Read More >>"> Sweet but Psycho
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sweet but Psycho
MENU
About Us  

Rinai hujan telah membasahi bumi sejak sore hari tadi. Hingga kini rotasi jam telah sampai diseperempat malam. Aku di sini—di rumahku—duduk bertiga dengan teman-temanku. Sekadar mengobrol ataupun bermain-main, padahal esok hari kami harus ke sekolah. Tidak masalah, ini masih tahun kedua di SMA.

 

Benda persegi panjang 40 inch itu sedari tadi menanyangkan tayangan random yang tak jarang kami abaikan. Ya, dinyalakan sekadar untuk membunuh kesunyian. Namun, kini ada satu tayangan yang menarik kami untuk memperhatikannya. Dikabarkan ada sebuah pembunuhan di kota sebelah tempat tinggal kami. Baru saja terjadi—ah, atau mungkin beberapa saat yang lalu. Asumsi-asumsi tak bertuan kemungkinan besar kini bersarang di pikiran Yuna dan Aeri, begitu juga aku.

 

“Bukankah itu menakutkan?” sang pemilik nama Yuna berceletuk, memandang kami.

 

Aku mengangguk, sementara Aeri membenarkan. Sejujurnya itu bukan menakutkan, tapi lebih ke mengkhawatirkan. Aku pikir begitu. Jarak rumahku dengan tempat kejadian, serta pelaku yang masih berkeliaran. Itu yang mengkhawatirkan.

 

Pembawa berita masih membacakan liputannya. Pembunuhan itu—seorang putri direktur perusahaan besar menjadi korbannya. Bekas sayatan juga tusukan menjadi temuan para polisi yang menangani. Satu hal lagi, kuku-kuku gadis itu telah dihias cantik dengan darahnya sendiri. Apa itu terlihat seperti ulah gadis itu sebelum mati? Tentu bukan, itu ulah sang perantara keji pemutus nadi.

 

——

Yuna dan Aeri telah kembali ke rumah masing-masing. jaraknya memang tidak dekat dengan rumahku. Dan kini aku kembali sendiri. Ya, rumah ini hanya kuhuni sendiri. orang tua? Entah di mana mereka. Simple saja, anak ‘tak diinginkan’ sepertiku mana mungkin mereka akui. Begitu menyedihkan, meski kasih sayangnya kurindukan. Tapi tunggu, jangan kasihani aku berlebihan, seolah hidupku sekarang tiada kasih sayang. Aku masih punya seseorang yang berharga di sini. Lelakiku yang selalu ada untukku, selalu menjagaku. Kuyakin itu. 

 

Malvian Jeno, pemuda dengan segala kelebihannya. Tampan? Tentu saja. Garis wajah menawan yang patut dibanggakan semua orang. Tubuh yang proporsional. Kecerdasan yang tak bisa dibilang rendah. Semua bisa Jeno miliki, tak perlu ia merengek memintanya. Jujur, dia terlampau sempurna untukku. Tapi dengan tak tahu dirinya aku masih bernyali mendampinginya. Mau bagaimana lagi, aku hanya punya dia. Begitu juga dengan pemuda itu. 

 

Ya, Jeno masih memiliki satu kemiripan denganku. Kesepian. Meski ia selalu tersenyum, terlihat bahagia dengan teman-temannya. Tapi ketika sendiri, ia benar-benar akan merasa sendiri. Terutama ketika di rumah. Keluarga? Tidak ada. Ayahnya telah tiada karena kelakuan istri yang tidak benar. Dan Jeno anak tunggal. Untuk alasan itu, kami saling membutuhkan. Sebagai teman hidup tanpa campur tangan orang lain. 

 

Bagai piringan lagu yang diputar berulang, semua berjalan seperti biasa. Menghabiskan malam bersama, sekadar melalui chat, ataupun voice call. Tapi tidak dengan video call—ah tepatnya aku yang tidak terlalu suka melakukan itu. Dan dia mengerti. Sungguh, dia selalu memahamiku. 

 

"Kau sudah makan?"

 

Suara itu, aku sangat menyukainya. Ucapan sederhana semacam itu malah membuatku terasa nyaman. Aku suka. Sungguh. 

 

"Iya, tadi aku membuat nasi goreng dengan Yuna dan Aeri. Kamu sendiri bagaimana?"

 

Sekilas kudengar Jeno menghela napas. "Kenapa?" tanyaku kemudian. 

 

"Aku juga mau makan masakanmu. Aku tidak mau tahu, besok kau harus ke rumahku dan membuat makanan untuk suamimu ini, Jisea."

 

"Hei, siapa suamiku?"

 

"Malvian Jeno."

 

"Kau bahkan belum melamarku."

 

"Tunggu saja, besok aku akan melamarmu."

 

"Bagaimana jika aku tidak mau?"

 

"Kau tak bisa menolaknya."

 

"Bisa saja."

 

"Kalau begitu aku langsung menikahimu besok."

 

"Hei stop! Tugas sekolah masih menumpuk Jen."

 

Dan di seberang sana, pemuda itu tertawa. Aku senang mendengarnya. Senyumku pun mengembang, membayangkan tawa manisnya. Membuatku ingin selalu memandang dirinya—selalu di sisinya. 

 

"Jisea," suara lembut Jeno memanggil. Terdengar serius. 

 

"Kenapa?" tanyaku. 

 

"Jangan berteman dengan dua perempuan itu."

 

Kalimat itu membungkamku sepersekian detik. Lalu tawaku keluar—terdengar hambar memang. "Maksudmu Aeri dan Yuna? Itu  tidak lucu Jeno. Kenapa kamu bercanda seperti itu?" kataku. 

 

"Aku serius."

 

"Serius?"

 

Hening sejenak. Kami sama-sama diam. Tak tahu hendak berkata apa lagi padanya. Sangat tiba-tiba ia berucap seperti itu. 

 

"Jen—"

 

"Lupakan saja."

 

"Kau marah?"

 

"Aku tidak marah, sungguh." 

 

Jawaban Jeno menenangkan meski aku tak tahu alasan dia berkata seperti itu. Mungkin memang hanya bercanda. Jam pun berotasi pada beberapa angka, percakapan berakhir dengan ucapan selamat malam darinya. Tak usah muluk-muluk, cukup sederhana saja, itu sudah membuatku tidur nyenyak. 

 

Tapi tunggu, ketika aku menoleh ke arah jendela, lagi-lagi ada satu cahaya terang yang mampu menembus tirai tipis kamarku. Hampir satu minggu ini. Bukan cahaya bulan, sebab yang satu ini ada di bawah sana—di sebuah rimba kecil belakang rumahku. Semacam sorot ponsel. Si empunya pun aku tidak tahu. 

 

Sebuah selimut tebal kuraih guna bersembunyi. Memikirkan segala asumsi. Lalu pada detik kesekian kutengok kembali. Dan si cahaya mulai meninggalkan tempat. Sedikit tenang. Meski tidurku mungkin tak nyenyak lagi.

 

——

 

Sang surya tidak merekah sempurna. Mengingat ini memang bukan musim yang cerah. Terkadang kabut tipis menyelimuti kota, terkadang hujan yang membasahinya. Aku suka suasana semacam ini. Karena aku memang tak suka cuaca panas. 

 

Aroma kelas dengan segala eksistensinya kembali ku singgahi. Menit selanjutnya aku duduk di bangkuku. Yuna dan Aeri belum datang. Sekadar iseng menoleh ke luar jendela, dari tingkat tiga ini kulihat Jeno berjalan dengan satu tali tas di pundaknya. Dia tidak sendiri, tapi bersama temannya. Tersenyum entah membicarakan apa. Senyuman yang membuat matanya menyipit adalah salah satu adiksiku. 

 

Pada jam-jam berikutnya, rutinitas menimba ilmu berlangsung seperti biasa. Tidak ada yang spesial. Tidak ada yang menarik. Tapi tetap saja, mau tidak mau harus diperhatikan. Begitu kan sistem yang berlaku?

 

Membosankan, ditambah tidak adanya Jeno di sini. Tahun lalu aku masih beruntung, menghabiskan satu tingkat dengan lelakiku. Ah aku baru ingat saat itu dia belum menjadi milikku. Jika dihitung hubungan kami baru akan menginjak bulan kedua minggu depan. Dia yang pertama bagiku, tapi kudengar aku memang bukan yang pertama sebagai pendampingnya. It's okay, tidak masalah. 

 

 

Pada turbulensi selanjutnya sebuah tepukan membuyarkan lamunanku. Itu dari Yuna dan Aeri. Mereka mengatakan saatnya istirahat. Tunggu, sudah berapa jam pelajaran kulewatkan? Astaga! Selama itukah aku melamun? Baiklah mari kembali.

 

Istirahat pertama. Kami bertiga menyatukan meja beserta kursinya. Sekadar mengusir kebosanan dengan gurauan atau desas-desus yang beredar. 

 

"Hei, berita pembunuhan kemarin bagaimana kelanjutannya? Apa pelakunya sudah tertangkap?" dengan wajah khawatirnya Yuna bertanya. 

 

"Kupikir tidak akan semudah itu." Aku pun menyahutnya. 

 

"Ya, apalagi jika itu pembunuhan berantai." Aeri menimpali. "Tapi, baru kali ini aku mendengar pembunuhan model begitu. Maksudku, pembunuhnya mengerti tentang manicure. Apa mungkin pembunuhnya perempuan?"

 

"Ah, entahlah. Sudah jangan dibahas, menakutkan sekali." Lagi-lagi Yuna menunjukkan sifat pelasinya. Kami tahu betul dia benci hal semacam itu, walau awalnya ia yang mulai membicarakannya. 

 

Kemudian, demi kenyamanan Yuna, topik pembicaraan diubah. Hal-hal random pun dibahas untuk menghabiskan waktu. Begitu hingga jam istirahat berakhir.

 

——

 

Senja tak terlihat cerah kala rintiknya beradu dengan tanah basah. Di bawah payung biru tua aku melangkah—demi menepati janji pada Jeno. Ya, aku sedang menuju rumahnya, sekadar berkunjung dan membuatkannya makanan sederhana nantinya. Kami tidak pulang bersama, karena aku yang masih harus memenuhi jam kerja part time di kafe. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Seperti Jeno yang tak jarang menyanyikan lagu di sana, bersama teman-temannya. 

 

Detik ini di depan bangunan antik langkah berhenti. Ketukan demi ketukan dikumandangkan—berharap Jeno segera menerimaku. Satu alasan untuk hal itu, di luar ini begitu dingin.

 

Benar saja, si tampan kini telah membuka daun pintu. Kemudian mempersilakan masuk diiringi senyuman hangat dan satu tangannya yang meraih sekantong bahan masakan yang kubawa. 

 

"Maaf kau harus datang saat hujan." Jeno yang memimpin jalan menuju dapur berkata.

 

"Hm, aku sangat baik bukan?" kataku sedikit bergurau. 

 

Kalimat itu seketika membuat Jeno berbalik. Tanpa berhenti dia melangkah mendekatiku. Lalu pada detik berikutnya tatanan rambutku telah dirusak olehnya. "Ya kau sangat baik, nona Anastasia. Jadi sekarang cepat buatkan aku makan."

 

Gerutuan kecil secara otomatis keluar dari mulutku. Tidak dihiraukan. Kakiku pun segera menyusulnya ke dapur rumahnya. Tapi, sebelum bergelut dengan peralatan dapur, pakaianku harus diganti. Sebagian basah oleh air hujan. Beberapa potong pakaian telah Jeno tawarkan padaku sebelum akhirnya benar-benar kugunakan. 

 

Pada rotasi jam berikutnya aroma percampuran beberapa bumbu masakan menguar—mengalahkan petrichor di luar sana. Lebih dari itu, tayangan favorit yang diputar si empu kalah menarik dengan apa yang ada di panci penggorengan. Jeno meninggalkan kegiatannya di ruang tv. Dengan larian kecilnya ia menuju dapur. Berdiri di sampingku dengan mata berbinar menatap nasi goreng yang hampir matang.

 

"Tunggu sebentar Jeno." kataku seperti kepada seorang anak kecil. 

 

"Kau tau anjing lapar tak punya kesabaran. Dan saat ini aku adalah anjingnya. Guk!" Jeno membuatku tersenyum lagi dan lagi. Kali ini dengan tingkahnya yang berusaha menirukan seekor anjing.

 

Peristiwa selanjutnya adalah dia yang kupaksa kembali ke ruang tv. Dengan langkah berat ia pun menurut. Sangat mengganggu ketika dia terus menanti makanannya di dekat penggorengan. Oh, tunggu, satu alasan lagi. Jarak kami yang terlampau dekat membuat jantungku tak sehat. 

 

Nasi goreng itu—aku membaliknya beberapa kali, mencicipnya, sebelum sampai pada tahap akhir yaitu menuangnya di atas piring. Apron maroon baru saja kulepas kemudian berlalu membawa sepiring nasi goreng tersebut pada Jeno. 

 

"Sudah siap." Kataku seraya meletakkannya di meja depan Jeno. 

 

Netra lelaki itu kembali berkeling. Melirik pada si objek, meneguk saliva sejenak. Tapi manuver selanjutnya bertentangan dengan dugaan. Jeno kembali memandang tv dengan satu tangan yang tak beranjak dari bawah dagu. 

 

"Terlalu lama."

 

Kalimat singkat mengenai sasaran. Aku diam. Lantas mengambil hasil masakanku. "Baiklah akan kuhabiskan sendiri." Satu sendok tersuap ke mulutku. Lirikanku menangkap tolehan Jeno dengan wajah terkejutnya. 

 

"Hei!" gertaknya yang menggemaskan. 

 

"Kenapa? Kau tidak mau kan? Tidak apa."

 

Perlahan Jeno merubah posisi duduknya. Ia menghadapku. Satu telunjuknya bermain di tanganku yang memegang piring. Aku berusaha mengabaikannya tapi tentu tak bisa. 

 

"Satu sendok."

 

Ucapan Jeno terdengar pelan. "Apa?" tanyaku. "Kau bilang apa?"

 

"Berikan aku satu sendok. Aku lapar Jisea." 

 

Jeno yang malang. Aku puas mendengarnya sekaligus kasihan padanya. "Baiklah, karena aku memang baik hati jadi kuberikan bonus, satu piring."

 

Lelaki itu tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat. Berikutnya ia membuka mulut dan berkata "Aa..."

 

"Makanlah sendiri, sayang." ucapku seraya menaruh piring di tangannya. 

 

"Kau bilang apa tadi? Sayang?" tanyanya. Ah malu sekali setelah mengucap kata itu. Padahal hanya dengan nada pelan. 

 

"Sayang? Aku tidak mengatakan itu." elakku. 

 

"Ah lucu sekali kau memanggilku sayang." Ia terkekeh. Jeno yang sudah kembali duduk bersandar itu menatap lurus ke depan. 

 

"Hei, cepat habiskan makanmu!" perintahku. Dan sebuah senyuman mengejek malah kuterima sebelum akhirnya ia menyantap nasi goreng itu. 

 

Atensi kami berganti kala televisi menayangkan sebuah berita. Terdengar menarik hingga membuatku beralih untuk duduk di atas karpet dan meraih remote guna menaikkan volume tv. 

 

Pembunuhan. Lagi-lagi pembunuhan terjadi. Hari ini pada jam-jam anak SMA pulang sekolah, naasnya seorang gadis menjadi korban. Tak perlu disangkal, semua orang pasti yakin bahwa ini pembunuhan berantai, dilihat dari jejak-jejak yang ditemukan—cat kuku darah dan berbagai luka tusuk di tubuh korban. 

 

Seketika aku bergidig ngeri melihat kuku-kuku korban yang ditampilkan dalam foto yang tidak terlalu jelas. Begitu juga keterangan bahwa sang pelaku masih berjalan santai di luar sana. Berkelana mencari mangsa demi kepuasan semata. Mengkhawatirkan sekali. 

 

Saking seriusnya menatap layar televisi, sebuah pelukan kecil terasa begitu mengejutkan bagiku. Dengan pelan tangan Jeno melingkari leherku dan kepalanya telah menempel di pundakku. "Berjanjilah kau akan baik-baik saja." ucapnya dengan lembut. 

 

Mendengarnya, hatiku berdesir. Aku sangat merasa bahwa dia mengkhawatirkanku. Jeno menyayangiku. "Aku akan selalu baik-baik saja. Aku punya kamu yang akan menjagaku. Bukankah begitu?" jawabku. 

 

"Tapi tidak jika kau di rumahmu. Aku takut terjadi sesuatu padamu."

 

"Tidak akan, ok? Tenang saja." 

 

——

 

Hari berganti, rutinitas sudah mirip seperti rotasi jam yang terus berputar—sekolah, part time, rumah. Hanya terkadang kusinggahi rumah Jeno kala hendak pulang ke rumah. Dan siang ini, di tempat teramai yang disebut kantin tengah kunikmati makan siangku bersama Jeno. Tak peduli dengan tatapan sekitar—ah tepatnya ditujukan pada pemuda Jeno. Mengagumi ketampanannya, memujanya bak dewa. Berlebihan memang, tapi jujur pernah kulakukan, dahulu, sebelum dia menjadi milikku. 

 

Seseorang menyatakan bahwa kepercayaan adalah kunci sebuah hubungan. Pembacaan sekilas membuat kalimat itu tak bermakna. Tapi sebuah pemahaman menimbulkan kesan atas pernyataan tersebut. Pembangunan hubungan sama saja dengan pembangunan kepercayaan. Untuk saat ini aku hanya perlu percaya padanya, pada Jeno. Percaya bahwa aku miliknya, satu-satunya. Begitu juga sebaliknya. 

 

Malvian Jeno bukan tipikal lelaki yang masih memperhatikan orang lain ketika bersamaku. Denganku ya denganku. Fokusnya hanya untukku, ketika sedang berdua. Aku tahu itu, belum lama aku sadari. 

 

Sangat disayangkan, ada satu hal yang menang menyaingiku sebagai kekasihnya. Adalah makan. Lihat saja sekarang, di tengah banyaknya manik obsidian yang memandang, Jeno menyantap lahap makan siang dengan tak acuhnya. Bahkan sejak santapannya datang aku telah terabaikan. Tidak masalah. 

 

"Kenapa? Kau mau?" ucapannya mengejutkanku. 

 

Mataku mengerjap beberapa kali karena tertangkap basah sedang memperhatikannya. "Ah tidak-tidak. Untukmu saja." balasku. 

 

"Mm, ok. Kau juga makanlah makananmu, mungkin sebentar lagi sudah dingin."

 

Anggukan kecil kulakukan sebelum akhirnya mulai mengaduk makanan. Tak sempat satu sendok tersuapkan, sebuah panggilan menginterupsi.

 

"Jisea!"

 

Menerobos beberapa siswa, Yuna dan Aeri menghampiri. "Jisea, kau harus pergi dengan kami, sekarang." Sang gadis berkuncir mengatakannya. Yuna.

 

"Kemana? Aku sedang makan." jawabku. 

 

"Tapi kau masuk daftar remedi pak David."

 

Mendengar nama guru killer itu tanpa sadar mataku melebar kala menatap kedua temanku. "Kau serius?! Untuk ulangan matematika minggu lalu?"

 

Yuna mengangguk dengan cepat, begitu juga Aeri di sampingnya. "Aku juga, tapi Aeri tidak." Yuna memutar bola mata sebelum kembali memaksaku mengikuti. "Ayo Jisea, harus dikumpulkan sebelum bel."

 

Jeno! Ah aku lupa sejenak. Kala aku menoleh, dia tengah menatapku. Aku tahu ada artian di manik matanya, sekaligus ekspresinya. Semacam enggan mengizinkanku pergi namun tak ada alasan yang memungkinkan. Dan pada akhirnya dia menyuruhku pergi. "Maaf Jeno. Kita bertemu sepulang sekolah ya."

 

"Aku mengerti. Fighting!"

 

——

 

 

"Hei, gadis-gadis yang terbunuh itumereka adalah mantan pacar Jeno. Semua."

 

Satu kalimat dari mulut Aeri tadi siang terus berputar di dalam kepalaku. Ingin sekali menepisnya. Tapi entah kenapa sangat sulit. Kenapa aku tidak tahu semua ini? Di sini aku merasa menjadi paling bodoh. Jeno tak pernah memberitahuku. Berita seperti ini malah kudapat dari orang lain. Dia memang tak pernah mengungkit masa lalunya, apalagi tentang para mantan. 

 

"Ah, Jeno benar-benar—"

 

Tunggu. Hampir lupa bahwa aku sedang di jalan pulang dari tempat kerja part time. Jam telah menunjukkan pukul delapan malam dan aku belum sampai rumah. Bodoh sekali, kaki ini harus bergegas. 

 

Pada langkah cepat kelima, tiba-tiba tubuhku meremang. Langkahku berhenti. Kupikir sesuatu ada di belakang. Tidak jauh, tidak juga dekat. Entah seseorang atau sesuatu yang tak dapat kulihat. Aku takut, tentu saja. 

 

Sejenak kupejamkan mata, menelan atmosfer gelap dalam-dalam, lalu kembali berjalan—dengan cepat tentunya. Berikutnya, telingaku menangkap suara telapak kaki di belakang. Kini kuyakin dia manusia. Tapi dengan alasan apa mengikuti aku? Entahlah. Aku butuh seseorang saat ini. Jarak 500 meter sangat jauh kulalui sendiri, apalagi dengan sesuatu yang mengikuti. 

 

Jeno. Satu nama yang langsung terlintas begitu saja. Aku ingin meneleponnya. Menghidupkan speaker keras-keras guna membuatku lebih aman, meski tidak secara langsung. 

 

Layar ponsel telah menunjukkan namanya. Tapi sayang belum juga diangkat. Jeno kumohon cepatlah! Jika sekali lagi tak diangkat mungkin aku akan menangis. Sungguh aku takut sendiri di jalan ini. Ini bukan jalan raya dan rumah-rumah sekitar sangat sepi. 

 

"Halo."

 

Ah suara Jeno!

 

"Jeno, syukurlah kau mengangkat. Maaf tiba-tiba menelepon." kataku cepat.

 

"Tidak apa. Kau sudah pulang?"

 

"Jeno kupikir aku sedang diikuti seseorang saat ini." Dengan suara sedikit bergetar aku menjelaskan. 

 

"Sungguh? Kau di mana sekarang? Aku harus ke sana."

 

"Tidak-tidak Jeno, aku hampir sampai rumah. Kau cukup menemaniku dari telepon. Aku akan menghidupakan speaker."

 

"Baiklah."

 

Speaker hendak kuaktifkan, bersamaan dengan pendengaranku yang menajam. Tapi, aku masih melangkah dan tidak kudengar telapak kaki lain yang berjalan di belakangku. 

 

Aneh, apa sudah pergi? Dia tahu aku sedang bertelepon? Padahal suaraku tidak keras

 

"Jisea?"

 

"Hei, Jisea?"

 

"Ah iya Jeno, maaf." Kuurungkan niatku menekan speaker lalu menjawab Jeno yang terus memanggil.

 

"Kau tidak apa-apa kan?"

 

"Iya, kupikir aku tidak diikuti lagi sekarang." 

 

"Benarkah? Kalau begitu bisa kau cepat-cepat pulang?"

 

"Iya-iya baik. Sudah dulu ya, aku akan berlari. Sedikit lagi sampai."

 

"Hati-hati."

 

——

 

 

Pagi yang kelam. Sungguh aku benci permulaan hari ini. Aku benci—pada siapapun itu yang berlagak mendewa. Manusia tanpa hati nurani, menuhankan diri dengan niat terbusuknya. Dia yang telah tega membunuh sahabatku. Aku benci dia. Kuharap hukuman terberat segera jatuh padanya.

 

Sahabatku, Aeri dan Yuna telah pergi. Semalam—tengah malam—di rumah masing-masing tapi dengan pembunuh yang sama. Aku yakin itu, apalagi dengan semua kuku yang telah dihias rapi dengan darah mereka sendiri. Dan bekas tusukannya—ah kejam sekali. 

 

Aeri dan Yuna, mereka gadis yang baik. Mereka teman baikku, selalu membantuku, selalu menemaniku, aku menyesal tak bisa membantunya, tak bisa melindunginya. Belum sempat kubalas semua kebaikannya. Dan sekarang, aku tak punya kesempatan lagi. Aku menyesal, sungguh. Andai rotasi waktu dapat dengan mudah diputar balik, aku akan melakukannya.

 

Di pemakaman, aku tak sanggup melihat orang tua kedua gadis itu yang terus menangis. Terus menyebutkan namanya. Terus memeluk nisan dengan nama pemberiannya yang tertera. Aku tak sanggup menyaksikan kasih sayangnya yang begitu besar tumpah hingga membuatku rindu pada ayah dan ibu. 

 

Aeri dan Yuna, mereka memiliki segalanya. Tapi kenapa? Kenapa seseorang tega melenyapkannya? Kenapa bukan aku saja? Aku yang tak punya apa-apa. Yang hidup sendiri, tersiksa dengan tiadanya orang tua—yang seharusnya menjadi orang terdekat dalam hidupku. 

 

Pada putaran jam selanjutnya, semua kerabat, orang-orang terdekat Aeri dan Yuna telah meninggalkan pemakaman. Dan di sini—di sela-sela tanah tempat beristirahat kedua sahabatku air mata terus mengalir. Meski siang, atmosfer di sini memang tak pernah cerah. Aku takut sendiri di sini, tapi rasa itu seakan lenyap begitu saja. Membuatku enggan meninggalkannya. Enggan pergi dari sisi kawan-kawanku. 

 

Namun, tepukan hangat mendarat dipundakku. Sedikit terkejut sebelum kubuka wajahku yang sedari tadi kututup dengan dua telapak tangan, lalu menoleh padanya. "Jeno," tanpa aba-aba tubuhku memeluk Jeno. Tak lagi kuasa lanjutkan kata-kata sebab tangisku kembali tumpah, di pundaknya. Hingga basah sudah seragam sekolahnya.

 

"Sudah, jangan menangis lagi. Aku di sini." suara Jeno, usapannya di kepalaku, semua tentangnya begitu menenangkan. 

 

Perlahan aku melepas pelukan. Mengusap air mata yang telah memenuhi wajah. Dan telapak tangan hangat Jeno yang masih bertengger di puncak kepalaku. 

 

"Ayo pulang. Kau mau istirahat di rumahku?" tanyanya. 

 

Aku pun setuju. Enggan di rumah sendiri. Enggan larut dalam kesedihan—terus teringat dengan Aeri dan Yuna. Aku harus merelakannya. Meski terasa amat berat. 

 

 

——

 

Hari berlalu, tapi tidak dengan perasaan baru. Semua terasa berat. Atmosfer sekolah—terutama kelas—tak seperti semula. Gelap, dingin, semacam matahari enggan menyinari. Bara semangat tak berkobar. Canda tawa tak dikumandangkan. Semua berduka. Dua mawar telah sirna—dengan cara yang biadab. Tak ada lagi keindahannya, tak ada duri tajamnya. 

 

Langkah terasa berat memasuki ruang kelas, duduk di tempat biasa dengan air muka keruh. Tidak hanya aku. Tapi semuanya. Putaran jam seakan melambat. Satu menit seperti satu jam. Satu jam seperti satu hari. Dan satu hari seperti satu tahun. Apalagi aku yang harus tetap melaksanakan kerja part time di kafe. 

 

Di senja suram dengan ribuan tetes hujan aku terduduk di ruang pegawai—lengkap dengan seragam kerjaku. Rasa kehilangan masih saja menyelimutiku. Karena melamun, suara pintu dibuka mengejutkanku. Manager datang beserta para pegawai lainnya. Juga satu orang asing yang entah kenapa berseragam sama seperti pelayan lainnya. 

 

"Baiklah semua sudah berkumpul dan saya akan memperkenalkan rekan kerja baru kalian." kata manager yang kemudian menepuk punggung lelaki asing bertubuh jangkung itu.

 

"Halo, saya Mark. Saya akan bekerja keras di sini. Senang bertemu dengan kalian." katanya.

 

Tidak buruk. Lelaki itu terlihat ramah dengan senyum yang terus ditampilkannya. Semoga dia benar bekerja keras di sini. Tapi, tunggu, beberapa menit setelah perkenalannya matanya terus menatapku. Membuatku sedikit risih.

 

"Kalau begitu kalian semua segeralah kembali bekerja." Untunglah perintah manager mengalihkan perhatian Mark padaku.

 

 

 

Kebetulan sekali ini hari yang sibuk di kafe kami. Mungkin karena hujan banyak orang berteduh sekaligus mengisi perut. Sangat menguntungkan bagi kami. Walau perlu kerja keras yang lebih. Tidak masalah.  Mark—si pegawai baru—juga terlihat giat bekerja. Tak kalah dengan yang lainnya. 

 

Hingga pada jarum jam tepat di angka sembilan malam, pengunjung mulai beranjak pulang. Menyisakan kami para pelayan—pegawai kafe—dengan peluh yang menghiasi seragam beserta apronnya. 

 

Kegiatan selanjutnya, bersama-sama kami membersihkan kafe. Hanya perlu beberapa menit saja. Lalu, tak segera pulang, usai berganti pakaian aku duduk di satu bangku pengunjung dengan sebuah kaca besar di depannya. Memandang ponsel tanpa ribuan dering notifikasi pesan. Tentu. Sebab biasanya bagian itu dipenuhi oleh Aeri dan Yuna. Kini, tiada lagi. 

 

Pada detik-detik dimana aku kembali hanyut dengan perasaan kehilangan, seseorang tiba-tiba duduk di depanku. Dan fokusku pun teralihkan

 

"Jisea tidak pulang?" tanya Mark yang telah mengganti seragam dengan kaos panjang beserta jeansnya. 

 

"Ah, aku akan pulang." jawabku seraya memasukkan ponsel ke dalam tas sekolah. 

 

"Mau kuantar?"

 

Pertanyaan itu—ah kenapa tiba-tiba? Kami baru kenal beberapa jam yang lalu. Dia terlalu mudah berteman.

 

"Mm, tak perlu repot, aku akan naik bus." Sesopan mungkin aku menolak, karena sepertinya Mark lebih tua dariku. Terlihat seperti mahasiswa, mungkin. 

 

"Tapi ini sudah malam dan aku tak kerepotan sama sekali. Ayo, anggap saja tumpangan teman." ajaknya lagi. 

 

"Tapi—"

 

"Sudahlah ayo!"

 

Diiringi senyumnya, Mark menarik tanganku. Membawaku ke parkiran, memberiku sebuah jaket beserta helm dan berakhirlah aku yang menaiki motor sportnya di jalan pulang. Tentu bersama dia yang mengendalikan. 

 

——

 

 

 

*Author POV

 

Jisea Anastasia hilang. Bagai ditelan bumi ia tak terlihat lagi. Sehari? Dua hari? Tidak. Ini sudah mencapai minggu pertama. Jika kalian berpikir ini adalah akhirnya, itu tidak benar. Malam itu adalah awal dari neraka dunia yang segera gadis itu rasakan. 

 

Berita hilangnya tentu telah meluas. Teman sekolah banyak yang mengkhawatirkan. Apalagi kekasih hatinya. Malvian Jeno, lelaki yang penuh keceriaan telah meredup. Merenggut senyum di sekolah—di luar rumah. Bahkan dirinya tak ada semangat lagi di tempatnya menimba ilmu. 

 

"Karena sumber semangatku ada di rumah."

 

Bipolar, posesif, psikopat, apa lagi yang harus Jeno sandang? Dia adalah manusia yang diciptakan dengan otak brilian dan begitu mudah merangkap berbagai sifat aneh. Tidak lupa dengan cara menyembunyikannya yang apik. 

 

Dan pada malam kelam beriring hujan ini, Jeno memasuki rumah yang setiap waktu tergembok rapi. Senyuman tajam mengembang—mengiringi langkah menuju kekasihnya. Ya, ia tengah bermain petak umpet dengan dunia. Persembunyiannya adalah gudang tua di bawah rumahnya. Itu tidak pernah sepi, karena satu minggu ini telah dihuni oleh gadisnya. Tentu berbagai cicitan dan desisan hewan tak bertuan menepis keheningan gudang itu. 

 

Dentang jarum jam tak bernyawa menggema di ruangan kelam. Suara keran tak dimatikan lamat terdengar, sebab berada di ruang atas. Dari semua keheningan, sepi yang menelingkupi, gadis itu terdiam. Duduk di kursi kayu bersama ikatan kedua tangan di balik badan. Sebuah kain motif bertajuk baby breathe tersumpal, terikat, menenggelamkan suara rintihan sang gadis. 

 

Tuk tuk tuk

 

Pertemuan sol sepatu dengan keramik terdengar telinga. Langkah penuh percaya semakin mendekat. Penyelamat atau penenggelam asa? Siapa yang tahu. Pintu dibuka seiring cahaya terang menyilaukan mata. Seseorang berdiri tepat di ambang pintu. Para raja laba beserta rakyatnya menyingkir dari anak tangga—memberi jalan pada sang dewa. 

 

"Selamat malam, sayang."

 

Suaranya sampai pada telinga sang kasih. Tatapan pertama Jeno langsung menuju target. Netranya tersenyum menangkap wajah yang basah akan air mata, beberapa bercak darah, juga rambut dan penampilan Jisea yang telah diubahnya sesuai keinginan. 

 

Satu pijar dihidupkan, daun pintu kembali dikunci rapat-rapat, dan sang pelaku dengan senang hati berjalan mendekati Jisea. Berikutnya ia berjongkok, sedikit mendongak pada si gadis yang malang.  Tersenyum simpul meletakkan telapak tangan di puncak hulu. "Sayang, coba jawab aku, kau senang di sini?"

 

Dan air mata turun perlahan—sebagai jawaban—diiringi gelengan pelan penuh pelasi. Sang pemberi tanya tertawa pelan, sebelum mengangkat tubuh untuk berdiri. "Kalau begitu akan kuajari caranya bersenang-senang. 

 

Lalu manuver selanjutnya tak terduga. Jemari Jeno menarik kasar helaian surai Jisea. Jeritan si empunya tertahan—membuat tidak menarik bagi Jeno. "Ah aku lupa merobek mulutmu, bukan, maksudku kain di mulutmu. Tenang saja, sayang. Aku akan bermain dengan benar."

 

Seringainya kembali diperlihatkan. Tangannya meninggalkan kepala, membawa beberapa surai lembut yang tercabut sempurna. Kain itu dilepas. Kembali dihirupnya oksigen beserta para debu. Tapi tidak semudah itu. Tenggorokannya selalu tercekat, bahkan udara bagai tak sampai di paru-parunya.

 

"Ah kau tak akan seperti ini jika tidak selingkuh dengan pria itu Jisea—kekasihku."

 

Dikeluarkannya sebuah cutter dari saku celana Jeno. Benda kesayangannya itu kemudian mendarat di pipi Jisea. Tidak, belum ditancapkan, hanya mendinginkan kulitnya. 

 

"Jisea berjanjilah tidak ada teriakan ok?" Suara Jeno masih saja terdengar lembut di telinga Jisea. "Seperti biasa aku hanya meminta sedikit darahmu. Lihat, kuku kakimu belum aku cat, sayang." lanjutnya. 

 

Sekarang terjawab sudah, Jeno adalah pembunuh berantai itu. Tapi untuk apa? Apa alasannya? 

 

Rintihan tangis kekasihnya seakan tak terdengar oleh Jeno. Ia terus berceloteh dengan bahagianya. Memainkan cutter berkarat hingga cairan merah segar nan hangat telah keluar dari pipi hingga leher jenjang gadis itu. Sayatan pertama untuk hari ini, tapi tidak untuk satu mingggu ini. Jika diperhatikan lebih, ribuan sayatan telah terpatri di berbagai bagian tubuh Jisea. Dan seperti janji, tak ada teriakan. Sebab tangan lain Jeno telah membekap mulut Jisea. 

 

"Terlihat segar, tapi sayang aku tidak meminum darah." Jeno pun dengan santainya terkekeh di depan korbannya. 

 

Sembari memercantik kuku kaki kekasihnya, Jeno berbagi cerita. Berbagi rasa kecewa. Siapa lagi jika tidak tentang ibunya. Orang yang telah melahirkannya sekaligus meninggalkannya dengan penuh luka. 

 

Wanita itu—wanita pecinta manicure itu—dialah sebab meninggalnya ayah Jeno. Berkelakuan buruk, bermain pria, bahkan menyakiti anggota keluarga kecilnya, secara nyata—dengan ucapan pun dengan tindakan. 

 

Masa kecil suram bagi Jeno yang malang. Ribuan kata kasar, perihnya sayatan demi sayatan, pukulan, teriakan berat sang ayah, semua bagai asupan sehari-hari. Hingga pada saat dimana sang ayah tersayang memutuskan untuk  menyapa dinginnya lautan, tenggelam lebih dalam bersama luka-luka terbukanya—Jeno menyadari satu hal, ia membenci perempuan. Lalu disandangnya berbagai gelar tertutup sebagai pembalasan dendam pada kaum perempuan. Dengan satu jejak yang selalu ditinggalkannya, cat kuku. 

 

"J—Jeno," suara terbata—serak bagai tak pernah terlintas air di kerongkongan—Jisea berucap. Tentu dengan tetesan air matanya ia melanjutkan kata-kata dari lubuk hatinya yang terdalam. "Aku mencintaimu. Aku hanya memilikimu, Jeno."

 

Deg

 

Hatinya berdesir—hati Jeno tersentuh. Ia mendongak, bertatapan dengan wajah sang gadis. Napas hangatnya menyeruak. Sepersekian detik membuat pemuda itu terlena. Hingga insting tak berperasaannya kembali. Menampik simpati dan tertawa. 

 

"Tentu saja. Kau harus mencintaiku sayang. Karena aku juga mencintaimu." jawabnya. Selanjutnya Jeno mengusap pipi Jisea. Merasakan gerigi kulit hasil cutter berkaratnya. "Kau percaya padaku bukan? Aku juga mencintaimu. Aku selalu menemanimu. Selalu bersamamu, bahkan di jalan, ataupun di rumahmu. Aku mencintaimu. Tapi sayangnya kau berpaling Jisea. Kau selingkuh dengan pria itu."

 

"T—tidak Jen—"

 

Dan robekan panjang menganga di samping mulut gadis itu. Ya, Jeno mempermainkan cutternya lagi. Jeritan Jisea tak tertahan. Kali ini dibiarkan. Toh jangan lupakan hujan deras di luar sana yang dengan gagahnya meredam segala suara. 

 

Darah terus menetes dari mulut Jisea. Jeno tidak peduli. Bukan senang, justru marah. Ia benci dengan elakkan untuk setiap kalimatnya. Benda berkarat di tangannya pun terhempas dengan kasar. Deru napas menggebu. Sang empu bangkit, menapak kasar membelakangi si gadis. Lalu pada langkah kelima dihentikan. 

 

"JISEA!! AKU MENCINTAIMU, JISEA!! TAPI—TAPI KENAPA KAU TAK PERNAH MENGERTI AKU?!!" Pada kalimat terakhir ia teriakkan tepat di depan kekasihnya. Dan sebagai jawaban hanyalah tangisan yang semakin merongrong. 

 

Pada detik selanjutnya, netra Jeno kosong. Aura merahnya sedikit memudar. Langkahnya goyah—mundur perlahan. Detak jantungnya enggan diatur. Berdegup memburu. Membuat Jeno frustasi. Pemuda itu mencengkeram kepalanya, meremat kasar rambutnya. Berikutnya dadanya sendiri yang ia remas dan ia pukuli. Hingga bertabraklah punggungnya dengan sebuah almari usang yang reyot. 

 

Dengan suara parau ia berceloteh. "Aku mencintaimu Jisea. Tidak! Aku tidak boleh mencintaimu!! Ti—tidak boleh, TIDAK!!!" Entah sekuat apa iblis yang merasukinya, Jeno mengambil sebilah pisau di loker penyimpanannya. Kemudian berlari ke arah Jisea. Menabraknya hingga kursi kayu itu terjatuh, bersama sang gadis. Jeno menancapkan pisau tajamnya.

 

"AKH!!!"

 

Satu bola mata yang selalu mengerling cantik telah banjir darah.

 

"Aku tidak boleh mencintaimu!"

 

"AKH!!!"

 

Bola mata kedua bernasib sama. 

 

"Aku tidak sudi mencintaimu!"

 

"AKH!!!"

 

Teriakannya bertalu batuk kesengsaraan. Sebab organ di perutnya telah diobrak-abrik. Mungkin jadi suara terakhirnya. 

 

Jeno masih saja berkata diiringi suara cipratan darah, tusukan pisau yang sampai beradu dengan keramik, potongan-potongan daging pun organ dalam gadis itu yang berceceran.

 

Ada yang aneh. Jeno tidak merasa senang. Sekeras apupun ia menancapkan pisau, ia tidak bahagia hari ini. Dan pada tusukan yang kesekian kali, Jeno melambat. Entah karena apa, tetesan mata mengalir perlahan dari sudut netra merahnya. Jeno tersentak. Aksinya seketika berhenti. Pisau tajamnya terjatuh, beradu menimbulkan suara di lantai. 

 

Perlahan kedua tangan Jeno terangkat. Wajah berantakannya tertutup sempurna. Tak peduli dengan simbahan darah yang sulit tersapu oleh air matanya. Walau semakin menderas. Semakin sakit pula dadanya. Kembali, Jeno menyadari sesuatu. 

 

"Kenapa...ke—kenapa aku mencintaimu?!!" suaranya parau. 

 

Dan tusukan terakhir melintasi jantung Jeno, oleh Jeno. 

 

Selesai

Tags: tlwc19

How do you feel about this chapter?

1 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dinding Hana
286      183     1     
Short Story
DINDING HANA “ Berapa lama lagi?”. Kaktus hancur dengan lumuran salju yang tak bisa dikendalikan lagi. “ Tolong jangan pernah menatapku” berharap tidak akan pernah dikatakan. Tetes-tetes air merah kental dari telinganya, sungguh membuatku kagum. Begitu indahnya ku hidup dalam selimut air selama itu. “ Pergi Kau dari pandanganku!! Sungguh jika ada kelopak mawar putih yang hadir di...
Mawar Merah
347      218     1     
Short Story
Ada apa dengan jalan diujung sana? Siapa yang meletakan bunga mawar itu? Ada apa dengan keduanya? Seorang gadis bernama Aini baru pertama kali mengalami hal-hal diluar akal sehatnya yang sama sekali belum pernah ia alami sebebelumnya. Tidak akan mungkin ia melupakan semua kejadian yang telah dialami, yang mengubah hidupnya menjadi seseorang yang paling bahagia di muka bumi.
25 September
356      236     2     
Short Story
Sekelumit cerita tentang seorang wanita yang merasa ada hal yang aneh dengan kekasihnya. Manisnya cerita mereka malah ditaburi peristiwa menyeramkan di luar nalar. Lalu apa yang terjadi di tanggal 25 September? Ikuti kisahnya dan temukan jawabannya !! Hati-hati dengan orang terdekatmu.
My Halloween Girl
999      531     4     
Short Story
Tubuh Kevan bergetar hebat. Ia frustasi dan menangis sejadi-jadinya. Ia ingat akan semalam. Mimpi gila itu membuatnya menggila. Mimpi itu yang mengantarkan Kevan pada penyesalan. Ia bertemu dengan Keisya dimimpi itu. “Kev, kau tahu? Cintaku sama besarnya denganmu. Dan aku tak akan membencimu,”. Itu adalah kata-kata terakhir Keisya dimimpinya. Keisya tak marah dengannya. Tak membencinya. Da...
Operasi ARAK
288      198     0     
Short Story
Berlatar di zaman orde baru, ini adalah kisah Jaka dan teman-temannya yang mencoba mengungkap misteri bunker dan tragedi jum'at kelabu. Apakah mereka berhasil memecahkan misteri itu?
VALENTINE DEATH
737      412     1     
Short Story
Di hari Valentine, untuk pertama kalinya Bud mendapatkan kado dari seorang gadis. Kado tersebut berupa ipad. Tentu saja Bud senang sekali dan bangga bisa menerimanya. Untuk pertama kalinya juga akhirnya ada cewek yang mau menjadi pacarnya! Gadis tersebut bernama Febi. Ia cantik dan memesona juga seksi menggairahkan. Siapakah gadis itu sebenarnya? Dan mengapa juga gadis secantik itu mau pacaran de...
Heya! That Stalker Boy
521      309     2     
Short Story
Levinka Maharani seorang balerina penggemar musik metallica yang juga seorang mahasiswi di salah satu universitas di Jakarta menghadapi masalah besar saat seorang stalker gila datang dan mengacaukan hidupnya. Apakah Levinka bisa lepas dari jeratan Stalkernya itu? Dan apakah menjadi penguntit adalah cara yang benar untuk mencintai seseorang? Simak kisahnya di Heya! That Stalker Boy
IDENTITAS
656      439     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
BROWNIES PEMBAWA BENCANA
423      269     3     
Short Story
Sejak pindah, Bela bertemu dan mulai bersahabat dengan tetangga rumahnya, Dika. Di suatu kesempatan, Bela mencoba membuat brownies untuk Dika dan akhirnya juga membuat Dika pergi meninggalkan tanda tanya dengan memberi sebuah surat bersambung untuknya. Akankah, brownies buatan Bela mendatangkan bencana?
Praha
262      157     1     
Short Story
Praha lahir di antara badai dan di sepertiga malam. Malam itu saat dingin menelusup ke tengkuk orang-orang di jalan-jalan sepi, termasuk bapak dan terutama ibunya yang mengejan, Praha lahir di rumah sakit kecil tengah hutan, supranatural, dan misteri.