Read More >>"> Segaris Cerita
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Segaris Cerita
MENU
About Us  

Sebuah ruang bernuansa redup, setengah bercahaya. Seseorang terbaring di atas kasur, setengah dari tubuhnya tertutup oleh selimut. Keringat mengalir deras di daerah dahi dan lehernya, kedua tangannya pun menggenggam ujung selimut dengan kencang. Wajahnya mengeras, dahinya mengerut, sesekali kepalanya ia geser ke kiri lalu ke kanan. Seolah sedang ketakutan. Mungkin kah ia sedang bermimpi? 

"Huhhh... Huhh... Huh..., " pria itu seketika terbangun dari tidurnya. Napasnya terpenggal-penggal, wajahnya begitu ketakutan. Ia segera menghidupkan lampu agar penerangan dalam kamarnya bertambah. 

Ia mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat, suara napasnya pun masih terdengar lirih. Sebuah bayangan tercipta dalam pikirannya, tentang mimpinya yang membuatnya demikian. 

Seorang gadis kecil yang wajahnya tak mampu ia lihat dengan jelas. Terbaring lemah dengan balutan selang di tubuhnya. Seorang gadis kecil yang berlari ketakutan, berlari secepat yang ia mampu dengan langkah kaki mungilnya. Sebuah darah yang berceceran di lantai. 

Seketika mimpi itu terbayang olehnya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya, memukulnya dengan pelan berharap bayangannya bisa hilang. 

Cekrekk.... 

Sebuah pintu terbuka, seketika wajahnya terkejut dan membelanga. 

"Huhhh..., " ia menghela napas dan memegang dadanya setelah melihat seseorang yang membuka pintu kamarnya. 

"Kenapa Ka? " tanya seseorang yang muncul dari bilik pintu itu. 

"Kok kaget banget? " tambahnya. 

Nama Raka yang perempuan itu panggil tadi melempar tatapan tajam padanya. 

"Iiss, kesurupan kamu? " tanyanya yang ketakutan dengan ekspresi Raka seraya mengibaskan tangannya. 

"Bisa ketok dulu kan sebelum masuk? " tanyanya masih dengan tatapan yang sama. 

Ragis, kakak perempuan Raka itu mengangkat satu alisnya dan melipir masuk ke dalam kamar Raka. 

"Ya si maaf, hilaf loh hilaf. "

"Hilaf mulu perasaan." Raka membanting tubuhnya dengan kesal di atas kasurnya. 

Ragis menoleh pada Raka seraya memegang dompetnya yang tertinggal di kamar Raka. "Kenapa?  Kamu mimpi lagi? " tanya Ragis. 

"Enggak! " jawab Raka sekenanya seraya membalikkan tubuhnya ke sebelah kiri. 

"Dasar cewe, " cetus kakaknya pada Raka yang tiba-tiba ngambek hanya karna tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. 

Raka meluruskan kembali tubuhnya setelah Ragis menutup pintu kamar Raka. Mengingat kembali tentang mimpi yang sudah 4x ia mimpikan. Tentang mimpi yang sama dan jalan cerita yang sama. Sialnya, walaupun sudah 4x ia memimpikan itu tetap saja ia tidak bisa mengingat wajah gadis kecil yang Malang.

Raka mengusap wajahnya, lalu mengibaskan selimutnya dan ke kamar mandi untuk pergi ke kampus meski tidak ada mata kuliah hari ini, setidaknya dia bisa me-refesh pikirannya. 

***

Sebuah headset terpasang dengan sempurna di telinga Raka. Menunggu busway seraya mendengarkan musik, kakinya mengikuti alunan musik yang ia dengar. Tak lupa dengan buku yang selalu ia bawa. Raka adalah pria yang sangat sederhana. Meski orangtuanya mampu memberinya sebuah mobil tapi ia menolak dan ingin seperti mahasiswa pada umumnya. 

Raka tipikal pria yang penyendiri tapi dia bukan pria yang pendiam, ia hanya menyingkirkan dirinya dari dunia yang sebenarnya. Raka bukan termasuk orang yang introvert, karna sebuah alasan ia menciptakan dirinya demikian. 

Seorang gadis yang umurnya tak jauh dari Raka menangis tersedu-sedu seraya memegang tissue, sesekali ia menyeka airmata yang begitu derasnya mengalir. Duduk di samping Raka yang sedang asik mendengar musik. 

Segukan tangisannya berhasil mengganggu pendengaran Raka. Ia tak ingin menoleh dan bersikap masa bodo namun perasaannya menuntut ia untuk sekedar bertanya 'Kamu kenapa? '.

Raka melepas satu headset-nya saat tangis perempuan itu menjadi-jadi. 

"Kenapa mbak? " tanya Raka yang menatap pandangan depannya. 

Perempuan itu tak menjawab, justru tangisnya semakin keras. Raka panik seketika, berhubung hanya ada dia dan perempuan itu, Raka takut orang lain menduga yang tidak-tidak. 

"Mbak kalo ada masalah yang sabar ya, kalo mau cerita sama saya boleh. Tapi jangan nangis. " Jelas Raka yang masih dalam pandangan depan. 

Perempuan itu menoleh pada Raka, yang dengan cepat Raka membenarkan duduknya seraya membuang sedikit tatapannya. 

"Gimana mau dengerin saya cerita, mas-nya aja dari tadi gak mandang ke arah saya. " Protes perempuan itu dengan suara yang bindeng

"Ya yang pentingkan saya dengerin mbak. " Bela Raka pada dirinya sendiri. 

Mendengar ucapan Raka demikian, perempuan itu kembali menangis lagi, meraung-raung seolah sudah dipecut sampai berkali-kali. 

Raka tak tahan mendengarnya dan beberapa kendaraan yang lalu-lalang melirik ke arahnya dengan tajam. 

"Mbak udah mbak jangan nangis, saya dengerin mbaknya mau cerita apa? " Raka segera beranjak dari duduknya dan menghampiri perempuan itu seraya menyentuh sedikit pundaknya, barang kali bisa melegakan. 

"Yaudah mbak kalo mau nangis, silahkan nangis dulu. Tapi sehabis itu jangan nangis lagi ya, " tawar Raka dengan baik. 

Perempuan itu membuka wajahnya yang ia tutup dengan jemarinya. Wajahnya basah karna airmatanya sendiri. Ia melempar tatapan yang tajam pada Raka, matanya yang coklat itu me-merah karna tangisnya, dipenuhi air yang mendekap di pupilnya. 

Seketika tatapan mereka bertemu selama kurang lebih 5 detik. Raka terdiam, ia memejamkan matanya. Sesuatu terbayangkan dipikirannya. 

Seorang gadis kecil yang terbalut selang, seorang gadis kecil yang berlumur darah, berlari sekuat yang ia mampu. Raka menggenggam erat tanggannya. Wajahnya mulai mengeras, keringat membasahi wajahnya. 

"Mas, mas.. Ada apa? " suara luar pun terdengar samar-samar. 

Gadis kecil itu menjerit meminta tolong, namun tak seorang pun menolongnya meski ada beberapa orang yang menyaksikannya. 

"Mass... Ada apa ini, jangan buat saya takut? "

Perasaan takut yang meningkat dan belum pernah Raka rasakan sebelumnya. Ia menggenggam erat lutut perempuan yang tengah duduk di depannya itu. 

Raka ingin memberontak dan melawannya, namun semakin ia melawan semakin sakit bayangan yang ia dapat. 

Gadis kecil itu menjerit terus menerus sampai wajah berubah semakin berubah, tak lagi terlihat gadis kecil kini ia berubah menjadi gadis yang tumbuh dewasa. 

Wajah yang mulai terlihat, wajah yang semakin bisa Raka kenali. Wajah yang baru saja ia jumpai. 

Perempuan itu..., 

Raka semakin masuk ke dalam kehidupan perempuan itu. Jeritannya menjadi-jadi, tak lagi menjerit untuk meminta tolong melainkan sebutan 'Nenek' dalam teriakannya. 

Sebuah kain putih menutupi seseorang yang dipanggilnya nenek, ia mengguncangkan-guncangkan tubuh nenek itu. Hidupnya hancur seketika. 

Perempuan itu berjalan, terus berjalan, suasana malam membuat Raka tak bisa melihat sedang di mana, perempuan itu masih berjalan dengan tatapan kosong dan tubuh yang seolah sudah mati. 

Angin kencang bertiup silih-berganti, rambutnya terkibas ke sana dan kemari, ia sampai pada ujung sebuah bangunan. 

Tunggu.., 

Bangunan? 

Perempuan itu terjun dari atas bangunan yang sudah ia capai itu. Raka berteriak seraya memegang tangan perempuan yang sedang ketakutan dibuatnya. Seketika Raka membuka matanya. 

"Huhhh... Huh..." Matanya segera berhenti pada mata perempuan yang sedang ia genggam dengan erat jemarinya. Segera Raka memeluk perempuan itu. Memejamkan matanya, mengatur napasnya dan sesekali mengusap rambut perempuan itu. 

"Huhh... Huh... " Napasnya sangat terdengar lirih. 

Perempuan itu hanya mengedipkan matanya berkali-kali dengan wajahnya yang tidak mengerti. 

Raka seketika melepas pelukannya setelah ia menyadari dirinya. Ia segera berdiri dan mengusap tangannya yang tidak kotor, begitu pun perempuan itu yang segera beranjak dari duduknya dan merapikan rambut yang tidak berantakan. Ke duanya dibuat salah tingkah, mungkin karna satu dan yang lain tidak saling mengenal. Sehingga terlihat kaku dan canggung. 

***
Esok harinya, perempuan yang menangis kemarin kembali lagi ke halte. Sejak pagi ia berada di sana. Menunggu ke datangan Raka, entah kenapa perempuan itu ingin mengenal Raka lebih dalam. Seraya mengayunkan ke dua kakinya, lantaran kursi yang terlalu tinggi untuknya sehingga membuat kakinya menggantung. Sebuah headset pink terpasang hebat di telinga perempuan itu. Memandang lalu-lalang kendaraan yang melewatinya sesekali memejamkan matanya menghirup udara segar di pagi hari. 

Sementara Raka yang sedang ditunggu perempuan itu masih pulas dengan tidurnya. Seperti biasa dengan sedikit pencahayaan, setengah tubuhnya ditutup oleh selimut dan lagi-lagi Raka menggenggam erat ujung selimutnya. Terlihat keringat mengalir cukup banyak di dahinya. Sesekali tubuhnya ikut bergerak, tiap kali Raka bermimpi ia ingin sekali segera keluar dari sana. Namun semakin ia memberontak, mimpinya semakin merengut alam bawah sadar yang sulit ia kendalikan. 

Perempuan itu tertawa riang bersama seorang pria yang menatapnya dengan tatapan kosong. Hanya mereka berdua yang ada di tempat gelap itu. Perempuan yang mengenakan gaun berwarna pink muda dan rambut sebahunya yang di gerai, dihimpitnya satu jepitan logam pada sela telinganya. 

Perempuan itu diam dengan tatapan yang kosong. Perlahan Raka melihat darah menetes deras dari pergelangan tangan perempuan itu. Sebuah pisau yang berlumur darah berada pada genggaman pria tadi yang bersama perempuan bergaun pink muda itu. 

Raka tak sanggup lagi dengan mimpinya, ia benar-benar ingin keluar. 

Tolong..., 

Tubuhnya penuh dengan keringat. 

Perempuan itu berlari sekuat yang ia bisa. Raka merasakan beban hidup yang perempuan itu hadapi. Kakinya terus berlari. Sepasang mata menatapnya dengan tajam. Ia terus berlari, sesekali ia terjatuh. Pandangan perempuan itu makin tak fokus untuk melihat ke belakang atau ke depan jalannya. Tak henti-hentinya kaki itu terus berlari sampai... 

"Huhhhh... Huh... Huhh..., " Raka terbangun dari tidurnya.

Ia menatap sekeliling dan segera menghidupkan lampu kamarnya. Raka merangkul lututnya dan menyembunyikan kepalanya di sana seraya mengatur napasnya yang terpenggal-penggal. 

Tak lama kemudian, Raka membuka wajahnya dan mengusapnya.  Dan keluar dari kamarnya. 

"Raka, tadi Mama ti-" tak menggubris ucapan kakaknya Raka terus berlari ke kamar mandi. 

"Tip pesan, kalau nanti sehabis pulang ngampus ambil kue di Bu Rina. " Lanjut Ragis dengan pelan dan datar meski adiknya sudah tertelan oleh pintu kamar mandi. 

"Woy Raka, aku masih ngomong! " pekik kakaknya dengan lantang. 

Seketika Raka pun keluar dari kamar mandi dan berlari lagi. 

"Aku telat kak, " ujarnya seraya berlari. 

Ragis yang menyaksikan Raka masuk ke dalam kamar mandi dan keluar dari kamar mandi itu membelanga seketika, karna adiknya di dalam sana belum ada 1 menit sudah selesai. 

"Mandi macam apa itu? " tanyanya sendiri seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. 

***

Perempuan yang bernama Rayu itu masih senantiasa menunggu Raka. Sudah beberapa lagu ia dengarkan Raka tak kunjung datang. 

Namun nyatanya usaha menunggu berjam-jam tak akan pernah sia-sia, karna Rayu melihat Raka yang sedang berlari dari kejauhan sana. Senyuman Rayu perlahan memudar dan dahinya mengerut seketika. Ia terlihat heran dengan Raka yang terlihat begitu tergesa-gesa. 

Untunglah, Rayu menangkap dengan cepat sikap Raka. Ia melihat busway yang sedang berhenti dihadapannya. 

"Dia pasti ngejer busway ini, " gumamnya pelan. Segera Rayu menaiki busway-nya

"Pak tunggu satu orang lagi ya, yang masih lari di depan sana. " tunjuk Rayu pada Raka. 

"Kasian, " tambahnya lagi. Supir busway-nya hanya menganggukkan kepalanya saja. 

Sebuah lompatan kaki berhasil masuk pintu busway itu. Tak memikirkan sekitarnya, Raka berjalan melewati Rayu yang jelas berdiri di depan saat ia masuk tadi. 

Rayu mendelikkan matanya seraya memutar ke kiri dan ke kanan. 

Oke, mungkin dia terlalu buru-buru. 

"Hay, Rayu...." Rayu mengulurkan tangannya dengan ekspresi menggemaskan itu. 

Raka yang masih mengatur napasnya terlihat bingung dan lupa dengan perempuan yang ada di depannya ini. 

"Perempuan yang nangis di halte kemaren, " ujarnya mengingatkan Raka. 

"Oh, " Raka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. 

"Sambut dong, " Raka segera menoleh pada jemari tangan Rayu. 

"Oh, maaf. Raka, " 

"Rayu, " 

Ke duanya saling melempar senyuman dan sedikit lama saling menatap. 

"Aku dari tadi nunggu kamu loh, " Raka yang baru menyadari segera melepas jemari Rayu. 

"Nunggu? " tanyanya heran. 

"Iya, " Rayu mengangguk. 

"Untuk? "

"Ya kenalan, kan kemarin belum sempat kenalan. "

Raka memutar matanya dengan cepat seraya menganggukkan kepalanya dengan pelan. 

"Kamu kenapa lari-lari tadi? " tanya Rayu. 

"Emm, telat ngampus. "

"Oh, ini mau ke kampus. Enak ya, " ujar Rayu yang membuat Raka menoleh. 

"Maksudnya? "

"Iya bisa ngerasain jadi mahasiswa, " ujarnya memelas seraya menundukkan kepalanya sembari meremas jemarinya. 

Raka yang tak biasa dengan posisi demikian, merasa tak enak dengan Rayu terlebih mereka baru saja kenal. 

"Emm, kamu boleh kok ikut."

"Ikut kamu? Seriusan? " Rayu segera mengangkat kepalanya dan menyentuh lengan Raka seraya mengguncang-nguncangkannya. 

"Haa, iya boleh. " Raka tak tau manusia macam apa yang ada dihadapannya ini. 

***
Setelah menyuruh Rayu menunggu di taman sebentar, karna Raka sudah terlambat masuk kelas tadi. Seusai mata kuliahnya, Raka menjemput Rayu dan membawanya ke dalam kampus. Untungnya, kampus Raka dekat dengan taman. Jadi sewaktu menunggu Raka, Rayu bermain di taman. 

"Wah kampus kamu gede banget. " Rayu ternganga melihat kampus yang tak pernah ia lihat. Raka seketika mengangkat alisnya. 

"Kamu emang gak pernah ke kampus? " 

"Gak, " Rayu menggeleng seketika masih dengan sunggingan di bibirnya. 

Dengan cepat Raka memutar matanya. 

'Walaupun gak kuliah seenggaknya tau kampus gitu, ' gumam Raka pelan seraya melihat Rayu yang nampak seperti orang yang lama tertidur dan baru melihat kehidupan lagi. 

"Itu gedung apa Raka? " tanya Rayu sembari menunjuk gedung paling tinggi di kampusnya. 

"Itu gedung perpustakaan, di sana banyak banget buku. Apa aja bisa kamu temui di sana. "

"Waahhh, keren. "

"Jangan bilang kamu gak pernah masuk perpustakaan? " tanya Raka seraya menebak. 

Rayu mendorong pelan bahu Raka. "Ah, ya pernah dong. Aku kan pernah sekolah juga. "

Raka melangkah kembali setelah mendengar jawaban Rayu, khawatir dia juga tidak tau perpustakaan. 

"Tapi...," segera Raka menoleh. 

"Cuma denger namanya aja, " Rayu tersenyum menunjukkan semua gigi depannya. 

"Haa? Gak pernah masuk? "

Rayu menggeleng lagi dengan mengatupkan bibirnya. 

"Kamu seriusan pernah sekolah? " tanya Raka yang sekarang tampak curiga, jangan-jangan perempuan dihadapannya ini bukan manusia, segera ia menoleh ke bawah. 

"Huhh, " Raka menghela napas seraya memegang dadanya. 

"Pernah kok, tapi sedikit lupa. " Rayu mengukur 'sedikit' dengan ke dua jari telunjuk dan tengahnya. 

"Maksudnya? "

"Emm, aku pernah sekolah waktu SD cuma sampe kelas 3. Tapi itu pun aku samar-samar ingetnya. "

"Kenapa? " tanya Raka penasaran seraya menuntun langkah Rayu menuju gazebo terdekat. 

"Aku pernah kecelakaan, terus aku juga gak inget di mana orangtuaku. "

"Tapi kamu manusiakan? " mendengar kata kecelakaan Raka kembali khawatir. 

"Ya iyalah masa setan, " ujar Rayu seraya terkekeh. 

"Emm terus kamu tinggal sama siapa? "

"Sama nenek, "

"Nenek kamu? "

"Iihhh iyalah masa nenek tetangga, " Rayu mendorong pelan bahu Raka. 

Raka mengangguk-angguk seolah sudah mengerti, " lah terus kenapa kamu gak lanjut sekolah? " tanya lagi. 

"Gak pengen, tapi aku mau sesekali liat suasana sekolahan. Biar kaya manusia pada umumnya. "

Raka membelanga seketika, "aku tanya sekali lagi ya. Gak apa-apa jujur aja, aku gak akan kabur. Kamu manusia atau bukan? "

"Yaampun Raka, aku manusia. Mana ada setan berkeliaran siang-siang, " ujar Rayu meyakinkan Raka. 

"Masa ia sih? " Raka menggaruk ujung alisnya. Tak sengaja Raka menoleh ke arah sebelah kirinya. Dua orang sedang berjalan mendekati Raka dan Rayu. 

Sebelum mereka terus berjalan, Raka menghadang temannya itu. 

"Eh eh eh, bentar. Ada yang mau gua tanya. " 

"Ngapa bro? "Tanya Dimas

"Lo berdua liat cewe itu gak? " tunjuk Raka pada Rayu yang sedang melambai-lambaikan tangannya. 

Sepontan ke dua temannya itu pun ikut melambai-lambaikan tangannya.

"Ehh liat gak? " tanya Raka menyadarkan ke duanya. 

"Orang buta kali ka yang gak bisa liat cewe secantik itu. " Jelas Dimas seraya memukul pundak Raka dengan pelan. 

"Oh, yaudah.. Yaudah, sana pergi. "

"Udah gitu aja? "

"Ya mau lo apa? "

"Ya kirain mau dicombalngin ke gua, " ujar Dimas seraya berjalan. Raka hanya menendangnya dari kejauhan. 

"Gimana ? Manusia kan? " tanya Rayu dengan senyumannya. 

"Heeh, "

"Lah kerjaan kamu ngapain kalo dari dulu gak sekolah? "

"Jual bunga, "

"Bunga?? "

"Heeh, aku ada toko bunga. Kadang kalo ada yang order lewat via telpon aku yang anter ke alamatnya, pake sepeda. " Jelasnya tanpa adanya beban. 

"Itu kamu jadi karyawan atau yang punya? "

"Yang punya dong, nenek si yang buatin tokonya. Hehe, "

Raka mengangguk-anggukkan lagi kepalanya. Di sela-sela mereka sedang asik berbincang, tiba-tiba ponsel Rayu berdering. 

Segera ia membuka tas kecil yang sedari tadi ia selempangkan itu dan mengangkat telponnya. 

"Hallo, " sapa Rayu dari bilik telponnya. 

"Di mana? "

"Aku di kampus sayang, "

'Sayang?? ' gumam Raka. 

"Haa kampus? Kampus siapa? "

"Kampus temen aku, "

"Yaudah kamu chat alamatnya, aku jemput ya. "

"Iya. " Rayu mematikan telponnya. 

"Pacar? "

Rayu mengangguk. 

"Oh, punya pacar. Udah lama? "

"Emm, lumayan. Hampir 2 tahunan gitu. "

"Eh pacar ku mau jemput, aku duluan ya. "

"Aku anter sampai pacar kamu datang. "

Rayu mengangguk. 

***

Sebuah mobil terhenti dihadapan Raka dan Rayu. 

"Itu pacar aku, "

Seseorang keluar dari dalam mobilnya. Raka dengan seksama melihat pria itu sampai benar-benar jelas terlihat. 

Pandangan mereka bertemu dari kejauhan. Raka mendelikkan matanya. Tiba-tiba telinganya seolah tersumpal sesuatu. Seketika Raka menutup telinganya rapat-rapat. Semakin pria itu berjalan ke arahnya semakin tak karuan perasaan Raka. 

Keringat mulai keluar di tubuh Raka, ia menggenggam erat lengan Rayu. Seketika, Rayu menoleh dan mendapati Raka seperti pertama kali mereka bertemu. 

"Raka... " panggil Rayu yang segera menangkap tangan Raka yang hampir terjatuh. 

Suara luar tak lagi bisa Raka dengar. Mulut Rayu hanya terlihat bergerak dan tak mengeluarkan sedikitpun suara. 

Raka mulai masuk ke alam bawah sadar yang sampai detik ini belum ia mengerti. 

"Raka... Kamu kenapa? "

"Dia kenapa sayang? "

"Gak tau, " Rayu mulai panik dan khawatir. 

Semua kembali terbayangkan, seorang gadis yang menagis.. 

Tolong

Pekik Raka dalam hatinya. 

Ia berusaha semampunya untuk melawan. 

"Panggil ambulan aja? "

"Bawa langsung ke rumah sakit aja sayang, " saran pacar Rayu. 

"Huh... Huh.. Hu..., " Raka keluar dari jeratannya. 

Ia segera menghindar dari ke dua orang yang sedang menuntunya itu. Raka meludahkan air liurnya seraya mengusap wajahnya yang penuh keringat. 

"Raka kamu kenapa? " Rayu melangkah mendekati Raka. 

Tangan Raka menghentikan langkah Rayu, "aku gak apa-apa. "

***

Sebuah lonceng berbunyi, tanda seseorang pengunjung datang. 

"Selamat datang di flowerhouse, " Rayu menyapa pelanggannya seraya membalikkan tubuhnya. 

Ia mendelikkan matanya setelah melihat pelanggannya yang datang. 

"Raka... " sebutnya yang melangkah menuju Raka. 

"Susah banget dapetin alamatnya, " ujar Raka. 

"Kenapa gak nanya? " 

"Sama siapa? Kita kan belum sempat tukar nomer handphone. "

Rayu menimpuk pelan dahinya, " iya juga ya. "

"Jadi ini toko bunganya, "

"Ya beginilah, " ujar Rayu seraya membentangkan ke dua tangannya, menunjukkan bahwa seperti yang Raka lihatlah toko bunganya. 

"Kalo aku tanya arti tiap bunga di sini pasti kamu tau dong? " tanya Raka seraya menatap hamparan bunga segar di toko Rayu. 

"Haha iya gak tentu, yang umum aja aku taunya. Kalo karyawan aku mungkin dia tau semua. " Jelas Rayu seraya terkekeh. 

Raka mengangguk-anggukkan kepalanya sembari berjalan menuju Rayu. 

"Emm kamu hari ini free? " tanyanya. 

"Kenapa? "

"Mau ajak jalan aja si, masih jenuh."

"Emm, boleh aja si. Kan ada karyawan. "

"Serius?? " tanya Raka yang menatap Rayu begitu dalam. 

Rayu mengangguk, "bentar ya, ambil tas dulu. "

Raka mengangguk dan tersenyum simpul. 

"Yuk, " ajak Rayu seraya menyelempangkan tasnya. 

Mereka berjalan keluar dari toko Rayu. 

"Ehh Rayu," panggil Raka. 

Segera Rayu yang sudah melewati Raka itu menoleh ke belakang.

"Kamu mau jadi pacarku?"

"Kamu gila?" Rayu terkekeh mendengar pertanyaan Raka.

Sementara Raka tak sedikit pun menganggap itu becanda. "Aku serius,"

"Kamu tau kan kalo aku punya pacar?"

"Tau, terus masalahnya?"

"Kamu tanya masalahnya?"

"Ya selagi kamu mau dan aku mau, putus sama pacar bisa nyatuin kita."

"Udahlah Raka gak usah becanda." Rayu kembali berjalan. Raka segera menyusulnya.

"Kasih aku kesempatan, please?" Raka mengatupkan ke dua tangannya.

Rayu menggeleng.

"Tolong, aku bisa buat kamu jatuh cinta sama tanpa proses yang lama. Serius, bisa aku jamin." Jelas Raka meyakinkan. Rayu menatapnya dengan begitu dalam, seketika ia segera mendorong Raka.

"Gak lucu," ia pun terkekeh.

"Aku serius." Raka mengerjar Rayu.

"Oke, kalau kamu bisa."

Raka menatap Rayu dan tersenyum simpul penuh makna. 

***
Setelah dipikirkan kembali oleh Raka, ia beritikad untuk menyelamatkan hidup Rayu. Memiliki keanehan demikian membuat Raka bersalah bila tidak membantunya. Ia tau jalan cerita hidup yang menyedihkan selama Rayu hidup, rasanya terlalu mengenaskan bila ia meninggal dengan cara yang seperti dalam mimpi Raka. 

Raka menatap tawa gadis kecil yang ada dimimpinya itu. Dan sekarang ia menjadi nyata, bertemu dengannya tidak hanya di dalam mimpi namun pada kenyataan juga. 

"Itu bagus banget Raka. " Pekiknya dengan semringah melihat festival seni. 

"Keren, " ujarnya seraya bertepuk tangan. 

"Bagus gak pertunjukkannya? " tanya Raka setelah mereka keluar dari teater

"Banget, aku baru kali keluar. "

Raka segera menoleh pada Rayu. 

"Iya, jalan bareng pacar belum pernah. Soalnya dia banyak pekerjaan. " Jelas Rayu yang berusaha mengertikan Galang pacarnya. 

"Yaudah kita pacaran aja, gimana? " tanya Raka lagi. 

"Ngigau kamu, "

"Yaudah secepatnya kamu bakalan jatuh cinta sama aku. " 

Rayu terdiam seraya menatap Raka. 

"Yuk ke sana. " Raka meraih jemari Rayu dan menggenggamnya. 

"Mau naik gak? " tunjuk Raka pada biang lala. 

"Gak ah takut, "

"Tapi seru tau, "

Raka merangkul Rayu tiba-tiba saat gerombolan orang di belakangnya berlarian ke arah mereka. 

Ke duanya terhimpit dan saling dorong-dorongan. Raka merangkul dan menjaga Rayu sekuat semampunya. 

"Wahh, gila ya. Anak muda jaman sekarang. " protes Raka setelah berlalu. 

Rayu menatapnya seraya senyam-senyum. 

"Oh, karna gratis ka. Jadi mereka rebutan gitu. "

"Hmm, pantes aja. "

"Yaudah ke sana aja yuk, cari yang lain. Bahaya di sini. "

Tiba-tiba ponsel Rayu berdering. 

"Hallo, " sapanya dari bilik ponsel. 

Rayu tertegun dan tak bisa berkata apa-apalagi mendengar ucapan seseorang dibilik ponselnya. Matanya seketika berair dan memerah. Raka yang melihatnya segera menyentuh lengan Rayu. 

Rayu mematikan telponnya. Tangisnya pun keluar dengan derasnya. 

"Kenapa yu? " tanya Raka. 

"Nenek, nenek meninggal. " 

Seketika Raka terbayang akan sesuatu di mana Rayu memakai baju berwarna biru di hari neneknya meninggal. 

Ke duanya bergegas ke rumah Rayu bagaimana pun caranya. Raka begitu panik tentang sesuatu yang akan terjadi selanjutnya. 

***

​​"Nenek... Nenek... Bangun..., " Rayu mengguncangkan tubuh neneknya. 

"Rayu gak punya siapa-siapa, bangun nenek. " Keluhnya. 

"Nenek, Raka... " Rayu mengadu pada Raka, segera Raka duduk di sebelah Rayu seraya membaringkan kepala Rayu pada bidang dada Raka. 

Isakan tangisnya semakin terdengar. Raka tak bisa berbuat apa-apa. 

Silih waktu berganti malam, pagi, siang pun berlalu. Setelah meninggalnya nenek Rayu, Raka lebih berhati-hati pada gerak-gerik Rayu. Ia pun lebih banyak menghabiskan waktunya pada Rayu. 

"Iiss, " gumam Rayu seraya memainkan ponselnya yang didengar Raka. 

"Kenapa? " tanyanya. 

"Aku benci sama Galang, nenek meninggal dia gak ada. Sekarang, udah 3 hari gak ada kabar. "

"Dia itu gak baik yu, percayalah sama aku. Kalo kamu takut sendiri, ada aku. " Jelas Raka. 

"Ehh, dijawab. Bentar ya. " Rayu pergi dan menghiraukan ucapan Raka. 

"Hallo, "

"Kamu kemana aja si? "

"Kita bisa ketemu? "

"Kapan? " tanya Rayu sewot. 

"Nanti malam di tempat biasa, pakai gaun warna pink muda kamu, jangan ajak siapa-siapa. Kamu ngerti. "

"Iya loh aku ngerti. "

Galang mematikan telponnya dengan Rayu. 

"Huhh, baru ada kabar kan."

"Terus?" tanya Raka.

"Nanti malem dia ngajak makan,"

"Yaudah aku ikut."

"Iihh mana bisa. Ini cuma buat satu pasangan aja, wek." Ledek Rayu seraya menjulurkan lidahnya.

Raka menatapnya dengan lekat.

"Tapi aku mau liat kamu berangkat ya," 

"Hmm, segitu sukanya ya kamu sama aku?" tanya Rayu seraya mendongakkan wajahnya ke bawah sejajar dengan Raka yang tengah duduk.

"Iya," ucapnya tanpa ekspresi.

Seketika Rayu jadi salah tingkah dan atmosfer toko bunganya terasa begitu panas.

"Eee-mm yaudah kalo mau liat aku berangkat," ujarnya seraya membenarkan tubuhnya.

***

"Emm, gaun pink muda mana ya." Gumam Rayu seraya mencari gaunnya.

"Apa? Kamu cari gaun apa?"

"Warna pink muda,"

"Jangan, jangan pakai baju warna itu. Kamu sama sekali gak ada cantiknya pakai gaun itu." Jelas Raka dan berharap bila ia mengubah keadaan contohnya baju yang Rayu kenakan, takdirnya bisa jadi berubah.

Rayu segera menoleh saat ia tengah sibuk mencari gaunnya.

"Kamu kalo resek mending nunggu di ruang tengah aja."

"Ya emang kenyataan, kamu gak ada bagusnya pakai baju warna itu."

"Bodo, tapi Galang suka. Yang nyuruh juga Galang." Raka segera mengerutkan dahinya,

'Jadi semua udah diatur sama Galang?'

"Kamu udah berapa kali makan malam sama dia?" tanya Raka yang antusias sekali sampai mendekati Rayu.

Rayu melempar tatapan tajam pada pria yang baru beberapa minggu ia kenal ini. "Kenapa?" tanya Rayu sewot.

"Jawab,"

"3x sama yang sekarang ini."

"Tiap makan malam, dia minta kamu pakai baju pink ini? " tanya Raka lagi. 

"Iya, "

'Berarti selama ini dia gagal. '

"Katanya, dia suka sama perempuan yang pakai baju warna pink. Bisa mengingatkan dia sama ibunya yang 15 tahun yang lalu udah meninggal. " Jelas Rayu. 

"Meninggal? " Rayu mengangguk. 

"Kamu tau meninggalnya kenapa? "

"Gak tau, dia gak pernah cerita. "

"Oke, kamu jangan pakai baju ini. Bahaya Rayu."

"Kamu kenapa si, aku tetep bakalan pakai baju ini. " Jelas Rayu dengan tegas seraya berlalu ke kamar mandi. 

Setelah selesai dan memoles wajah nya, Rayu siap menemui Galang. 

"Alamatnya di mana? " tanya Raka. 

"Gak tau, jangan bilang kamu mau nyusulin? " tebak Rayu seraya memakai sendalnya. 

"Ya enggak, cuma mau tau aja. "

"Gak tau, yaudah aku berangkat ya. " 

"Kamu mau di sini atau keluar? "

"Keluar, "

Rayu mengunci rumahnya dan melambaikan tangan pada Raka sebelum menaiki taxi. Segera Raka mengejarnya setelah mobil taxi Rayu sedikit berjarak. 

"Ikutin taxi depan itu pak, jangan sampai lepas ya. "

Sopir taxi itu mengangguk. 

***

"Hay sayang, " sapa Rayu seraya memeluk pacarnya. Seperti biasa ekspresi Galang hanya datar. 

"Dari tadi? " tanya Rayu yang melihat Galang mengiris daging yang ada di piringnya itu. 

"Lumayan, "jawabnya setelah memasukan sepotong daging ke dalam mulutnya. 

Kemudian Galang berdiri dan memakaikan Rayu celemek. 

"Makasih sayang, " ujar Rayu semringah. 

Raka yang mengikutinya dari belakang menaiki tangga dari bangunan rumah yang lumayan menyeramkan ini. 

Dari kejauhan, Raka sudah melihat ke duanya. Galang yang tampak biasa saja sementara Rayu yang begitu semringahnya. 

Detik, menit pun berlalu. Gerak-geriknya masih aman. Raka tetap memantau mereka dari kejauhan. 

Tiba-tiba Galang berdiri menuju meja yang panjang di sebelah kanan mereka. Terhidang banyak makanan di sana.

Galang mengambil sebuah pisau yang berhasil Raka tangkap dengan matanya. Raka pun beritikad untuk lari ke sana namun ia urungkan. Pisau itu Galang berikan pada Rayu. 

"Makasih sayang, "

Galang tak segera duduk, dia kembali ke meja tadi. Tersusun rapi sebuah pisau di sana dari yang kecil sampai yang paling besar. 

Salah satu dari itu Galang ambil dan kembali ke mejanya lagi. 

"Rayu, kamu tau aku nunggu moment yang tepat ini hampir 2 tahun lebih, " ujar Galang seraya mengiris dagingnya. 

Rayu mengangguk dan sedikit heran. 

"Kamu selalu menggagalkan misi aku, "

Seketika Rayu mengerutkan dahinya. 

"Kamu tau betapa lamanya aku nunggu ini semua, jadi jangan sampai kamu buat gagal lagi. " Jelasnya yang membuat bulu leher Rayu bergidik. 

"Hal yang paling aku suka di hidup ini adalah mengiris, "

Rayu menelan ludahnya seraya melihat Galang dengan fasihnya mengiris daging itu. 

"Aku bisa kasih pilihan kamu karna kita pernah punya hubungan. "

"Kamu pilih terjun dari bangunan ini atau aku yang menyayat tubuh kamu, "

Seketika Rayu mendorong kursinya kebelakang. 

"Kamu gak perlu takut, percuma. Gak ada yang bisa bantu kamu di sini. "

"Kamu psikopat? "

Mata Rayu berair dan memerah seketika. 

"Ayah yang mengajariku, bagaimana caranya mengiris perempuan yang amat ia cintai. Seorang ibu yang amat aku kasihi. " Jelas Galang seraya memainkan pisaunya. 

Kaki Rayu gemetar tak bisa ia kendalikan. 

"Jangan Galang, salah aku apa? "

"Salah kamu menghadirkan diri di hidupku Rayu, "

"Kamu bukan yang pertama, jadi tidak perlu khawatir."

Tak menunggu waktu yang lama, Rayu bergegas untuk lari. Seketika Galang pun marah dibuatnya. 

Raka yang semula memantau mereka di sana, pergi sejenak mencari pertolongan. Karna tidak mungkin ia bisa menghadapinya sendirian. 

Galang menarik rambut Rayu sebab tak bisa meraih tangannya. 

"Auu, Galang sakit !" pekik Rayu. 

"Tolong!! " 

Galang tak menghiraukan Rayu. 

"Kamu pilih terjun ke bawah atau aku sayat. "

"Jangan khawatir sayatanku tidak terlalu sakit. " 

"Gila kamu Gilang, gila!! "

Rayu ditarik lagi oleh Galang, ia mengurungkan niatnya memberi Rayu pilihan. 

"Kamu jangan bergerak sayang," ujarnya. 

Galang menjilat pisaunya terlebih dahulu. Rayu yang sudah ia bungkam tak bisa bergerak lagi. 

Sebuah tendangan menghempas kepala Galang. 

"Raka...,  " sebut Rayu. 

"Lari, " ujarnya. Segera Rayu beranjak dan menjauh dari ke duanya. 

Perkelahian pun berlangsung. Tak Raka sangka Galang juga jago berkelahi. Sebuah pukulan hinggap di wajah Raka. Kepalanya pun sudah sempoyongan

Untunglah, bantuannya tak datang terlambat. Beberapa polisi datang dan mengacungkan pistolnya. Segera Galang menjatuhkan pisaunya dan mengangkat ke dua tangannya. 

Setelah di borgol, Galang melempar tatapan tajam pada Rayu. 

"Awas, urusan kita belum selesai!!"

"Ayo jalan !!"

Raka menguatkan rangkulannya pada Rayu yang menangis tersedu-sedu. Raka pun melepas jaketnya dan memakaikannya pada Rayu. Beberapa masyarakat setempat ikut melihat kejadian itu dan saling berbisik seraya menatap Rayu dengan kasian.

"Kamu gak apa-apa?" tanya Raka setelah mereka turun dari bangunan itu.

"Iya," 

"Udah jangan nangis, kita pulang ya."

Raka meraih pergelangan tangan kiri Rayu. Seketika bumi seolah berhenti berputar. Rasa yang sudah lama tak Rayu rasakan. Ia menghentikan langkahnya dan menatap kosong.

"Kamu kenapa yu?"

Rayu hanya terdiam mematung. Sesekali Raka mengguncangkan tubuh Rayu dengan pelan.

Ada hal yang juga tidak diketahui Raka bahwa dulu Rayu pernah koma selama 1 tahun, tak ada harapan untuknya hidup. Namun, keajaiban turun padanya. Ia tersadarkan dari komanya. 

Pembunuhan yang merenggut nyawa orangtuanya dan hampir merampas nyawa Rayu juga berhasil membuat Rayu setelah bangun dari komanya mendapat sebuah kelainan di pergelangan tangannya. Barang siapa yang menyentuh luka itu, Rayu akan tau semua isi kepalanya.

Semua tergambarkan di sana. Nenek Rayu yang meninggal ada pada mimpi Raka. Raka yang hanya mendekati Rayu beralaskan belas kasihan. 

Pembunuhan yang teremkam di kepala Raka membuat Rayu penasaran dan membuka isi memori itu.

Keluarga yang dirindukan Rayu terekam jelas di memori Raka, kala itu ia menyaksikan pembunuhan keluarganya. Seorang pembunuh dari teman ayahnya sendiri, Rayu melihat kembali pembunuh itu. Sepertinya ia mengenal pria itu.

'Oh tidak, ayah Galang?'

Seorang anak kecil yang mirip sekali dengan Galang juga menyaksikan pembunuhan itu di samping Raka.

Seketika Rayu menepis tangan Raka dan melempar tatapan padanya, " aku benci sama kamu!" ucapnya lantang dan beranjak pergi.

Raka meraih tangannya kembali dan meminta penjelasan.

"Kenapa?" sebuah tamparan hinggap di pipi Raka.

"Kenapa kamu gak bilang tentang meninggalnya nenek? Kenapa kamu gak bilang tentang Galang? Haa?" 

"Kamu kok-"

"Iya, kamu menyentuh bagian fatal di tubuh aku. Ini, dia bisa buat aku melihat isi kepala orang lain. 10 tahun berlalu tidak ada yang pernah menyetuh pergelangan ini."

"Aku benci niat kamu untuk dekatin aku!"

"Aku minta maaf yu, aku beneran sayang sama kamu. "

"Setelah berjalannya waktu,"

"Aku benci sama kamu,"

"Kamu bisa baca memori aku, sekarang bacalah memori yang baru." Suruh Raka untuk meyakin Rayu.

"Aku minta maaf ya"

Rayu melemas dan suaranya menjadi pelan,  "aku benci kamu. "

Segera Raka memeluk Rayu dan mengusap kepalanya. 

"Aku sayang kamu Rayu, aku gak akan pernah tinggalin kamu. "

Rayu mengeratkan pelukannya pada Raka. Ke duanya menyatu tanpa dugaan. Sebuah takdir mengusung jalan yang sedemikian unik ini untuk mempertemukan Cinta mereka. Nyatanya cinta itu memang magic, mengubah semua dalam sekejap. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dear.vira

    bagus ceritanya, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
    terima kasih , smoga sukses selalu :)

Similar Tags
Memorieji
6434      1306     3     
Romance
Bagi siapapun yang membaca ini. Ketahuilah bahwa ada rasa yang selama ini tak terungkap, banyak rindu yang tak berhasil pulang, beribu kalimat kebohongan terlontar hanya untuk menutupi kebenaran, hanya karena dia yang jadi tujuan utama sudah menutup mata, berlari kencang tanpa pernah menoleh ke belakang. Terkadang cinta memang tak berpihak dan untuk mengakhirinya, tulisan ini yang akan menjadi pe...
Bottle Up
2394      1062     2     
Inspirational
Bottle Up: To hold onto something inside, especially an emotion, and keep it from being or released openly Manusia selalu punya sisi gelap, ada yang menyembunyikannya dan ada yang membagikannya kepada orang-orang Tapi Attaya sadar, bahwa ia hanya bisa ditemukan pada situasi tertentu Cari aku dalam pekatnya malam Dalam pelukan sang rembulan Karena saat itu sakitku terlepaskan, dan senyu...
My Doctor My Soulmate
50      46     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
Sunset in February
786      433     6     
Romance
Februari identik dengan sebutan bulan kasih sayang. Tapi bagi Retta februari itu sarkas, Februari banyak memberikan perpisahan untuk dirinya. Retta berharap, lewat matahari yang tenggelam tepat pada hari ke-28, ia dapat melupakan semuanya: cinta, Rasa sakit, dan hal buruk lain yang menggema di relung hatinya.
I Loved You Between The Two Worlds
2485      878     2     
Horror
Di suatu malam Demian diputuskan oleh kekasihnya yang sangat ia cintai. Kesibukannya untuk menggapai mimpi membutakannya dari kenyataan dunia, sehingga Aria harus melepaskan Demian. Dalam kekacauan pikiran, Demian bertemu dengan gadis berparas cantik yang ia temui di tepi jalan. Bernama Juli, wanita itu terlihat bingung dan tersesat. Juli meminta Demian untuk mengantarnya pulang, karena hanya...
Sweet Seventeen
477      258     3     
Short Story
Hidup sebagai anak tunggal di tengah keluarga berkecukupan. Memiliki papa dan mama yang perhatian, kekasih yang selalu membuat bahagia, dan teman-teman yang peduli. Orang bilang, hidupku nyaris sempurna. Tapi, itu semua sebelum umurku tujuh belas.
Havana
635      284     2     
Romance
Christine Reine hidup bersama Ayah kandung dan Ibu tirinya di New York. Hari-hari yang dilalui gadis itu sangat sulit. Dia merasa hidupnya tidak berguna. Sampai suatu ketika ia menyelinap kamar kakaknya dan menemukan foto kota Havana. Chris ingin tinggal di sana. New York dan Indonesia mengecewakan dirinya.
Cinta Pertama Bikin Dilema
3129      1018     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
Rasa Cinta dan Sakit
416      207     1     
Short Story
Shely Arian Xanzani adalah siswa SMA yang sering menjadi sasaran bully. Meski dia bisa melawan, Shely memilih untuk diam saja karena tak mau menciptakan masalah baru. Suatu hari ketika Shely di bully dan ditinggalkan begitu saja di halaman belakan sekolah, tanpa di duga ada seorang lelaki yang datang tiba-tiba menemani Shely yang sedang berisitirahat. Sang gadis sangat terkejut dan merasa aneh...
Judgement Day
273      170     0     
Short Story
Telepon itu berdering di waktu dan nama yang salah. Jessi tak kuasa, meringkuk ketakutan di sudut kamarnya. Adalah Nino Herdian yang menghubunginya namun Jessi nyaris kehilangan akal sehatnya. "Aku membunuhnya dua tahun yang lalu," Jessi berbisik lirih. "Aku membunuh Nino dua tahun yang lalu!"