Loading...
Logo TinLit
Read Story - Klub Misteri
MENU
About Us  

Bob berjalan melewati bangku-bangku kantin yang telah sepi. Hanya tinggal beberapa orang murid saja yang masih ada di situ untuk sekedar ngobrol santai atau menunggu jemputan datang. Matanya mencari-cari sosok yang beberapa hari ini menyita perhatiannya.

Cewek misterius itu ada di sudut ruangan. Menunduk membaca buku dengan tenang, seperti biasanya.

Entah apa yang membuat Bob merasa sangat tertarik sejak pertama kali melihatnya di sekolah ini. Rambut panjangnya yang selalu diikat ke belakang dengan helai-helai anak rambut menghiasi batas dahinya, atau sikap membacanya yang seolah menenggelamkan diri dalam jalan cerita yang terjalin dalam baris-baris kalimat yang tersusun rapat dalam lembaran kertas yang dijilid rapi itu.

 Bob memperlambat langkahnya; berharap sosok itu menoleh. Ia berpura-pura berhenti sebentar dan membetulkan tali tasnya yang telah dengan sengaja dipanjangkannya tadi sebelum melangkah ke kantin. Sebuah rencana yang sempurna. Sekarang cewek itu mengangkat kepalanya, dan menatap tepat ke wajah Bob.

 Bob tersenyum sedikit padanya tanpa melepaskan tangan dari tasnya. Masih melanjutkan drama bertema ‘tali tas terlalu panjang’ tadi.

Cewek misterius itu hanya diam menatap Bob sepersekian detik; seolah heran ada cowok yang tersenyum padanya, kemudian segera kembali menunduk menekuni buku tebal di pangkuannya.

 Dia bukan cewek sombong, batin Bob yakin. Beberapa orang memang memiliki karakter yang tenang dan tak banyak berekspresi; namun mata mereka tampak menyiratkan banyak hal. Dan Bob tahu cewek itu telah membalas senyum yang dilemparkannya dalam sekilas tatapannya tadi.

 

     ~o0o~

 

Bob menunjuk ke sudut kantin. “Yang itu, tuh.  Yang rambutnya panjang diikat ke belakang.”

“Yang duduk di pojok?” tanya Mayang; setengah menoleh ke arah yang ditunjuk Bob.

“Iya,” jawab Bob.

“Yang lagi baca buku Stephen King itu?” tanya Devina sembari menunjuk.

“Hush!” Bob menepis ujung telunjuk Devina yang telak terarah ke cewek misterius itu.

“Santai aja kali, Bob,” Devina terkekeh, “dia juga lagi asik baca, nggak merhatiin kita.”

“Itu anak kelas satu yang baru masuk ke sekolah kita bulan lalu, kan?” Vanda mengerutkan kening. “Pindahan dari luar kota.”

Bob mengangguk.

“Aneh juga ya pindahnya di tengah-tengah semester begini,” ucap Mayang heran.

“Kelihatannya agak…” Vino mengernyit.

“Agak aneh,” ucap Vanda, “iya, kan?”

“Iya.” Vino mengangguk.

“Nggak ah,” bela Bob, “cantik gitu.”

“Lo naksir?” Mayang melirik Bob. “Tapi dia… memang agak aneh, lho.”

“Nggak tuh,” kilah Bob.

“Ah, tadi lo bilang dia cantik,” ejek Vino.

Devina dan Mayang terkikik geli melihat wajah Bob yang sontak memerah.

“Eh, sebentar,” sela Bob, “maksud kalian tadi, dia aneh gimana sih? Aneh di bagian apanya?”

“Yaa, gue dengar, dia itu seperti orang introvert,” Vanda mengangkat  bahu. “Jarang bicara dengan teman-teman sekelas. Nggak mau berbaur.”

“Iya, iya,” sahut Mayang, “Wajahnya juga selalu murung dan kelihatan pucat terus. Kayak orang sakit.”

“Sudah begitu, buku-bukunya itu, lho …” tambah Devina.

“Lho, kalau soal buku bacaan kan justru bagus,” bela Bob, “orang yang suka baca buku horror atau misteri itu kan memang yang paling cocok untuk gabung di klub kita?”  

“Iya, sih …” ucap Devina. “Tapi maksud gue bukan soal buku apa yang dia baca. Tapi baca buku di kantin saat jam istirahat itu kan, agak nggak wajar gitu…”

“Ya memangnya dia harus baca buku dimana lagi? Lagipula, mungkin aja dia pingin baca buku sambil jajan. Ya kan?” lanjut Bob.

“Hmm … iya, yaa…” Devina mengangguk.

“Kalau soal introvert, dia itu kan memang anak baru; pindahan dari luar kota,” lanjut Bob, “masuk ke sini saat pertengahan tahun. Ya jelas aja dia belum bisa berbaur dengan murid-murid yang lain.”

“Iya, benar juga ya…” sahut Vanda.

“Kalau kulitnya yang kelihatan pucat, itu kan karena dia berdarah campuran. Ibunya blasteran Belanda, lho!” lanjut Bob.

“Oooh …” Mayang mengangguk-angguk.

“Nah, masalah wajahnya yang kelihatan murung terus, ya mungkin dia sedih karena belum mendapatkan teman yang cocok di sekolah. Makanya, tugas kita adalah mengajak dia bergabung ke klub kita. Supaya dia senang mendapat teman-teman yang seleranya cocok!” Bob semakin menggebu-gebu.

“Iya, Bob, iyaa,” sahut Vino sembari nyengir.

 “Ya sudah kalau begitu lo aja Bob, yang ngajak dia untuk gabung klub kita. Sekalian pendekatan.” Vanda nyengir lebih lebar lagi.

“Siapa yang mau pendekatan, sih?” elak Bob.

“Ngaku aja deh. Itu buktinya lo sampai tahu dia blasteran Belanda segala. Lengkap banget informasinya,” kata Vino masih dengan cengiran usil di wajahnya.

“Udah deh, besok kenalin dia ke kita. Supaya di acara bulanan klub kita minggu depan nanti, dia sudah bisa gabung. Terus nanti lo bisa antar dia pulang setelah acara. Oke, kan!” Mayang menepuk bahu Bob.

Semua tertawa melihat wajah Bob yang merah padam.

“Ya sudah oke, nanti gue yang ngomong sama dia,” jawab Bob memberi kesan seolah terpaksa - namun gagal, karena sekilas senyum senang terlihat di wajahnya.

 

     ~o0o~

 

Bob, Vino, Vanda, Mayang dan Devina adalah murid-murid kelas dua di SMU Tunas Bangsa yang menyukai hal-hal berbau misteri atau horror. Keinginan mereka untuk mendirikan Klub Misteri resmi di sekolah belum dapat direalisasikan karena jumlah anggotanya belum memenuhi peraturan sekolah mengenai syarat minimal jumlah anggota sebuah klub. Maka dalam rangka mewujudkan cita-cita mereka, saat ini Klub Misteri sedang giat mencari anggota baru. Dan Bob sangat berharap cewek misterius yang disukainya itu mau bergabung.

 

“Halo,” sapa Bob sembari mengambil tempat duduk di sebelah cewek itu.

Kantin masih agak ramai karena bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Bob sengaja tidak pulang bersama dengan keempat temannya demi misi khusus ini.

Cewek itu menoleh; tampak sedikit terkejut dengan pendekatan frontal yang dilancarkan oleh Bob, dan membalas dengan gugup, “H… halo…”

“Lagi nunggu jemputan, ya?” tanya Bob ramah.

“Iya, Kak.” Ia mengangguk lalu menunduk kembali menatap bukunya; walau tak meneruskan membaca.

“Kelas berapa?” tanya Bob lagi.

“1.5, Kak.”

“Oh… nama kamu siapa?” Bob mengulurkan tangan.

Cewek itu ragu sejenak sebelum akhirnya mengulurkan tangan dan menjabat tangan Bob. “Poppy.”

“Aku Bob, kelas 2.1”

Cewek itu mengangguk; masih dengan posisi kepala menunduk – mengamati cover  buku di pangkuannya yang memperlihatkan ilustrasi sebuah hutan lebat dengan jalan setapak kecil, dan sebuah cahaya kehijauan berpendar di kedalaman hutan – di ujung jalan setapak itu.

“Kamu… suka baca cerita horror ya?” lanjut Bob langsung, tak mau obrolan ini terpotong oleh suasana hening sejenak barusan.

“Suka, Kak.”

“Kalau nonton film horror?”

“Suka, Kak.”

“Oh. Kalau ikutan komunitas atau grup?”

“Belum pernah, Kak.”

“Mau gabung di Klub Misteri sekolah kita, nggak?” Bob merasa sukses berhasil merancang sederet kalimat tanya yang akhirnya berujung pada tujuan utamanya.

“Memangnya di sekolah ini ada Klub Misteri, Kak?”

Pertanyaan yang membuat hati Bob sedikit lega, karena ternyata Poppy bisa mengucapkan kalimat lebih dari tiga kata.

“Ada.” Bob mengangguk. “Tapi belum diresmikan oleh pihak sekolah karena anggotanya belum memenuhi kuota jumlah minimal yang disyaratkan. Makanya aku mau nawarin kamu untuk gabung. Gimana?”

Poppy tampak berpikir sejenak.

Lalu mengangguk.

“Sip!” Bob mengacungkan ibu jarinya. “Besok ada pertemuan klub di sini sepulang sekolah. Kamu ikutan ya, biar aku kenalin sama teman-teman yang lain, oke!”

“Iya, Kak.” sahut Poppy.

 

~o0o~

 

“Teman-teman, kenalin nih. Ini Poppy, yang berminat gabung di Klub Misteri kita,” ucap Bob keesokan harinya saat mereka sedang berada di kantin setelah jam pulang sekolah berbunyi.

Poppy berdiri di sisi Bob dengan kaku. Wajahnya yang tanpa ekspresi itu menatap satu persatu wajah anggota klub. Mungkin tegang karena berhadapan dengan sekelompok kakak-kakak kelas yang belum dikenalnya.

Mengatasi suasana canggung tersebut, Mayang segera berdiri dan menjabat tangan Poppy.

“Halo, selamat bergabung. Gue Mayang, Ketua Klub.” Mayang tersenyum pada Poppy yang tak membalas senyumnya namun menjawab, “Terimakasih, Kak.”

Vino, Vanda dan Devina ikut berdiri dan bergantian menyalami tangan Poppy yang terasa dingin.

Kemudian mereka berenam duduk berhadapan pada dua buah kursi panjang di kantin yang telah mulai sepi itu.

Bob dengan cekatan mengambil tempat di samping Poppy, yang dibatasi oleh Vanda di sisi satunya. Tindakan pencegahan awal untuk Vino, cowok satu-satunya selain dia di klub yang ia perkirakan lama kelamaan kemungkinan bisa tertarik  juga pada Poppy.

 

“Oke. Sekarang kita mulai aja rapatnya, ya. Sekalian gue jelaskan untuk Poppy yang baru bergabung,” ucap Mayang membuka pertemuan, “Klub Misteri kita ini usianya baru setahun; terhitung sejak kami berlima mendirikannya saat duduk di kelas satu. Saat ini gue, Mayang, yang menjabat sebagai Ketua Klub bulan ini. Setiap satu bulan sekali kita akan memilih Ketua Klub untuk periode berikutnya dengan mengadakan ‘Lomba Cerita Seram’, dimana masing-masing anggota harus menyiapkan sebuah kisah seram untuk diceritakan. Siapa diantara kita yang ceritanya paling seram, akan dinobatkan menjadi Ketua Klub untuk masa jabatan satu bulan ke depan. Nah, sampai disini ada yang mau ditanyakan?” Mayang mengakhiri pembukaannya; menatap Poppy.

“Mm… maaf Kak,” Poppy bersuara, ”untuk menentukan cerita siapa yang paling seram, caranya bagaimana, Kak?”

“Itu gampang.” Mayang tertawa. “Cerita milik siapa yang membuat kita semua berteriak paling keras, nah dialah juaranya yang akan diangkat sebagai ketua klub.”

“Lalu, hak dan kewajiban sebagai ketua itu apa saja, Kak?” tanya Poppy lagi.  

“Ketua Klub yang terpilih memiliki hak untuk memberi perintah atau instruksi apa saja kepada semua anggota selama satu bulan penuh. Ia juga mempunyai kewajiban untuk mencari tempat atau lokasi yang paling seram untuk mengadakan pertemuan bulanan berikutnya.”

“Perintah atau instruksinya itu apakah boleh berupa apa saja, Kak?” Poppy bertanya lagi, membuat semua yang hadir sedikit heran melihat keaktifannya bertanya – kecuali Bob -  karena awalnya mengira Poppy adalah anak yang sama sekali tidak asik untuk diajak bergabung. Tetapi ternyata saat ini ia telah menunjukkan minat yang besar pada klub mereka. Bob tampak senang melihat antusiasme Poppy.

“Boleh berupa apa saja asalkan sifatnya positif dan masih berhubungan dengan kepentingan Klub Misteri,” jawab Mayang.

 “Baik, Kak.” Poppy mengangguk dan langsung membuka mulut lagi untuk bertanya, “Lalu, pertemuan berikutnya akan diadakan dimana?”

Mendengar pertanyaan terakhir Poppy, semua sontak saling bertatapan dengan senyum misterius terpampang di wajah; berusaha membuat Poppy penasaran.

Sementara Poppy hanya balas menatap wajah anggota klub yang lain dengan ekspresi datarnya yang biasa.

Bob yang sejak tadi duduk diam di samping Poppy menjawab, “Lokasi pertemuan kali ini,  yang ditentukan oleh Mayang kemarin, adalah sebuah tempat yang istimewa, Pop.”

“Istimewa bagaimana, Kak?” tanya Poppy.

 Devina yang sejak tadi gemas melihat ekspresi wajah Poppy yang seolah ‘tanpa rasa’ itu tiba-tiba mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Poppy, “Dii gudaang belakaaang sekolaaaah…”

Poppy menoleh terkejut mendengar bisikan Devina yang terdengar agak seram itu. Matanya terlihat sedikit membulat. Devina terkikik menertawakan keusilannya sendiri sekaligus senang melihat perubahan ekspresi pada wajah Poppy meskipun sedikit.

“Di gudang? Gudang yang mana ya, Kak?” tanyanya kemudian dengan wajah kembali datar.

“Huft!” Devina menepuk dahinya. Vino dan Vanda tergelak melihat kegagalan Devina menakut-nakuti Poppy. Bob senyum-senyum sendiri, seolah bangga dengan sikap cewek incarannya itu.

“Lo belum pernah dengar cerita tentang gudang belakang sekolah ya, Pop?” tanya Vanda.

Poppy menggeleng. “Belum, Kak.”

“Tahu tempatnya?” tanya Vino.

Poppy menggeleng lagi. “Nggak, Kak.”

Bob berdehem. “Biar gue yang cerita.”

“Oke, silakan Bob.” Mayang mengulurkan telapak tangan, mempersilakan Bob memulai.

“Jadi begini, Pop,” Bob memulai, “di belakang gedung sekolah kita, ada sebuah bangunan kecil yang digunakan sebagai gudang peralatan kebersihan. Letak bangunan itu terpisah dari bangunan utama sekolah kita; berdiri di dalam area tanah kosong yang biasa digunakan untuk latihan kegiatan ekstra kurikuler yang membutuhkan lokasi outdoor yang luas. Entah sejak kapan, gudang itu dinamakan ‘Gudang Jeritan’ oleh murid-murid di sekolah ini.”

“Kenapa dinamakan Gudang Jeritan, Kak?” tanya Poppy.

“Karena katanya, setelah senja lewat dan hari sudah gelap, beberapa murid yang masih menjalani latihan di tanah kosong itu, pernah beberapa kali mendengar suara-suara jeritan dari dalamnya,” jawab Bob.

“Hmm. Seram sekali, ya…” ucap Poppy dengan wajah yang sama sekali tidak menyiratkan isi kalimatnya, membuatnya yang lain kecuali Bob mendelik kesal padanya.

“Nah,” Mayang  melanjutkan, “Sudah mengerti kan? Waktu pertemuannya adalah enam hari lagi, saat tengah malam. Siapkan cerita kalian yang paling seram, oke?”

 “Oh ya, Kak,” Poppy menyela, “Ada satu pertanyaan lagi.”

 “Apa itu?” tanya Mayang.

 “Cerita seramnya itu harus kisah asli atau boleh hanya karangan saja?”

 “Keduanya boleh.” Mayang mengangguk. “Lagipula cerita asli atau bukan, kita tidak bisa tahu kebenarannya, kan? Bisa saja kita katakan asli padahal hanya khayalan belaka. Yang paling penting adalah kita bisa membangun suasana seram yang baik sehingga cerita kita dapat membuat orang lain ketakutan.”

 “Baik, Kak,” sahut Poppy.

 “Sip!” sahut yang lain.

“Oke, pertemuan selesai!” Mayang mengakhiri.

 

“Kamu dijemput, Pop?” tanya Bob saat mereka berjalan bersama keluar gerbang sekolah yang telah sepi.

“Emh… hari ini nggak, Kak.” Poppy menggeleng. “Sopir Papa sedang ada tugas keluar kota. Saya pulang sendiri.”

“Oh, ya sudah, kalau gitu bareng aja,” kata Bob, “kan kita searah.”

Poppy menoleh. “Memangnya rumah Kakak dimana? Kok, Kak Bob tahu rumah saya searah dengan rumah Kakak?” tanyanya heran.

Sontak Bob membeku di tempat. “Euh… yah, itu…” Bob menjawab gugup sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Suara-suara tawa tertahan terdengar dari sekeliling mereka.

“Nah loh, ketauan lo Bob!”

“Yaaaah, Bob! Hahaha!”

“Wah, wah, kayaknya ada yang stalking-stalking nih selama ini. Hihihih!”

“Hati-hati Pop, mulai sekarang rumah lo harus selalu dikunci tuh!”

 Semua menertawakan wajah Bob yang merah padam.

Dan tawa merekapun nyaris ikut padam juga karena tercengang saat di wajah Poppy yang walaupun sedang menunduk, terlihat semburat kemerahan walau samar. Sudut-sudut bibirnya tampak sedikit tertarik membentuk senyuman, membuat Bob tak bisa menutupi rasa tak percayanya dan terperangah. Antara terpesona dengan kecantikan Poppy dan terpana akan ekspresi tersipu yang tergambar di wajah Poppy.

 “Selamat, Bro!” ucap Vino keras saat mereka saling melambaikan tangan di luar pagar sekolah untuk menuju ke rumah masing-masing.

 “Apaan sih lo, Vin!” balas Bob sambil tertawa. Antara senang dan malu.

     

 “Ehm, maaf ya Pop,” ucap Bob saat mereka sudah berjalan berdua menapaki trotoar lebar menuju rumah Poppy. “Mereka emang suka usil. Tapi sebenarnya mereka baik, lho.”

 “Nggak apa-apa kok, Kak,” jawab Poppy dengan wajahnya yang kembali non-ekspresi, “saya tahu Kakak-Kakak semua baik.”

 “Ehh, oh iya,” Bob buru-buru menjelaskan, “Waktu itu aku kebetulan melihat kamu di depan rumah, waktu aku pulang sekolah beberapa hari lalu. Makanya aku bisa tahu lokasi rumah kamu.”

 “Iya, Kak,” jawab Poppy lagi.

 “Oh ya, kalau kamu kapan-kapan perlu ditemani pergi ke toko buku, atau mau baca buku di perpustakaan nasional, aku bisa kok,” Bob menawarkan.

 “Hmm?” Poppy menoleh pada Bob. “Ke toko buku atau perpustakaan?”

 “Iya. Kamu kan, suka baca buku. Pasti suka pergi ke tempat-tempat itu, kan?”

 “Oh. Iya, Kak. Tapi, memangnya Kakak nggak bosan pergi ke tempat-tempat seperti itu?”

 “Bosan? Nggak. Kok kamu bilang begitu?”

 “Eh, maaf Kak. Soalnya biasanya kan cowok nggak terlalu suka pergi ke tempat-tempat yang dianggap membosankan seperti itu.”

 “Oh, yah, kalau aku sih suka. Aku sebenarnya suka baca buku, kok. Tapi sayangnya jarang ada kesempatannya. Tapi pada dasarnya aku suka baca.”

 “Oh, begitu. Oke.”

 “Oke apanya?”

 “Yang tadi Kakak bilang. Kalau saya perlu teman pergi ke toko buku atau perpustakaan,”  jawab Poppy, “Kakak mau menemani, kan?”

 “Iya, iya bener,” Bob berusaha keras meredam degup jantungnya yang mendadak terlalu kencang, “Pokoknya nanti kabarin aja ya, kapan kamu mau pergi ke sana.”

 Poppy mengangguk dan kembali menunduk. Matanya menerawang seolah memikirkan sesuatu.

 

     ~o0o~

 

Malam pertemuan itu tiba.

Mayang, Vino, Vanda, Devina, Bob dan Poppy duduk membentuk lingkaran di dalam gudang. Cahaya sebuah lilin besar di hadapan mereka menerangi sudut-sudut ruang yang kotor dan gelap; memproyeksikan bayangan-bayangan aneh di dinding.

Gudang ini memang tampak seram dengan sebagian atap dan dinding yang terlihat sudah rusak dan menghitam. Ditambah sepertinya jarang dibersihkan dan penuh dengan barang-barang tua, maka suasana di dalamnya cukup membuat mereka merinding terus sejak awal memasukinya.

Mayang yang siang harinya berhasil mencuri kunci gudang dari ruang Tata Usaha tersenyum puas melihat wajah teman-temannya yang sepertinya takjub sekaligus menyukai lokasi pertemuan mereka yang dipilihnya kali ini. Suatu pilihan yang sangat berani mengingat predikat Gudang Jeritan yang telah melekat lama pada bangunan ini.

Bob melirik Poppy yang duduk di sebelahnya, mengkhawatirkan keadaannya. Namun Poppy terlihat biasa saja, meskipun wajahnya terlihat sedikit lebih  pucat dari sebelumnya. Mungin dia merasa tegang karena ini pengalaman pertamanya.

Poppy yang merasa diperhatikan, menoleh kepada Bob, dan tersenyum. Bob balas tersenyum. Hatinya terasa sedikit menghangat.

 

“Baik, kita mulai aja Lomba Cerita Seram kali ini. Sebagai Ketua Klub minggu ini, gue dapat giliran pertama.” Mayang membetulkan posisi duduknya. “Seperti biasa, peraturan yang berlaku adalah, cerita siapa yang membuat anggota klub lainnya menjerit paling keras, itulah pemenangnya.”

“Oke!” sahut yang lain.

“Begini ceritanya. Suatu hari, saat jam istirahat sekolah dan kelas sedang sepi, dua orang murid SMU bermain jelangkung di dalam kelas; menggunakan sebuah pensil. Salah satu dari mereka mendapatkan ‘mantra pemanggil arwah’ dari situs horror terseram di internet. Mereka duduk di lantai, di sudut depan kelas – dekat papan tulis - dan memegangi pensil itu dalam posisi berdiri tegak. Lalu mulai membaca mantranya. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya jelangkung tersebut mulai bergerak-gerak. Pensil itu mulai berputar-putar di tempat, tanpa mereka menyentuhnya sedikitpun. Meskipun merasa takut, namun salah satu dari mereka memberanikan diri untuk menanyakan identitas Sang Arwah. Ia bertanya: “Siapa namamu?’.  Dan jelangkung itu mulai menggoreskan sesuatu di atas kertas yang telah disediakan. Menulis di atas kertas, seolah ada  tangan tak terlihat yang memeganginya. P\Dan perlahan-lahan terbentuk sebuah kalimat: “Aku lappaaarr … aku lapaarr …”. Begitu. Lalu ketika mereka hendak bertanya lagi, tiba-tiba bel berbunyi, menandakan jam istirahat telah berakhir. Dan ketika teman-teman sekelas mereka mulai berdatangan, jelangkung itu buru-buru mereka singkirkan. Mereka lemparkan begitu saja ke sudut ruangan, tanpa sempat mengucapkan ‘mantra pelepasan arwah’ yang seharusnya mereka bacakan setelah permainan jelangkung selesai. Dan pelajaran berikutnya pun dimulai. Guru Matematika yang terkenal galak itu memberikan tes dadakan kepada murid kelas tersebut sehingga semua murid dibuat sibuk mengerjakannya. Suasana kelas hening selama satu jam lebih. Kemudian, saat jam pelajaran hampir berakhir, Guru Matematika tersebut bertanya, “Siapa yang sudah siap? Silakan maju ke depan.”.  Dan salah satu murid maju k depan lalu meletakkan tugasnya di atas meja guru. Sang Guru tidak memeriksa buku yang dibawa oleh muridnya itu, melainkan hanya mengamati wajah muridnya beberapa saat. Kemudian tiba-tiba ia bertanya, “Kamu… sudah siap … jadi hidangan pertama?”. Dan Guru Matematika itu menjulurkan lidahnya yang sangat panjang, siap melahap Si Murid …”

“Waaaa!” semua berseru tertahan, namun beberapa malah tertawa. Bob melirik Poppy yang tampak tak ketakutan sama sekali. Mayang tampak sangat tidak puas melihat ekspresi teman-temannya.

“Sekarang giliran gue, ya.” Vino tersenyum sembari memajukan posisi duduknya, bersiap menceritakan kisahnya. “Sepasang suami istri yang baru saja menikah, pindah ke rumah baru. Tidak benar-benar baru, melainkan sebuah rumah bekas ditinggali oleh sebuah keluarga yang pindah ke luar kota yang mereka dapatkan informasi penjualannya dari internet. Karena harganya murah, suami istri itu sepakat untuk segera membelinya. Pada malam pertama mereka tidur di rumah itu, mereka mendengar suara menggaruk-garuk pelan yang berasal dari dalam lantai di bawah tempat tidur mereka. Seperti suara cakar binatang pengerat yang sedang berusaha membuat lubang. Awalnya mereka mengabaikannya saja. Tetapi esok malamnya, suara menggaruk-garuk itu kembali terdengar. Karena penasaran, keesokan harinya saat siang hari, sang suami membongkar ubin di bawah tempat tidur. Khawatir mungkin ada tikus atau binatang lain yang bersarang di bawah lantai kamarnya. Setelah ubin dibuka, ternyata didalamnya tidak ada apa-apa. Hanya tanah biasa. Tak ada lubang apapun. Dan akhirnya ia memasang kembali ubin lantai kamarnya dan menutupinya lagi dengan tempa tidur. Kemudian malam harinya, saat baru saja hendak tertidur, mereka kembali diganggu oleh suara menggaruk-garuk itu. Tetapi kali ini, asal suaranya bukan dari dalam ubin lantai. Melainkan dari … bawah tempat tidur mereka! Mereka dapat merasakan getaran di bagian bawah tempat tidur mereka yang sepertinya berasal dari sebuah benda; seperti sebuah cakar berkuku tajam yang sedang menggaruk bagian bawah tempat tidur dari ujung ke ujung. Suami istri itu merasa ketakutan. Makhluk apa kiranya yang berada di  bawah  tempat tidur mereka?  Lalu tiba-tiba… terdengar suara bisikan dari kolong tempat tidur. “Terimakasiiih … terimakasiihh sudah membebaskankuuu …”.  Dan tiba-tiba … dari bawah tempat tidur muncul sepotong tangan berkuku tajam yang menyambar ke arah mereka!”

“Waaaaa!”  lagi-lagi semua berseru; tetapi tidak terlalu keras. Meskipun Poppy hanya diam, Vino tetap tersenyum puas melihat tak ada lagi yang tertawa.

Bob melirik Poppy yang masih tak berekspresi. Cewek itu tidak terlihat ketakutan sama sekali. Bob menduga ini pasti karena ia sudah terbiasa dengan suasana mencekam dalam buku-buku yang dibacanya. Poppy menoleh dan balas meliriknya dengan tatapan – yang meskipun terlihat sedikit sendu, tetapi tetap membuat Bob merasakan desiran halus di dalam dadanya.

“Oke, sekarang gue.” Vanda merapikan rambutnya dengan ekspresi percaya diri. “Ada seorang remaja bernama Badu yang baru saja pulang  ke kampung halamannya setelah sekian lama bersekolah di kota. Sampai di rumah orang tuanya, kedua orang tuanya ternyata sedang pergi berkunjung ke rumah pamannya di desa lain. Akhirnya Badu memutuskan untuk berjalan-jalan melihat-lihat kondisi desanya yang telah lama ia tinggalkan. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Udin, sahabatnya sejak kecil. Dan untuk merayakan perjumpaan mereka kembali, Badu mengajak Udin untuk berbuat usil, seperti saat masa kecil mereka dulu. Mereka berencana untuk bersembunyi di balik sebuah pohon besar di pinggir jalan yang sepi – pohon yang selama ini ditakuti oleh penduduk desa karena dianggap ada penghuninya, lalu secara bergantian melompat dan berteriak dari balik pohon untuk mengagetkan setiap orang yang lewat. Lalu saat malam tiba, mereka siap menjalankan aksi. Badu dan Udin bersembunyi menunggu di balik pohon. Tidak lama kemudian datang seorang remaja perempuan yang berjalan kaki mendekat ke arah mereka. Badu yang mendapat giliran pertama segera bersiap. Dan saat anak remaja tersebut sudah berada di depan pohon besar, Badu melompat ke tengah jalan sambil berteriak: “WAAAAA!!!” Dan sontak anak perempuan itu menjerit terkejut dan berlari terbirit-birit. Badu dan Udin tertawa terbahak-bahak. Senang karena berhasil mengerjai seseorang dan sekaligus gembira karena teringata kenakalan masa lalu mereka. Kemudian setelah itu, tiba giliran Udin. Mereka bersembunyi lagi di balik pohon selama beberapa saat, sampai kemudian dari kejauhan datang seorang laki-laki muda berpakaian kemeja rapi yang sepertinya baru pulang dari bekerja di kota. Udin segera bersiap. Badu ikut berjongkok di sebelahnya, siap menyaksikan adegan lucu berikutnya. Dan setelah laki-laki itu sampai di depan mereka, Udin melompat ke tengah jalan sambil berteriak: “WAAAAA!!!”  Laki-laki itu terkejut setengah mati sampai melompat. Wajahnya pucat pasi. Matanya terbelalak menatap Udin. Lalu, tangannya yang gemetar terangkat - menunjuk wajah Udin. Dan dengan terbata-bata ia berkata, “Ud … Udin?? WOAAAAA! Tolooong! Toloooong!”. Dan laki-laki itu berlari tunggang langgang. Udin tertawa keras-keras. Badu yang merasa heran, keluar dari tempat persembunyiannya lalu bertanya, ”Kok orang itu aneh sih, Din? Kan dia udah tau kalau ini kamu? Kok dia malah lari  ketakutan?”. Lalu, Udin yang masih tertawa-tawa, menoleh perlahan ke arah Badu - dengan wajahnya yang putih pucat - dan berkata, “Mungkin … karena mereka tahu kalau… aku sudah matiii … hihihihi…!”

“Wuaaaaa!!” semua berteriak lebih keras lagi, kecuali Poppy. Vanda tersenyum senang. Ekspresi wajah dan intonasinya yang dibuat seseram mungkin ternyata berhasil membuat takut teman-temannya.

Bob menoleh ke arah Poppy; kali ini bukan karena ingin melihat kondisi Poppy apakah ketakutan atau  tidak. Melainkan karena Poppy menoleh ke arahnya lebih dahulu. Wajahnya terlihat sedih. Bob menatap Poppy dengan pandangan bertanya-tanya; penasaran dengan maksud tatapan Poppy yang tak terjelaskan itu. Ingin bertanya, tetapi sayangnya Devina yang mendapat giliran bercerita berikutnya sudah akan memulai.

“Sekarang giliran gue,” ucap Devina; berdehem sedikit. “Ada seorang ibu yang memiliki seorang anak perempuan yang masih kecil; kira-kira empat tahun usianya, yang sangat senang menggambar. Si Ibu yang merupakan seorang single parents, setiap hari selalu sibuk di dapur, bekerja keras mengurus usaha cateringnya untuk mencari nafkah. Sang Anak setiap hari selalu asik dengan buku gambar dan pensil warnanya. Ia biasa menggambar di ruang makan yang letaknya bersebelahan dengan dapur, dimana ibunya dapat selalu mengawasinya sembari memasak. Pada suatu hari, saat selesai memasak dan ingin beristirahat sebentar, Sang Ibu menghampiri anaknya dan duduk di sebelahnya. Saat melihat kotak pensil warna milik anaknya, ia memperhatikan bahwa pensil-pensil warna itu masih sangat panjang, seperti baru dipakai sedikit sekali atau bahkan belum dipakai sama sekali. Kecuali satu warna - yaitu warna  hitam, yang sudah sangat pendek sekali, sampai hampir habis ke pangkalnya. Ibu yang merasa heran bertanya: ”Nak, kenapa pensil warnamu semua masih utuh, kecuali yang warna hitam? Memangnya kamu hanya suka warna hitam?”. Sang Anak menjawab: “Nggak, Bu, soalnya yang aku gambar memang warnanya hitam.” Si Ibu yang merasa heran, meraih buku gambar anaknya sembari bertanya: “Memangnya kamu menggambar apa?”  Dan ia membuka buku gambar itu. Di dalamnya, pada setiap halamannya, digambari dengan gambar seorang perempuan dengan berbagai kegiatan yang berbeda di setiap halaman. Perempuan itu memakai semacam jubah lebar dan tinggi berwarna hitam yang menjuntai dari atas kepala sampai ke kakinya. Ibunya bertanya: “Ini gambar siapa, Nak? Kok buku gambar kamu isinya gambar ini semua?”. Sang Anak menjawab: “Itu kan, Ibu. Lagi masak, lagi cuci piring, lagi potong-potong sayuran…”. Si Ibu mengamati kembali gambar-gambar itu dan mengernyit. “Tapi, ibu kan nggak punya baju yang seperti kamu gambar ini?”. Sang Anak ikut melihat gambarnya sendiri; lalu menggeleng dan menunjuk gambarnya sendiri. “Itu bukan baju, Bu. Itu kan Tante yang selalu nempel di belakang Ibu. Ini kan rambutnya yang panjang, terus ini bajunya, terus tangannya, kakinya ….”

“Wuuuuaaaaa!” semua menjerit lebih keras lagi. Devina tertawa senang, berhasil mengalahkan cerita Vanda sebelumnya, meskipun sedikit kecewa karena Poppy tidak ikut menjerit.

“Nah, sekarang giliran gue, ya,” kata Bob sesaat sebelum melirik Poppy yang masih duduk tenang di sebelahnya, namun dengan wajah semakin muram.

“Ada seorang remaja bernama Hans yang menyukai hal-hal yang seram-seram. Suatu hari Hans baru saja pindah kost ke sebuah tempat dimana tidak jauh dari situ ada sebuah kuburan angker. Area pekuburan itu menjadi angker sejak dimakamkannya tiga jenasah korban kecelakaan yang konon katanya terjadi di sebuah perumahan tidak jauh dari situ. Karena hobinya yang aneh itu, maka Hans mengajak tiga orang teman  kostnya yaitu Fery, Vita dan Mira untuk melakukan uji nyali di dalam area pekuburan tersebut. Peraturannya, mereka harus duduk dalam sebuah lingkaran dengan posisi menghadap keluar, dan tidak boleh sampai tertidur. Boleh saling bicara, namun tidak boleh menatap wajah teman di sebelahnya. Pandangan masing-masing harus tetap tertuju ke area pekuburan yang menghampar di depan mata, apapun yang tampak disana. Dan saat tengah malam, dimulailah acara tersebut. Mereka berempat menyelundup masuk ke area pekuburan itu. Hans sebagai ketua klub sudah menyiapkan alarm di ponsel untuk berbunyi setiap setengah jam sekali sampai pagi tiba; untuk memeriksa apakah ada yang tertidur atau tidak. Lalu mereka berempat duduk bersila membentuk lingkaran. Masing-masing menghadap ke area pekuburan yang luas di sekitar mereka. Nisan-nisan tua dan pohon-pohon besar mengelilingi mereka.” Bob menarik napas sejenak. “Setiap alarm berbunyi, mereka menyebutkan nama masing-masing sebagai bukti bahwa mereka tidak tertidur. Hans! Fery! Vita! Mira! Begitu seterusnya. Selama satu setengah jam pertama, tidak ada kejadian apa-apa. Tidak ada penampakan apa-apa. Lalu pada setengah jam berikutnya, tepat pukul 2 malam, alarm kembali berbunyi. Hans menyebut namanya sendiri: “Hans!”. Kemudian hening. Mengira teman-temannya tertidur, Hans berseru lagi: “Hans!”  Yang lain tetap diam. Hans mulai heran. Ia berteriak lagi: “Hans!”. Dan tetap tak ada suara. Sekuat tenaga Hans menahan keinginannya untuk menoleh, memegang teguh peraturan permainan yang dibuatnya sendiri. Dan ia pun berkata: “Hei, kalian ketiduran, ya? Bangun woi!”.  Suasana tetap hening. Dari kedua sudut matanya Hans dapat melihat Vita dan Mira yang duduk di sisi kanan dan kirinya; mereka tampak tak bergerak. Sepertinya tidak mungkin mereka tertidur dalam posisi tetap duduk tegak seperti itu. Dan ia  juga telah berteriak keras-keras tadi. Seharusnya mereka sudah terbangun mendengar suara sekeras itu. Akhirnya karena kesal sekaligus ketakutan, Hans membalik badan dan berteriak lagi: “Heii!! Kalian!! Bangunn!!”.  Dan ketiga sosok tubuh  yang saling berpunggungan itu mendadak berbalik; menghadap ke arah Hans - dengan wajah hancur mengerikan!”

“Wuuaaaaaaa!!” semua menjerit ketakutan.

Bob nyengir puas.

“Eh, tapi sebentar,” sela Vanda, “sepertinya ceritanya menggantung, deh. Lalu sebenarnya tiga orang itu pergi kemana?”  

Bob tersenyum puas mendengar pertanyaan Vanda. “Memang ceritanya belum selesai,” lanjutnya dengan nada misterius. “Lalu, saat Hans melihat ketiga temannya tiba-tiba berubah wujud menjadi mengerikan seperti itu, ia langsung bangkit berdiri dan bersiap untuk lari. Tapi karena gugup dan sudah terlalu lama berada dalam posisi duduk bersila, kedua kakinya lemas dan gemetar. Hans kembali terjatuh ke tanah. Dan wajahnya tertumbuk tepat di hadapan sebuah nisan bertuliskan: Fery Suryansyah. Kemudian ia melihat ke nisan di sebelahnya yang tertera nama Vita Suryansyah. Dan satu nisan lagi di sebelahnya dengan nama Mira Suryansyah. Dan Hans tak dapat berteriak lagi karena tiga buah tangan mencengkeram lehernya dari belakang!”

“Wuaaaaaaa!” semua berteriak lebih keras lagi.

Bob tertawa senang.

“Jadi tiga orang teman kostnya itu ternyata hantu korban kecelakaan di komplek itu ya?” Devina bergidik.

Bob mengangguk dan melirik Poppy yang sedang memperhatikannya dengan wajah teramat muram. Bob semakin  tak mengerti. Ingin rasanya menanyakan pada Poppy apa yang sedang ia pikirkan. Tetapi sayangnya saat ini giliran Poppy untuk bercerita.

“Sekarang giliranku ya, Kak,” ujar Poppy – lebih seperti ditujukan kepada Bob. Wajahnya menyiratkan sesuatu yang seolah sangat berat untuk dilakukannya.

“Di sebuah sekolah,” Poppy memulai, “ada lima orang murid nakal yang seringkali melanggar peraturan. Sudah berkali-kali mereka mendapat teguran dari guru dan kepala sekolah, bahkan sampai orangtua merekapun dipanggil ke sekolah. Namun tetap saja tingkah laku mereka tidak berubah. Nasihat dari orang tua yang menginginkan mereka untuk berubah menjadi anak yang baik pun tidak mereka pedulikan. Kemudian pada suatu hari saat jam pelajaran sedang berlangsung, mereka menyelinap ke dalam gudang sekolah untuk merokok. Karena asik bercanda, mereka tak menyadari ada sebuah puntung rokok yang masih menyala terjatuh ke lantai; dimana banyak terdapat bahan-bahan yang mudah terbakar. Kemudian api berkobar dengan cepat - menutup jalan keluar. Teriakan minta tolong mereka tak terdengar karena letak gudang yang berada jauh di belakang gedung sekolah. Dan akhirnya … kelima murid itu pun meninggal. Terbakar di dalam gudang.”

“Aaaaaagghh! Tidaaaakk!” Mayang, Vito, Devina, Vanda, dan Bob menjerit sekuat tenaga.

“Agggghhh!! Tidaaaaaaakk! AAAAAAAHHHH!”. Kelimanya berguling-guling di lantai seperti menahan sakit yang amat sangat.

Poppy mengamati pemandangan itu dengan sedih.

“Dan karena teriakan Kakak-Kakak yang paling keras setelah mendengar ceritaku tadi, berarti aku yang menang,” ucap Poppy, “Kak Mayang, Kak Devina, Kak Vanda, Kak Vito, dan… Kak Bob, sebagai Ketua Klub yang baru, aku perintahkan Kakak-Kakak semua untuk pergi dengan damai. Pergilah ke tempat dimana kalian seharusnya berada. Dan jangan mengganggu murid-murid di sekolah ini lagi.”

 

Dan mendadak gudang itu sepi.

Kosong.  

Tak ada suara apapun.

 

Poppy memandangi lantai kosong yang sesaat lalu masih menampilkan sosok seseorang yang membuatnya merasakan sebuah kehangatan selama beberapa hari belakangan ini. Rasa yang muncul begitu saja di dalam hatinya tanpa bisa ditolak. Yang tak pernah dirasakannya sebelumnya dengan siapapun.

Poppy mendesah.

Satu hal baru lagi yang dipelajarinya dari pekerjaannya sebagai Pembersih Energi Negatif selama ini. Bahwa cinta tak harus selalu terhubung melalui aliran getaran energi yang selaras. Cinta tidak memandang raga, dan tak terbatas dimensi.  

“Selamat tinggal Kak Bob… semoga tenang di alam sana.”

 

      ***

Tags: tlwc19

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dua Puluh Dua
447      246     2     
Short Story
Kehidupan Rion berubah total di umurnya yang ke dua puluh dua. Dia mulai bisa melihat hal-hal yang mengerikan. Kehadiran Krea di hidupnya membuat Rion jauh lebih baik. Tapi Rion harus menyelesaikan misi agar dirinya selamat.
Noterratus
2585      1048     4     
Mystery
Azalea menemukan seluruh warga sekolahnya membeku di acara pesta. Semua orang tidak bergerak di tempatnya, kecuali satu sosok berwarna hitam di tengah-tengah pesta. Azalea menyimpulkan bahwa sosok itu adalah penyebabnya. Sebelum Azalea terlihat oleh sosok itu, dia lebih dulu ditarik oleh temannya. Krissan adalah orang yang sama seperti Azalea. Mereka sama-sama tidak berada pada pesta itu. Berbeka...
Moonlight
499      293     3     
Short Story
Ryan, laki laki janggung yang terlihat sempurna tak ada kekurangan. Sayang, Ryan melewatkan waktunya dengan kehampaan. Terjebak dimasa lalu. Waktu terus berjalan, tapi tidak dengan dirinya. Ryan masih menunggu, menunggu seseorang yang bisa mengembalikan kehidupannya yang penuh warna
What If I Die Tomorrow?
427      273     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
SAMIRA
323      201     3     
Short Story
Pernikahan Samira tidak berjalan harmonis. Dia selalu disiksa dan disakiti oleh suaminya. Namun, dia berusaha sabar menjalaninya. Setiap hari, dia bertemu dengan Fahri. Saat dia sakit dan berada di klinik, Fahri yang selalu menemaninya. Bahkan, Fahri juga yang membawanya pergi dari suaminya. Samira dan Fahri menikah dua bulan kemudian dan tinggal bersama. Namun, kebahagiaan yang mereka rasakan...
Vandersil : Pembalasan Yang Tertunda
393      289     1     
Short Story
Ketika cinta telah membutakan seseorang hingga hatinya telah tertutup oleh kegelapan dan kebencian. Hanya karena ia tidak bisa mengikhlaskan seseorang yang amat ia sayangi, tetapi orang itu tidak membalas seperti yang diharapkannya, dan menganggapnya sebatas sahabat. Kehadiran orang baru di pertemanan mereka membuat dirinya berubah. Hingga mautlah yang memutuskan, akan seperti apa akhirnya. Ap...
Cinta Dendam dan Air mata
507      297     3     
Short Story
Kisah cinta dan dendam seorang pria bernama Aldrich Dirgantara. Pria tampan mapan, baik hati. Di usia nya 32 tahun sukses memimpin perusahaan peninggalan keluarga nya Dirgantara Group. Hidup nya penuh dendam ketika di malam pernikahan nya. Tanpa sengaja melihat kekasih nya yang ber nama Sandra prabowo umur 27 tahun,bercinta dengan Sean Abraham yang sudah di anggap saudara nya di apartemen milik...
PENGAGUM RAHASIA DARI KAMAR 111
464      344     3     
Short Story
Vayla tiba-tiba mendapat kiriman buket bunga dan cokelat dari seorang pengagum rahasia. Rupanya dia bukan sekedar pengagum rahasia biasa. Sebab dia mampu menuntun Vayla untuk melihat rahasia terbesar hidupnya. Rahasia tentang kisah hidupnya yang berakhir mengenaskan.
Segaris Cerita
533      296     3     
Short Story
Setiap Raga melihat seorang perempuan menangis dan menatap atau mengajaknya berbicara secara bersamaan, saat itu ia akan tau kehidupannya. Seorang gadis kecil yang dahulu sempat koma bertahun-tahun hidup kembali atas mukjizat yang luar biasa, namun ada yang beda dari dirinya bahwa pembunuhan yang terjadi dengannya meninggalkan bekas luka pada pergelangan tangan kiri yang baginya ajaib. Saat s...
My Strange Boyfriend
423      221     1     
Short Story
Pacarku sikapnya berubah-ubah sejak kematian dua mahasiswa di kampusku! Apa yang terjadi?