Cherry&Bakery
“Kalian dipecat! Kalian tidak disiplin, membuang-buang waktu, hanya bermain-main dengan resep, tidak bisa mengatur jadwal kuliah dan kerja sambilan dengan benar!”
Seorang chef tengah marah-marah sambil menunjuk satu persatu wajah karyawan di hadapannya.
“Tapi chef kami sudah bekerja di sini selama dua tahun—chef aja belum di sini. Kenapa chef tega melakukan ini pada kami?”
“Chef, kami punya banyak resep baru!”
“Chef, sebagian besar pelanggan cafe ini menyukai produk roti yang kami buat. Kami berjanji akan berusaha lebih keras lagi, mengatur jadwal kuliah lagi, dan lebih disiplin.”
“Iya. Ratna benar! Chef tolong jangan pecat kami.”
Sementara itu, Vella, Indra, dan Belinda tengah duduk di kursi tunggu. Ketiganya tengah menunggu di luar ruangan chef yang menjadi ketua chef di cafe ini. Ketiganya berwajah masam. Bagaimana tidak. Mereka bisa mendengar komentar-komentar pedas dari chef di dalam ruangan kaca itu.
Seperti yang dijelaskan Indra, chef ini tak lain adalah anak dari pemilik toko roti bernama Cherry&Bakery ini. Chef ini bernama Brian, terkenal sebagai chef yang galak tapi bijaksana.
“Perasaanku nggak enak deh,” gumam Vella. Dia tersenyum getir.
Wajah Belinda sama paniknya dengan Vella.
“Gue akan bawa roti-roti ini pulang,” ucap Belinda tatapannya tertuju pada box roti di tangannya. Ia beralih menatap Vella di sebelahnya. “Elo nggak perlu membayar atau menggantinya.” Kini tatapannya beralih pada Indra. “Datang ke sini dengan membawa roti-roti yang udah nggak bisa dimakan ini, sama saja akan membuatku dipecat.”
“Jadi, kamu juga kerja di sini?!” pekik Vella tidak menduga kalau Belinda juga kerja sambilan di sini.
Belinda mengangguk pasrah. “Yap. Sebenernya kerjaan gue cuma ngambil roti buat dijual di koprasi sekolah. Gue jadi bisa dapet uang tabungan tambahan dari kerjaan ini.” ia menghela napas dalam. “Gue nggak mau kehilangan pekerjaan ini.” Pungkasnya.
Indra tersenyum. “Kita tetap akan menemuinya,” selanya terdengar meyakinkan. Dia menatap dua adik kelasnya penuh harap. “Kalian tenang aja. Aku juga kerja sambilan di sini. Akan aku negosiasikan hal ini. Lagipula Vella juga nggak sengaja melakukannya—”
RIINGG
Disela-sela penjelasan Indra, terdengar sebuah dering ponsel mengejutkan mereka bertiga. Vella lekas mengangkat panggilan di ponselnya.
“Vella kamu di mana?!”
Suara Tina di seberang sana memekakan telinga Vella yang baru saja menempelkan ponsel ke telinganya. Membuatnya menjauhkan ponselnya jauh-jauh dari telinganya.
Vella tercekat. Seharian ini dia bahkan tidak sadar telah mengabaikan telepon dari Tina yang jelas-jelas mobilnya masih belum pulang seharian ini. Dan sekarang dia harus menjelaskan semuanya!
“Ya hallo! Kak Tina maaf banget. Tadi pagi aku buru-buru banget, nggak sempet nunggu Kak Tina selesai siap-siap jadi terpaksa aku bawa mobil Kakak dan berangkat sekolah dulu.”
“Jawab! Kamu di mana?! Vellaaaaaaa!”
Vella buru-buru memutus sambungan ponselnya.
“Siapa?”
“Kakak sepupuku, Kak Tina.” Vella nyengir melihat ekspresi bingung di wajah Belinda dan Indra.
“Sekali dipecat tetap dipecat!”
Suara chef itu kembali terdengar di balik ruang kaca ini.
“Eh. Awas!”
Ketiganya langsung menyingkir dari pintu ketika ada tiga orang pegawai berseragam putih dengan topi tinggi di kepala mereka. Ketiganya keluar dari dalam ruangan dan berjalan dengan tergesa-gesa.
Rasanya Vella mengenali wajah-wajah tiga pemuda itu. Namun ia tidak berani menyapanya langsung.
Vella menatap tiga orang itu dalam diam. “Kak Vegan?” lirihnya. Ia menyipitkan mata.
“Lihat apa? Ayo masuk!” ajak Indra membuat Vella terkesiap.
“Oh, iya.”
***
Selama setengah jam Vella dan Belinda duduk diam di dalam ruangan AC bercampur dengan aroma roti panggang karena di sebelah ruangan ini adalah dapur roti.
Indra sedang sibuk bercakap dengan chef di hadapan mereka. Sesekali chef itu menatap wajah dua gadis berseragam OSIS di seberang ruangan. Kemudian kembali bercakap dengan Indra.
Alih-alih Vella memperhatikan chef ini lekat-lekat. Wajah chef ini masih muda. Terlalu muda untuk ukuran seorang chef. Mungkin masih duduk di bangku kuliah. Matanya tekesiap begitu sang chef tiba-tiba beralih padanya.
Tampaknya negosiasi telah selesai, chef muda itu beranjak mendekati Belinda. Belinda tampak salah tingkah dan gugup. Bukan karena wajah tampan chef beralis tebal ini, melainkan karena keputusan yang akan diterima atas perbuatannya.
“Jadi kamu ingin mengatakan kalau kamu ingin punya partner kerja di sini?” tanya chef ini dengan nada tinggi.
Belinda berjengit. Bulu kuduknya meremang seketika. Ia melotot ke arah Indra. Mulutnya komat kamit tidak jelas.
“A—aku hanya—“
Vella melihat Belinda melirik ke arah Indra. Indra memberinya isyarat untuk mengangguk. Belindapun terpaksa mengangguk.
Melihat Belinda mengangguk, kini tatapan chef itu beralih pada Vella. Dalam sekejap Vella merasa tubuhnya membatu. Dia belum pernah berhadapan dengan orang penting di sebuah
dunia kerja semacam ini.
“Dan kamu bermaksud membantu pekerjaan temanmu sebagai ganti rugi roti-roti yang tidak sengaja kamu jatuhkan?” tanyanya masih dengan nada suara yang meninggi.
Seperti yang dilakukan Belinda, Vella melirik ke arah Indra. Indra pun memberi isyarat untuk menganggukkan kepala.
Vella mengikutinya. Detik selanjutnya Vella merasakan wajah chef ini menjauh. Dan kini dia mendengar chef ini tertawa.
Chef berdiri membelakangi mereka. “Hm. Aku mencium aroma konspirasi kecil di sini,” gumamnya. Ia melangkah mendekati dinding kaca di seberang sana.
Apa yang baru saja dikatakannya sukses membuat nyali Vella dan Belinda menciut. Keduanya terus mengamati gerak gerik sang chef.
“Chef—pemilik toko ini?” celetuk Vella penasaran.
Chef itu mengangguk. Ia masih berdiri membelakangi gadis ini.
“Toko roti ini milik keluargaku. Tapi karena mereka membuka cabang toko yang baru di luar kota, sementara ini aku membantu pekerjaan di sini.” jawab Chef sambil berbalik.
“Ooh begitu.”
“Orang-orang yang bekerja di sini, membuat produk baru, menambah pelanggan toko, dan harus disiplin.”
Sang chef berbalik tiba-tiba. Membuat Vella dan Belinda sama-sama terkejut. Membuat Indra nyengir melihatnya.
Vella mendapati kedua mata chef menatapnya lekat-lekat. Membuatnya semakin mematung tak berkutik.
“Jika kamu memiliki salah satu dari tiga hal itu, maka kamu akan di terima kerja di sini!”
“Hah apa?” pekik Vella bingung. Diterima? Bekerja? Apa ini yang dikatakan Indra soal negosiasi tadi? Yang benar saja?
“Tapi kedatanganku ke sini—“
“Kamu ke sini untuk mengganti rugi roti yang rusak kan?” kata chef sambil tersenyum. “Kalau begitu kamu diterima dengan syarat harus membuat produk baru di sini. Kamu boleh mulai belajar membuat roti, cupcake, apapun itu untuk menciptakan produkmu sendiri!” dia mengacungkan jarinya. Memberi isyarat pada Indra yang berdiri di seberang.
Indra mengangguk. Dia berjalan ke sebuah almari besar. Mengambil sekotak kardus entah apa isinya. Kemudian memberikannya pada sang chef .
“Ini baju seragam untukmu. Di dalam sini ada aturan perusahaan dan syarat yang harus kamu lengkapi. Terimalah.”
“Ini. Untukku?” tanya Vella merasa tidak percaya atas apa yang dikatakan chef ini padanya.
Vella merasakan seseorang menyentuh bahunya dari belakang.
“Terimalah. Kamu akan senang belajar membuat roti di sini,” ucap Indra sambil tersenyum.
“Indra benar. Lo bakal jadi partner gue,” bisik Belinda riang.
“Tapi aku rasa ini terlalu berlebihan. Aku kan hanya—“
“Kami akan senang kalau kamu mau ikut belajar membuat roti di sini.” potong sang chef . “Kegiatannya setiap Sabtu sore.”
Vella menatapnya keheranan. Apa orang ini sudah baik-baik saja setelah beberapa menit lalu meluapkan seluruh kemarahannya pada tiga karyawannya. Tiba-tiba Vella merasa asing dengan orang-orang di ruangan ini.
“Sebenarnya toko roti ini memang sedang membutuhkan karyawan baru. Tapi tidak ada yang mau mendaftarkan diri karena, mungkin mereka takut denganku,” kata chef tertawa getir.
“Lalu kenapa tadi chef memecat tiga orang karyawa sekaligus?” seloroh Vella membuat chef yang belum ia tahu namanya ini menoleh padanya.
“Tiga karyawan sekaligus?” sang chef diam sejenak. “Kamu tahu, dari hasil pengamatanku, mereka sudah layak untuk mendirikan toko roti mereka sendiri. Mereka pasti tahu maksudku memecat mereka. Jadi kupikir sudah waktunya mereka mandiri.”
Benar-benar terkejut Vella mendengar alasan chef ini.
“Dengan memiliki karyawan yang hebat, toko ini akan lebih maju kan?” tanya Vella merasa ironi.
“Hm. Tapi bagiku, memiliki perusahaan bukan hanya untuk mendapatkan karyawan yang hebat, tetapi membiarkan mereka dibekali dengan keterampilan yang bermanfaat,” jelasnya.
Mendengarnya Vella hanya ber-Oh ria.
“Jadi, sebagai ganti rugi roti yang rusak, kamu harus berlatih di sini sampai bisa membuat produk rotimu sendiri,”
pungkas chef ini dengan nada lebih bersahabat.
Sekali lagi Vella menoleh pada Indra. Sepertinya dia memang tidak punya pilihan. Di sisi lain, tak ada ruginya dia berlatih membuat roti. Toh dia senang dengan hal-hal yang berkaitan dengan roti. Dia akan berusaha sampai berhasil membuat produk rotinya sendiri seperti kata chef.
“Baiklah, akan aku coba,” jawab Vella bersemangat.
“Selamat bergabung di Cherry and Backery. Aku Brian sebagai ketua Chef di sini.”
Indra tersenyum. “Selamat bergabung di sini Vella. Toko roti ini memiliki cafe juga, ada di bagian depan dan toko roti. Benar kan Chef?”
“Benar sekali.” sambut Brian.
“Aku—aku akan berusaha sungguh-sungguh!”
“Bagus! Akhirnya gue punya partner kerja di sini,” kata Belinda girang.
Vella tersenyum melihat suasana tegang di sini sudah mencair. Ia kembali menatap chef Brian. Dibalik keputusan semena-menanya, chef ini memang cukup bijaksana rupanya.
***
@Rifad Ini aku nerbitin indie publish di Jejak Publisher. Waah... asiik
Comment on chapter PROLOG