Flower Boy
Jam setengah 12 siang, kafetaria SMA 45 dipenuhi oleh anak-anak yang kelaparan. Begitu selesai memesan makanan, mereka langsung menyerbu meja-meja kosong di area kantin. Dalam sekejap meja penuh makanan dan kursi terisi anak-anak yang kelaparan.
Vella menatap kososng keramaian di depan sana. Sementara tangannya masih mengaduk-aduk kuah bakso di mangkuknya. Ia kehilangan selera makan meski perutnya terasa lapar. Kejadian tadi pagi benar-benar telah membuatnya kenyang seharian ini.
Sementara di hadapan Vella, Ovie menyantap bakso-bakso di mangkuknya dengan lahap. Perhatiannya tertuju pada muka Vella yang suram. Ia melambaikan tangan persis di depan muka Vella. Membuat Vella mengalihkan perhatiannya dan kini beralih padanya.
“Vell, sekarang jawab jujur! Kenapa kamu bisa telat si? Kamu jadi kena poin kan sama Bu Yuli,” gerutu Ovie.
Vella melihat wajah Ovie yang kelihatannya siap mengevaluasi sesuatu. Ia menghela napas dalam.
“Aga main rusuh lagi,” ungkap Vella. Akhinya ia memilih menyerah setelah seharian ini berusaha menghindari menjawab pertanyaan Ovie barusan.
Ovie Sasmita adalah satu-satunya sahabat Vella semenjak
dia pindah ke Jakarta satu tahun lalu. Persahabatan mereka dimulai sejak pertemuan mereka dalam sebuah kelompok selama mengikuti MOS SMA setahun lalu.
“Jadi, si Yoshinaga itu masih aja gangguin kamu?”
Vella mengangguk malas. “Ini soal mobil mogok waktu itu. Aku nggak tahu kenapa dia masih marah sama kejadian itu.” Sekarang ia beralih pada beberapa siswa yang antre di meja kasir untuk membayar makanan pesanan mereka.
Mulut Ovie tenganga. “Udah?! Gitu aja?” protes Ovie merasa tidak terima. “Kamu nggak berencana buat balas dendam atau apa gitu?”
Vella menggeleng malas. Entah mengapa saat ini ia tidak begitu tertarik untuk membahas masalahnya dengan si Aga.
Vella masih diam dan membiarkan pertanyaan Ovie menggantung. Yang terdengar adalah komentar-komentar sekelompok cewek dari meja seberang.
“Eksotis! Gila!”
“Apa dia nggak sadar dua kacing bajunya kebuka?”
“Gans banget gilak!”
Ovie melirik segerombolan cewek yang duduk di seberangnya. Mereka terus bergunjing mengomentari seseorang yang mereka bilang ganteng, tampan, keren, apa sajalah yang bisa mendefinisikan sebuah kesempurnaan seorang cowok.
“OMG, flower boy, mereka duduk di meja pojokan!”
“Gue pengen ada di antara mereka.”
“Eh, mereka lihat ke sini!”
Celotehan itu udah bikin kuping Vella ikut gatel rupanya.
Ovie memberi isyarat dan membuat Vella mengikuti arah pandangnya. Hal ini justru membuat Vella ingin muntah mendengar celotehan tak berbobot ini.
Meski begitu ia ikut menoleh karena penasaran. Ia ingin memastikan keberadaan flower boy seperti yang mereka katakan. Matanya menyipit melihat ke arah empat cowok yang duduk di meja pojok. Satu dari cowok itu adalah si tengil Aga.
Vella lekas berpaling.
“Aga, Rendy, Ferdy, Daniel. F-4, Our flower boy.”
Gerombolan cewek itu masih saja berkasak-kusuk. Vella memutuskan untuk bangkit dari duduknya. Tampaknya semua
ini membuatnya tak bisa lebih lama berada di sana.
“Mau ke mana Vell?” pekik Ovie begitu mendapati Vella tiba-tiba bangkit dari duduknya.
“Aku mau balik ke kelas—“
Bruk!
“Auw!”
“Oops!”
“Sorry!”
Vella kaget bukan main saat ia tidak sangaja menabrak seseorang yang melintas persis di hadapannya. Seorang cewek berbando dikepala dengan rambut dikuncir kuda yang ia kenali sebagai Belinda, tersungkur di lantai dengan cupcake bertebaran di mana-mana.
“Sorry! Kamu nggak apa-apa Bel?” tanya Vella khawatir. Ia mencoba membantu Belinda bangkit.
“Siku gue...” rengek Belinda.
Belinda masih saja mengusap-usap sikunya yang lecet. Namun Belinda menolak bantuan Vella dan memilih bangkit dengan sendirinya.
“Vella?! Kamu baik-baik saja?!”
Sebuah suara berat memanggil Vella dari arah belakang. Vella berbalik mencoba mencari tahu. Matanya membelalak mendapati mantan ketua OSIS bernama Indra tengah berjalan ke arahnya dengan wajah khawatir.
“Kak Indra? Aku baik-baik saja—“
“Belinda, kamu nggak apa-apa?” tanya Indra seraya mengulurkan tangannya pada cewek berbando putih ini.
Dengan senang hati Belinda lekas menerima uluran tangan Indra. Tentu saja masih dengan rengekan yang dibuat-buat. Sampai-sampai membuat orang-orang di sekitarnya merasa iyuhh.
“Bagaimana dengan roti-roti ini?” celetuk Ovie yang kini ikut memunguti cupcake yang bertebaran di lantai.
Belinda menoleh. “Tadinya gue bermaksud menitipkannya di koperasi sekolah. Tapi karena sudah jatuh—“ ia menghentikan kalimatnya, menoleh pada Vella di hadapannya, “Vella Amerta, elo harus ganti rugi. Semuanya!” Ucapnya seenak jidat.
“Apa? Aku yang ganti rugi? Sebanyak ini?” sungut Vella.
“Iya!”
Vella menelan ludah getir. Ia tidak bisa berkomentar apa-
apa lagi. Merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya, ia hanya bungkam, mengangguk sekilas dengan hati dongkol. Toh ini memang kesalahannya.
“Tapi aku kan nggak sengaja.” Vella mencoba membela diri seraya memunguti cupcake dan memasukkan ke box-nya.
Indra dan Ovie berjongkok dan ikut membantu Vella.
“Aku tahu di mana tempat roti-roti ini dibuat.” Terang Indra seraya berdiri dan menjatuhkan pandangannya pada Vella. Sebuah cupcake warna coklat ada di tangannya. Kemudian ia berikan pada Vella. “Kalau kamu mau, aku akan mengajakmu ke sana. Aku akan membantumu biar nggak perlu mengganti rugi semua roti ini, gimana?”
“Cieee....!”
“Kak Indra apaan si!” sungut Belinda jutek. Ia menatap cowok beralis tebal berhidung mancung itu sambil manyun.
Indra mengerling singkat pada Belinda. “Kamu tenang aja pokoknya kalau kita ke sana masalah ini akan beres,” katanya penuh harap.
“Buat apa Kak Indra repot-repot ngajakin aku ke sana?” pekik Vella malas.
Indra tersenyum. “Kamu akan tahu sendiri kalau sudah ke sana. Pulang sekolah siang ini kita ke sana, setuju?” ajaknya.
“Gue juga ikut!” sela Belinda.
“Aku pengen ikut tapi ntar siang ada ekskul cheerleader,” celetuk Ovie merasa kecewa.
Vella dan Indra menoleh bersamaan. Sementara Indra tersenyum sambil mengedikan bahu.
“Oke Vie, aku sendiri nggak apa-apa kok,” pungkas Vella
sambil tersenyum kecil. Ia meletakkan box roti di tangannya ke atas meja.
“Kalau gitu, ayo!” ajak Vella.
“Mau ke mana lo?” seru Belinda masih kesal.
“Aku mau balik ke kelas dulu,” jawab Vella sekenanya. Ia menarik Ovie bersamanya kemudian lekas beranjak dari sana.
“Pulang sekolah nanti ketemu di gerbang depan ya!” seru Indra dari seberang.
Vella tersenyum sekilas. “Oke.” Ia melenggang meninggalkan kantin diikuti Ovie di belakangnya.
“Kamu beneran mau ikut ke sana?” selidik Ovie.
“Iyalah, daripada aku ganti rugi roti-roti itu,” balas Vella mencoba melihat sisi positifnya.
“Ayo!”
Ovie lekas mengimbangi langkah cepat Vella di depannya.
“Udah dapet poin dari Guru BK. Sekarang dapet bonus ganti rugi roti. Semangat ya Vell.”
Vella hanya nyengir garing. “Mungkin ini gara-gara aku nggak ijin pinjam mobilnya Kak Tina.”
Ovie mengangguk. “Semoga aja nanti siang nggak ada patroli polisi ya Vell, kalo kena kamu bisa ditilang—“
“Ovie!”
“Hahaha!”
Ovie lekas berlari saat mendapati Vella yang kembali kesal gara-gara kata-katanya barusan.
***
@Rifad Ini aku nerbitin indie publish di Jejak Publisher. Waah... asiik
Comment on chapter PROLOG