Peristiwa nahas malam itu tak 'kan bisa kulupakan hingga detik ini. Berulang kali aku berusaha melupakannya, tapi kenangan singkat dan percakapan terakhirku dengan Samira membuat peristiwa malam berdarah itu masih terputar jelas di otakku.
Peristiwa nahas itu bermula saat aku mengantar pulang seorang perempuan bernama Samira. "Sudah sampai, Neng." ucapku pada Samira. Motorku berhenti tepat di halaman rumahnya.
Samira menyerahkan helm padaku dan berkata, "Terima kasih, Mas."
Aku menerima helm yang tadi dipakai Samira. "Sama-sama, Neng." balasku sambil tersenyum. Kulihat Samira berjalan menuju pintu rumahnya.
Saat pintu terbuka, kedua kaki Samira terhenti di depan pintu. Seorang pria bertubuh tegap berdiri di depan pintu dengan kedua tangan berkacak pinggang dan rahang di wajahnya mengeras menatap Samira dengan tatapan emosi.
Motorku bergerak memutar dan aku mengendarai motorku dengan kecepatan sedang. Sayup-sayup terdengar suara tangisan seorang perempuan yang kuyakini itu suara Samira. Aku tetap mengendarai motorku tanpa berniat untuk singgah ke rumahnya karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Aku pun tidak tahu apa yang terjadi pada Samira hingga suara tangisannya terdengar jelas di telingaku.
Lima belas menit kemudian, aku sudah tiba di halaman rumah kontrakanku. Aku memarkirkan motorku di teras rumah, lalu mengetuk pintu sebelum masuk. Aku mencium punggung tangan ibuku ketika beliau membukakan pintu.
"Kamu lembur lagi, Fahri?" tanyanya ketika aku sudah masuk ke dalam rumah.
"Iya, Bu. Tadi masih nganter penumpang sebelum pulang." jawabku sambil membuka jaket dan meletakkan helm di atas rak dekat dapur.
"Kamu sudah makan?" Ibuku bertanya lagi.
"Belum, Bu. Tadi sore aku ditraktir makan bakso sama Deni." ucapku, lalu duduk di kursi makan.
Ibuku membuka tudung saji dan mengambil sepiring nasi untukku. "Tadi Ibu masak sayur lodeh kesukaan kamu. Habiskan saja!" seru Ibuku sambil menyodorkan semangkuk lodeh ke depanku. Kulihat sayur lodeh itu masih banyak tersisa di mangkuk itu.
"Ibu sudah makan?" tanyaku dengan menatap ke arah ibuku yang duduk di depanku.
"Sudah. Makanlah!" jawab Ibuku.
Ibuku selalu meninggalkan banyak lauk untukku setiap aku pulang kerja. Sedangkan, Ibuku hanya makan sedikit saja. Katanya, biar aku kenyang dan aku bisa bekerja esoknya dengan tubuh yang fit. Aku sedih tidak bisa memberi uang yang banyak pada ibuku. Karena, pekerjaanku sebagai tukang ojek dan penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi, aku selalu ingat kata-kata ibuku. Apapun pekerjaan kita dan seberapa banyak gaji yang kita dapat, harus tetap kita syukuri. Karena, semua itu rezeki dari Tuhan dan kita harus menerimanya dengan ikhlas.
***
Esoknya, aku kembali ke aktivitasku seperti pagi biasanya. Aku dan rekan lainnya menunggu penumpang di pengkolan Pak Agus. Setengah jam kemudian, Samira berjalan menghampiriku.
"Mas, anterin ke Jln. Mulia, ya!" ucap Samira memberi tahu tujuannya.
"Oke, Neng!" sahutku sembari memberikan helm untuk Samira pakai. Setelah Samira naik ke motorku, aku menoleh pada rekanku yang lain. "Duluan, ya!"
Di tengah perjalanan, aku bertanya pada Samira dengan suara yang agak keras karena jalanan sangat padat kendaraannya. "Namanya siapa, Neng?"
"Samira, tapi biasa dipanggil Mira." jawab Samira, lalu bertanya balik. "Mas sendiri siapa namanya?"
"Namaku Fahri." jawabku singkat.
Setelah itu, kami saling diam. Aku ingin sekali bertanya tentang kejadian semalam pada Samira. Namun, segera kuurungkan. Karena, aku tidak ingin dibilang ikut campur urusan rumah tangganya.
"Berhenti di pinggir toko itu ya, Mas!" ucap Samira sambil menunjuk ke arah pinggiran toko dengan jari telunjuknya.
"Iya, Mir." Aku menepikan motorku di pinggir toko yang dimaksud Samira.
Samira menyerahkan helm yang dipakainya kepadaku. Kulihat di pipi dan ujung bibir Samira terdapat luka lebam. "Wajahmu kenapa, Mir? Kok lebam gitu?" tanyaku. Terbesit rasa sakit di hatiku saat melihat luka lebam itu.
Samira menanggapinya dengan tersenyum tipis. Walaupun ada luka lebam di ujung bibirnya, senyuman Samira tetap manis. "Gak apa-apa kok, Mas. Cuma luka kecil aja."
Aku tahu Samira menyembunyikan permasalahan yang terjadi semalam. Aku pun tak ingin memperpanjang cerita dan mengalihkan pembicaraan singkatku pagi ini.
Aku mengedarkan tatapanku sejenak ke sekeliling tempat Samira minta berhenti. "Kamu mau ngapain berhenti di daerah sini, Mir?" tanyaku bingung.
Samira tersenyum tipis, "Kalau pagi sampai sore, aku kerja jadi kasir di minimarket Mulia Jaya. Nah, dari sore sampai malam, aku kerja jadi pencuci piring di rumah makan Bu Darsi."
Batinku terhenyak oleh ucapan Samira itu. Perempuan itu bekerja keras dari pagi sampai malam. Kasian, Mira! Sudah capek pulang kerja, eh malah dipukul suaminya semalam. ucapku dalam hati.
"Maaf, Mas! Aku harus kerja." ucap Samira, lalu berbalik meninggalkanku dan menyeberang jalan.
Setelah Samira masuk ke dalam minimarket itu, aku masih menatap sosok perempuan itu dari kejauhan. Kulihat dia tertawa dengan temannya sebelum menghilang dari pandanganku. Walaupun disakiti suaminya, dia tetap ceria seperti biasanya. ucapku lagi dalam hati.
Malamnya, aku secara tak sengaja lewat rumah makan Bu Darsi. Aku menepikan motorku ketika Samira melambaikan tangannya. "Eh, Mira. Kamu udah pulang?" tanyaku basa-basi.
"Iya, Mas." jawab Samira sambil memakai helm yang kuberikan padanya, lalu segera naik ke motorku. "Hari ini, pengunjungnya ramai banget jadi stok makanan cepat habis. Makanya, aku bisa pulang agak cepat malam ini." lanjutnya bercerita.
"Pantesan. Biasanya juga, kamu pulang agak larut." balasku sambil mengendarai motorku.
"Iya, Mas." sahut Samira.
Setiba kami di halaman rumah Samira, kulihat pria bertubuh tegap yang sama sedang berdiri di depan pintu menunggu Samira pulang.
"Makasih ya, Mas." ucap Samira seraya menyerahkan helm padaku. Baru saja Samira hendak berbalik, aku terkejut melihat suaminya menarik tangan Samira dan menyeret perempuan itu untuk segera masuk ke dalam rumah.
Aku tidak tega melihat Samira diseret-seret paksa oleh suaminya. "Maaf, Mas. Jangan kasar dong sama Mira! Dia itu baru pulang kerja." Aku berusaha membela Samira.
Pria bertubuh tegap itu menghentikan langkahnya, namun masih mencengkeram tangan Samira. Hatiku terenyuh melihat raut wajah Samira yang meringis kesakitan pada tangannya. Pria itu menunjuk-nunjuk ke depan wajahku dengan ekapresi penuh amarah menatapku. "Kamu gak usah ikut campur, ya! Ini urusanku dengan Mira. Dia istriku. Aku berhak melakukan apa saja padanya. Sedangkan, kamu itu cuma tukang ojek dan bukan siapa-siapa. Lebih baik kamu cepat pergi dari sini!" ucapnya dengan nada tegas.
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Suaminya memang benar. Aku tidak berhak mencampuri urusan mereka karena Samira adalah istrinya. Tapi, hatiku tidak tega melihat penyiksaan yang dilakukan suaminya kepada Samira.
Aku memilih pulang dan tidak mencampuri urusan mereka. Saat posisiku tak jauh dari rumah mereka, aku mendengar lagi suara tangisan Samira. Aku menghela napas panjang sebelum memutar balik arah motorku dan bersembunyi di balik pohon. Dari bayangan di jendela rumah Samira, bisa kulihat dengan jelas suami Samira menyakiti perempuan itu dengan menampar wajahnya begitu kuat membuat Samira menangis terisak menahan sakit pada wajahnya. Aku tidak tahu apa penyebab suaminya selalu marah setiap Samira pulang kerja hingga menampar wajah perempuan itu.
Tak lama kemudian, kulihat suami Samira keluar dari rumah dan berjalan pergi ke sudut gang. Aku jadi penasaran dengan tujuan suami Samira. Perlahan, kunyalakan motorku dan mengikuti langkah kaki suami Samira dari belakang. Aku menjaga jarak yang cukup jauh dari pria itu.
"Bukannya jalan ini buntu? Mau ngapain suami Mira lewat jalan ini?" tanyaku sendiri dengan dahi yang bertaut bingung.
Tatapanku terus mengawasi langkah kaki suami Samira hingga dia berbelok ke kiri. Aku menepikan motorku di pinggir warung kopi yang sudah tutup dan memilih berjalan mengendap-endap sambil menatap waspada ke sekelilingku. Aku berhenti di balik tembok dan mengintip kegiatan mereka.
Pencahayaan di tempat itu remang-remang. Tempatnya pun ditutupi semak-semak hingga tak banyak orang yang tahu ada sebuah rumah kecil di sana. Banyak pria hidung belang dan wanita berpakaian seksi berkeliaran di tempat itu. Diantaranya ada suami Samira yang sedang duduk di pondok kayu bersama dua orang wanita cantik dan seksi.
Kedua tanganku terkepal erat. Ingin rasanya aku memarahi dan memukul wajah suami Samira itu. Tapi, melihat jumlah pria di sana dengan aku yang sendiri, sudah pasti aku akan kalah dan babak belur. Aku berbalik arah dan kembali ke motorku, lalu pulang.
Saat melewati depan rumah Samira, aku menghentikan mesin motorku dan melihat Samira masih menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan dari jendela yang belum tertutup tirai. Aku ingin singgah ke rumahnya, tapi hari sudah malam. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang dan menceritakan semua yang kulihat tadi kepada Samira besok pagi.
***
Pagi ini, aku sengaja menunggu Samira di pengkolan. Tapi sudah dua jam, tidak ada tanda-tanda Samira datang. Kok Mira belum datang ya? Apa dia gak kerja hari ini? Atau... jangan-jangan terjadi sesuatu sama Mira! ucapku panik dalam hati.
"Kamu mau ke mana, Fahri?" tanya Deni ketika melihatku mengendarai motor tanpa penumpang.
"Aku mau pulang sebentar. Perutku sakit." ucapku berbohong. Aku tidak mungkin jujur pada Deni bahwa aku akan pergi ke rumah Samira.
Saat motorku berhenti di depan rumah Samira, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Sama sekali tidak terbesit rasa takut jika nanti yang membuka pintu adalah suami Samira.
Suasana di rumah itu nampak sepi. Jendela pun masih tertutup tirai. Lampu di teras juga masih menyala. Seketika, aku menjadi panik bercampur cemas dengan keadaan Samira. Aku terus mengetuk pintu sembari memanggil nama Samira. Tapi, masih tetap tidak ada jawaban.
Aku pun nekat mendobrak pintu dan melangkah masuk ke dalam mencari Samira. "Mira." teriakku ketika melihat tubuh Samira tergeletak di lantai. Wajahnya sangat pucat dan terdapat luka lebam lagi. Saat aku akan mengangkat tubuhnya, terasa sangat panas. Kusentuh dahi Samira. Ternyata, dia sedang demam tinggi.
Aku berteriak minta tolong pada warga sekitar untuk membantuku membawa Samira ke klinik terdekat. Sesampai di sana, Samira langsung ditangani oleh tim dokter.
"Bagaimana keadaan Samira, Dok?" tanyaku ketika sang dokter sudah keluar dari ruangan Samira dirawat.
"Suhu tubuhnya sangat tinggi. Wajar saja jika Samira sampai pingsan. Saya akan memberikan resep obat. Kamu bisa menebusnya di apotek samping klinik ini." jelas dokter.
"Makasih, Dok." ucapku.
Setelah dokter pergi dari ruangan Samira, aku berjalan masuk ke dalam ruangan dan melihat kondisi Samira yang mulai sadar. "Aku ada di mana, Mas?" tanya Mira dengan nada suara yang lemah.
"Kamu ada di klinik, Mir. Aku pergi ke rumahmu dan mengetuk-ngetuk pintu. Tapi, gak ada jawaban. Terus, aku lihat jendela rumahmu masih tertutup tirai dan lampu di teras masih menyala. Terpaksa, aku mendobrak pintu dan mencari kamu. Aku kaget pas tahu kamu sudah tergeletak di lantai. Aku meminta bantuan sama warga sekitar untuk bawa kamu ke sini. Kamu sakit. Suhu tubuh kamu tinggi banget, makanya kamu pingsan." jelasku panjang lebar.
Samira nampak terdiam. Entah apa yang dipikirkannya, lama baru dia bertanya lagi sambil menoleh ke arahku. "Ada apa Mas Fahri datang ke rumahku pagi-pagi?"
Aku gugup seketika. Gak mungkin 'kan aku bilang cemas dengan keadaannya. batinku berkata. "Emm, aku tadi pas nganter penumpang, gak sengaja lewat rumah kamu. Aku penasaran kenapa rumah kamu begitu sepi. Lampu teras juga masih nyala, makanya aku datang ke rumah kamu." jelasku berbohong.
Nampaknya Samira percaya dengan ucapanku, kepalanya mengangguk-angguk. "Oh ya, Mir. Aku baru saja nebus obat di apotek. Kamu makan dulu, setelah itu kamu minum obat biar cepat sembuh." Tanganku meraih semangkuk bubur yang disediakan dari klinik dan menyuapinya ke mulut Samira.
"Lho, Mir. Kamu kok nangis?" tanyaku ketika melihat air mata keluar dari sudut mata Samira dan membasahi wajahnya.
Samira mengusap air matanya. "Gak apa-apa, Mas."
"Orang nangis itu pasti sebabnya, Mir." kataku.
Samira menundukkan kepalanya. Raut wajahnya sangat sedih. "Mas Fahri yang bukan siapa-siapa aku, tapi begitu perhatian dan baik sama aku. Sedangkan, Mas Johan yang jadi suamiku saja, gak pernah bersikap baik ataupun perhatian ke aku."
Aku menggenggam sebelah tangan Samira. "Sudahlah, Mir. Kamu gak usah sedih. Aku bakal nemenin kamu di sini. Sekarang lanjut makan lagi ya." Nanti aja deh aku cerita ke Mira soal suaminya semalam. lanjutku dalam hati.
Usai menyuapi Samira makan, aku memberi tiga pil obat sesuai resep dari dokter kepada Samira. Setelah minum obat, aku menyarankan dia untuk istirahat. Tapi, sebelah tangannya memegang tanganku. "Mas Fahri mending lanjut kerja saja. Jangan nunggu aku di sini! 'Kan masih ada dokter dan suster di sini yang nemenin aku. Kalau Mas nunggu di sini terus, gimana mau nafkahin keluarga Mas?"
Aku menghela napas pelan. Memang benar sih, kalau aku nunggu Samira terus di sini, aku gak bisa kerja dan gak dapat uang untuk setoran ke Pak Agus nanti. ucapku dalam hati. "Baiklah, Mas akan kerja dulu! Tapi, kalau kamu butuh sesuatu, kamu telepon aku ya."
Samira menganggukkan kepalanya. "Iya, Mas. Semangat ya kerjanya!"
Baru kali ini, aku mendapat ucapan semangat dari seorang perempuan selain ibuku. Hatiku terasa berbunga-bunga dan langsung tambah semangat. "Makasih. Aku kerja dulu, kamu jaga diri baik-baik di sini." Aku bergegas keluar dari ruangan Samira menuju ruangan suster. "Sus, saya mau pergi kerja dulu. Tolong temani Samira di ruangannya ya!" Aku menulis nomor ponselku di atas kertas, lalu memberikannya pada suster itu. "Kalau ada apa-apa dengan Samira, tolong hubungi saya di nomor ini ya!"
Suster itu tersenyum. "Iya, Mas."
Aku berjalan keluar dari klinik, lalu melanjutkan pekerjaanku sebagai tukang ojek. Sepanjang hari, pikiranku selalu tertuju pada Samira yang masih di klinik. Apa dia sudah makan dan minum obat? Apa dia masih demam? Apa dia kesepian di klinik? Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benakku dan membuatku mencemaskan keadaannya terus menerus. Aku tidak tahu kenapa aku begitu cemas melihat dia sakit dan hatiku sakit saat melihat dia disiksa oleh suaminya.
Usai mengantar penumpang yang terakhir, aku langsung ke klinik untuk menjenguk Samira. Saat masuk ke dalam ruangan Samira, kulihat perempuan itu sedang tertidur. Aku mengambil posisi duduk di samping Samira. Lalu, seorang suster masuk ke dalam ruangan untuk memeriksa kondisi kesehatan Samira. "Gimana kondisi Samira sekarang, Sus?"
"Kondisi Ibu Samira mulai membaik, Mas. Ini semua berkat doa dan perhatian Mas sebagai suaminya." jawab suster.
Aku tertawa singkat. "Aku bukan suaminya, Sus."
Suster itu nampak terkejut. "Ah, yang bener, Mas? Tadi siang, Ibu Samira sendiri yang bilang ke saya kalau Mas ini suaminya."
Aku lebih terkejut mendengarnya. Mira bilang ke suster kalau aku ini suaminya?Kenapa dia bilang seperti itu? Tapi, lubuk hatiku yang terdalam justru senang mendengar kata-kata itu. ucapku dalam hati sambil mengulum senyum.
Aku memilih diam dan tak menjawab apa-apa lagi pada suster itu. Aku menatap lekat wajah Samira yang masih terlelap setelah suster itu keluar dari ruangan Samira. Aku memberanikan diri untuk mengusap wajahnya dan menyisipkan beberapa helai rambut Samira yang terurai ke belakang telinganya. "Cantik." gumamku pelan dan tersenyum tipis menatapnya. Andai kamu memang istriku, Mir. Aku akan senantiasa menjaga dan menyayangimu. lanjutku dalam hati.
***
Aku terbangun ketika sebuah suara bernada pelan memanggilku. Kepalaku mendongak menatap wajahnya. "Kamu sudah bangun, Mir?"
Samira mengangguk pelan. "Baru saja, Mas."
Aku menyentuh dahinya, memeriksa apakah suhu tubuhnya masih panas atau tidak. "Suhu tubuhmu sudah turun, Mir."
"Iya, Mas. Ini semua berkat doa dan perhatian Mas juga. Makasih atas semuanya, Mas." ujar Samira.
Aku tersenyum tipis, "Sama-sama, Mir. Oh ya, tadi dokter bilang, besok siang kamu sudah boleh pulang."
Wajah Samira berubah sendu dan menatap ke arah lain. "Kamu gak senang kalau besok kamu dibolehkan pulang?" tanyaku.
"Aku tenang di sini, Mas." jawab Samira singkat. Dari ucapannya, aku yakin Samira tidak ingin pulang karena suaminya selalu menyakitinya setiap hari. Aku pun tak ingin bertanya lebih lanjut tentang rumah tangganya.
Aku beranjak dari tempat dudukku. "Kamu tunggu di sini ya, Mir. Aku mau pergi keluar sebentar."
"Iya, Mas. Hati-hati ya." ucap Samira.
Tak lama kemudian, aku kembali ke ruangan Samira dengan membawa sebungkus bubur ayam dan sebungkus nasi uduk.
"Mas tadi pergi ke mana?" Samira bertanya ketika melihatku membawa satu kantong plastik.
"Aku tadi pergi beli makanan di seberang klinik. Pagi-pagi gini banyak yang jualan makanan di sana." jawabku sambil memindahkan bubur ayam yang kubeli tadi ke atas piring. Sebelum masuk ke ruangan Samira, aku pergi ke dapur klinik untuk meminjam piring dan sendok agar Samira bisa makan bubur ayam yang kubeli tadi.
"Mir, kamu makan dulu! Setelah itu, kamu minum obat." Aku mulai menyuapi Samira makan lebih dulu. Bagiku, mengurus Samira makan lebih dulu itu yang penting daripada perutku yang sudah kelaparan.
Jam terus berputar dan tak terasa hari sudah malam. Aku kembali ke ruangan Samira setelah selesai mengantar penumpang. Kulihat Samira sudah tidur. Aku pun keluar sejenak dari ruangan Samira. Aku menghubungi ibuku untuk memberitahu bahwa aku ada di klinik lagi.
Setelah itu, aku masuk ke dalam ruangan Samira dan duduk di samping brankar Samira berbaring. Kutatap lekat wajahnya sebelum aku menumpukan kepalaku di atas lipatan kedua tanganku dan memejamkan mataku.
***
Aku membantu Samira untuk turun dari brankar dan menuntunnya keluar dari ruangan. "Di dalam tas kamu, aku taruh sisa obat yang harus kamu minum nanti." ucapku ketika kami sudah ada di parkiran motor.
"Iya, Mas." balas Samira yang sedang memakai helm yang kuberikan padanya.
Setengah jam kemudian, motorku berhenti di depan rumah Samira. Suasana di rumah itu sangat sepi. Tidak nampak tanda-tanda ada orang di rumahnya. "Suamimu gak datang jenguk kamu, Mir?" tanyaku pada Samira yang menyerahkan helm padaku.
Samira menoleh sejenak ke arah rumahnya. Helaan napas keluar dari mulutnya sebelum kepalanya menggeleng pelan. "Dia gak pernah peduli denganku, Mas. Kerjaan dia cuma minta duit ke aku tiap hari dan bersenang-senang dengan wanita lain. Aku cuma dijadikan budak untuk mencari uang buat dia."
"Pantesan wajah kamu sering lebam. Itu semua pasti karena perbuatan suami kamu 'kan?" ucapku.
"Iya, Mas. Aku dijodohkan oleh orangtuaku karena ayahku punya utang dengan Mas Johan. Makanya, aku bisa menikah dengannya. Setiap hari, aku selalu disiksa dan disakiti. Aku berusaha untuk sabar menjalani semuanya karena aku yakin suatu hari nanti aku pasti bisa hidup bahagia." Samira bercerita tentang kisah rumah tangganya yang tidak harmonis.
"MIRA." Suara seorang pria memekik keras membuat kami menoleh. Aku turun dari motor dan berusaha melindungi Samira dari suaminya. Samira nampak takut dan bersembunyi di belakang tubuhku.
Sekarang aku bisa melihat wajah suami Samira dengan jelas. Dia bicara sambil menunjuk-nunjuk ke arah Samira. "Aku cari kamu ke mana-mana, ternyata kamu di sini sama cowok lain. Kamu mau selingkuh dariku ya?" Wajahnya memerah dengan kedua matanya yang melotot dan rahang di wajahnya mengeras.
Samira semakin takut melihat tatapan suaminya yang berkilat penuh amarah. "A...aku gak seling...kuh, Mas." ucapnya dengan terbata-bata. Dia sangat gugup dan aku berusaha menengahi suasana.
"Beberapa hari ini, Mira dirawat di klinik, Bang. Dia sakit. Hari ini, dia baru diizinkan pulang oleh dokter." ucapku menjelaskan yang terjadi. Tapi, nampaknya suami Samira tidak percaya dengan ucapanku.
"ALAHH! Kamu pasti bohong 'kan biar gak dituduh selingkuh dengan Mira?" kata suami Samira.
"Aku cuma nganterin Mira pulang, Bang. Kami gak selingkuh." bantahku dari tuduhan selingkuh itu.
Suami Samira berusaha meraih tangan Samira yang berada di belakang tubuhku. Samira terus menghindar dari suaminya. "Mas, cepat bawa aku pergi dari sini! Ayo, Mas!" ucapnya padaku.
"Kamu gak akan bisa pergi dari sini, Mira. Orangtuamu sudah menjual kamu untuk jadi budakku." sergah suami Samira.
"Maaf, Bang! Kalau Mira sudah gak mau lagi tinggal dengan Abang, ya jangan dipaksa! Dia sudah gak tahan lagi dengan sikap kasar dari Abang. Kalau Abang gak mau Mira pergi, beri dia kasih sayang dan perlakuan lembut. Jangan terus disiksa dan disakiti!" ucapku menasehati suami Samira.
Pria itu langsung naik pitam. Sebelah tangannya terkepal kuat dan langsung memukul wajahku. Aku terjatuh ke belakang karena mendapat serangan tiba-tiba dari suami Samira. Aku tidak bisa mengelak dan membuat sebelah wajahku sangat sakit.
"Mas Fahri gak apa-apa 'kan?" tanya Samira dengan raut wajah yang cemas dan berusaha membantuku untuk berdiri.
"Aku tidak butuh nasehat dari kamu. Sekarang kamu pergi jauh-jauh dari sini dan jangan dekat lagi dengan Mira. Karena, dia sudah jadi milikku." ucap suami Samira dengan nada tegas dan penuh penekanan.
"Aku akan pergi membawa Mira. Dia berhak untuk hidup bahagia, Bang." ucapku membela Samira. Aku tidak tahu ada rasa apa yang mendorongku untuk bersikap berani membela Samira di depan suaminya.
Suami Samira semakin tersulut emosi. Dia mengambil sebilah pisau dari sisi perutnya yang sepertinya selalu dia bawa. Pria itu mengarahkan ke perutku. Dengan sigap, aku menghindar dan menepis tangan suami Mira yang memegang pisau. Lalu, sebelah kakiku menendang perutnya membuat dia mundur beberapa langkah.
Aku segera naik ke motor bersama Samira dan melaju dengan kecepatan tinggi. Terdengar suara suami Samira mengumpat kesal pada kami dan berkata dengan nada mengancam. "AWAS YA KALIAN BERDUA! AKU AKAN MENCARI KALIAN KE MANAPUN KALIAN BERADA."
Kami tidak peduli lagi dengan pria itu. Aku terus mengendarai motorku sejauh mungkin dari jangkauan suami Samira. Napasku jadi terengah-engah karena perkelahian singkat tadi. Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Setelah napasku kembali normal, aku bertanya pada Samira. "Sekarang, kamu mau tinggal di mana, Mir?"
"Aku tidak tahu, Mas." jawab Samira singkat.
"Untuk sementara waktu, kamu tinggal di rumah kontrakanku. Bagaimana, kamu setuju gak?" Aku memberi penawaran.
Samira nampak berpikir sejenak sebelum mengiyakan tawaranku. "Tapi, bagaimana dengan istri dan keluarga Mas Fahri?"
Aku tertawa. "Aku masih lajang, Mir. Aku belum menikah. Aku tinggal berdua dengan ibuku. Jadi, kamu mau 'kan tinggal di rumah kontrakanku?"
"Baiklah, Mas! Asalkan tidak merepotkan Mas Fahri." jawab Samira dengan malu-malu.
Aku menghentikan motorku ketika kami sudah sampai di depan rumah kontrakanku. "Ayo, turun, Mir! Aku kenalin kamu ke ibuku." ucapku sebelum turun dari motor.
"Ibu, aku pulang." ucapku sambil mengetuk pintu. Tak lama, ibuku membuka pintu. Beliau nampak kaget karena aku pulang lebih awal dan membawa seorang perempuan ke rumah.
"Kenalin, Bu. Dia Samira, perempuan yang sering aku ceritakan ke Ibu." ucapku sembari mengenalkan Samira.
Samira mencium punggung tangan ibuku dan berkata, "Perkenalkan, nama saya Samira, Bu. Biasa dipanggil Mira."
Ibuku tersenyum hangat, "Oh, ini toh yang namanya Mira. Cantik." Samira tersenyum malu.
"Bu, untuk sementara, boleh tidak Mira tinggal di sini?" Aku meminta izin pada ibuku.
"Boleh saja, tapi kalian tidak boleh tinggal serumah karena kalian bukan suami istri." ucap ibuku.
Aku tersenyum lega. "Gak apa-apa, Bu. Aku bisa nginap di rumah kontrakan Deni." Tatapanku beralih menatap Samira. "Kamu mau 'kan tinggal bersama ibuku?"
Samira mengangguk setuju dan ibuku mengajaknya masuk ke dalam rumah. Setelah kami makan siang, aku kembali ke pengkolan untuk bekerja.
Hari berganti minggu telah kami lewati bersama. Aku pun tak ingin memendam perasaanku lebih lama lagi kepada Samira. Setelah memantapkan hati, aku memutuskan untuk melamar Samira dan lamaranku diterima olehnya dengan senang hati.
Dua bulan kemudian, aku menikah dengan Samira dan kami tinggal di rumah kontrakan yang berbeda dengan ibuku.
Kehidupan rumah tangga kami berjalan lancar dan dipenuhi kebahagiaan. Aku tidak mengizinkan Samira untuk bekerja lagi, tapi dia bersikukuh ingin membantu perekonomian keluarga kecil kami dengan berjualan nasi uduk di teras rumah kontrakan. Akhirnya, aku pun menyetujui keputusan Samira dan memberitahunya asalkan pekerjaannya itu tidak membuatnya kelelahan.
Seiring berjalannya waktu, usaha Samira berjualan nasi uduk membuahkan hasil. Banyak warga yang sangat menyukai nasi uduk buatan istriku. Tanpa kusadari, ada seseorang misterius yang selalu mengawasi kehidupan kami.
Kebahagiaan yang kami rasakan kini, nyatanya tidak bertahan lama. Saat aku sedang menunggu penumpang di pengkolan, Samira menghubungiku.
"Mas Fahri, cepat pulang! Aku takut." ucap Samira di seberang telepon. Aku yang mendengarnya di telepon dapat merasakan istriku sedang ketakutan di dalam rumah.
Dahiku bertaut. "Ada apa, Mira?" tanyaku panik.
"Ada orang misterius di luar rumah, Mas. Dari tadi, dia terus mengetuk pintu. Aku takut, Mas." jawab Samira.
"Baiklah! Mas akan pulang sekarang juga. Sepertinya, sudah tidak ada penumpang lagi. Kamu tenang dulu, ya! Jangan buka pintu! Tetep di dalam kamar sampai Mas pulang!" ucapku pada Samira.
"Iya, Mas." balas Samira dan panggilan pun terputus.
Aku bergegas menyalakan motor dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Jalanan mulai sepi dan lengang membuatku semakin mempercepat laju kendaraan roda duaku menuju rumah kontrakan. Sepanjang jalan, aku terus merapalkan doa agar Samira baik-baik saja di rumah. Jantungku berdegup kencang. Perasaanku jadi takut bercampur cemas.
Setiba di halaman rumah kontrakan, aku segera turun dari motor dan melihat pintu rumah sudah terbuka. Aku bergegas masuk ke dalam. Ruang tamu begitu berantakan. Di dinding juga terdapat bercak darah. Kepanikanku semakin bertambah.
Aku mencari Samira ke dapur. Tapi, dia tidak ada. Selanjutnya, aku berjalan masuk ke dalam kamar. Kedua mataku terbelalak lebar dan mulutku setengah terbuka ketika melihat kondisi tubuh Samira sudah bersimbah darah di lantai. Aku berjongkok sambil menggoyang-goyangkan tubuh istriku dan memanggil namanya. "Mira, bangun! Mas sudah pulang. Buka matamu, Mira!" ucapku lirih. Air mataku keluar dari sudut mata dan mulai membasahi wajahku. "Jangan tinggalkan Mas sendirian, Mira! Kita masih punya banyak mimpi yang belum terwujud." Aku memeluk tubuh istriku dengan suaraku yang terisak. Aku tak peduli dengan pakaianku yang sudah bernoda darah.
Aku mengangkat tubuh Samira keluar dari kamar dan membawanya keluar rumah. Aku berteriak minta tolong pada tetangga-tetanggaku. Mereka yang berada di sekitar rumah kontrakanku, berhambur keluar rumah dan mendatangi rumah kontrakanku. Mereka semua terkejut melihat tubuh Samira yang berada di gedonganku penuh dengan lumuran darah.
"Apa yang terjadi dengan Mira, Fahri?"
"Kenapa Mira berlumur darah seperti ini?"
Begitulah pertanyaan yang kudengar dari mulut para tetangga yang berdiri di halaman rumah kontrakanku. Aku berkata, "Sebaiknya, kita bawa Mira ke rumah sakit dulu sebelum terlambat!"
"Baiklah!" sahut para tetangga serempak.
"Ayo, naik ke mobilku aja!" ajak Mudi, salah satu tetanggaku.
Aku segera menyusul langkah Mudi dan bergegas masuk ke dalam mobilnya. Tak lama kemudian, kami sampai di rumah sakit Kurnia Asih. Aku kembali mengangkat tubuh Samira dan keluar dari mobil Mudi. Kami berjalan cepat masuk ke dalam rumah sakit. Dua orang suster setengah berlari menyambut kami sambil membawa brankar. Aku membaringkan tubuh Samira di atas brankar dan dua suster itu langsung membawa Samira ke dalam ruang UGD.
Aku dan Mudi duduk di ruang tunggu. Aku mengacak rambutku. Hatiku gelisah dan air mataku mengalir membasahi wajahku. Aku tidak tahu siapa pelakunya. Sebuah tepukan ringan di pundakku membuatku menoleh ke samping.
"Sabar ya, Mas! Ini ujian untuk keluarga Mas." ucap Mudi.
Kepalaku tertunduk sedih. "Makasih kamu sudah bersedia mengantar Mira ke rumah sakit ini, Mud."
"Sama-sama, Mas."
Obrolan singkatku dengan Mudi berakhir ketika pintu ruang UGD terbuka. Aku langsung menghampiri dokter yang baru saja keluar. "Bagaimana kondisi istri saya, Dok?"
Dokter itu menghela napas berat sambil menepuk pundakku sekilas. "Yang sabar ya, Pak. Nyawa istri Anda tidak bisa tertolong lagi. Luka di kepalanya cukup parah seperti dibentur benda keras dan luka di sebagian tubuhnya penuh dengan bekas tusukan yang menyebabkan kehilangan banyak darah." ucap dokter itu menjelaskan.
Hatiku terasa remuk mendengar kabar dari dokter itu. Kedua kakiku terasa lemas hingga terduduk di lantai. Mudi membantuku untuk duduk di kursi dan dokter itu mengatakan jenazah bisa dibawa pulang setelah aku mengurus administrasinya.
"Ini kasus pembunuhan, Mas. Sebaiknya, Mas laporkan kejadian ini ke pihak kepolisian. Biar mereka yang mengusut tuntas kejadian ini dan menangkap si pelaku." Mudi memberi saran.
Aku berpikir sejenak dan setuju dengan saran dari Mudi. Aku penasaran siapa yang sudah membunuh Samira. Aku segera mengurus administrasi rumah sakit sebelum membawa jenazah Samira pulang.
***
Aku dan Mudi pergi ke kantor polisi dan melaporkan kasus pembunuhan Samira. Pihak mereka langsung merespon dan bergegas menuju rumah kontrakanku. Pihak kepolisian memasang garis polisi di sekeliling rumah kontrakan. Aku, Mudi dan warga lainnya berkumpul di luar garis polisi menunggu hasil penyelidikan dari beberapa polisi yang berada di dalam rumah.
"Bapak Fahri tenang saja. Kami akan usut kasus ini sampai tuntas dan akan menangkap si pelaku dalam waktu dekat. Kami mohon kerja samanya." ucap salah satu polisi yang sudah keluar dari rumah dengan menenteng beberapa kantong plastik bening sebagai barang bukti.
Aku hanya menganggukkan kepala tanpa menjawab apapun. Aku tidak menyangka Samira akan meninggalkanku secepat ini. Banyak sekali impian kami yang belum terwujud. Berat rasanya ditinggal pergi orang yang kita cintai untuk selamanya.
Kini, aku kembali ke kehidupanku sebelumnya. Tinggal bersama ibuku dan bekerja seperti biasanya. Hari-hari yang kulewati terasa hambar tanpa Samira, sosok perempuan yang berhasil membuatku mengenal cinta untuk pertama kalinya.
Hari ini, aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Di teras rumah kontrakanku, ada beberapa polisi yang datang dan sedang berbincang dengan ibuku.
"Ada apa, Pak?" tanyaku pada salah satu polisi.
Polisi itu berdiri dan berkata, "Kami sudah menemukan pelaku pembunuhan istri Anda, Pak."
"Siapa dia, Pak?" tanyaku lagi sembari menahan emosi.
"Namanya Johan. Dia adalah mantan suami almarhumah Ibu Samira. Kami berhasil menangkap Johan saat dia akan kabur ke Kalimantan." tutur polisi itu.
"Johan pelakunya?" Aku terkejut dengan penuturan dari polisi itu. Kedua tanganku terkepal erat di samping tubuhku. Gigiku bergemeletuk kasar menahan emosi.
"Beri hukuman yang setimpal padanya atas perbuatan yang sudah dilakukannya pada almarhumah istriku, Pak!" pintaku.
"Bapak tenang saja. Johan akan mendapat hukuman yang setimpal. Permisi." ucap polisi itu, lalu pergi bersama rekan lainnya.
Esok harinya, aku memilih tidak bekerja dan meluangkan waktuku seharian ini di makam Samira. Setelah membacakan doa, aku menabur bunga di atas gundukan tanah. "Mir, orang yang sudah membunuhmu adalah Johan. Dia sudah ditangkap polisi. Semoga kamu tenang di sana." Tenggorokanku tercekat. Air mata yang sedari tadi kutahan, mendesak 'tuk keluar dari mataku dan kini perlahan membasahi wajahku. "Kamu sudah bahagia di sana. Aku mencintaimu sampai kapanpun, Mir. Tak ada perempuan yang bisa menggantikanmu di hatiku. Walaupun pernikahan kita tidak bisa bertahan lama, aku sangat bahagia bisa hidup bersama denganmu. Terima kasih atas cinta yang kamu berikan untukku."
Usai mengatakannya, aku mencium nisan sebelum aku pulang. Tanpa kusadari, arwah Samira tersenyum kepadaku sebelum dia menghilang.
Setiap bulan, aku selalu mengunjungi makam Samira untuk mendoakan dia. Hanya itu yang bisa kulakukan agar dia bahagia di sana.
***
TAMAT