Read More >>"> VALENTINE DEATH
Loading...
Logo TinLit
Read Story - VALENTINE DEATH
MENU
About Us  

“Be my valentine, please!”

 

Terdengar kalimat seperti itu di mana-mana, di hari yang puitis ini. Baru dengar rasanya, ada hari seperti itu, di mana teman-teman sekolahanku saling bertukar kado dengan keluarga dan sahabat apalagi sama pacarnya. Aku sih cuek-cuek saja pada hari itu….

Hari Kasih Sayang?

Huft! Sebenarnya, apa untungnya juga aku ikut-ikutan seperti mereka? Latah banget! Aku kan bisa membuat tanggal hari kasih sayangku sendiri. Misalnya, pada hari ulang tahunku sendiri pada tanggal 13 April, pukul 13:00 alias jam 1 siang teng! Iya, kan?!

Kalau tidak salah sih, Hari Valentine itu sendiri berhubungan dengan seorang pendeta yang bernama Valentine. Pada masanya hidup, yaitu pada akhir abad ke-III Romawi—yang diperintah oleh Claudius II, yang bermisi ekspansif militeristik—merasa para bujangan lebih tabah berperang daripada mereka yang sudah menikah. Maka ia pun mengeluarkan larangan untuk menikah. Tentu saja Valentine menentang larangan ini dengan tetap menikahkan pasangan muda-mudi secara sembunyi-sembunyi (so sweet!). Dan karena ketahuan, Valentine dihukum mati pada tanggal 14 Februari 270 M. Begitulah sejarah singkat manisnya!

Tapi tepat pada hari ini, tanggal 14 Februari sekitar 1700-an tahun kemudian, sebuah kado valentine mendarat begitu saja di mejaku pagi itu. Kumengernyitkan kening sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Salah kirim kali, ya?

Seharusnya aku senang bisa mendapatkan kado. Tapi begitu mencari-cari siapa pengirimnya, rasa penasaran kembali membayangiku. Memang sih benar kado itu untukku dan ia tidak salah alamat karena tertera namaku di sana dengan jelas, sejelas-jelasnya:

 

Untuk Bud:

Dari pemuja rahasiamu yang senasib denganmu.

Be my valentine, please….

 

Senasib denganku? Jomblo maksudnya? Kira-kira dari siapa, ya? Perasaan, aku tidak punya penggemar, deh! Tapi kok sekarang ini….? Rasanya ada yang aneh, deh! Apakah untuk orang bernama Bud yang lain? Tapi siapa lagi di sekolah ini yang punya nama seaneh namaku ini?!

***

Tidak seperti teman-teman lain yang langsung memamerkan dan membangga-banggakan kado valentine mereka di kelas—seperti "Say I Love You" Couple Pillowcases, Ring Cup, dan sebagainya—aku tidak demikian…

Aku menyembunyikannya dari yang lainnya!

Begitu mendapatkannya, aku langsung menyimpannya ke dalam ranselku diam-diam. Aku belum pernah membukanya selama di sekolah tadi karena aku yakin yang kudapatkan pasti lain daripada yang lain dan berbeda dengan yang mereka pamerkan di kelas.

Dan sekarang, tibalah saatnya aku membukanya kini … di kamarku!

Pokoknya, teman-teman lain tidak boleh ada yang tahu kalau aku mendapatkan kado valentine! Soalnya kalau mereka tahu, mereka pasti akan … menertawakan dan tidak bakal memercayainya! Aku yakin tidak satu pun dari mereka yang bakal percaya kalau ada cewek yang mau menjadi…

PA-CAR-ku…!

Kenapa? Kalian akan tahu nanti. Sekarang kita buka dulu deh kadonya, yach! Kalian pasti sudah penasaran apa isinya….

***

“Pagi, Jombloers!”

Kutengah merekam wajah-wajah sedih teman-teman sekolahanku begitu kulalui pagi itu dengan riangnya menuju toilet, menggunakan iPad terbaruku. Kenapa? Soalnya jangankan kado valentine yang sudah tidak trendi lagi—seperti cokelat, bunga mawar, kalung liontin, mau pun hiasan berbentuk hati—mereka yang berwajah cakep-cakep itu tidak mendapatkan kado valentine sama sekali!

Kutersenyum menyeringai sambil terus merekam wajah mereka satu per satu. Bukannya mau menikmati wajah mereka yang serba menarik itu, tapi justru sebaliknya. Bisa dibilang, sekali-sekali menghina orang yang selalu berada di atas kita, tidak apalah!

Aku jadi mulai menyukai hari kasih sayang itu! Semangatnya jadi beda rasanya. Akan kuperingati hari tersebut sebagai hari kemenangan dan keemasanku sebagai lelaki terganteng di sekolahan ini, meskipun itu hanya sehari tentunya. Sayang sekali ya, hari kasih sayang itu hanya satu hari, hehe!

Terasa di atas awan rasanya! Mimpi rasanya, bisa menang di antara teman-teman sekolahan di mana rata-rata rupa dan fisik mereka serba menarik dan memesona. Bisa dikatakan sih, hampir semua siswa-siswi memiliki wajah ganteng-cantik di sini. Pokoknya di atas rata-ratalah!

Dan bisa jadi juga, akulah yang sudah salah masuk sekolah. Bikin malu juga, soalnya kalau aku berjalan di sekolahan ini, aku selalu jadi pusat perhatian mereka. Kenapa? Akan kusambung setelah keluar dari toilet nanti….

Sign board yang menunjukan arah ke WC Umum cukup mudah ditemui dan dilihat di koridor. Begitu masuk ke dalam WC Umum, suasananya juga cukup bagus dan jauh dari kesan jorok. Tentu saja, ini kan sekolah yang megah dan dengan anchor tenant yang disukai kaum kelas atas.

Nah, setelah keluar dari bilik toilet, aku langsung menghadapkan diri ke cermin untuk menunaikan janjiku tadi sebelum kalian menagihnya. Akan kuberikan jawaban tentang keadaanku saat ini. Nah, sekarang kalian sudah boleh melihat keadaanku kini. Lihat!

Tep! Namun, sepertinya aku harus menunda jawabannya terlebih dahulu begitu kurasakan ada seseorang yang mencengkram bahuku dari belakang. Aku jadi merasa tidak enak membicarakannya dulu dengan kalian karena ada orang lain di toilet ini.

Bagaimana kalau kita lihat dulu seberapa gantengnya kah wajah orang di belakangku ini (tentu saja aku hanya bisa bilang “ganteng”, karena tidak mungkin ada kategori “cantik” di toilet ini.)? Perlahan kutolehkan wajahku, pelan-pelan dan semakin perlahan kemudian…

“Arrrrghhhhhh!!!”

Hosh-hosh! Kuterbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dinginku bercucuran, padahal kamarku ini dilengkapi dengan split unit air conditioner. Kupandangi sekitar kamarku yang nyaman ini: bohlam lampu yang diselimuti dengan kertas supaya cahaya yang keluar tidak terlalu cerah; warna dinding yang lebih lembut seperti biru muda untuk memberikan efek rileks pada pikiran saat beristirahat di kamar; serta … cermin!

Spontan saja kutolehi belakang punggungku. Fiuh, aman! Ingin kutenangkan dulu irama napasku ini sambil menatap cermin di depan ranjangku ini. Haha, hanya mimpi maksudku!

Tidak lama kemudian, iPad di meja kecilku berdering. Hah? Siapa yang menelepon tengah malam begini? Jangan-jangan gadis yang menghadiahiku iPad itu lagi di hari kasih sayang kemarin.

Buru-buru kuambil iPad itu. Tidak sabar rasanya ingin mengetahui seperti apa dirinya. “Halo?!”

“Halo, Bud? Aku Febi—pemuja rahasiamu!”

***

Aku tidak mengerti! Aku benar-benar tidak mengerti….

Kupandangi setengah mati (setengah ngiler pula) foto seorang gadis cantik di iPad-ku sambil melangkah di koridor sekolahan. Tidak kupedulikan suasana sekolah di sekelilingku yang menyerupai gedung serbaguna untuk dipakai sebagai setting sekolah internasional di syuting-syuting sinetron remaja biasanya.

Gila! Wajahnya manis banget, senyumnya memesona, lekuk wajahnya imut menawan, dan rambutnya pendek. Sempurna! Terdapat berbagai macam gaya di foto-foto yang dikirimkannya. Bak foto model saja, ia begitu pandai berpose!

Ada foto saat ia berpose dengan fashion unik dari Jepang—Harajuku Style—yang membuatnya tampil beda pada pakaian, tata rambut, sampai make up-nya. Ada pula dengan model Gyaru—di saat rambut pendeknya diwarnai dengan nuansa perak serta make up yang memberi kesan kulit putihnya terlihat lebih gelap namun colorfull. Terakhir, yang membuatku terperangah adalah di salah satu fotonya itu ia mengenakan seragam sekolah khas Jepang yang seksi. Hm, sebenarnya sih semua foto yang dikirimkannya padaku itu seksi-seksi!

FEBI…

Bukannya tidak senang sih kalau gadis yang setengah mati kupandangi itu adalah Febi—cewek yang katanya cinta “setengah mati” padaku! Tapi masalahnya adalah kenapa juga gadis seperti itu mau denganku, orang yang tidak sepadan dengan kesempurnaannya itu? Nggak salah orang, nih? Aku yakin yang lain juga pasti bakal mempertanyakannya! Kecuali kalian yang belum kenal siapa aku tentunya….

Ah, sudahlah! Yang penting, ia mau sama aku. Kusimpan iPad itu ke ranselku dan spontan saja melirik ke toilet. Baru saja aku berniat melangkah ke sana (kebiasaan kalau tiba di sekolah langsung buang air kecil), seandainya saja aku tidak teringat mimpi burukku semalam. Hiii, aku memilih lebih baik menjauh dari sana!

Langkahku kemudian terhenti tidak jauh dari toilet itu, tepatnya di depan sebuah mading yang tengah dikerumuni banyak orang. Sepertinya ada pengumuman penting di sana. Biasanya aku malas mengintip mading karena isinya gambar, foto, puisi, cerpen, berita, tips, dan trik yang membosankan. Ya, meskipun mading di sekolahku merupakan mading 3 dimensi sekali pun!

Bergegas kumencari tahu dengan menyeruak di antara mereka dan membaca sebuah kertas pink yang rupanya berisi undangan pesta dansa sekolahan:

 

Hi, Friends!

We are having a DANCE PARTY. On Wednesday, February 20th in our school at eight o'clock. All students of III IPA-2 are supposed to join. Bring one or two friends and wear your funniest clothes to make the party fun.

-The chief of III IPA-2-

 

Kuternganga membaca pengumuman pesta itu. Ini baru pertama kalinya ada pesta dansa di sekolahku yang diselenggarakan oleh salah satu kelas—yang berisi anak-anak orang kaya semua! Tunggu apa lagi? Tentu saja aku mau ikutan! Bukankah aku sudah punya…

“Duh, aku belum punya pasangan dansa, nih? Bagaimana ini?” keluh salah seorang siswa sambil menggaruk-garuk kepala kebingungan di sebelahku.

“Aku juga! Padahal kita kan nggak jelek-jelek amat. Bisa-bisa kita nggak bakalan menghadiri pesta itu, deh! Kan malu!” timpal temannya gengsian.

Kutersenyum-senyum menyeringai mendengarkan komentar mereka. “Kasihan…,” lirihku spontan. Ups, aku lupa kalau mereka tidak tuli!

Mereka lantas melabrakku. “He! Kamu bilang apa tadi?!”

Mereka langsung mendorong bahuku hingga punggungku menabrak tembok. Dalam seketika, keributan kecil kami pun jadi pusat perhatian yang lainnya.

“Kamu jangan kurang ajar, ya! Memangnya kamu sendiri punya pasangan apa buat diajak ke pesta dansa itu?!”

Kutatap sekelilingku, anak-anak lainnya balas menatap menanti jawabanku. Penasaran, nih ye!

Kutersenyum penuh percaya diri. “Tentu saja aku punya cewek buat dibawa ke pesta dansa itu!”

Keriuhan pro-kontra kemudian merebak dari kerumunan, tapi tentu saja lebih banyak yang kontra! Tapi, bodo’ amat…

“Percaya diri amat! Kamu pasti bohong, kan? Mana mungkin orang sepertimu punya pasangan? Mana ada yang mau? Kalau pun ada yang mau, pasti orangnya—”

Buru-buru kumemenggalnya, “Aku tidak sedang bercanda! Orangnya cantik banget, kok! Jauh lebih cantik malah daripada cewek-cewek manja yang sekolah di sini!”

Mereka kemudian terperangah, tertegun. Semua cewek-ceweknya pasti tidak bisa menerima kata-kataku barusan.

“Lihat saja nanti! Akan kubawa gadisku itu ke pesta dansa nanti. Kalian pasti akan bertekuk lutut padanya! Kalian akan terpesona pada kecantikan pacarku itu!” tantangku penuh percaya diri.

***

FEBI…

Aku yakin Febi pasti mau kubawa ke pesta dansa itu. Tapi sampai aku tengah melangkah pulang sekolah, ia tidak juga mengangkat teleponku, BBM pun tidak dibalas-balas. Kenapa ya dia? Apakah ia benar-benar serius mau jalan denganku ini? Entah mengapa aku jadi mulai meragukan keseriusannya padaku.

Aku jadi panik dan gelisah. Bagaimana kalau ia itu hanya mempermainkanku saja? Asal-usulnya saja tidak begitu jelas! Hanya tahu nama dan wajah, tanpa mengenal lebih di mana sekolah dan alamat rumahnya. Tapi kalau terus-terusan begini, bisa-bisa aku ditertawakan satu sekolahan! Aku harus segera mendapat kejelasan darinya. Aku tidak mau begini terus!

Di tengah-tengah kegalauan hatiku itu, tiba-tiba saja mataku terpaku pada sepasang kekasih di sebuah meja, di kafe bagian out door nan sepi di sana. Mereka berada di sebuah restoran buffet yang menjadi salah satu tempat pertemuan para penikmat kuliner tanah air yang menawarkan pengalaman wisata kuliner di ruang bertema lima elemen alam yang unik, elegan, dan mewah.

Hatiku kemudian diwarnai kerinduan begitu kumelihat si gadis yang berambut pendek sama seperti Febi itu. Aku sungguh begitu merindukan gadis itu dan menanti saat-saat di mana kami bisa berkencan seperti pasangan itu. Yah, meskipun tidak tampak serasi seperti pasangan itu tentunya!

Tapi setelah diperhatikan baik-baik, tidak hanya model rambut gadis itu saja yang sama dengan Febi, tapi juga wajahnya! Iya, wajahnya….

Kuterperangah begitu melihatnya. Tapi … tapi Febi kan sudah menjadi pacarku sekarang. Ia sendiri yang nembak! Tapi kenapa baru sehari jadian, ia sudah jalan dengan cowok lain?! Iya sih, mereka tampak bahagia. Tapi tentu saja ini tidak bisa kubiarkan begitu saja karena Febi sudah menjadi pacarku!!!

Akhirnya dengan langkah gusar, kumemasuki pelataran kafe tersebut. Ini tidak bisa dibiarkan lagi! Rupanya ini yang membuat Febi tidak mengangkat-angkat teleponku dari tadi! Rupanya ia sedang asyik selingkuh di belakangku!!

“…aku tak menyangka, Si Yudi tega memenggal kepala pacarnya sendiri gara-gara dimintai pertanggungjawabannya,” samar-samar terdengar suara si pria, semakin kumendekati mereka di meja nomor 14 yang terletak paling ujung itu. “Kepala pacarnya itu ditemukan di pinggiran sungai dengan wujud yang sudah tak berbentuk lagi karena terantuk-antuk bebatuan di sepanjang aliran sungai setelah enam hari sejak ditemukannya mayat wanita tanpa kepala itu di kosannya….”

“Tapi, kau takkan seperti itu, kan?” Febi semakin bergelayut manja.

“Tentu saja tidak dong, Sayang!” Si pria malah membelai mesra wajah ayu Febi, wajah yang seharusnya hanya menjadi pasanganku itu!

Seharusnya aku sudah bisa menduga kalau gadis cantik seperti itu hanya ingin mempermainkanku saja, karena tidak mungkin kan gadis seperti itu mau pacaran denganku?! Tapi tetap saja aku punya harga diri!

“FEBIIIIIIIIIII!!” raunganku yang menggelegar berhasil membuatnya menoleh. Tidak hanya dia sih sebenarnya, semua orang di sana malah serempak menolehiku. Apakah mereka semua kompakan memiliki nama “Febi” juga?!

Febi tampak gelagapan melihatku. Apalagi ia tengah mendaratkan ciuman ke pasangannya. “BUD?!”

“Jadi kau menyeleweng, ya?! Dasar gadis sialan kamu! Pengkhianat!!” raungku berlanjut sambil menyeret lengannya pergi. “Ayo kamu, ikut aku!!”

Febi hanya mampu meronta-ronta. Kucengkram erat tangannya dan melangkah serampangan entah menuju ke mana. Di kepalaku, aku hanya ingin melampiaskan amarah ini dan dapur adalah tempat yang terdekat!

Kumemasuki dapur itu dengan nekatnya meskipun Febi sudah menangis-nangis ketakutan. Tapi sudah tidak ada ampun lagi untuknya. Ia sudah mengkhianatiku! Ia sudah membohongi dan mempermainkan perasaan cintaku yang mulai tumbuh ini!

“Lepaskan aku, Bud! Lepaskan aku! Huuuuu!!” rintih Febi, terisak.

“Argh!! Diam kamu! Kamu tak bisa dimaafkan! Padahal aku serius cinta sama kamu, tapi apa yang kaulakukan padaku?! Kau main belakang rupanya! Gadis cantik dan sombong sepertimu memang perlu diberi pelajaran!!” raungku kalap sambil terus menyeretnya ke dapur yang berbentuk U (menempati 3 dinding) itu.

Di sana aku menjadi pusat perhatian mulai dari kepala kokinya, sous chef (wakil kepala koki), expenditer yang tengah berlalu-lalang antara ruang makan dan dapur, dan juga para koki pemula alias commi atau siapa pun itu. Tidak ada yang matanya tidak tertuju padaku.

“Hei! Apa-apaan ini?!” Sang Chef de cuisine atau sang kepala dapur berusaha menghentikan kegilaanku.

“Kau akan lihat nanti dan menambahkannya ke menu barumu!” raungku menggila sambil merebut parang yang dibawanya.

“Jangaaaaaaaaan!!!” jerit Febi histeris.

Tanpa memedulikan ia yang terus saja mengiba-iba, kuayunkan parang itu kemudian membacok wajahnya berkali-kali.

CROT! CROT! CROT…

“Aaaaaaarrrghh!!!!”

Kuterbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dinginku kembali bercucuran di kamarku yang menggunakan AC portable ini. Aku memang lebih memilih untuk menggunakan AC seperti ini daripada AC konvensional karena tidak harus mengorbankan tembok yang harus dibobol dan tentu saja AC seperti ini lebih praktis karena bisa dipindah-pindahkan seperti halnya kipas angin. Ya, meskipun suaranya lebih berisik, sih. Ups, sori info nggak penting!

Tidak lama kemudian, iPad di bawah bantalku berdering kembali. Hah? Siapa yang menelepon tengah malam begini? Jangan-jangan…

“Ini Febi! Aku mau. Aku mau kok ke pesta dansa sama kamu….”

***

Dengan gontainya, kumemasuki ruangan kelasku kemudian membaca sebuah majalah untuk mengisi waktu sampai bel masuk tiba. Kuterperangah begitu membaca beberapa artikel tentang para pembunuh berantai:

Ted Bundy, seorang skizofrenia parah yang terkenal suka menghabiskan sebagian besar waktunya dengan mayat, memajang kepala korban di apartemennya, bahkan mendandani mereka seperti halnya wanita yang masih hidup. Dan yang lebih mencengangkannya lagi, ia juga berhubungan seks dengan mayat-mayat itu sampai busuk dan apabila sudah tidak bisa “dipakai” lagi, baru dia buang mayatnya. Hiii!

Untung saja ya dia sudah dihukum mati di kursi listrik setelah menjalani sidang 1 dekade. Lain lagi halnya dengan Richard Kuklinski yang sudah membunuh sejak usia 13 tahun hingga semasa hidupnya telah membunuh 200-an orang. Dan yang lebih mengerikannya lagi yaitu Jefrey Dahmer yang menderita kelainan seks itu, dikenal sebagai orang yang santun. Selain sebagai seorang pemerkosa, dia juga seorang kanibal! Kepala para korbannya dibor lalu disuntiki otaknya pakai asam. Dia mati setelah dipukuli oleh tahanan lainnya. Tragis!

Ah sudahlah, tidak ada untungnya juga aku memusingkannya! Ntar yang ada, bisa-bisa para arwah mereka semua menggentayangi orang yang sedang membaca sejarah kelam hidup mereka semua karena mendengar namanya disebut-sebut dan diabadikan di media ini. Hiii!

Kami semua sedang mempeributkan ini-itu tadinya, namun satu per satu teman-teman di sekitarku kemudian mengalihkan perhatiannya begitu seseorang memasuki kelas kami hingga suasananya pun menjadi hening.

“Eh, itu siapa sih? Anak baru, ya? Cakep banget, sih!”

Pertanyaan yang sama kemudian bergaung di sekitarku. Rasa penasaran yang semakin menekan membuatku turut mendongakkan kepala dan terperangah begitu melihat siapa yang masuk barusan. Kuterpesona begitu melihat orang itu. Dia siapa? Jangan-jangan salah masuk!

Namun pemuda itu menanggapinya dengan senyuman. Sepertinya, ia mengenali kami semua! “Hai, semua! Kok pada melongo begitu? Ini aku. Koko!”

Semuanya terperanjat kaget seraya melongo lebar, tidak terkecuali denganku sendiri.

“Kok kamu jadi beda banget, sih? Wajahmu berubah dan jauh-jauh lebih ganteng lagi!”

Koko terkekeh. “Hehe! Bagaimana? Aku habis oplas di Kor-Sel, nih! Keren nggak hasilnya? Secara, negara itu lebih maju dan inovatif sih untuk urusan bedah plastik beginian. Biayanya juga lebih murah 50 persen loh dibandingkan oplas di Jepang. Thailand mah lewat!”

“Oh, jadi ini alasannya kamu tak masuk selama seminggu lebih?”

“Kirain kamu sakit,” celoteh teman lainnya.

“Tapi mengapa kau sampai mengubah wajahmu segala di Republic of Plastic Surgery itu?” tanyaku tidak habis pikir. “Kamu kan sudah ganteng sebelumnya. Ikuti jejaknya Lee Min Ho, ya?”

Koko tersenyum kecut menanggapinya. “Bud-Bud! Dimanfaatkan sajalah. Di Korea Selatan itu, ada sekitar 1200 ahli oplas. Jadi tunggu apa lagi? Orang sepertimu sih tak akan bisa mengerti arti kesempurnaan itu. Begini, Bud! Ntar lagi kan pesta dansa. Punya pasangan saja nggak cukup, dong! Aku harus lebih menawan dan sempurna lagi agar bisa bersaing dengan yang lainnya agar bisa menjadi raja di pesta dansa itu! Kalau sebagian besar wanita Korea Selatan di sana oplas dengan menginginkan wajah seperti Song Hye Gyo, kira-kira orang sepertimu mau wajah seperti siapa? Mau kurekomendasikan? Seperti Jang Dong Gun?”

Sekejap saja, aku kembali me-layu dan galau. Orang sepertiku mana bisa menandingi ketampanan Koko, apalagi setelah ia operasi plastik habis-habisan segala seperti itu. Ia jadi tampak lebih sempurna lagi sekarang!

Sepertinya-aku-sudah-terlalu-cepat-puas!

***

Mendekati hari H, kulihat semakin banyak anak-anak yang rela keluar uang banyak demi memperindah penampilan mereka. Semuanya berlomba-lomba menjadi yang tercakep dengan terbang ke negara yang memiliki tingkat oplas tertinggi di dunia itu! Semuanya hanya demi mempertaruhkan harga diri mereka untuk menjadi raja dan ratu di pesta dansa itu. Mereka tega mengubah ciptaan Tuhan yang sudah sempurna secara habis-habisan!

Kulihat perubahan di sekitarku yang sungguh mencengangkan drastis: Rini yang sudah kurus jadi tampak lebih ramping lagi berkat sedot lemaknya; hidung Cinta jadi tampak lebih mancung lagi berkat suntikan; bibir Naya jadi tampak lebih mengilap berkat sulam bibirnya; bentuk wajah Rifa yang pipinya dulu tembem jadi lebih ramping dan tidak bulat lagi karena gigi geraham bungsunya dicabut semua; dagu Roy yang dulunya datar kini menjadi lebih lancip.

Sepertinya (pertama) menjadi indah itu memang menyakitkan, ya!

Meskipun mereka harus mengalami kendala ketika pulang ke tanah air karena perubahan wajah yang signifikan ketika pemeriksaan di lembaga imigrasi, semuanya jadi tidak begitu berarti lagi. Mereka bisa memperoleh wajah baru yang memuaskan karena para dokter di Korea sana memberikan sertifikat operasi plastik ke pasiennya sebagai bukti identitas diri yang berisi nomor paspor, durasi tinggal, nama, serta lokasi rumah sakit tempat mereka melakukan bedah plastik. Benar-benar operasi plastik paling ekstrem, surganya adalah di sana!

Semuanya … semuanya tengah berjuang memperbaiki penampilan mereka yang sebelumnya sudah bagus dengan berbagai cara! Dan tentu saja aku bukan saingan mereka. Dengan sadar diri, kubandingkan diriku dengan mereka yang telah bermetamorfosis penuh. Benar kata mereka: Punya pacar / pasangan saja itu tidaklah cukup!

Dan sepertinya (terakhir), aku harus memperbaiki fisikku secara keseluruhan, nih….

***

“Feb, bagaimana kalau aku melakukan serangkaian operasi plastik?”

Meskipun sudah membulatkan tekad untuk itu, aku tetap meminta pendapat Febi di telepon. Bukankah ia itu masih pacarku?

Jangan! Jangan lakukan itu!”

“Tapi kenapa, Feb? Teman-teman yang lainnya kan sudah melakukan berbagai cara untuk memperindah penampilan mereka. Kita tak boleh kalah dong dari mereka! Kurasa tak ada yang salah denganmu. Tapi aku? Kamu juga pasti bangga kan bisa punya pacar yang fisiknya sempurna?!” kuberusaha meyakinkannya.

“Tapi aku suka kamu apa adanya! Bukan ada apanya!”

“Tapi kenapa kamu bisa suka sama aku yang tak ada apa-apanya ini? Gadis cantik sepertimu kan bisa mendapatkan yang lebih ehem-ehem daripada aku. Tapi kenapa kau lebih memilih aku?!” Sebenarnya itulah pertanyaan yang hendak kuutarakan padanya sejak lama.

Namun aku tidak menangkap suara apa pun dari gadis cantik itu….

“Aku … aku akan tetap melakukan bedah plastik itu dengan menjual mobilku! Aku ingin bisa lebih membahagiakanmu sebagai pasanganku Feb, dengan tampil sama sempurnanya denganmu. Aku tak mau kamu jadi cemoohan banyak orang jika berpacaran dengan orang sepertiku!”

Kalau kau masih saja ngotot mau operasi plastik, lebih baik kita putus sekarang juga!”

Kutergagap. “Tapi kenapa? Kenapa kamu tak mau aku tampak lebih keren daripada yang lainnya? Kenapa?!”

Kudengar ia tampak menarik napas. “Bud, kalau kau melakukan itu, artinya kita sudah tak senasib lagi dan hubungan kita akan berakhir saat itu juga….”

Tut-tut-tut….

Masih ingin kumembuka mulut berdebat dengannya, tapi ia keburu menutup teleponnya. Akhirnya kubanting iPad pemberiannya itu ke ranjang sambil menghela napas. Aku tidak habis pikir! Ada apa sih dengannya? Apakah ia tidak paham juga dengan perasaanku selama ini menjiwai wujud yang … ah!

Jawabannya ada pada C-E-R-M-I-N….

Kalian akan tahu perasaanku ketika aku bercermin dan menatap refleksi bayanganku yang … mengerikan! Kusebut mengerikan karena wajahku hancur-hancuran dan jauh sekali dari yang namanya…

GAN-TENG!

Jadi, kalian pasti susah memercayai kalau saja kalian punya teman buruk rupa sepertiku, dengan wajah bulat serta jerawat kehitaman yang bertebaran di sana-sini menghiasi wajahku. Dengan keadaan seperti itu, mana ada cewek yang mau jalan denganku? Jadi sekarang, kalian bisa mengerti kan perasaan minderku ini di sekolah itu karena wajahku yang berantakan—dengan bibir tebal dan mata sipitku ini—berada di tengah-tengah wajah-wajah sempurna mereka?!

Dan kalian pasti tidak akan habis pikir kan kenapa Febi yang secantik berlian alami itu—yang masih jauh lebih cantik daripada cewek-cewek sekolahanku, yang kukenal rata-rata dari hasil op-las dari Korea sana—tertarik padaku dan mau jadi pacarku? Aku pun demikian….

Kutatap lagi wajahku di cermin itu tanpa ragu. Kurasa inilah terakhir kalinya kupandangi wajah tidak karuan itu dan menggantinya segera dengan wajah yang baru! Tapi seperti apakah wajah baruku kelak?!

***

“Feb, ini aku Bud! Aku boleh masuk, nggak?”

Kumemasuki sebuah paviliun nomor 14 di sebuah rumah sakit, tempat di mana gadis itu dirawat, sambil membawakan bingkisan untuknya. Tampak punggung seorang gadis berambut pendek menyambutku. Ia masih saja tidak mau berbalik, meskipun sudah kukatakan siapa diriku.

Hanya temannya yang tampak sumringah menyambutku sambil terpana habis. “Eh, Feb! Pacarmu ganteng banget, ya! Aku tinggalkan kalian berdua, ya!” Temannya itu kemudian bergegas meninggalkan kami berdua di kamar. Baguslah kalau begitu! Bagus untuk … ah! Nanti sajalah aku melanjutkan kalimatnya.

Kumendekati gadis itu dan ia masih saja ngotot membelakangiku. Lagi-lagi aku hanya bisa menuruti kemauannya. Biarlah, yang penting aku bisa menjenguknya meskipun aku tidak bisa melihat wajahnya sedikit pun!

“Febi, maafkan aku ya! Aku sudah … tak mau mendengarkan kata-katamu…” Kudekap ia dari belakang. “Apa pun keadaanmu, aku tetap akan selalu setia dan mencintaimu!” Kuberusaha meluluhkan hatinya.

Akhirnya ia merespon pelukanku dengan menggenggam kedua lenganku, meskipun ia masih belum mau membalikkan badannya. “Aku yang minta maaf, Bud! Aku yang salah. Aku sudah mengingkari janjiku dengan tak datang ke pesta dansa itu.”

Kumenggelengkan kepala. “Sudahlah! Itu sudah berlalu. Pesta dansa itu telah usai dan hanya akan jadi masa lalu. Seandainya saja aku tidak melakukan bedah plastik habis-habisan seperti ini, kau pasti akan selalu jadi pasanganku termasuk di pesta dansa itu. Jadi semuanya ini adalah salahku….”

“Bagaimana dengan pesta dansanya?”

Pertanyaan itu membuat hatiku terasa sakit dan bergemuruh. “Aku … aku memang menghadirinya, tapi gagal menjadi raja dansa tentunya karena tak punya pasangan.”

Kurasakan tetes air matanya berjatuhan di lenganku. “Maafkan aku, Bud! Ini semua gara-gara aku! Aku yang sudah mengacaukan impianmu itu. Seandainya saja aku bisa datang—”

“Tapi sudahlah, semuanya sudah berlalu. Lagipula kondisimu seperti ini. Tak usah dipaksakan lagi kalau memang benar-benar tak bisa!” Kuberdehem. “Jadi bagaimana? Kita benar-benar sudah tak bisa “senasib” lagi. Apakah kau benar-benar ingin memutuskan hubungan kita?”

“Sekali lagi maaf. Maafkan aku, Bud. Tapi ini sudah menjadi prinsipku!” tegasnya.

Kumenghela napas. “Huft! Sepertinya memang sia-sia saja aku memintamu untuk kembali….” Kulepaskan dekapanku kemudian menyimpan bingkisan untuknya ke belakang punggung. “Oh iya, aku punya sesuatu buat kamu sebagai kenang-kenangan terakhir dariku. Kamu mau kan menerimanya?”

Ia tampak ragu kemudian akhirnya mengangguk juga. Itu artinya aku diberi kesempatan untuk menghadapnya dan melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya sebelum kami putus. Dan akhirnya aku bisa melihat wajahnya lagi … dengan kondisi yang jauh lebih berbeda dengan foto-foto yang pertama kalinya diperlihatkannya padaku. Kini tidak ada lagi senyum manisnya, wajah cantiknya, senyum menawannya karena semuanya itu sudah digantikan dengan jahitan di mulutnya yang melebar hingga ke pipi, ujung hidungnya yang berlubang, dan mata indah yang terbelalak sebelah karena kelopak matanya lepas. Yang ada di hadapanku kini bukanlah wajah seorang bidadari lagi, melainkan wajah seorang monster!

Kubelai wajah monster itu dan menatapnya iba. “Ma-maafkan aku ya, Sayang! Gara-gara aku, kamu jadi begini. Aku sendiri tak menduga akan begini jadinya…,” isakku “sedih”.

“Tak apa, Sayang! Sudah tak sakit lagi, kok. Aku tahu kamu hanya khilaf karena cemburu….”

Ya, khilaf sampai wajahmu jadi separah ini!

“Semoga pemberian terakhirku ini bisa menghapuskan kenangan buruk hubungan kita dan menjadi kenangan termanismu. Selain itu, aku punya cerita indah di dalamnya. Cerita ini khusus kupersembahkan untukmu. Kamu mau kan mendengarnya sebelumnya?”

“Cerita apa itu?”

Secara perlahan kemudian kuacungkan sesuatu yang setengah mati kusembunyikan darinya tadi sambil berseru, “Ceritanya tentang seorang gadis buruk rupa yang jatuh cinta pada seorang pangeran tampan!

SYUR!

Serta-merta langsung saja kusiramkan isi cairan botol di tanganku itu ke wajahnya hingga ia menjerit-jerit kesetanan kembali. Jeritan menyayat hati yang kembali kudengar, sama seperti saat kucabik-cabik wajahnya di dapur kemarin!

“Kyaaaaaaaa!!”

Sementara ia menjerit-jerit, aku tertawa-tawa kesetanan. Kegilaan yang sama menghinggapiku sama seperti yang kulakukan padanya di dapur itu! “Hahahaha!! Inilah akibatnya kalau kau sudah mempermalukanku!”

Sementara itu, ia masih terus saja menjerit tidak karuan. Wajahnya secara perlahan mengeluarkan asap keputihan.

“Kyyyaaaaaaaaaa!!” lolongnya.

“Gara-gara kau tak datang hanya karena aku lebih memilih untuk melakukan bedah plastik biar tampak lebih ganteng lagi, aku malah diledek habis-habisan oleh teman-teman lainnya di pesta dansa itu, tahu! Mereka mencemoohku habis-habisan karena ganteng-ganteng begini, tahu-tahunya tak punya pacar! Nggak laku! Kau tak tahu bagaimana rasanya, ingin rasanya kutenggelamkan muka ini ke bumi! Rasanya sudah hilang muka dan itu semua berkatmu! Tahu begini, aku tak akan capek-capek dan keluar uang banyak buat operasi plastik karena tak bisa bersaing dengan lelaki-lelaki tampan lainnya demi menggaet gelar raja dansa itu! Semuanya jadi sia-sia begini, deh! Dan semuanya itu gara-gara kamu!!” raungku sambil terus menyipratkan cairan asam berkonsentrasi tinggi itu ke wajahnya seperti menyemprot tanaman biar sampai habis mukanya itu, seperti halnya aku yang sudah hilang muka di pesta dansa!

“Kyyyaaaaaaaaaaaa!! Aarrrrrrrrrrrrrrggghhh!!!”

Febi tidak henti-hentinya menjerit. Wajahnya sudah mulai melepuh sana-sini padahal tadinya sudah diperbaiki habis-habisan. Namun semua tindakan dokter itu akhirnya jadi sia-sia saja karena aku kembali berulah dengan mengguyurinya air asam sulfat ini ke wajahnya hingga wajah itu secara perlahan seolah meluruh bagaikan lumpur. Asam sulfat yang terkena tetesan air saja bisa menimbulkan asap, apalagi kalau sudah kena kulit. Darahnya pun meletup-letup di mana-mana.

Herannya, rencanaku ini semakin berjalan lancar karena orang-orang di luar sana seolah tak mendengar jeritannya ini. Aneh! Apa tak kedengaran atau apa? Ataukah di luar sana terlalu berisik?

Ah, sudahlah! Bukankah itu bagus? Aku harus segera menyelesaikan “misi” ini!

“Kau mau putus, kan? Oke! Kita putus! Aku akan dengan senang hati putus denganmu! Kau sudah mengkhianatiku dengan kencan dengan cowok lain! Dan aku juga akan melakukan hal yang sama denganmu. Siapa juga yang mau jadi pacar monster sepertimu?! Dioperasi plastik sebanyak 36 kali pun, belum tentu bisa secantik Angelina Jolie karena wajahmu itu dijahit saja susah jadinya. Kamu sudah seperti boneka rusak sekarang. Dengan wajah ganteng yang nggak sepadan denganmu itu, aku pasti akan lebih mudah mencari penggantimu! Cuih!!”

Dan hasil akhirnya, wajahnya pun seolah rata sama seperti hantu di cermin toilet yang muncul dalam satu-satunya mimpiku tentangnya. Satu-satunya! Yah, meski aku melukainya separah itu di dapur kemarin itu, tapi ia masih saja memaafkan dan tak melanjutkannya ke jalur hukum. Ia mengemis-ngemis untuk itu pada keluarganya dan yah, sepertinya ia sudah mengambil keputusan yang salah!

“By the way, soal pacar baru? Temanmu yang tadi cantik juga, ya….”

Tags: tlwc19

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mawar Merah
340      214     1     
Short Story
Ada apa dengan jalan diujung sana? Siapa yang meletakan bunga mawar itu? Ada apa dengan keduanya? Seorang gadis bernama Aini baru pertama kali mengalami hal-hal diluar akal sehatnya yang sama sekali belum pernah ia alami sebebelumnya. Tidak akan mungkin ia melupakan semua kejadian yang telah dialami, yang mengubah hidupnya menjadi seseorang yang paling bahagia di muka bumi.
Kejutan
397      206     3     
Short Story
Cerita ini didedikasikan untuk lomba tinlit x loka media
Cat in the Rain
1930      911     33     
Short Story
IDENTITAS
649      433     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
Misteri Rumah Tua
455      246     2     
Short Story
Nata dan Farah mencoba menyelidiki kasus rumah tua penuh misteri yang membuat mereka berdua merencanakan penyelidikan. Tapi sebelum hal itu terjadi. Misteri lain datang menghampiri. Farah menghilang dan Nata harus menemukan Farah sebelum memecahkan misteri rumah tua itu. Apakah Nata berhasil menyelesaikan kedua kasus itu?
RUMAH ITU
456      255     0     
Short Story
Seorang laki-laki memutuskan untuk keluar dari rumahnya dan pergi sejauh mungkin, saat di perjalanan, dia menumui seseorang dan pergi ke hutan. Beberapa hari kemudian, kejadian aneh mulai terjadi, apakah dia akan selamat atau tidak?
Cinta Dendam dan Air mata
443      242     3     
Short Story
Kisah cinta dan dendam seorang pria bernama Aldrich Dirgantara. Pria tampan mapan, baik hati. Di usia nya 32 tahun sukses memimpin perusahaan peninggalan keluarga nya Dirgantara Group. Hidup nya penuh dendam ketika di malam pernikahan nya. Tanpa sengaja melihat kekasih nya yang ber nama Sandra prabowo umur 27 tahun,bercinta dengan Sean Abraham yang sudah di anggap saudara nya di apartemen milik...
Judgement Day
273      170     0     
Short Story
Telepon itu berdering di waktu dan nama yang salah. Jessi tak kuasa, meringkuk ketakutan di sudut kamarnya. Adalah Nino Herdian yang menghubunginya namun Jessi nyaris kehilangan akal sehatnya. "Aku membunuhnya dua tahun yang lalu," Jessi berbisik lirih. "Aku membunuh Nino dua tahun yang lalu!"
My Strange Boyfriend
373      186     1     
Short Story
Pacarku sikapnya berubah-ubah sejak kematian dua mahasiswa di kampusku! Apa yang terjadi?
Shamiram
830      540     5     
Short Story
Aku harus mencintai salah satu dari tujuh orang terkutuk untuk memenangkan hati Ratu Shamiram. Kalau tidak, satu per satu dari mereka akan mati. Perjalanan cintaku dimulai di sini.