Loading...
Logo TinLit
Read Story - 29.02
MENU
About Us  

Kau bilang akan datang menemuiku

Seorang gadis cantik mematut dirinya di depan cermin besar. Sepasang anting bermata berlian sukses menyinari penampilan elegannya dibalut midi dress bewarna hitam. Miniatur ballerina terus berputar mengikuti alunan musik untuk ikut merayakan betapa bahagianya gadis yang tersenyum manis menghampirinya.

Berjanji memberikan semua waktumu untukku

Yeji—gadis bergaun hitam—mengambil kalender duduk di samping kotak musik. Sebuah lingkaran bewarna merah melindungi angka 29 pada kalender Februari. Yeji menyentuh lembut angka itu seiring senyumnya merekah lebar.

"Kau yang kunantikan hari ini." gumam Yeji.

Satu ruangan yang dulunya tidak terpakai kini Yeji sihir menjadi ruangan yang sangat cantik. Terlihat jelas di pusat ruangan ada kasur king size berseprai peach dengan tirai-tirai transparan putih mengelilinginya. Meja rias tak jauh di sisi kanan kasur. Sofa berukuran sedang di dekat perapian yang membara kayu—menerangi ruangan redup penerangan ini.

Kau berjanji akan membuatku menjadi wanita paling bahagia malam ini

Dering telepon berbunyi. Kedua mata Yeji berbinar begitu menangkap nama Daniel disana. Segera Yeji mengangkat gagang telepon itu. Mendadak jantungnya berpacu cepat diikuti dengan sensasi menggelitik kupu-kupu yang berterbangan di perutnya.

"Halo.."

"Sayang, aku akan sampai sebentar lagi. Tunggu aku ya," suara dari seberang telepon.

"Hmm, cepat datang dan nantikan kejutan dariku!" jawab Yeji sumringah.

Terdengar suara kekehan pelan dari telepon, "Aku tahu kau merindukanku, tapi kau harus tahu bahwa aku lebih merindukanmu dan selalu mencintaimu, Yeji."

Namun nyatanya kau membuatku menjadi wanita paling menyedihkan

Gagang telepon yang beberapa menit lalu berada dalam genggaman erat Yeji jatuh merosot mencium permukaan lantai kayu. Tubuh Yeji ambruk. Hatinya terasa perih. Bulir demi bulir kristal bening membasahi pipinya. Pikirannya mendadak kacau.

Kau pergi membiarkanku tidak mengerti bagaimana keadaanmu

Di sela-sela kekacauan pikirannya, Yeji masih menyimpan harapan atas segala spekulasi buruknya itu tidaklah nyata. Dengan tangannya yang bergetar Yeji meraih gagang telepon.  Di hubunginya kembali nomor telepon suaminya.

Yeji mematikan sambungan teleponnya. Pantang menyerah, Yeji menghubungi nomor Daniel namun berkali-kali ia menelepon hasilnya tetap sama. Hanya suara nada tersambung yang menggantung tanpa jawaban.

Kau menghancurkan penantian kita.

Penantian yang akhirnya terasa sia-sia

Tak peduli sebesar apa harapan yang aku miliki.

Akan selalu kunanti dua puluh sembilan Februari

***

Suara roda berdecit memecah keheningan. Mobil sport bewarna hitam berhenti tepat di sebuah rumah sederhana dengan taman luas di depannya. Seorang lelaki ber-setelan tuxedo hitam keluar dari mobil dan berlari kecil membukakan pintu.

"Kenapa setiap hari kau semakin romantis?" riang si gadis memeluk lengan lelaki yang membukakan pintu untuknya.

Juna—lelaki itu—tersenyum manis, "Tidak lama lagi kita akan tinggal bersama di rumah ini." 

"Jadi ini yang mau kau tunjukkan padaku?" tanya Nisa—si gadis—terkejut.

Juna hanya tersenyum tipis dan mengajak Nisa memasuki rumah barunya. Dalam langkah beriringannya, Nisa berhasil dibuat takjub oleh bangunan elegan dan tatanan perabot yang artistik. 

Dorongan lembut Nisa rasakan pada kedua bahunya. Juna mendudukkannya di sebuah bangku yang ada di depan grand piano putih. Senyum Nisa merekah. Jari-jari lentik milik Juna bergerak cepat menekan tuts-tuts piano. Lelaki itu terlihat menikmati permainannya. Tersenyum merasuki suara dentingan piano.

Melodi yang riang dan cepat. Melodi yang mampu menggetarkan hati. Nisa menyukainya hingga tidak bisa melepaskan pandangannnya dari sisi wajah tenang Juna. Bagi Nisa saat Juna menjadi keren adalah saat lelaki itu memainkan piano. Seperti sekarang, Juna sedang menyanyikan lagu Bruno Mars yang bertajuk Marry You.

Its a beautiful night

Were looking for something dumb to do

Hey baby, I think I wanna marry you

Is it the look in your eyes

Or is it this dancing juice

Who cares baby, I think I wanna marry you

Permainan piano dan juga nyanyian merdu Juna terhenti. Nisa memandang Juna heran. Lelaki itu menghentikan permainan pianonya sebelum lagu berakhir. Kedua mata Nisa melebar. Entah sejak kapan Juna menatapnya teduh sambil menyodorkan satu buket mawar putih kepadanya.

"Selamat hari kasih sayang, Nisa. Maukah kau hidup bersama denganku disini hingga ajal menjemput?"

Debaran dalam dada tiba-tiba berhasil memecahkan emosi dan mengundang tangis haru turun. Nisa sangat tersentuh dengan tindakan Juna. Bodohnya juga Nisa tidak menyadari sekarang adalah tanggal 14 Februari tepatnya hari valentine. Seorang romantis seperti Juna tidak akan melewatkan hari yang manis ini begitu saja.

"Terima kasih, Juna." lirih Nisa menerima buket bunga dari tangan Juna.

KLAP!

Ruang terang benderang berubah menjadi gelap gulita. Bunga mawar putih dalam genggaman Nisa terjatuh. Gadis itu dengan cepat memeluk Juna yang ia yakini masih duduk di sampingnya. Nisa sangat takut akan kegelapan.

"Juna.." lirih Nisa ketakutan dalam pelukan Juna.

"Tenanglah, Nisa. Aku ada di sampingmu."

Kegelapan dan kesunyian menyadarkan dua insan yang dimabuk roman akan suara hujan lebat. Kaca jendela di sisi ruangan saling bergetar begitu air hujan membentur, lampu gantung juga bergetar akibat goncangan kuat air hujan. Suasana semakin mencengkam saat suara petir menyambar.

Dalam kebingungan Juna mencoba mencari ponselnya di saku tuxedo yang ia kenakan. Berhasil. Juna berhasil menyalakan secercah cahaya dari senter ponselnya. Juna tidak tega jika harus mendengar gumamam ketakutan Nisa. Juna mengusap surai gadisnya lembut dan mencium singkat pucuk kepala Nisa.

"Aku akan melindungimu, sayang." ucap Juna menenangkan Nisa.

Merasakan silau sinar senter ponsel Juna, Nisa dapat sedikit melonggarkan pelukannya. Dengan penglihatannya yang kabur akan air mata menggenang Nisa mencoba menatap Juna. Namun tanpa Nisa duga pandangannya justru bertemu dengan sepasang mata kelabu yang tengah menatapnya sendu.

Sejenak tatapan Nisa terkunci dengan tatapan milik gadis berparas jelita yang tengah memeluk leher Juna dari belakang. Pikiran Nisa terasa beku untuk beberapa detik. Beberapa kali juga Nisa mengerjapkan matanya untuk melihat sosok gadis itu lebih jelas.

"Dia milikku." ucap gadis bergaun hitam itu tegas sembari menyandarkan kepalanya pada bahu Juna.

"Nisa, kau sudah merasa lebih tenang?"

Kedua bola mata Nisa terbelalak. Gadis cantik yang memeluk Juna menghilang. Lampu kembali menyala. Pikiran Nisa semakin keruh saja. Kepalanya menggeleng keras mencoba menyingkirkan segala pikiran buruk atau halusinasinya yang sering kambuh kala berada di ruangan gelap.

"Dia milikku.."

Segera Nisa menutup telinganya rapat-rapat. Suara bisikan seorang gadis menggelitik rungunya. Bisikan yang sama dengan yang diucapkan gadis tadi. Nisa menggerang pelan. Tanpa Nisa sadari sikapnya membuat Juna yang sedari tadi memperhatikan menjadi khawatir. 

"Tenanglah, hanya pemadaman sesaat." ucap Juna menarik Nisa ke dalam pelukannya.

"Juna, aku ingin tidur bersamamu malam ini, aku takut.." lirih Nisa ketakutan.

Juna terkekeh pelan, "Astaga, sayangku ini sudah mulai berani ya, padahal kita baru saja melangsungkan tunangan."

Sebuah pukulan keras mendarat pada lengan Juna. Dengan tatapan berlinang air mata dan hidung memerah Nisa menatap kesal kekasihnya. Nisa kesal dengan Juna yang masih sempatnya bercanda di kala ia ketakutan setengah mati karena melihat bayangan sosok perempuan asing yang terlihat sangat nyata di matanya.

"Ok, ayo kita berbenah dulu sebelum tidur." ucap Juna mengacak surai Nisa pelan.

***

CUT! 

Genggaman tangan kedua insan di bawah senja terlepas. Kedua orang dengan baju couple membungkukkan tubuhnya dan saling melempar senyum. Bersamaan pula keduanya menghadap seluruh staff dan sutradara yang selalu memantau dan menemani proses produksi film yang tengah mereka garap.

"Kerja bagus Juna dan Bela!" seru sang sutradara bangkit dari duduknya dan bertepuk tangan.

Mendengar pujian yang datang dari sutradara, Juna dan Bela tersenyum malu. Kedua pasangan dalam film itu kemudian saling mengucapkan terima kasih pada seluruh staff—saling berjabat tangan dan memeluk singkat.

"Juna!"

Seruan lantang memanggil nama Juna. Senyum Juna berlipat lebih cerah saat pandangannya bertemu dengan netra berbinar milik si gadis cantik yang melambaikan tangan jauh di belakang para staff. Dalam refleks cepatnya Juna langsung berlari dan memeluk Nisa yang sepertinya terkejut menerima pelukan hangat dari kekasihnya.

"Bagaimana harimu? Apa menyenangkan?" tanya Juna merenggangkan pelukannya dan menatap teduh Nisa.

Mendapat perlakuan lembut dari Juna, Nisa tidak mampu melenyapkan senyumnya, "Tentu saja,”

"Juna, ayo ikut acara makan-makan setelah berkemas! Kau boleh ajak calon istrimu juga." ucap sutradara menghampiri sepasang kekasih itu.

Sejenak Juna menatap Nisa. Gadis yang ditatap hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Seolah mendapatkan jawaban dari bahasa tubuh Nisa, Juna mengangguk mantap.

"Bagaimana kalau acara makan-makannya di rumah yang baru kubeli? Aku akan belanja daging dan makanan lainnya. Kita semua masak dan makan bersama!" ucap Juna antusias.

"Bukan ide yang buruk." tukas sutradara setuju, "Semuanya, ayo cepat selesaikan pekerjaan kalian! Kita makan-makan di rumah aktor Juna." lanjut sutradara berteriak pada para staff dan pemain lainnya.

***

Halaman belakang rumah sangat ramai. Seluruh staff produksi film, sutradara, produser, dan penanggung jawab lainnya ikut meramaikan rumah Juna dan Nisa.  Semua staff saling membantu menyiapkan pesta. Begitu pula dengan Juna yang sibuk memanggang daging dan Nisa yang menyiapkan perlengkapan makan dibantu Bela—lawan main Juna.  

"Kamu beruntung ya memiliki seseorang seperti Juna." ucap Bela disela kegiatannya mengelap piring.

Nisa terkekeh pelan, "Terkadang aku juga tidak percaya dapat mengenal orang baik seperti dia."

"Nisa.." panggil Bela lirih, kedua matanya menatap tajam ke belakang tepatnya dalam rumah Juna yang terlihat sunyi.

Nisa meletakkan daging siap saji ke piring lalu menatap Bela heran. Dalam raut wajah Bela, Nisa dapat membaca guratan ketakutan. Nisa memegang tangan Bela dan menatapnya bingung.  Nisa merasa Bela akan mengucapkan hal penting.

"Ada apa Bela?"

Bela melepaskan pegangan tangan Nisa. Gadis itu menggeleng cepat dan kembali fokus mengelap piring. Bela tidak bisa menyimpulkan apa yang menganggu pikirannya dengan cepat. Ada kemungkinan sesuatu yang berbeda telah mengubah keadaan.

"Lupakan, aku hanya merasa ada yang memanggilmu ternyata tidak ada." ucap Bela tertawa kikuk.

"Nisa, boleh minta tolong ambilkan kecap asin di dapur. Seingatku ada di laci atas." ucap Juna menghampiri Nisa.

"Baiklah, aku akan ambil." ucap Nisa bergerak cepat.

Diam-diam Bela memperhatikan Nisa yang melangkah memasuki rumah. Tidak ada yang aneh memang dari rumah mewah itu. Tapi Bela tahu sesuatu mengenai rumah itu. Hanya ingin memastikan, Bela mengejar langkah Nisa. 

"Nisa,  aku boleh ikut masuk kan?" tanya Bela riang.

"Tentu saja, ayo masuk."

Dekorasi dalam rumah tetaplah sama. Mewah penuh barang antik di sekitarnya. Lampu gantung berlian menerangi ruang tamu, tangga kayu yang menghubungkan dengan lantai atas. Langkah Bela kemudian terhenti. Bela membiarkan Nisa berjalan mendahuluinya. 

Perlahan Bela berjalan mendekati tangga kayu. Benar, di balik tangga itu ada pintu. Bela membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Debu-debu berterbangan menyambut Bela. Tepat di bawah kaki Bela berdiri, ada tangga menurun yang menghubungkannya pada ruang gelap gulita. Di rundung rasa penasaran akhirnya Bela menuruni anak tangga itu.

TAP!

Bela menemukan saklar lampu. Namun Bela dibuat takut saat lampu yang menyala justru berkedap-kedip. Sekilas Bela dapat melihat tempat tidur, meja rias, dan sofa. Bela melawan dirinya dengan rasa takut. Ingin sekali Bela melihat kejanggalan yang tersembunyi. Bela mencoba mendekati ranjang besar yang ada di pusat ruangan.

Kret.. kret..

Alunan suara kotak musik tiba-tiba terdengar. Musik yang terdengar menyedihkan. Bulu kuduk Bela seketika merinding. Bela mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Lampu yang terus berkedap-kedip membuat matanya sakit. Kedua mata Bela kemudian menangkap bercak-bercak darah pada seprai kasur dan pisau yang menusuk tempat tidur.

Suhu ruangan terasa dingin. Semakin lama suara kotak musik semakin terdengar pilu. Kedua netra Bela tanpa sengaja menangkap sosok wanita dengan tatapan hampa di pantulan cermin rias. Bela menjerit histeris dan segera berlari menaiki tangga.

PRANG!

Pintu di balik tangga tertutup keras hingga menyebabkan bingkai foto di belakang pintu terjatuh. Jelas sekali Bela masih mendengar bunyi benda jatuh. Sekuat mungkin Bela menutup telinganya. Ia sangat takut. Rasa penasarannya hanya terbayarkan dengan rasa takut. Tapi Bela tahu jawabannya setelah masuk ruangan tersembunyi itu.

"Apa yang kau lakukan disitu?" tanya Nisa menatap Bela curiga.

Kedua mata Bela membola. Rasa takutnya semakin menjadi saat melihat Nisa telah berdiri tepat di depannya. Bela meringis pelan, tangannya menggaruk kepala—bingung harus beralibi seperti apa untuk menutupi misteri yang ternyata masih tersisa.

"Tidak ada. Aku hanya.. itu.. tadi.." gugup Bela bingung.

"Apa yang sedang kalian lakukan disini? Semuanya sudah siap. Ayo turun dan makan bersama." ucap Juna datang dan merangkul bahu Nisa.

Bela menghembuskan napasnya lega. Beruntunglah Juna datang pada saat yang tepat. Bela tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Juna tidak lekas datang dan membawa kekasihnya keluar. 

***

"Daniel!"

"Daniel!"

"Daniel!"

Suara panggilan itu terdengar semakin keras. Dalam kesendiriannya, Juna menggerutu kesal. Kenapa di taman tempat dirinya menunggu Nisa pulang sangat berisik. Tak tahan dengan suara panggilan yang semakin memekakkan telinga, Juna membalikkan tubunya. Baru saja membalikkan tubuh, Juna langsung dikejutkan oleh seorang gadis yang berlari menghambur ke dalam pelukannya.

"Daniel, kenapa kau mengabaikanku? Kau tahu, aku terus memanggilmu sedari tadi!"

Tubuh Juna menegang. Gadis yang sempat memeluknya erat itu melepaskan pelukannya dan menatap Juna lembut. Juna menatap gadis di depannya datar. 

"Maaf, sepertinya anda salah orang. Nama saya Juna bukan Daniel." ucap Juna dingin.

"Daniel, berhenti memberi kejutan. Aku hanya ingin bersenang-senang bersamamu sekarang. Aku merindukanmu. Kau tahu, aku lelah menunggumu selama ini!" kesal gadis itu sembari melangkah mendekat pada Juna.

Kedua tungkai Juna mengambil langkah mundur saat gadis bergaun hitam itu mencoba menghapus jejak yang ia buat. Pandangan Juna bertemu dengan netra kelabu gadis itu. Tersirat jelas kerinduan di dalam manik mata kelabu itu.

"Jangan mendekat! Aku tidak mengenalmu!" tegas Juna.

Mendadak raut bahagia gadis itu berubah menjadi sedih usai mendengar seruan Juna, "Daniel, kenapa ucapanmu membuatku sedih? Candaanmu tidaklah lucu. Inikah yang kau bilang akan selalu membuatku bahagia? Bukankah kau juga merindukanku? Kau masih mencintaiku kan?"

Satu bulir air mata jatuh membasahi pipi. Tatapan datar Juna melunak. Melihat gadis di depannya menangis membuat hati Juna terasa sakit. Kepala Juna kemudian terasa berdenyut saat gadis di depannya menggenggam kedua tangannya dan menatapnya dengan mata berlinang air mata.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, yang kutahu namamu itu Daniel dan aku Yeji, istri yang kau tinggalkan demi pekerjaanmu." ucap Yeji mencoba mengukir senyum dalam tangisnya.

"Aku senang kau datang Daniel, aku merindukanmu, sangat rindu hingga rasa cinta dalam hati ini ingin meledak. Daniel, jangan pergi dan tetaplah di sisiku." Yeji terus berucap sembari menggenggam telapak tangan Juna.

Seperti pernah memiliki ikatan batin, penuturan Yeji membuat Juna ikut merasakan kesedihan gadis itu. Tatapan berlinang air mata, guratan kesedihan, sentuhan tangannya yang terasa hangat. Tanpa sadar Juna ikut menangis dan tak berkutik saat Yeji bergerak mengecup bibirnya.

Kedua mata Juna terbelalak. Genggaman hangat itu kini berkeringat dingin. Air matanya berbaur menjadi satu dengan milik gadis itu. Beberapa kepingan memori yang terasa samar memenuhi kepalanya. Kepala Juna terasa pening saat melihat sosok Nisa berdiri tak jauh di belakang Yeji. Segera Juna mendorong bahu Yeji agar tautan bibir mereka terlepas.

"Juna, kau baik-baik saja?"  

Juna membuka matanya dengan kasar. Napasnya tersenggal. Keringat dingin mengalir di sisi wajahnya. Juna memijat kepalanya pening. Ternyata hanya mimpi yang terasa nyata dengan sensasi sleep paralysis saat gadis dalam mimpinya mengecup bibirnya.

"Juna, jika kau merasa tidak enak badan, aku bisa bilang pada ibu untuk menunda fitting baju pengantin kita." ucap Nisa yang sudah berdandan rapi.

Juna menggelengkan kepalanya. Di peluknya gadis yang ada di dekatnya itu. Juna mencoba melupakan mimpi buruknya, "Tunggu aku berbenah, kita fitting baju hari ini saja. Aku sudah tidak sabar menantikan hari pernikahan kita."

Perlakuan manis Juna tidak bisa menghentikan kegelisahan Nisa. Nisa merasakan mimpi Juna bukan hanya sekedar mimpi buruk. Sebagai psikiater tentu saja Nisa bisa membaca bahasa tubuh Juna yang panik dan ketakutan saat baru saja bangun. Apalagi ketika Nisa merasakan napas berat Juna saat memeluknya. Firasat Nisa mengatakan hal buruk akan terjadi.

***

Hangatnya senja menjemput terik mentari. Masih berpakaian rapi Juna sedang duduk di mobilnya bersama Nisa. Satu minggu penuh menjadi hari yang sibuk bagi calon pasutri baru ini. Melakukan foto prewedding, mengurus pembuatan souvenir, menyebarkan undangan dan juga mengurus reservasi gedung tempat pernikahan diselenggarakan.

Semua persiapan telah matang. Kini baik Juna dan Nisa keluar dari mobil. Mereka berdua memutuskan istirahat di rumah masa depan sebelum berpisah untuk menjalankan tradisi pingitan khas budaya Jawa. Tak terasa sudah kurang satu minggu lagi mereka akan menikah.

"Sayang, mungkin rumah ini masih terasa kurang. Jika kita sudah tinggal bersama nanti kau boleh menghias ataupun mengganti semua perabotan disini agar nyaman." ucap Juna membanting tubuhnya pada sofa ruang tamu.

Nisa memandang setiap sudut rumah. Sudah lama Nisa tidak datang kemari. Terakhir kali diingatnya ia datang ke rumah ini sebelum fitting baju pengantin. Dan kalau dilihat-lihat rumah baru yang dibeli Juna memang memiliki kesan mistis dengan beberapa perabotan kuno seperti guci dan hiasan dinding ukir.

"Tentu saja, aku akan buat rumah klasik ini menjadi rumah penuh warna. Aku sudah tidak sabar menghias rumah bersamamu." ucap Nisa duduk di samping Juna sembari bergelayut manja di lengan lelaki itu.

"Nisa, apa selama ini kau nyaman ada disini?" tanya Juna tiba-tiba.

Nisa terdiam. Memorinya dengan cepat mengingat kejadian dirinya melihat sosok gadis bergaun hitam memeluk Juna saat hari pertama kedatangannya kemari. Tapi lagi-lagi Nisa menggelengkan kepalanya. Ia mencoba percaya bahwa saat itu ia hanya berhalusinasi.

"Selama kau ada di dekatku aku selalu merasa nyaman." ucap Nisa terdengar cheesy.

"Astaga.. siapa yang mengajarimu bergombal receh seperti ini?" kekeh Juna menyandarkan kepala Nisa pada dadanya.

"Juna.." panggil Nisa dalam dekapan Juna.

"Hmm.." deham Juna.

"Apa akhir-akhir ini kau tidak mengalami mimpi buruk lagi?"

Tatapan teduh Juna memandang Nisa. Raut gadis itu terlihat gelisah dan juga khawatir. Juna mengusap lengan Nisa pelan, "Akhir-akhir ini aku malah sering memikirkanmu. Mungkin aku rindu kau tidur di sampingku."

Satu pukulan kecil mendarat pada dada Juna. Nisa geli mendengar ucapan Juna. Namun Juna malah tertawa. Keduanya menghilangkan rasa penat dengan saling berbagi canda dan cerita. Bahagia di tengah kesedihan bayangan wajah jelita di meja kaca. Dalam meja kaca terlihat gadis bergaun hitam duduk di depan Juna dan Nisa. Gadis itu menopang dagunya muram. Tatapan sendunya selalu terlihat penuh luka.

"Juna, aku mau pulang. Ibu sudah mengirim pesan padaku."

"Baiklah, aku akan mengantarmu." ucap Juna bergerak cepat menyambar kunci mobil di meja.

"Tidak, Juna. Aku akan naik taksi. Aku tidak ingin semakin merindukanmu nantinya." cegah Nisa dengan cepat memegang kedua lengan kekasihnya itu.

CUP!

Satu kecupan manis mendarat pada kening Nisa. Senyum cerah menghiasi wajah rupawan Juna. Sementara korban dari tingkah Juna hanya tersipu malu. Tingkah tiba-tiba Juna mampu membuat jantung Nisa berdebar tak karuan.

"Ups, mungkin aku sudah membuatmu tak sanggup berpisah denganku." kekeh Juna.

"Tidak, Juna. Aku akan tetap pulang naik taksi." ucap Nisa segera berjalan cepat keluar dari rumah.

DEG!

Langkah cepat Nisa terhenti. Bukan tanpa alasan tentunya. Kedua netra Nisa bertemu pandang dengan Bela yang tengah berdiri di halaman rumah. Kedua gadis itu sama-sama terkejut. Benak Nisa penuh dengan tanda tanya sedangkan Bela penuh dengan ketakutan.

"Katanya mau naik taksi, kenapa masih ada disini?" goda Juna menghampiri Nisa.

"Eh, ada Bela?" kejut Juna menyadari suasana tegang antara Nisa dan Bela.

"Juna, kenapa dia ada disini? Kau ada janji dengannya?" lirih Nisa.

"Ma.. maaf, jika kedatanganku mengganggu kalian. Tapi jangan salah sangka dulu. Aku hanya ingin membicarakan sesuatu dengan Juna sebentar." jelas Bela yang sudah berada di antara Juna dan Nisa.

Satu helaan napas keluar dari bibir Juna. Lelaki itu mengusap surai Nisa lembut, "Percayalah tidak ada apa-apa diantara kami. Kami hanya teman. Kau bisa pulang, Nisa."

"Baiklah, aku pulang dulu." dengan berat hati akhirnya Nisa berjalan meninggalkan rumah.

Setelah merasakan ketidakberadaan Nisa, Bela langsung masuk ke dalam rumah Juna. Juna yang masih bingung dengan kedatangan tiba-tiba Bela hanya bisa mengikuti kemana gadis itu melangkah. Juna terus memperhatikan Bela mengobrak-abrik dokumen dalam map yang di bawanya dan meletakkan semua dokumen di meja hingga tercecer.

"Ini beberapa dokumen tentang misteri rumah ini yang masih kusimpan selama menjadi jurnalis dulu."

Tak disangka rumah mewah di daerah Permai Indah dipenuhi misteri aneh.

Misteri rumah angker terkuak. Berlatar bunuh diri, seorang mayat perempuan ditemukan membusuk di ruangan tersembunyi.

Penghuni kawasan Permai Indah semakin berkurang tiap tahun sejak banyak kejadian mistis di salah satu rumahnya.

"Bela, kau yakin rumah yang dimaksud rumah ini? Aku bahkan membelinya dengan harga mahal." lirih Juna sembari membaca beberapa artikel di tangannya.

"Iya, sebelum acara makan bersama lalu aku sudah pernah berada disini untuk mencari informasi tentang misteri mistis rumah ini." jelas Bela yakin.

Kedua kaki jenjang Bela bergerak santai mendekati sebuah tangga tua di sisi kanan ruang tamu, "Saat acara makan malam itu aku lancang memasuki ruangan tempat mayat perempuan itu ditemukan. Dan saat itu pula aku melihat bayangan seorang perempuan muda menatap kosong dalam pantulan cermin."

"Shut.. cepat kemari dan dengarkan suara apa di balik pintu ini!" desis Bela pada Juna yang masih asyik membaca dokumen yang ia bawa.

Seiring dengan langkah Juna mendekat ke pintu di balik tangga, alunan suara kotak musik semakin terdengar keras. Alunan musik penuh rasa sedih. Juna menatap Bela yang ada di dekatnya penuh tanda tanya.

"Aku yakin suara kotak musik ini dari dalam." ucap Bela.

BRAK!

Pintu tiba-tiba terbuka dengan kasar. Mengejutkan Juna dan Bela. Kedua mata Bela terbelalak begitu mendengar teriakan Juna. Lelaki di sampingnya itu berusaha keras menahan tubuhnya agar tetap di tempat namun kakinya terus menuntutnya berjalan memasuki ruangan mistis itu.

"Bela, kakiku bergerak di luar kendaliku!" seru Juna histeris.

Tubuh Bela menegang. Mungkinkah roh dari mayat itu yang menggerakkan kaki Juna? Bela meringis perih saat melihat dengan jelas kedua telapak kaki Juna terluka dan berdarah menginjak serpihan kaca dari bingkai foto yang telah pecah memenuhi anak tangga.

GREB!

Bela berlari memeluk tubuh Juna dari belakang. Dipeluknya tubuh yang lebih besar darinya itu dengan erat. Bela mencoba menghentikan pergerakan tubuh Juna. Namun sepertinya tindakan Bela tak berarti. Perlahan Bela juga ikut terseret masuk ke dalam.

"Apa yang kau inginkan?! Berhenti membuat orang lain terluka kau yang tak terlihat disini!" teriak Bela kesal.

Cahaya api tiba-tiba menyala dalam perapian—menerangi ruangan gelap gulita. Alunan suara kotak musik semakin menggema. Aroma wangi bunga memenuhi ruangan. Di saat itu pula kaki Juna mulai terasa lemas. Juna tersenyum lega namun tanpa ia ketahui sebuah pisau melayang tepat mengenai wajahnya jika saja Bela tidak segera menarik tangan lelaki itu keluar dari ruangan dan menutup pintu keras-keras.

"Aku menemukan ini!" seru Bela terengah-engah sembari menunjukkan foto seorang lelaki mencium pipi seorang gadis yang sama dengan bayangan yang ada di cermin kala itu.

"Lelaki ini terlihat sangat mirip denganmu, Juna!" heboh Bela menyadari keganjalan yang ada.

Juna yang masih terkejut hanya bisa diam. Pikirannya kacau. Hatinya terasa kalut dan sakit. Tanpa bersuara Juna hanya dapat memperhatikan Bela yang tampak sibuk mengamati foto yang sosok laki-lakinya memang sedikit mirip dengannya.

"Kencan pertama setelah menikah. Daniel, aku sangat mencintaimu. Tertanda Yeji pada lima April seribu sembilan ratus delapan tiga." ucap Bela membaca jejak tulisan di balik foto yang mulai memudar.

"Daniel?" kejut Juna merebut foto dalam genggaman tangan Bela.

Lamat-lamat Juna menatap foto kuno itu. Raut wajah takut Juna berubah menjadi frustasi. Juna mengacak rambutnya kesal. Pikiran Juna mulai dapat bekerja dengan baik.

"Bela, aku pernah bermimpi bersama gadis ini akhir-akhir ini! Dan di mimpiku dia selalu menyebutku Daniel!" ucap Juna menggebu.

"Bela, kurasa aku harus masuk ke dalam lagi! Banyak hal yang ingin kupastikan!" seru Juna kembali berjalan menghampiri pintu di balik tangga.

"Tidak, Juna! Aku tak yakin semua akan baik-baik saja setelah kau masuk kamar itu!" cegah Bela menarik tangan Juna kasar.

Juna menghempaskan tangan Bela yang menggenggam kuat lengannya. Rasa penasaran Juna telah membuncah. Perlahan Juna mulai mengerti maksud dari mimpinya setiap malam. Seorang gadis yang selalu mendekatinya dalam mimpi dan memanggilnya Daniel.

"Juna, jangan mencari lubang hitam sekarang! Ayo segera bersihkan luka di kakimu. Besok aku akan memanggil temanku yang bisa melihat roh untuk menemani kita memecahkan masalah ini." Bela pantang menyerah menahan niat Juna untuk masuk.

"Pikirkan Nisa jika sesuatu yang buruk terjadi akibat kau nekat masuk ruangan mengerikan itu!" ucap Bela mencoba membujuk Juna.

Bahu Juna merosot. Ia kemudian menarik tangan Bela untuk duduk di sofa ruang tamu, meminta bantuan temannya itu agar membersihkan luka di kakinya. Untuk saat ini Juna kembali memikirkan Nisa. Juna tidak ingin membuat Nisa kecewa ataupun sedih.

***

Juna, maafkan aku. Teman yang kubilang itu masih ada acara di luar kota, baru bisa pulang tanggal dua sembilan nanti.

Satu notifikasi pesan berhasil menyalakan ponsel di meja penuh debu. Rupanya si empunya tidak menyadari pesan yang masuk. Bagaimana tidak, Juna hanya duduk dengan alis berkedut di jendela. Pandangannya menatap lurus cermin meja rias. Pikirannya memikirkan perkataan Bela yang pernah melihat bayangan seorang perempuan di sana. Juna berharap juga dapat melihatnya.

Seakan tak menemukan hal janggal di dalam ruangan yang disebut Bela mistis ini, Juna bangkit dari posisinya. Mengamati setiap barang yang ada di sekitar. Juna mulai mendekati meja rias. Tangannya mengambil sebuah kotak musik yang terbuka, menampilkan patung ballerina

"Apakah suara kotak musik kemarin berasal dari benda ini?" gumam Juna.

Juna menghadap cermin. Menatap cermin lekat-lekat. Ia dibuat penasaran sendiri dengan wujud perempuan itu. Sekitar lima menit berlalu namun kaca itu tetap menampilkan pantulan diri Juna sendiri. Juna menghela napasnya berat. Tubuhnya terus bergerak penasaran. Juna membuka laci yang tertarik serat di meja rias. Di sana ada sebuah album foto.

Perjalanan cinta kita. Daniel dan Yeji

Tertulis di lembar pertama album disertai sebuah foto pernikahan antara dua mempelai. Di lembar kedua terdapat foto dua orang yang sama. Di foto kali ini seperti di studio foto. Kedua orang itu terlihat jelas dalam foto.

Daniel, ayo hidup bahagia bersama selamanya.

Hati Juna bergetar. Foto lelaki di samping gadis yang sering menghantui mimpinya itu memang terlihat sama dengannya. Bagaikan pinang di belah dua. Sama persis. Juna terus membuka tiap lembar halaman album foto itu. Semua terisi dengan foto kedua orang itu.

"Kenapa orang yang bersama perempuan itu mirip seperti diriku?" gumam Juna.

***

Sejak menemukan album foto dalam ruangan itu, setiap hari Juna meluangkan waktunya di sela kegiatannya sebagai aktor untuk mengunjungi ruangan di balik tangga. Tiap hari juga Juna menemukan benda-benda yang mungkin bisa membantu memecahkan misteri yang ada.

Di meja tempat Juna duduk sudah ada kotak musik, album foto usang, gagang telepon yang terputus dengan bercak cokelat di setiap sisi, satu pasang anting berlian, dan juga foto yang ditemukan Bela kala itu. Kedua mata Juna terpejam, mencoba memikirkan apa yang pernah terjadi di rumah yang baru-baru ini ia beli.

Drrt.. Drrt..

Ponsel Juna memecahkan konsentrasi. Juna berdecak kesal sembari melihat nama yang tercantum dalam layar. Bela. Juna mengangkat telepon dari Bela. Keningnya berkerut mendengarkan suara dari seberang telepon.

"Ok, aku akan ke depan." Juna berdiri keluar dari ruangan di balik tangga.

Benar saja, usai Juna membuka pintu rumahnya sudah ada Bela bersama lelaki yang terlihat sebaya dengannya. Juna menatap lelaki berpakaian rapi yang tengah melempar senyum tipis kepadanya.

"Juna, dia teman yang pernah kuceritakan padamu. Namanya Vino, dia akan membantumu memecahkan misteri dalam ruangan itu!" jelas Bela riang.

Juna tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Vino, "Juna, salam kenal. Semoga kau dapat membantuku."

Derap langkah terdengar menuruni tangga. Tidak ada yang aneh memang pada ruangan yang tersembunyi di balik tangga. Mungkin kalau untuk orang biasa mereka akan menyebut tempat itu sebagai gudang karena banyaknya debu dan barang-barang usang.

Vino mendekati meja penuh barang di dekat jendela. Fokusnya langsung tertuju pada sebuah foto. Vino mengambil foto itu dan mengamatinya, "Kenapa dia sangat mirip denganmu?"

"Dia adalah suamiku. Aku sangat mencintainya."

Kedua mata Vino terbelalak. Dengan kemampuan istimewanya ia dengan jelas mampu menangkap sosok gadis bergaun hitam yang tengah bergelayut manja di lengan Juna. Wajah gadis itu putih pucat dan memancarkan aura kesedihan.

"Juna, apa kau benar-benar tidak mengenal gadis di foto ini?" tanya Vino hati-hati.

Juna menggeleng pelan, "Tidak,  tapi sejak aku tinggal disini gadis itu sering datang ke mimpiku dan memanggilku Daniel."

Sebelah alis Vino terangkat saat menemukan tulisan di balik foto itu. Dalam suasana hening Vino menatap lelaki dalam foto dan Juna bergantian. Namun pandangan Vino seketika menjadi gelap. Lampu dalam ruangan yang baru saja diganti tiba-tiba padam. Suara kotak musik perlahan terdengar.

"Daniel, ayo ikut bersamaku. Buat aku menjadi wanita paling bahagia sekarang seperti yang kau katakan waktu itu. Aku sudah lelah menunggumu." suara seorang wanita menggema dalam ruangan.

Alunan dalam kotak musik semakin terdengar pilu. Semua barang yang diletakkan Juna di meja berterbangan. Almari usang di sudut ruangan terbuka lebar menerbangkan satu setel gaun hitam, sepasang anting bergerak menyatu, sepasang sepatu heels terseret. Bayangan seorang gadis cantik terlihat jelas dalam pantulan cermin meja rias. Juna kini dapat melihat gadis itu sedang berdiri di belakangnya dari cermin.

"Kurasa kau memang masa depan dari Daniel yang akan menolongku." bisik gadis itu tepat di telinga Juna.

"Juna, hantunya ada di belakangmu! Tetap tenang, aku akan mencoba mengusirnya!" seru Vino dengan bibirnya yang melafalkan sebuah doa sembari mendekati Juna.

JLEB! 

“Juna awas!" teriak Bela menyadari sebuah pisau menghantam dada Juna dengan cepat.

Juna meringis pelan. Napasnya tiba-tiba terasa sesak. Tubuhnya perlahan lemas. Pergerakan tangan Vino untuk mengusir sang hantu harus terhenti saat melihat gadis bergaun hitam itu kini sedang duduk di atas pangkuan Juna. Gadis itu tertawa senang sembari mengoyak pisau yang dipegangnya ke dada Juna. Gadis itu tersenyum lebar begitu Juna tak mampu lagi duduk dan jatuh terbaring di lantai. 

"Nisa, segera datang ke rumah Juna! Kekasihmu.. sedang dalam bahaya!" entah sejak kapan Bela sudah menelepon Nisa.

"Terlambat, Bela. Juna sudah pergi bersama hantu itu." ucap Vino penuh penyesalan saat tak lagi merasakan denyut nadi pada pergelangan tangan kiri Juna.

Lelaki yang baru saja Vino kenal itu terkulai lemas berlumur darah di sekitar dadanya. Air mata penyesalan Vino terjatuh saat melihat gadis bergaun hitam itu tersenyum kepadanya sambil menarik tangan roh Juna yang juga tersenyum.

"Dia telah menjemputku. Terima kasih telah membiarkannya pergi bersamaku." ucap Yeji sebelum pergi bersama Juna yang tersenyum.

***

1 Maret. Hari pernikahan Juna dan Nisa telah datang. Gedung yang disewa untuk acara pesta dan resepsi kini berubah menjadi sebuah rumah duka. Tak ada yang menyangka bahwa sang mempelai pria akan pergi untuk selamanya di malam sebelum hari pernikahannya. Pada tanggal 29 Februari tengah malam Juna dinyatakan meninggal dunia. Tawa dan senyum yang diharapkan tidak lagi berarti. Sekarang hanya terdengar isakan pilu dan tangis kesedihan.

Nisa dengan setelan baju kebaya bewarna putih menatap nanar sang kekasih yang akan meminangnya hari ini sedang memejamkan mata di atas papan. Untuk terakhir kalinya Nisa melihat wajah rupawan itu sebelum menutup kain putih untuk menutup seluruh tubuh Juna dan memilih mengikhlaskan lelaki itu kepada Sang Ilahi.

"Juna aku mencintaimu dan tunggu aku menyusulmu di sana." ucap Nisa dalam isak tangisnya.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dear.vira

    bagus ceritanya, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
    terima kasih , smoga sukses selalu :)

Similar Tags