Desa Idaman
Di tengah keramaian hilir mudiknya orang-orang di terminal, aku berdiri dengan bahagia bersama tas punggung sesak untuk sebuah perjalanan mulia. Dari tadi sedang mencari-cari bus apa yang akan dinaiki untuk sampai ke Horakanja, sebuah desa yang akan menjadi sejarah atas nama keberanian. Namun, setelah berkeliling menanyakan ke beberapa kondektur bus, mereka selalu menjawab dengan kernyitan dahi.
Berputar-putar aku di terminal selama 3 jam, maka peluh semakin membanjiri seluruh tubuh. Kadar kebahagiaan perlahan-lahan mulai menyusut. Salahkah menulis alamat atau mereka semua orang baru di terminal ini? Namun, terlalu aneh jika semua kondektur bus di sini orang baru. Meskipun demikian, hal itu tak boleh menyurutkan semangat karena masalah sepele ini.
Biarkan aku duduk istirahat sejenak dulu, kawan. Kita lihat dulu ke belakang, semua perjalanan ini berawal dari teman kampus perempuan, ya bisa dibilang aku jatuh cinta kepadanya, tapi dia ambigu, tak jelas dan penuh yang disembunyikan.
“Aku mencintaimu!” Kupandangi lekat-lekat matanya.
Pipinya memerah, wajahnya tertunduk entah ada beban apa di kepalanya. Aku bergeming tetap menatapnya. Tiba-tiba dia hendak pergi.
“Hai, mau kemana?” Kutahan lengannya.
“Lepaskan tangan saya.”
“Oh, iya. Maafkan aku. Tapi aku butuh jawabanmu, jangan seenaknya pergi tak menghargai usaha yang sudah kukumpulkan selama ini untuk bicara seperti tadi.”
“Kamu nggak boleh mencintai saya,” dengan masih tertunduk.
“Terus yang boleh mencintaimu siapa?” Aku mulai meninggi.
“Bukan begitu. Kamu tak akan mengerti,” Masih tertunduk.
“Mana bisa aku mengerti jika tak kau jelaskan?”
“Tak semua hal akan dimengerti jika sudah dijelaskan, kita hanya cukup mengiyakan saja hal yang tak dijangkau akal,” wajah manisnya mulai terlihat.
“Semua hal bisa dipahami dengan penjelasan, dengan akal. Itu senjata utama manusia,” aku masih tak mau mengalah.
“Ucapan yang seperti itulah yang menunjukkan bahwa kamu benar-benar tak mengerti,” matanya menatapku.
“Terus apa?” Aku terlalu terkesima dengan matanya, “yang penting jawab saja pernyataanku.”
“Sudahlah, jauhi saya. Jangan campuri urusan saya,” dia hendak pergi. Spontan tanganku menahan lengannya kembali, “sekali lagi kamu pegang-pegang tangan, saya akan teriak.”
“Baiklah, baiklah. Aku hanya perlu jawabanmu saja. Tak kurang tak lebih,” aku memelas. Dia hanya diam dan segera pergi, maka terdiamlah langkahnya dengan teriakanku, “aku akan terus mununggu jawabanmu, bahkan aku akan ke rumah kontarakanmu, dan jika masih tidak, aku akan mendatangi rumahmu. MELAMARMU!”
Dia menoleh dengan tatapan tajam dan menantang, “Silakan saja jika kamu bisa dan berani!”
Maka di terminal Cileunyi inilah aku sekarang, untuk pergi ke Tasik, tepatnya ke Horakanja, tempat Ika orang yang akan kulamar tinggal. Mendapatkan alamatnya amatlah susah, mesti mendatangi bagian tata usaha fakultas. Ini bukan sebuah kecurangan, ini adalah ilham alam yang sedang mendukung sang pejuang cinta.
Namun, masalahnya sekarang orang-orang di terminal ini tak tahu mengenai Horakanja, apakah benar aku salah menulis alamatnya atau memang ini tempat yang sudah hilang diambil negara asing? Ah, bodoh! Atau aku harus pergi ke Tasik dulu gitu?
“Hai, Kang mau ke Horakanja?” Seorang dengan tubuh ceking mengaburkan lamunanku.
“Iya. Kok tahu?”
“Itu tadi barudak seuer nu nyarioskeun akang soal Horakanja (itu tadi anak-anak banyak yang ngebicarain akang soal Horakanja).”
“Kalau mau ke sana harus naik bus yang mana, Mang?”
“Emang jarang sih, Kang. Tapi Akang hari ini sangat beruntung karena ketemu saya, saya kondektur dari bus yang langsung menuju Horakanja.”
“Serius, Mang?” Aku setengah tak percaya.
“Kalau nggak percaya jangan naik bus saya.”
“Canda tadi mah, Mang. Hayu atuh (ayo kalau begitu).”
“Kemon!”
Benar kata Paulo Coelho, “Aku mencintaimu karena segenap alam semesta bersatu membantuku menemukanmu.” Ini adalah murni kekuatan cinta, karena bus berwarna putih polos siap mengantarku kepada rumah sang pujaan. Ternyata di dalamnya sudah banyak orang, bus ini sepertinya termasuk ke dalam kelas eksekutif karena ada AC dan bagasi atas untuk menyimpan barang, pengharum ruangan ditempel juga di beberapa jendela.
Aku duduk di kursi nomor dua dari depan, tas sesak yang tadi melekat di punggung sekarang melekat di perut, tak akan sepolos itu membiarkan tas ini duduk sendiri di bagasi atas dan ada seorang ibu paruh baya yang duduk dekat sebelah jendela sudah dalam keadaan tidur. Di bus ini, meskipun semua tempat duduk penuh terisi, tetapi suasananya hening seakan mengajak kita untuk tidur saja langsung begitu masuk, tak ada pengamen dan tak ada pedagang asongan tentunya.
Mesin bus mulai menderu tepat pukul 11.30, bus berwarna putih polos tujuan Bandung-Horakanja pun meluncur. Aku lupa saking asiknya tadi berputar-putar di terminal, perut mulai meronta meminta jatahnya, dibukalah resleting tas untuk mengambil misting makan siang yang telah disiapkan dari rumah, betapa hematnya. Sembari menunggu si kondektur menagih ongkos, tak mau tidur cantik nanti terganggu.
Setelah lama menunggu, makanan juga sudah dari tadi dicerna lambung, si kondektur tak datang-datang juga untuk menagih, apakah bayarnya nanti pas turun? Mau bertanya, tetapi semua yang duduk di sebelah sudah pulas tertidur. Dan di tengah kebimbangan itu, si kondektur melangkah ke arahku, sepertinya mau ngecek penumpang,
“Mang, ini bayarnya berapa?”
“Terserah, Kang. Seiklasnya saja”
“Kok terserah, sih?”
“Ini mah da angkutan umum independen, Kang. Jadi mangga mau bayar berapa juga”
“Oh gitu. Ini masih jauh, Mang? Meuni lami-lami teuing (lama sekali), tempatnya di hutan pelosok gitu?” Aku mencandainya.
“Lumayanlah, Kang. Kan jauh perjalanan Bandung-Horakanja mah. Udah tidur aja dulu, biar nggak kesal,” candaanku tak digubrisnya?
“Saya juga dari tadi mau tidur, cuma takut diganggu sama Emang kalau tiba-tiba nanti nagih ongkos,” aku mencandainya kembali.
“Ha ha santai aja, Kang. Nggak akan dibangunin ini,” dia sekarang yang malah mencandaiku.
Aku tertawa saja sebagai reaksi untuk candaannya, ya meskipun tak terlalu lucu, sih. Ini namanya moral, kawan. Karena sudah ada mandat dari kondektur bus agar boleh tidur, tentu karena aku orang yang patuh aturan, tak akan mungkin melanggarnya. Dan sekarang pukul 15.00, paling satu jam lagi juga sampai, dan tak lupa siapkan ongkos di saku kemeja untuk turun nanti. Maka dari itu, selamat tidur.
Terbangun aku dari lelapnya tidur, masih dengan suasana hening khas bus putih polos ini dan masih dalam posisi duduk di bangku, lihat sekeliling. Di mana aku? Ini bukan bangku bus! Ini juga bukan suasana hening khas bus polos putih itu. Mengamati sekali lagi, ternyata hari sudah gelap. Rasanya aku seperti sedang duduk di bangku halte pemberhentian angkutan umum, lirik jam di tangan, sekarang pukul 21.00?
Aku tenangkan diri kembali, umur masih muda, ingatan masih kuat. Sebelum tadi tidur pasti sedang berada di bus tujuan Horakanja, tetapi kenapa tiba-tiba bisa duduk di halte? Apakah diturunkan karena belum bayar ongkos? Atau si kondektur tadi menanggapi serius becandaanku? Sungguh rendah selera humor si kondektur jika hal demikian benar.
Ah, tak perlu banyak berpikir untuk sekarang, saat ini yang lebih penting perlu tahu ada di mana, sialnya tempat ini sangat sunyi senyap, hanya pepohonan malam di sisi-sisi jalan, tak banyak lampu jalan, mereka tak berteman baik satu sama lain, saling berjauhan. Hati kembali senang melihat ada warung sederhana di sana, dan setelah didatangi tak banyak jajanan yang dijajakan, dengan seorang nenek tua sebagai penunggunya,
“Maaf, bu. Ada kopi?” Ini cara permulaan baik untuk berbincang serius dengan orang asing yang belum kita kenal. Buat mereka senang dahulu.
“Ada,” Jawabnya dingin.
“Satu, Bu dibuat di sini,” aku agak kaku.
“Sebentar.”
Tak ada obrolan yang terjadi selama proses pembuatan kopi, ternyata si Nenek tidak senang dengan aku membeli kopinya, berarti lain kali kalau mau tanya pada orang asing sepertinya harus langsung to the point, jangan banyak basa-basi. Dan secangkir kopi terhidang di depanku.
“Ini daerah apa namanya, Bu?”
“Horakanja,” masih dingin.
“Saya mau ke rumah teman saya, namanya Ika. Ibu tahu?”
“Di ujung jalan sini,” tetap dingin.
“Jauh, Bu?”
“Lumayan,” makin dingin
“Kalau di sini harus naik apa, Bu kalau mau ke sana?”
Si Nenek tiba-tiba tertawa, entah karena ucapanku lucu baginya atau wajahku mengeluarkan ekspresi lucu? Entahlah. Aku bersyukur mungkin obrolan kita akan menghangat. Namun, ketawanya tak berhenti, yang awalnya dia tertawa sambil menutup matanya, sekarang matanya terbuka dan memandang lekat-lekat ke arahku. Aku kikuk tak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap tawanya.
Dan lama kelamaan tawa si Nenek makin nyaring, giginya yang satu dua semakin jelas terlihat, semakin menyeramkan, matanya tetap lekat mengarah kepadaku. Si Nenek mulai berdiri dan tawanya masih tak berhenti, dia berjalan perlahan menghampiriku. Aku harus bagaimana? Aku jatuh dari kursi, cangkir kopi pun ikut-ikutan tuannya menjatuhkan diri. Aku menjauh sambil tetap waspada.
Si Nenek tiba-tiba terdiam dan tertunduk, lama, lama sekali. Aku tetap waswas, peluh terus mengucur di dahi. Si Nenek melihat kembali ke arahku tanpa ada tawa, dia tersenyum,
“Maafkan aku, kau ketakutan, Nak?” Dia masih tersenyum.
“Lu-lumayan ….”
“Maafkan aku, tadi Elika. Sekarang, aku Nelika,” senyum tetap dipertahankannya.
“A-Apa!? Yang benar?”
“Sudahlah, kemari duduk kembali. Aku akan buatkan kembali kopi.”
“Sudah, Bu tak usah. Saya mau langsung pergi saja ke rumah teman saya”
“Ini sudah larut malam, delman juga sudah jarang untuk sekarang, dan daerah ini jika malam sangat rawan. Bermalam saja kau di warungku. Aku hanya sendiri di sini,” senyumnya terlihat sangat tulus sekarang.
Namun, aku tetap menolaknya dan segera pergi ke jalan yang ditunjukkan si Nenek untuk bisa mencapai rumah Ika setelah membayar uang kopi. Mana mungkin aku akan tidur nyenyak jika seatap dengan Nenek Nelika yang sewaktu-waktu Nenek Elika kembali terbangun dan menyerang.
Lama aku berjalan, terhitung 1 jam setelah tragedi warung Nenek Nelika. Sepertinya semesta masih berpihak padaku, sorot lampu senter yang dipegang pak kusir seperti cahaya ilahi yang membimbing orang tersesat, ringkihan kudanya seperti suara emas panggilan Tuhan kepada hambanya, ketukan langkah kuda beradu dengan aspal menjadi kompak dan harmoni seperti konser megah musik.
Seorang kakek tua menjadi kusir penyelamatku kali ini, entah kenapa warga di sini sepertinya sudah tua semua, tapi tak usah peduli, yang penting bisa menaiki delmannya,
“Pak, saya mau ke rumah Ika teman saya di ujung jalan ini, bisa antar?”
“Sebentar dulu, Adik ini asalnya dari mana?”
“dari Bandung, orang Bandung, Pak”
“Bahkan Adik mau ke Bandung lagi juga saya antarin,” si Kakek mencandaiku.
“Asyiap!” aku bahagia.
“Jadi kita ke Bandungnya kemananya, nih?” Si Kakek mencandaiku lagi sepertinya.
“yeh si Bapak mah kita ke rumah Ika sekarang mah.”
“Ika mana ini teh?”
“Kartika Subagdja, rumahnya di ujung jalan ini.”
“Oh. Mau apa ke sana?”
“Rahasia, Pak ah,” aku masih malu menjelaskan kepada orang asing tujuan asliku.
Si Kakek tak menanggapi lagi, perjalanan pun dimulai kembali. Kulirik jam di tangan, 10.20 ternyata sudah semakin larutlah perjalanan mulia ini, tetapi tak apa ini memang perjuangan atas jalan cinta. Setelah diperhatikan jalanan desa ini semakin bosanlah melihat lampu di sisi-sisi jalan ini yang saling berjauhan, saling bermusuhan. Nanti jika sudah menikah dengan Ika dan tinggal di sini, misi pertama adalah mengakurkan para lampu jalan. Sungguh mulia.
Namun, hal aneh kembali terjadi dalam perjalanan ini, aku terus-terusan melihat lampu jalan yang rasanya sudah melihatnya. Meskipun malam, lampu-lampu ini menjadi jelas sebagai penanda jalan. Ketika bertanya ke si Kakek, dia hanya menjawab, “Ah, perasaan Adik saja. Ini sebentar lagi sampai.” Sebentar lagi sebentar lagi, ini sudah dua jam loh, Gerutuk hatiku.
Aku semakin geram pada lampu jalan yang ketujuh kalinya mata ini bertemu lagi dengannya.
“Pak, dari tadi perasaan kita hanya mutar-mutar aja?”
“Ah, perasaan Adik saja. Ini sebentar lagi sampai,” dia mengeluarkan kata saktinya.
“Saya turun di sini saja, Pak.”
“Eh, kok di sini? Ini sebentar lagi sampai loh.”
“Tak apa, Pak. Saya lagi ingin jalan saja.”
“Beneran?”
“Iya.”
Aku turun dari delman sialan ini setelah bayar ongkosnya. Padahal dua jam sebelumnya delman ini diagung-agungkan sebagai penyelamat sekarang berputar 180 derajat mejadi kesialan. Dan kaki dipaksa berjalan lagi di jalan yang kiranya benar, tentu karena keluar dari jalur lampu jalan sialan itu. Aku memasuki hutan yang semakin pekat dan gelap.
Pohon di sini tinggi-tinggi, tak terdengar suara-suara hewan aktif di malam hari, sunyi, sepi. Aku telah berjalan selama 1 setengah jam, tetapi ujung hutan ini masih belum terlihat. Kusandarkan diri pada pohon untuk mengistirahatkan badan yang mulai terasa letih, terduduk tanpa sadar beberapa saat lamanya. Rasa kantuk mulai menggerayangi tubuh, hanya ingin segera tidur.
Kupaksa melanjutkan perjalanan kembali, setelah berdiri, dengan tiba-tiba ada wajah menyeramkan muncul dari balik kegelapan berhadapan dengan wajahku yang sangat amat dekat. Aku terkejut dan tersungkur ke belakang, segera membaca situasi makhluk apa tadi? Dan setelah tersadar, mulai mengenali siapa yang berada di hadapanku kini. Dia adalah Ika.
“I-Ika?” Nafasku masih tersengal.
“Simon!? Kenapa kamu ada di sini?” Dia juga sama terkejutnya.
“Ha ha ha akhirnya aku menemukanmu!” Aku berbaring karena merasa lega.
“Jangan tidur di sana. Apa-apaan sih ini?” Dia masih belum menerima kenyataan sepertinya.
“Bawa aku ke rumahmu, nanti akan kujelaskan semuanya.”
Aku berjalan kembali menyusuri hutan gelap pekat ini, tetapi sekarang tak sepi, ada Ika di depanku yang sedang menunjukkan jalan menuju rummahnya. Dan sampailah di rumahnya kira-kira tiga puluh menit perjalanan. Rumahnya tak besar tak juga kecil, berbeda dengan rumah-rumah warga yang kulewati sepanjang jalan, rumah ini terdiri dari kayu jati, suasana menenteramkan.
Setelah masuk lalu duduk di ruang tamu, maka kuceritakan semua perjalan yang terasa aneh dari mulai naik bus sampai bertemu dengannya di hutan tadi. Dia diam memperhatikan dan bertanya sesekali untuk memastikan. Dia tetap manis ternyata, meskipun sudah malam dan tinggal di tempat aneh ini, pakaiannya seperti jubah menjuntai ke bawah, semuanya berwarna hitam. Dan ketika cerita berakhir, dia diam seperti berpikir beberapa saat dan mulai menanggapi,
“Kamu beruntung bisa selamat sampai sini.”
“Eh? Emangnya kenapa?” Aku kaget.
“Iya, beruntung. Pertama soal delman yang kamu naiki, jika kamu tidak turun selama setengah jam lagi dan dia menemukan salah satu temannya kamu akan diculik.”
“Apa maksudmu dengan diculik?” Aku mulai ketakutan.
“Mereka agen human trafficking, di daerah Horakanja ini sudah menjadi hal lumrah soal itu, tetapi beruntungnya kamu segera turun. Kedua, kamu tidak mengiyakan tawaran Nenek Kepribadian Ganda itu untuk bermalam di sana dan tak meminum kopinya, karena kalau kamu bermalam di sana, kamu akan jadi korban human trafficking, dan kopinya tentu sudah dimasukkan obat tidur. Dia berkomplot juga dengan si Kusir Delman.”
“Tunggu, tunggu, tunggu. Penjelasanmu tidak masuk akal, kalau benar mereka agen human trafficking kenapa nenek Nelika menunjukkanku jalan untuk sampai ke rumahmu?”
“Apa kamu benar sampai di rumah saya ini karena jalan yang ditunjukkannya? Tidak ‘kan? Saya mengira dia menunjukkan jalan agar si pak kusir mangambil alih pekerjaannya karena misinya tak sukses.”
“Lalu kenapa si pak kusir tidak langsung membawaku ke markasnya dari pada berputar-putar di tempat?”
“Dia tak sebodoh itu. Dia mampu mengenali korbannya dengan baik, kamu masih muda, sehat dan tubuhmu jangkung besar. Masa iya dia akan melawanmu sendiri? Dan markasnya bukan di daerah sini, daerah ini sebagai jebakan saja. Dan kebetulan saya dan warga setempat di sini sedang berpatroli, sudah saya katakan kamu beruntung.”
“Lalu bagaimana dengan tiba-tiba aku ada di halte yang asalnya di bus?”
“Kalau itu saya kurang tahu. Mungkin kamu ngelindur.”
“Itu nggak mungkin. Aku sadar bet-“
“Sudahlah. Kamu mungkin sudah sangat letih, istirahatlah, sudah saya siapkan kamar untukmu. Saya akan pergi kembali ke hutan untuk memberitahu ayah ada kamu di sini”
“Ba-baiklah,” aku masih belum percaya dengan ceritanya.
Aku pergi ke kamar setelah diantarkan Ika. Berbaring di atas kasur, tetapi mata tak mau terpejam untuk tidur, padahal tadi sudah ngantuk setengah mati. Aku pergi ke arah jendela yang terbuka, ternyata rumah ini hanya dikelilingi oleh pepohonan saja. Namun, di kedalaman hutan ada orang yang sedang berjalan menuju ke arah ini, lama kelamaan sosok itu semakin jelas, ternyata dia adalah si Kusir Tua tanpa delmannya,
“Hai, Dik. Cepat melompatlah!”
“Apa maksud, Bapak? Kenapa bapak ada di sini?” Aku masih terkejut dengan kehadirannya.
“Melompatlah dulu, nanti kujelaskan!”
“Tak mau. Bapak adalah agen human trafficking,” aku memancingnya.
“Apa itu yoman belimbing?” Si Kakek bertanya polos.
“Human trafficking, Pak. Bukan yoman belimbing. Perdagangan manusia, bapak agen perdagangan manusia!”
“Bodoh! Justru dia dan keluarganyalah yang agen perdagangan manusia! Kau ditipu!”
“Apa buktinya, Pak? Bapak yang mau menipu saya!” aku meninggi.
“Bodoh! Pasti kau ke sini naik bus berwarna putih polos ‘kan?”
“Bagaimana Bapak tahu? Saya tak menceritakan ini ke Bapak,” aku terkejut.
“Itu komplotan mereka! Cepatlah sebelum si Ika itu memberitahu ayahnya. Nanti kujelaskan lebih lanjut setelah keluar dari sini.”
Dan terdengarlah dari bagian depan suara pintu telah dibuka dan beberapa derap langkah orang sedang menuju ke kamarku.
“Cepatlah! Mereka datang!” Si Kakek mulai cemas.
“Sial! Apa sih maksudnya ini!? Jadi siapa yang mesti kupercayai?” Aku bingung setengah mati.
Apa aku harus melompat atau tidak! Ah tolonglah aku! Aku benci situasi ini. dan derap langkah mereka berhenti tepat di depan kamar, suara pintu kamar pun terbuka.
SELESAI
Adnan Al-Ghifary @mang_nanan
bagus ceritanya, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)