Diana menatap wanita di hadapannya dengan tatapan heran. Anak perempuan yang masih sangat kecil itu sungguh bingung. Kenapa aura iblis yang ada pada wanita di hadapannya saat itu, justru berubah menjadi aura keibuan? Ada apa ini? Madame hanya tersenyum, ia mengerti akan raut kebingungan yang tersirat pada wajah gadis kecil itu.
Tangannya pun terulur untuk mengelus pipi Diana dengan penuh kasih, layaknya seorang Ibu kepada putrinya.
“Sekarang kamu tidak perlu takut lagi, sayang. Bunda akan selalu menyayangimu sama seperti Bunda menyayangi nyawa Bunda sendiri.”
Diana pun dengan polos mengulurkan tangannya untuk mengelus wajah Madame. Ke mana sosok nenek sihir di wajah Bundanya yang baru? Kenapa justru sosok cantik yang sekarang terpampang di kedua bola matanya? Madame tersenyum akan ekspressi bingung yang ditunjukkan oleh Diana.
“Wajah Bunda memang selalu berubah dengan sihir. Kalau Diana ingin tambah cantik seperti Bunda, Bunda bisa kok bikin Diana semakin cantik. Diana mau?” tawar Madame sambil membelai kening Diana.
Dengan polosnya, Diana pun mengangguk. Dengan penuh kasih dan cinta, Madame pun menggendong Diana untuk membawanya ke pemandian pribadi miliknya.
...
Saat berada di pemandian, Madame terlihat penuh kasih memandikan tubuh Diana—sesekali, ia juga menyenandungkan sebuah nyanyian di telinga Diana. Diana yang terbuai pun tertidur di dalam pelukan Madame. Saat itulah, Madame dengan lembut memberikan bunga kantil di telinga Diana sambil membisikkan sebuah kalimat yang tak akan pernah terlupakan oleh Diana.
“Mulai hari ini namamu adalah Dina. Kau akan menjadi seorang penyihir hebat sepertiku. Suatu hari nanti, kau akan membalaskan dendammu kepada kedua orang tuamu—yang tega padamu. Bunda berjanji, sayang.”
Madame pun mengecup kening putrinya dengan penuh kasih seorang ibu.
...
Dina menghapus air mata yang menetes di kedua pipinya usai menceritakan cerita tersebut. Kedua orang tua kandung Dina hanya bisa terkejut dengan penuh penyesalan di hati mereka. Begitu juga dengan Martin, ia juga terkejut saat mengetahui bahwa Dina ternyata adalah adiknya yang selama ini menghilang.
“Apa? Jadi lu adek gue?”
Dina menatap sinis ke arah Martin sambil berseru, “Gak usah sok peduli lu, Tin sama gue! Lu kata gue lupa sama semua perlakuan jahat lu ke gue? Elu ‘kan yang hasut mereka buat numbalin gue gara-gara lu emosi Oma sama Opa meninggal? Lu bilang gue pembawa sial!”
Martin hanya terdiam, ia ikut merasa bersalah atas keadaan Diana sekarang. Jujur saja, Martin sempat membenci Dina sewaktu mereka masih kecil karena kehadiran Dina dianggapnya sebagai penyebab Nenek dan Kakeknya meninggal dunia. Jujur saja Martin menyesal, ketika mengetahui keadaan Dina yang menyimpang ke jalan sesat karenanya.
Madame memutarkan kedua bola matanya, merasa bosan dengan perdebatan keluarga yang tiada hentinya.
“DIAM KALIAN. SEKARANG... KALIAN SEMUA AKAN MERASAKAN APA YANG PUTRIKU RASAKAN.”
Dina hanya tertawa kecil usai mendengar teriakan dari Bundanya.
“Nah, dengar apa kata Bunda? Kalian pasti bingung ‘kan kenapa kalian selama ini masih gak kaya meskipun udah numbalin aku? Yaiyalah, Bunda mana tega berbuat keji kayak gitu. Meskipun dia seorang penyihir, tapi DIA GAK BUSUK KAYAK KALIAN. Sekarang kalian ‘kan udah numbalin aku, bagaimana kalau aku numbalin kalian balik? HAHAHAHAHAHA.”
Ketiga orang yang terikat itu terus berontak guna melepaskan dirinya, sambil menatap Dina dengan penuh penyesalan. Rasa bersalah itu pun muncul di dalam hati mereka, namun Dina bukanlah orang yang semudah itu bisa memaafkan orang lain. Didikan ibunya yang seorang penyihir, membuat Dina menjadi seorang gadis yang berhati beku. Dengan orang lain yang berbuat kesalahan kecil saja, ia susah untuk memaafkan. Apalagi dengan orang lain yang dengan teganya ingin menjual nyawanya hanya demi uang.
Kalau mereka saja bisa berbuat seperti itu? Kenapa Dina tidak bisa melakukan hal yang sama?
“Dina, maafkan kami... kami menyesal. Tolong maafkan kami, Nak,” ujar Mama sambil menatap Dina miris.
Dina hanya tertawa kecil saat mendengar permohonan maaf dari Ibunya.
“Maaf, Nyonya... ritual akan tetap dilaksanakan.”
Dina dan Madame pun langsung berjalan ke depan kaki mereka yang terikat.
“Ampuni Mama dan Papa, Nak...”
Namun Dina tidak menghiraukan itu semua. Baginya, orang tua kejam seperti mereka sangatlah sulit untuk dapat dimaafkan. Kenapa baru sekarang mereka meminta maaf? Dulu kemana saja? Sekarang, mereka bertindak seolah-olah seperti orang yang ingin memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya. Tapi, apakah itu hanyalah omong kosong belaka? Kalau mereka menyayangi anak mereka, tidak mungkin mereka sampai hati ingin menumbalkan darah dagingnya sendiri.
“Bagi kalian, uang lebih berharga bukan daripada aku? Maka aku pun bisa berkata... bahwa, uang juga lebih berharga daripada kalian. Aku akan tetap menumbalkan kalian agar aku bisa kaya, AHAHAHAHA.” Diana berkata seperti itu sambil tertawa dengan mengerikan.
Setelah itu, ia pun mulai memejamkan kedua matanya dan membuka kedua tangannya. Di dalam mulutnya, terlihat ia seperti sedang merapalkan sebuah mantra untuk melakukan sebuah ritual. Kedua orang tua Diana terus menatapnya dengan pandangan memohon ampun. Sedangkan Martin, pemuda itu langsung pingsan setelah mengetahui akan apa yang akan terjadi padanya dan kedua orang tuanya. Sementara itu, Madame terlihat memutar-mutarkan kapaknya seolah ingin menggunakan kapak itu untuk menebaskan kepala seseorang.
Usai Diana merapalkan sebuah mantra, lilin-lilin yang mengelilingi Martin dan kedua orang tuanya pun redup. Ia pun menoleh ke arah Bunda nya yang sudah bersiap untuk menebas kepala kakak, ibu, dan ayah kandungnya.
“Baiklah, kalian akan merasakannya. Selamat bersenang-senang di Neraka.” Madame mengatakannya sambil tersenyum iblis.
Ia pun memutar-mutarkan kapaknya dengan sangat cepat. Beberapa detik kemudian, kapak itu pun melayang dan menebaskan kepala kedua orang kandung Dina juga Martin.
“HAHAHAHAHA.”
Dina langsung tertawa puas setelahnya, ia tambah senang saat melihat ketiga orang yang paling ia benci telah meninggal dengan kepala terpisah. Ia pun merangkak ke arah mereka sambil menjilati darah mereka dengan sebuah senyum keji yang terulas di bibirnya.
“Kalian telah merasakan apa yang aku rasakan. Ku ucapkan selamat bersenang-senang di neraka sana. HAHAHAHAHA.”
“Don’t judge book by it’s cover.”
-TAMAT-
bagus ceritanya manuel, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)