Hai Sob! Jangan tanya siapa dan bagaimana aku mengenalmu. Aku selalu saja memikirkanmu. Aku sungguh malu untuk duduk dekat jentera mini dengan segelas coklat panas, dan berusaha menuliskan surat kepadamu, tetapi aku tidak memiliki keberanian lain selain ini.
Hai Sob! Senja sekali lagi datang setelah hujan dan aku menikmati lengkungan pelangi seperti bocah bermain seluncuran dengan senyum merekah. Aku menumbuhkan Tapak Dara di dekat jendela. Di sekeliling terdapat Nanas Kerang dan tanaman yang sangat besar dan tumbuh liar, aku tidak mengenal nama tanaman itu, tapi sebut saja Yuka. Yuka berbatang tebal dan memiliki daun lebar. Siput-siput sering berkunjung dan menaiki batang Yuka. Yuka pun tidak pernah berkeberatan. Yuka senang apabila ada yang menemani.
Oh Sob, namun seharusnya aku tidak membebanimu dengan kisah keseharianku yang sungguh membosankan. Kau tahu! Di sini aku pun di kelilingi oleh tembok-tembok yang suram. Dan tinggal bersama dengan teman sejatiku…. kesendirian. Kesendirian dan aku, kami bersama-sama menghabiskan waktu. Kami saling menggenggam tangan satu dengan lainnya dalam kegelapan dan bersama-sama melihat langit luas. Waktu memang adalah musuh yang kejam. Sob, tidak ada ampunan dari waktu. Suatu ketika kau akan menyadari hal itu atau mungkin saja tidak.
“Apa itu, Sob?” Juna menunjuk kertas bersamar mawar yang sedang aku pegang dan merebutnya, lantas membacanya keras-keras. Beruntung saja pagi ini di laboratorium Kimia belum ada siswa lainnya, hanya ada aku yang lebih awal datang, kemudian Juna, teman sebangku.
“Ini dari Lu, Bro?” Tanyaku sekalian merebut kembali, hampir saja kertas bersamar mawar sobek karena aku tarik paksa dari tangan Juna.
“Gila aja Lu, Dro!1 Masa iya gw mikirin elu!” Juna pun mengakak.
Kau pun akan segera meninggalkan kelas pertamamu pada hari senin di Laboratorium Kimia. Memakai kembali jaket Levi’s dengan setangkai mawar di punggung dengan sedikit sobekan di lengannya dan pergi ke kantin sekolah. Sesaat sebelum kelas keduamu akan mulai, kau memesan segelas Capucinno dengan dua kue mangkuk dan membalas semua senyum pada semua gadis yang berada di kantin, walau mereka bukan teman satu kelasmu. Sepulang sekolah, kau akan membonceng kekasihmu pulang ke rumahnya. Dia begitu mencintaimu.
Tahukah kau, Sob? Siapakah yang akan mencintaiku? Sepanjang jalan, dia akan melingkarkan kedua tangannya ke perutmu, memelukmu. Tapi tahukah kau, Sob? Siapa yang akan melingkarkan tangannya ke perutku, memelukku? Aku sepertinya ingin banyak menulis. Dan tidak ingin menyimpan rahasia ini kepadamu lagi. Aku selalu memikirkanmu.
Pohon-pohon di sisi jalan meranggaskan daun-daun mereka yang kuning ke badan jalan. Daun-daun kuncup tambahan mulai bermunculan dan ranting-ranting muda mulai tumbuh. Sejumlah pasang mata pun muncul pada bebatuan, menatap dengan penuh ceria dan semangat pada kami. Tetapi, salah satu bongkahan itu bersin dan menghamburkan dedaunan kering di badan jalan. Aku masih saja memikirkan siapa pengirim surat itu, yang sekarang tersimpan di dalam ransel. Bisa saja aku membuang surat itu atau mencabiknya. Cabikannya aku hamburkan ke udara seperti tebaran kenangan yang memasrahkan diri untuk dilupakan. Sore itu, aku dan Sarah telah tiba di halaman rumah.
“Ada apa, Bara, sejak tadi kau diam saja? Biasanya kau banyak cerita soal apapun di sekolah.” Kata Sarah. Dia pun menghampiriku yang berat ekor untuk turun dari motor bebek yang telah dimodifikasi menjadi Cb.
“Apa ada masalah?” Lanjut Sarah. Matanya melihat ke arahku. Ke wajahku, lebih tepatnya, dan aku mulai merasa tidak nyaman. Setelahnya dia pasti akan menempelkan kedua tangannya di pipiku.
“Saya tidak tahu.” Jawabku. Sekali lagi aku memperhatikan bunga-bunga di sekitar halaman rumah Sarah. Sepertinya, ibu Sarah hanya menyukai mawar merah kampung begitu pun Sarah. Itulah mengapa Sarah menghadiahiku jaket Levi’s yang sedang aku kenakan ini. Dan aku tidak menemukan Tapak Dara, Nanas Kerang atau apapun itu tanaman yang bernama: Yuka.
“Hujan bakal turun, Sar. Mending aku buruan jalan lagi.”
“Baiklah.” Katanya sambil urung menempelkan tangannya ke pipiku.
Hai Sob! Sobaraku. Apakah kau berkenan aku memanggilmu demikian, kenankah kau? Aku merasa menjadi dekat denganmu, lama sebelum kau mengambil jurusan IPA atau sebelum kau sering membaca Pablo Neruda di bawah lindung Kencana di seberang perpustakaan. Sesuatu yang sangat menakjubkan terjadi padaku. Aku ingin menceritakannya padamu. Dengan begitu kau akan memahami diriku lebih baik.
Sobaraku, pernah kau melihat siput? Kau tahu dahulu kala siput tidak mempunyai cangkang seperti sekarang kita lihat. Pertama kali sekali siput tinggal di sebuah sarang burung yang sudah di tinggalkan oleh burung diatas pohon. Dia pun merasa nyaman dan tenang tinggal di sarang burung itu karena terasa sejuk oleh daun pepohonan jika saat terik di siang hari. Tetapi bekas sarang burung tidak bisa menghalangi air hujan ketika hujan datang, dan dia pun merasa kedinginan dan basah saat hujan datang. Kemudian siput menemukan sebuah lubang yang ada di batang pohon. Beberapa saat burung pelatuk terus mematuk batang pohon dekat dengan lubang yang ditempati. Siput pun menjadi terganggu dan ia tidak bisa tidur karena berisik mendengar burung pelatuk yang sedang membuat lubang. Hatinya pun sangat jengkel dan Siput pun turun keluar dari lubang batang pohon dan pergi mencari tempat tinggal lain.
Menjelang hari mulai sore siput menemukan sebuah lubang ditanah dan mulai membersihkan lubang tersebut. Dia memutuskan untuk tinggal didalamnya. Saat mulai datang malam, ternyata banyak tikus-tikus yang menggali tanah dari segala arah dan akhirnya merusak rumahnya. Apa boleh buat, ia pun pergi meningalkan lubang di tanah untuk kembali mencari tempat baru.
Siput terus berjalan dan tiba di tepi pantai yang penuh dengan batu karang. Siput pun akhirnya tinggal dan beristirahat di sela-sela batu karang itu. Tapi saat air laut sedang pasang, naiklah air laut sampai keatas batu karang, siput pun ikut tersapu bersama dengan ombak. Sekali lagi siput dengan berat hati harus pergi lagi untuk mencari rumah yang baru. Diperjalanan dia menemukan sebuah cangkang kosong, bentuknya sangat cantik dan ringan. Karena lelah dan kedinginan siput pun masuk kedalam cangkang tersebut, siput merasa hangat dan nyaman dan dia pun bisa tidur dengan tenang didalamnya.
Pagi menjelang dia terbangun dan menyadari bahwa dia telah menemukan rumah yang terbaik untuk dirinya.2
Sobaraku, akhirnya aku pun menemukan rumah terbaik untukku. Telah lama aku mencarinya, ternyata sesederhana itu ketika musim kemarau aku melihat mata amber di kedua matamu, mata yang dijuluki mata serigala. Sinarnya lebih pukau dari sinar matahari. Aku menikmati musim hujan, tetapi musim kemarau memiliki keindahan sendiri di wajahmu. Musim hujan sungguh menggairahkan, tetapi musim kemarau adalah harapan baru di sayapku. Sobaraku, bukankah hidup selalu punya tetapi.
Seminggu lalu, aku duduk di bawah lindung Kencana seperti yang selalu kamu lakukan. Aku membiarkan diriku terbawa tiupan angin, terpukau kosmos di udara, mengobrol ringan bersama dengan seorang teman. Aku terbayang…. sungguh kasmaran ini lebih indah jika kau berbaring di bawah lindung Kencana bersamaku. Aku tidak tahu mengapa bisa berpikir demikian, tetapi dalam bayangku, kamu berbaring bersamaku di atas bangku putih di bawah Kencana, hanya ada kamu dan aku. Amber di matamu bersinar dan meleleh, melekat menatapku. Gambaran ini membuatku sungguh membuatku porak-poranda. Aku tak bisa menghentikan kedua tanganku mengusap lembut ketampanan wajahmu, hitamnya rambutmu, dan kerasnya otot-otot lenganmu. Aku memikirkan kekasihmu, yang sungguh menikmati kedua tanganmu ketika kamu memeluknya. Dan aku hanya dapat merasakan kerongkonganku perih menelan ludah.
Ketika jam pulang sekolah, aku berjalan-jalan mengitari seluruh sekolah, mencoba menenangkan kembali hatiku yang kalut. Tiba-tiba, aku melihatmu melintas mengendarai motor bebek Cb-mu, tanpa kekasihmu. Tanpa penutup kepala, dan angin menerbangkan rambutmu acak, kau sungguh terlihat seperti malaikat. Aku takut untuk mengatakan dengan suara nyaring tapi jauh di dalam hati, sungguh kumencintaimu.
"Kau dan aku sudah bersama semenjak tahun lalu," Sarah merenung dengan getir, "dan kurasa kita hampir saling tidak mengenal seperti dua orang beradab yang pernah ada!"
Sarah tidak mengatakannya dengan begitu keras. Sarah sudah hampir menyerah tentang sikapku akhir-akhir ini. Tetapi sepertinya pikiran itu muncul di benaknya, dia memandangku - duduk dengan murung sambil mengaduk-aduk Capucinno di kantin, ketika kita menunggu hingga sore saat hujan turun - dengan keheningan mengiritasi putus-putus harapan.
Apa masalahnya, Sarah selalu bertanya-tanya padaku, salah siapa adalah bahwa kita berdua mulai tampak tidak bisa saling memahami, tidak bisa menjalani kebersamaan kami seperti dulu?
“Kalau sering hujan begini Tapak Dara tak perlu kau siram tiap hari, May.”
Di balik punggung terdengar samar seorang perempuan memberi saran kepada teman lainnya, dengan spontan aku membalikan badan melihat sumber kalimat tadi. Memperhatikan begitu ketat kedua perempuan tersebut.
“Ada apa, Bar?” Kata Sarah. Aku pun kembali ke posisi semula melihat Sarah.
“Sebentar!” Kataku. Lalu pergi menghampiri kedua perempuan yang berada di belakangku.
Kedua perempuan itu pun tarik-menarik tangan mereka ketika aku sampai di samping meja makan mereka. Aku pun mengeluarkan secarik kertas di saku dadaku dan memberikannya kepada Maya – aku membaca label nama di dadanya. Wajah Maya seketika terkejut, perlahan mengambil kertas itu. Belum sempat Maya menerimanya, dari arah belakang sebuah tangan menyambar kertas tersebut.
“Apa ini Bara?” Dengan ketus Sarah berkata lalu membacanya.
Sobaraku, lelakiku yang paling tampan. Hi! Sungguh indah untuk dapat mempermainkan kedua kata seperti ‘kekasihku’. Membuatku sungguh takjub mudahnya mesin tik mengetik kedua kata itu. Berpasangan, satu dengan lainnya. Tetapi di manakah kamu, Sobaraku?
Sekarang, aku duduk di bawah lindung Kencana, membaca Ketiadaan3 dan di depanku terdapat dua buah kue mangkuk yang dibeli tadi pagi. Satu untukku, dan satu lagi untukmu. Ya …. kutahu aku kehilangan isi kepala lagi. Sedari malam aku tidak dapat merasakan sakit itu lagi.
Aku memakai sayap dan pergi ke balik air terjun biru tua (air terjun yang gaduh, riuh, seolah itu ungkapan ‘aduh’ dari air yang jatuh)4 di belakang sekolah. Kau dapat membayangkan dimana aku berada? Aku mengurung diri ke dalam gua. Banyak laki-laki dan perempuan kesepian pergi - datang ke sana. Seperti kumpulan serangga menghinggapi kayu pohon tua. Aku seringkali berjanji pada diri sendiri untuk tidak kembali ke tempat mengerikan itu lagi.
Aku pernah mengikuti seorang lelaki berkacamata berada dekat pohon yang telah mati. Di balik langit gelap, dia seorang pemuda tampan, dengan kaus berlengan panjang, di kedua lengan bajunya terdapat gambar setangkai mawar merah, dan dia mengeluarkan aroma memikat. Seperti layaknya kumbang ingin mengisap madu di kedua tangkai tersebut, aku membuntutinya. Lalu dia pergi menuju semak belukar dan dengan tangan kanannya dia melambai ke arahku, tetapi bukan tertuju ke kepadaku melainkan seorang perempuan di balik punggungku. Di antara semak belukar mereka berdua duduk di atas batu besar di tepi air terjun biru tua.
Setelah beberapa saat aku mengamati dari jauh mereka berdua, lelaki itu berdiri tiba-tiba, lalu diikuti oleh perempuan dengan tanda lahir di pinggulnya. Lantas lelaki itu menamparnya. Dengan sangat terkejut perempuan itupun mendorong lelaki itu melintasi air terjun yang gaduh, riuh, dan ketika lelaki itu sampai di atas batu besar sampai hancur seluruh tubuhnya, perempuan itu berkata ‘aduh’. Lalu dia pun lari dengan lincah seperti seekor serigala liar di atas pegunungan.
Lalu aku mencoba mendekati mayat itu, tapi tersungkur ke atas tanah dan muntah melihat mayat lelaki itu. Air terjun kemudian meluap, menghanyutkan lelaki yang terbujur kaku seperti bongkahan pohon mati. Aku penuh keputus-asaan dan kejijikan, lalu kembali ke rumah. Aku tidak henti-hentinya menangis di bawah kucuran air.
Aku pun menyadari saat kembali lagi ke balik air terjun, aku tidak dapat menyiksa diriku sendiri dan terus saja merasa bersalah atas kejadian itu. Dan ketika aku melihatmu, dengan sekuntum bunga mawar di balik punggung di jaketmu, lelaki yang hanyut itu berada di ingatan. Tetapi aku terlanjur pukau oleh wajah tampanmu. Siang dan malam aku ingin kamu pun menyiksa dirimu dengan mengingatku, atau setidaknya kamu tersiksa setelah membaca suratku.
Sobaraku, apakah kamu ingin aku tetap menulis surat kepadamu? Jika ya, surat selanjutnya akan sampai kepadamu senin pagi di lindung Kencana, terselip di buku Pablo Neruda setelah pelajaran pertama usai. Jika kamu ingin aku tetap menulis surat, pergilah ke air terjun biru tua di sabtu sore sebelumya, ketika hujan datang. Ingat! Saat hujan datang. Aku akan datang kehadapmu.
Jika kamu datang, hidupku akan penuh dengan arti. Jika kamu tidak datang, aku akan mengerti dan tidak akan mengikutimu, tidak akan menuliskan surat kepadamu lagi.
Senja baru saja hadir di sabtu sore, mana mungkin hujan akan turun saat-saat begini, pikirku. Tetapi entah kenapa hujan riwis-riwis tiba-tiba turun. Dan aku sedang berada di kantin sekolah bersama Sarah, duduk dengan murung sambil mengaduk-aduk Capucinno. Ingin rasanya segera pergi meninggalkan Sarah, lalu pergi menuju air terjun biru tua di belakang sekolah. Tetapi Sarah terus saja menghentikan pergerakanku sampai saat kedua perempuan yang sedang membicarakan tanaman Tapak Dara tadi muncul tepat di belakang punggungku.
“Apa ini Bara?” Sarah mengulangi pertanyaannya lagi. Tanpa sempat aku menjawab, Sarah mulai menggebrak meja, mengejutkan Maya dan temannya.
“Hentikan mengalutkan pikiran kekasihku!” bentak Sarah kepada Maya.
“Hey….!” Teman Maya berusaha menahan tangan kanan Sarah yang berupaya menganju tinju.
“Sudah usai!” Sorakku. “Kalian semua hentikan!” Aku pun meninggalkan kumpulan perempuan-perempuan yang telah menjadi liar.
“Kemana kamu, Bara?”
“Aku penat, Sar. Aku ingin mencari udara baru.”
Benar sekali. Air terjun biru tua di belakang sekolah sungguh gaduh. Sebanding dengan kegaduhan kumpulan perempuan-perempuan tadi, tapi setidaknya tidak mengingatkan diriku terhadap rongga dada yang penuh dengan tanda tanya. Air terjun mulai keruh dan baunya naik ke atas tebing oleh siraman air hujan. Perlahan air terjun pun menyibak membuat sebuah celah yang bisa dilewati. Kudengar suara kepakan sayap seperti capung keluar dari celah tersebut. Perlahan-lahan semakin terdengar nyaring. Air terjun biru tua berkilauan. Aku menyangka senja terbit dari celah air terjun memenuhi pandanganku. Lalu seorang perempuan bersayap capung muncul tepat di wajahku, dan berkata, “Sobaraku.”
Tiba-tiba permukaan langit berkumpul menjadi satu, menciptakan bentuk noda hitam yang besar. Kelaparan pun menyerang perutku. Rasanya seribu kunang-kunang melahap penglihatanku dan tubuhku melayang jatuh bebas tanpa henti seperti terkapar ke dasar air terjun. Aku melihat sosok malaikat menyerupai angsa turun dari langit menuju tempatku berbaring.
Aku yakin semua salah, pikirku, tetapi bau lumpur air terjun mulai masuk ke hidung menyumbat rongga dada. Rasanya bau tanah mulai pekat di tubuhku.
*****
Setelah pertemuan yang menekan jantungku, aku merasakan jalan darah melingkar-lingkar di tubuh, berat kepala terasa bertambah, dan mata masih juga memancarkan cahaya kuning yang berkunang-kunang di pelupuk mata. Kunang-kunang! Serangga yang hanya dapat kulihat malam hari tampaknya betah berpayung di kantup mata. Coba saja sayap mereka aku patahkan, hewan itu bakal seperti laron garing! Sebentar, sayap! Aku pun bangkit segera dari tempat tidur yang terbuat dari dipan kayu dengan menahan berat kepalaku dengan kedua tangan. Aku mencari suara kepakan sayap ke seluruh ruang. Tidak ada! Malah kudengar suara tersekat di tenggorokan sedang melantunkan sebuah lagu:5
Ampelus semua segar,
Menyegarkan semua lingkungan;
Di dekat hutan, di jalan raya,
Sebagai engkau pergi, kepada Tuhan sekarang berdoa:
Ya Tuhan, di dataran,
Kirimkan kami hujan sepoi-sepoi;
Agar ladang itu berbuah,
Dan tanaman merambat dalam bunga yang bisa kita lihat;
Supaya bulir penuh dan sehat,
Dan orang kaya menumbuhkan orang-orang di sekitar."
Suara itu terdengar di balik telari kayu dari seseorang yang duduk di atas tikar di sebuah kamar, dan di depan lampu minyak kecil dia bergumam, tak lama setelah lagu itu berlangsung, dia mengucap doa atau mantera, barangkali: "Kakek dan Nenek Selene, kembalilah ke negaramu. Kemat adalah ajaranmu. Letakkan tong airmu, tutuplah dengan benar, agar tidak setetes pun jatuh.” Ketika dia mengucapkan doa ini, seperti tukang sihir, dia memandang ke atas, membakar dupa sementara waktu.
Kesintinganku mulai membuat lelah, aku perlu beristirahat dan merebahkan kembali tubuhku. Hampir bersamaan, suara air terjun mulai terdengar; jantungku berdegup kencang. “Air! Seruku. Air dan hujan. Ah! Benar-benar membuatku sinting.
Aku terkejut, karena suara musik mulai keluar dari sebuah seruling kecil dan mulai menghipnotisku. Suara gaduh air terjun pun menyurut, dan degup jantung mulai tenang. Aku duduk di tepi dipan mendengarkan gemuruh air dan suara seruling berpadu menawan, mataku terpaku pada seorang perempuan mungil di bawah bulan purnama yang bersinar terang di atas kami. Meskipun aku tak benar-benar memahami, entah bagaimana aku merasa perempuan mungil itu adalah sebuah dongeng kekanak-kanakanku.
Aku tak tahu berapa lama perempuan mungil itu memainkan serulingnya. Ketika berhenti, dia berpaling padaku dan menghampiriku.
“Siapakah kau?” Tanyaku. “Mengapa kau membawaku ikut bersamamu?”
Dia menatapku. “Aku adalah apa yang kaulihat. Aku adalah bagian dari kepercayaan bumi.”
“Apa yang kauinginkan dariku?”
“Aku tak bisa mengatakan sekarang. Kau akan menderita apabila aku mengatakannya sekarang. Aku masih jatuh cinta padamu.”
“Benarkah? Kau tak tahu apa yang kau bicarakan.” Aku melihat caranya memandangku. Dia benar-benar mencintaiku. Perempuan ini benar-benar sinting!
Aku mengitari gubuk kayu yang terus menyalakan api kecil di tungku pusat rumah tanpa periuk. Di balik terali tak aku lihat kembali lelaki tua yang tadi membacakan doa atau matra.
“Kau mencarinya?”
“Ya.” Jawabku. “Siapakah dia?”
“Ketika seorang manusia akan mengadakan pesta besar di musim hujan dan akan mengundang banyak orang, dia pergi ke pawang hujan dan memintanya untuk "menopang awan yang mungkin menurunkan hujan." Jika Sang Pawang Hujan setuju, dia bersedia mengerahkan kekuatan, dan mulai mengatur perilakunya dengan aturan tertentu di gubuk ini segera setelah pelanggannya membayar upeti padanya. Lalu kami akan melakukan ritual kesucian yang ketat selama prosesi berlangsung.”
Masing-masing dari mereka semacam khayalan yang selalu diceritakan oleh nenekku semasa kanak-kanak dahulu. Mereka mengidentifikasikan diri dengan fenomena yang ingin dihasilkan oleh khayalan masa kanak-kanakku. Ini adalah kekeliruan lama dan kebodohan yang efeknya akan menyebabkan kesintinganku bertambah.
“Kadang-kadang serbuan perasaan sedih menyerang kita.” Dia berkata seperti mengobati kesintinganku yang sudah mulai makin memburuk. “Kita menyadari saat-saat magis telah hilang dan kita tidak melakukan apa-apa mengenainya. Hidup terus berlalu lalu keajaiban dan keindahan bersembunyi.
Kita harus mendengarkan khayalan di masa kanak-kanak yang masih ada dalam diri kita sampai sekarang. Masa kanak-kanak itu adalah sebuah keajaiban. Kita dapat membungkam keindahannya namun kita tidak bisa mengorbankannya. Masa kanak-kanak kita telah diberkati, karena masa itulah kerajaan surga berdiri, setiap kanak-kanak yang telah mati akan berada di surga itu.
Kau tahu, Sobaraku, ketika seorang bayi tertawa dan bertepuk tangan di bawah sinar bulan tanpa sebab, bayangnya bercahaya seperti lendir kelemayar ke angkasa, sesuatu akan menangkapnya, entah itu udara, air, batu atau cahaya bahkan lonceng. Begitulah seorang peri dilahirkan. Tawa dan tepuk bayi akan mengikuti sampai bayang berhasil ditangkap, sifat elemen menentukan bagaimana peri akan tumbuh. Dan jika seorang bayi berhenti tertawa dan bertepuk tangan tiba-tiba saat itu juga, bayang bayi telah ditelan kegelapan atau menghilang dari jangkauan Si bayi.”
“Berhenti kamu memanggilku begitu!” Pintaku
“Kita harus memperhatikan apa yang dikatakan oleh hati yang kekanak-kanakan di dalam diri. Kita tidak boleh merasa malu dengan keberadaannya. Kita tidak boleh membiarkan hati yang kekanak-kanakan merasa takut, sendirian, dan tidak pernah didengarkan. Kita harus mengizinkannya mengendalikan diri, karena hati yang kekanak-kanakan tahu jika setiap hari di kehidupan itu berbeda. Dia harus merasa dicintai, dengan begitu kita akan bahagia walaupun orang lain melihat diri kita konyol.”
“Aku masih tidak mengerti, siapakah kamu dan siapakah dia?” Ejekku.
“Aku adalah pelayan bagi lelaki tua itu. Dan dia yang kalian sebut dengan pawang hujan. Dia memiliki pekerjaan khusus untuk mengusir hujan. Ketika melakukan pekerjaan, dia harus berhati-hati agar tidak menyentuh air sebelum, selama, dan setelah pekerjaannya selesai. Dia tidak mandi, dia makan dengan tangan yang tidak dicuci, dia tidak minum apa-apa selain anggur palem, dan jika dia harus menyeberangi sungai maka berhati-hati lah agar tidak masuk ke dalam air. Dahulu, dia sering juga mempekerjakan seorang manusia entah perempuan atau lelaki. Tetapi manusia setiap kali selalu ceroboh dan menggagalkan prosesi pengusiran hujan. Dia pun sudah tak percaya lagi kepada manusia untuk dijadikan pelayan. Lantas dia pun mendapatkan wangsit dari leluhur untuk mencari seorang peri untuk dijadikan bayangnya sekaligus pelayan. Dan dia mencari peri sampai ke tanah Toradja. Di sanalah dia berhasil membungkusku dan menjadikanku sebagai pelayan bayangannya.”
Seringkali aku menganggap bayangan adalah jiwa, atau bagian penting dari tubuh, dan akan merasakan sakit apabila bahaya terjadi padanya, apabila diinjak-injak, dipukul, atau ditusuk, seolah-olah sakit itu terjadi pada tubuhku; dan jika bayangan terlepas dari tubuh sepenuhnya, aku akan mati. Pernah aku membicarakan keyakinan ini pada Juna, lalu dia berkata, “Bro, jangan terlalu banyak makan buku lah! Tuh otakmu mulai sinting. Dan jika betul bayangan terhubung langsung dengan badan, kau akan merasa hangat sekarang?”. Aku tidak mengerti dengan pertanyaan yang diajukannya, tetapi dia menunjukan bayanganku yang seolah dirakulnya dengan mengangkat kedua mata. Kami pun lanjut berkelakar.
Dan kini aku baru tahu bahwa bayangan dapat terbuat dari seekor peri.
“Kau belum juga menjawab apa tujuanmu membawaku ke sini?”
“Belum saatnya, Sobaraku. Belum saatnya.” Jawabnya.
“Lantas kemanakah semua pakaianku? Pertanyaan itu aku ajukan ketika tubuh siuman merasa kedinginan ketika angin kencang mulai masuk melewati celah gubuk kayu yang penuh dengan kabut awan.
“Kau basah kuyub, dan semua pakaianmu ada…. sebentar, Sobaraku.” Dia pun bergegas mengambil empat helai sayap yang tersimpan di dinding dekat jentera mini di dekat dipan kayu tempat tidurku tadi. Aku berpikir itu hanya sarang laba-laba yang menkilap yang ditinggalkan empunya. Lalu berdengung kencang ke balik telari kayu untuk membawa dan memegangi tangan kanan dengan sebungkus daun dan kulit kayu dan tangan kiri dengan jeruk nipis, lalu membuka pintu gubuk keluar.
Aku pun mengikuti kemana arah dia melesat pergi. Awan hitam basah rupanya muncul di atas langit kami. Kulihat, dia mengambil jeruk nipis dari tangan kiri dan meniupnya ke arah awan hitam basah di langit. Bulatan jeruk nipis menjadi sangat kering, dan hancur menjadi serpihan serbuk yang merelap-relap membubarkan awan hitam basah. Seperti halnya seekor capung yang tengah berdiam di satu titik dengan kepakan-kepakan sayap dan butiran debu yang merelap-relap di atas langit, aku mulai membiarkan hati kekanak-kanakanku meninabobokan jiwa. Aku mulai merasa keajaiban itu ada nyata di dunia.
Perlahan turun dari langit bagaikan dewi yang muncul dari sebuah cahaya suci, dia pun menghampiriku. Saat ini angin bertiup ke arah yang menguntukan bagiku, aku merasa hangat dengan harum jeruk nipis mengisi udara. Dia mengitari gubuk yang sudah reot dan kembali padaku dengan membawa semua pakaianku, dan juga jaket Levi’s bergambar setangkai mawar merah di punggungnya. Seperti nasib yang diberikan Tuhan, angin tidak dapat diduga ke manakah akan berhembus, tetapi aku mulai merasakan angin beraroma manis seperti permen kapas mulai memikatku, seperti nasib Tuhan yang baik.
“Kau ingin masuk dan meminum coklat hangat?” Dia berkata mencoba mengalihkan binar mataku.
“Tidak,” jawabku, “Aku hanya ingin kau menjawab semua pertanyaanku.”
Sambil berjalan masuk, menyimpan sayap-sayapnya, dia pun menuangkan coklat hangat ke dalam cangkir dan memberikannya kepadaku. Aku mendekap cangkir itu dan meminumnya sehingga tersisa seperempat di dasar cangkir. Aku mencoba menawarkan, namun dia menggelengkan kepalanya. Serentak aku membuang sisa coklat di dalam cangkir ke atas api kecil di tungku pusat rumah. Dengan segera hujan turun dalam bentuk lembaran-lembaran di atas langit kami.
“Bodoh!” Hardiknya padaku.
Dia pun segera berlari mengambil sayapnya dan ingin segera melesap kembali keluar. Tetapi pintu tiba-tiba terbuka kencang, dia pun terpelanting dan jatuh menimpa tubuhku. Lelaki tua yang tadi merajam mantra berdiri tegap sejajar pintu masuk. Dengan mata yang merah seperti tomat ceri, lelaki tua itu menatapku tajam. Segera layaknya banteng yang bertanduk dia menyeruduk tepat di depanku dan menghantamkan bogem mentah tepat di wajahku.
Kembali, aku berbaring di tempat tidur yang terbuat dari dipan kayu dengan menahan berat kepalaku. Kali ini rasanya tulang hidungku telah hilang, dengan kedua tangan rasanya ingin segera memeriksanya. Tetapi kedua tanganku terikat di atap dipan kayu seperti patung yesus, begitu pun dengan kedua kakiku – terikat kencang.
“Sudah kukatakan kepadamu, jika tumbal manusia itu tidak boleh kau lepaskan! Kau tahu jika kita sedang melangsungkan ritual mengusir hujan, jaga baik-baik mangsamu! Jika sudah begini, kita juga yang repot dan pelanggan akan memotong upahku, atau tidak dibayar sama sekali. Dan kau akan aku jadikan pelayan seumur hidupmu.”
“Maafkan saya, Ki.”
“Sudah! Lekas sana siapkan prosesi selanjutnya. Ikat mangsamu kuat-kuat. Aku tidak mau mengecewakan pelangganku dan kepercayaannya. Kau tahukan betapa tinggi nilai kepercayaan bagi kita?”
Lelaki tua itu duduk kembali di atas tikar di balik jeruji kayu kamar, dan di depannya terdapat lampu minyak yang lebih besar, mengucapkan doa kembali, tukang sihir itu kembali memandang ke atas, dan membakar dupa beberapa lagi.
“Dodola cepat bawa kulup itu!” Teriak lelaki tua itu.
Aku mengitari sekeliling untuk mencari peri itu, dan rupanya dia telah mempersiapkan prosesi lain dengan membawa bengkok kayu dan cawan ketika menghampiriku.
“Apa yang ingin kau lakukan?” Tanyaku ketakutan melihat irisan kayu bengkok seperti panah runcing untuk menghunus tubuhku.
Aku melihat air matanya berjatuhan ke atas tanah, “Kau ingin membunuhku?” Dia pun diam. Dan meletakan semua peralatan ritualnya di atas meja di sampingku. Pergi meninggalkan ruangan.
“Ki, aku tidak mampu. Aku tidak ingin dia membenciku.”
“Bodoh!” Suara barang nyaring sekali terjatuh seperti lemari yang ambruk. Rupanya peri itu tersungkur begitu jauh karena dihembaskan lelaki tua.
“Oh! Gusti pemberi hujan. Berikan…... ” Lelaki tua mulai merapalkan mantra. Peri pun memohon untuk menghentikan mantera yang sedang berlangsung.
“Baiklah, Ki. Saya akan melaksanakan.” Katanya dengan menahan sakit seluruh tubuhnya akibat dihembaskan lelaki tua itu.
Perempuan itu kembali ke tepi dipan, aku meronta dan memekik. Tali ikatan pada kedua tangan dan kaki makin sempit, dan dia mengambil sumpal untuk meredam teriakanku.
“Ini salahmu, Sobaraku. Jika kau tidak membuang coklat ke atas api hujan deras pasti tidak akan datang. Jeruk nipis dan kayu kering tidak mampu lagi mengusir hujan. Kami butuh darah dan kulup lelaki untuk menghentikan hujan yang terlanjur turun dengan deras.
Aku beritahukan sesuatu: bagi Ki Lam, darah dianggap mewakili hujan dan awan. Selama prosesi selanjutnya kau akan melihat dia meletakan dua batu besar di tengah gubuk; Aku dan Ki Lam akan berdiri untuk mengumpulkan awan dan menunjukkan hujan. Kemudian aku akan membawa kedua batu yang telah belumuran darahmu sekitar sepuluh atau lima belas mil dari sini, dan menempatkannya setinggi mungkin di pohon tertinggi. Sementara itu, Ki Lam akan mengumpulkan kayu kering di gubuk ini, menumbuknya dengan baik, dan melemparkannya ke dalam lubang air terjun biru tua.
Burung-burung yang menyebabkan awan muncul di langit. Terakhir, Ki Lam mengelilingi gubuk, membungkuk, menundukan kepalanya, seperti domba jantan. Mengulangi proses pengumpulan kayu kering dan menumbuknya sampai gubuk hancur. Dalam melakukan hal ini Ki Lam menggunakan tangan atau lengannya; tetapi ketika kayu yang lebih berat tetap utuh, Penghancuran gubuk dengan kepala melambangkan penindikan awan; jatuhnya gubuk, jatuhnya hujan. Jelas juga, tindakan menempatkan tinggi di pohon dua batu, yang berdiri untuk awan, adalah cara membuat awan nyata untuk naik di langit. Dan semua akan menghilang. Awan hitam basah dan gubuk ini pun akan menghilang.
Aku diberitahukan Ki Lam bahwa kulit khatan yang diambil dari pemuda yang disunat sepertimu memiliki kekuatan besar menghentikan hujan. Oleh karena itu para pawang hujan selalu menyimpan stok kecil kulit khatan yang siap digunakan. Mereka menyembunyikan dengan hati-hati, dibungkus bulu dengan lemak anjing liar dan ular karpet. Ketika upacara selesai, kulup dikubur, kebajikannya habis.
Setelah prosesi selesai hujan turun, beberapa pawang hujan selalu menjalani operasi bedah, seperti pemotongan kulit dada dan lengan dengan batu yang tajam. Luka kemudian disadap dengan tongkat kayu datar untuk meningkatkan aliran darah, dan oker merah digosokkan ke dalam luka. Beberapa hari kemudian bekas luka kering. Alasan kuat diduga olehku pawang hujan melakukan pratik ini adalah bahwa mereka senang dengan hujan, agar kestabilan tercipta kembali dan ada hubungan antara hujan dan bekas luka. Sesuatu yang menentang alam mesti ada timbal balik kepada Tuhan. Dan darah yang mengalir pada luka dapat melambangkan hujan. Lalu kau bertanya bagaimana nasibmu? Apakah kamu bakal menghilang bersama awan gelap, gubuk reot, dan juga aku? Baiklah Aku akan memberitahukanmu sekarang. Kami kehabisan kulup pemuda, dan hanya kaulah satu-satunya jalan keluar dari masalah ini. Siapkah kau mengorbankan hal yang berharga darimu untukku?”
Aku terus mengerang. Ikatan pada lengan dan kaki pun semakin kencang saja, seperti sihir jika aku memberontak terus. Perempuan itu pun mendekat siap melakukan prosesi khitan liar padaku.
“Tenang, Sobaraku. Prosesi ini tidak menyakitkan. Kau hanya akan merasa sedikit luka kaku dan sakit di hari berikutnya.” Suaranya semakin kabur lalu ruangan mulai gelap di sekelilingku.
Aku terbangun ketika Sarah menguncang-guncangku. “Ayo, minum!” Sarah berkata. “Lekas, minum.”
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tidak memiliki tenaga untuk menolak tawaran. Aku membuka mulutku dan menelan air hangat. Sarah menyelimutiku dengan jaket bulunya.
“Minumlah!” Desaknya.
Tanpa menyadari apa yang telah terjadi, aku mematuhinya dan merasakan nyeri di pusat kelaminku. Lalu aku memejamkan mata. Aku bangkit dari tanah di tepi air terjun biru tua. Kepalaku pusing. Potongan-potongan peristiwa tadi muncul dalam ingatan, aku berharap peri itu tak pernah menemukanku kembali.
1. Jargon yang sering diucapkan Kasino Warkop kepada Dono Warkop.
2. Kisah siput diringkas dari Kisah Fabel untuk Anak, karya Betty Veve.
3. Ketiadaan adalah salah satu judul puisi karya Pablo Neruda
4. Frasa yang diambil dari cerpen ‘Keris Lancip Putri Nglirip’ karya Daruz Armedian.
5. Nyanyian doa orang-orang Yunani dari Thessaly dan Makedonia, ketika kekeringan telah berlangsung lama.
bagus ceritanya hadi, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)