Read More >>"> That Day
Loading...
Logo TinLit
Read Story - That Day
MENU
About Us  

Rian membuka kedua matanya saat merasakan hembusan angin tak biasa menerpa tubuhnya. Dia nyaris jatuh karena kehilangan keseimbangan akibat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Saat ini dia berdiri di lantai teratas sebuah gedung, lebih tepatnya di atas dinding pembatas sehingga dia bisa melihat jalanan tepat di bawah kakinya.

“Mimpi?” tanya dia dalam hati. Seingat dia, terakhir kali dia membuka mata adalah saat dia dan teman-temannya berada dalam mobil, melakukan perjalanan kecil yang sudah menjadi rutinitas mereka tiap akhir bulan sebagai pelepas penat.

Rian mencoba untuk melangkah mundur, berniat untuk turun dari dinding pembatas karena pemandangan di bawahnya membuat perutnya mual dan kepalanya pusing. Bisa-bisa dia jatuh sungguhan, meski sebenarnya ini hanyalah sebuah mimpi.

Namun, dia tidak bisa mundur, seolah ada dinding tak terlihat yang menolak kehadirannya. Haruskah dia terjun dari gedung ini?

Saat itu, enam temannya terbang melewatinya. Wajah mereka terlihat sangat bahagia, seolah beban hidup mereka terlepas begitu saja dari pundak mereka. Bahkan Jeffri yang phobia tinggi terlihat bersenang-senang dengan yang lain. Melihat itu semua, Rian kembali memberanikan dirinya untuk terjun bebas dari gedung ini. Tidak akan terjadi apa-apa, dia akan terbang seperti teman-temannya yang lain.

Pria muda itu merentangkan kedua tangannya, menengadahkan kepalanya dan perlahan menutup matanya seiring dia melepas beban tubuhnya agar gravitasi menariknya.

Sayangnya, bukan gravitasi yang menariknya, melainkan sepasang tangan perempuan yang menariknya turun dari dinding pembatas. Dinding tak terlihat yang semula menolaknya seolah menghilang dan membiarkannya turun saat perempuan itu menariknya.

“Jangan lakukan hal konyol,” nasihat perempuan itu dengan senyum manisnya. Rian hanya diam, dia tidak tahu harus merespon apa nasihat tidak masuk akal dari perempuan itu. Bukankah mimpi adalah tempat untuk melakukan hal konyol?

Teman-temannya yang semula terbang bebas di udara berdiri di dinding pembatas tempat dia tadi sambil menatapnya dengan wajah berseri. Jay mengulurkan tangannya, menunjukkan ada dinding pembatas yang menolak mereka untuk mendekati Rian.

Rian tidak ingin memikirkan hal buruk, namun apa yang dilihatnya saat ini benar-benar di luar akal sehatnya dan dia tidak ingin menerima kenyataan pahit yang mungkin akan diberikan padanya sebentar lagi.

“Sekarang kamu mengerti apa yang terjadi?” tanya perempuan misterius itu. “Ini memang hanya sebuah mimpi, namun ini bukan mimpi biasa. Mimpi ini menunjukkan pembatas antara hidup dan matimu. Dan dinding tak terlihat itu adalah pembatasnya”

Itu artinya...

Keenam temannya perlahan menerjunkan diri mereka dari gedung. Kemudian secara ajaib mereka terbang. Awalnya mereka hanya terbang di sekitar Rian, namun kemudian mereka terbang tinggi dan semakin menjauhinya, meninggalkan Rian yang terduduk lemas setelah berusaha menggapai mereka. Pria muda itu mulai menangis, tidak terima dengan apa yang baru saja terjadi padanya.

Kenapa ini bisa terjadi? Apa yang terjadi setelah dia  memejamkan matanya di mobil kala itu? Kenapa hanya dia yang tidak tahu apapun yang harus tetap hidup?

“Bukankah seharusnya aku bersama mereka? Kenapa kamu menarikku turun di saat aku akan terjun menyusul mereka?” tanyanya di sela tangisannya.

“...Belum saatnya,” jawab perempuan itu kemudian menghilang entah ke mana.

Tangisannya semakin keras dan terdengar sangat pilu. Ingatannya tentang teman-temannya dan hari-hari mereka jalani bersama terus berputar di otaknya dan membuat kepalanya sakit. Entah sudah berapa lama dia menangis di sana, yang jelas saat ini dia merasa sangat kelelahan. Matanya perih karena terlalu banyak mengeluarkan airmata sedangkan tenggorokannya sangat kering. Dia bahkan tidak memiliki tenaga untuk duduk dan kini mengubah posisinya berbaring menatap langit.

....

Jake menyalakan handycam yang selalu dibawanya ketika mereka bepergian dan mengarahkannya pada wajahnya. Dengan ceria dia berkata, “Welcome to Jake TV” yang langsung mengundang gelak tawa di dalam mobil. Rian juga tertawa kecil melihat tingkah konyol salah satu sahabatnya yang paling narsis itu.

Jake dengan gaya seperti ‘vlogger’ kebanyakan mengarahkan kameranya pada Jay yang berada di belakang kemudi. “Say something, Jay

Peace,” balas Jay sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya yang bebas selama beberapa detik.

“Singkat dan keren seperti biasa”

“Aku sedang mengemudi,” peringat Jay membuat Jake berhenti mengarahkan kameranya pada Jay dan beralih pada Mark dan Jeff yang sibuk mengadu kemampuan gamers mereka. Saat sedang serunya, Jake dengan sengaja menekan asal layar ponsel Jeff yang menyebabkan pria muda itu kalah. Mark berseru senang, tidak peduli bahwa dia menang karena ulah jahil Jake sedangkan Jeff dengan kesal menatap Jake yang hanya tertawa melihat reaksinya.

Now, say ‘Hi’ to camera,” pinta Jake setelah tawanya reda. Jeff masih menatapnya kesal namun melakukan apa yang dia minta, diikuti Mark setelahnya sambil merangkul Jeff.

Rian tersenyum kecil melihat interaksi lucu sahabatnya. Entah mengapa saat ini dia merasakan perasaan tidak enak yang membuatnya tidak bisa tertawa lepas seperti biasanya.

Tiba-tiba kamera Jake sudah menyorot matanya. “Apa yang pangeran ini lamunkan?”

Rian mendorong kamera Jake agar menjauh dari matanya sambil menggelengkan kepala. “Aku mengantuk,” akunya.

Jake berdecih tidak senang. Dia kini mengarahkan kameranya pada dua sahabat mereka yang lain yang duduk di samping kiri Rian, yaitu anggota termuda mereka, Yoga dan Baim. Yoga tampak sibuk menggambar wajah Baim yang saat ini tengah terlelap, dia bahkan tidak menyadari kamera yang kini merekam perbuatan jahilnya tersebut.

Rian menatap sejenak ketiga sahabatnya itu lalu memutuskan untuk menyerah pada kantuknya yang semakin tidak bisa dia tahan. Dia menyandarkan punggungnya dengan nyaman dan mulai memejamkan matanya. Tidak berapa lama, dia sudah terlelap dan tidak tau apa yang terjadi selanjutnya.

....

“Apa yang kamu lakukan di sana?”

Rian terkejut saat mendengar suara perempuan yang seperti tidak asing di telinganya itu. Perempuan itu adalah perempuan yang menariknya turun dari dinding pembatas dan kini tengah duduk bersila sambil menopang dagunya. Rambut panjang bergelombangnya kini dia kuncir satu dengan pita berwarna navy.

Ya, apa yang dia lakukan di sini?

“Aku belum mati?” tanya Rian seperti orang bodoh. Dia baru menyadari posisinya saat ini, duduk di dalam mobil yang terbalik dengan posisi tubuhnya yang terbalik juga.

“Jika kamu tidak melewati dinding pembatas, maka jawabannya tidak,” perempuan itu mengulurkan tangannya yang disambut baik oleh Rian. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, dia menarik Rian keluar dari mobil tersebut.

“Apa kamu ingat sesuatu?” tanya perempuan itu seolah sudah tahu apa yang telah terjadi pada Rian. “Kamu tidak akan berada di tempat seperti ini jika tidak mengingat apapun”

“Ya,” jawab Rian lesu. Mengingat kembali masa di mana dia meninggalkan mereka begitu saja membuatnya kembali merasa bersalah. Perempuan itu tidak mengatakan apapun saat menyadari perubahan raut wajah dari Rian.

“Jadi artinya aku saat ini berada dalam keadaan koma?”

“Hah? Eum... Iya”

Rian mengangguk pelan dan mencoba untuk berdiri dengan tenaganya yang kembali. Dia tidak heran lagi. Dunia ini sudah terlalu banyak memberikannya kejutan dengan keanehan-keanehannya. “Apa ada tempat bagus di sini?”

Dengan senyum rahasia perempuan itu berkata, “Itu tergantung imajinasimu”

....


“Selamat pagi”

“Pagi,” Jay mengangguk singkat pada perawat yang menyapanya barusan dan kembali melanjutkan langkahnya menuju salah satu kamar rawat. Di dalam kamar tersebut, seorang perempuan terbaring dengan alat pendeteksi jantung, selang infus, dan masker oksigen melekat di tubuhnya.

Morning my princess,” ucapnya. Tangannya dengan hati-hati mengusap puncak kepala perempuan itu, matanya memperhatikan wajah damainya. “Kapan kamu akan bangun? Bisakah berhenti membuat kakakmu ini menderita?”

Tidak ada respon berarti dari perempuan itu, namun suara detak jantungnya yang masih stabil menandakan dia masih hidup. Jay diam, menikmati suara mesin pendeteksi jantung menemaninya dalam keheningan.

Tiba-tiba pintu kamar tersebut dibuka. Jay menghela nafas dan berbalik menatap tajam Jake yang baru saja datang. “Jika ada yang ingin dikatakan, nanti saja”

Jake menghentikan langkahnya, ragu apakah dia harus tetap masuk atau mundur keluar dari kamar ini. Sekali lagi Jay menghela nafas, matanya menatap tajam Jake, memberikannya perintah tanpa suara.

“Oke, oke. Aku tunggu di rumah Mark”

Jay mengangguk tanda dia mengerti, masih mengawasi Jake yang pelan-pelan berjalan mundur menuju pintu dengan wajah seperti maling yang ketahuan. Jika ini dalam keadaan biasa, Jay akan tertawa melihatnya. Namun saat ini kepalanya terlalu banyak memikirkan hal-hal buruk yang membuatnya tidak bisa tertawa, bahkan tersenyum.

Ketika sudah di luar, Jake menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Suasana di dalam kamar itu sangat menegangkan, dia merasa sulit bernafas, ditambah tatapan membunuh Jay yang selalu berhasil membuatnya takut.

Yoga dan Baim yang menemaninya menatapnya penuh tanda tanya. Namun Jake belum sanggup mengatakan apapun, hanya merangkul dua pria yang lebih tinggi darinya itu pergi meninggalkan rumah sakit.

Di layar televisi kini sedang menayangkan berita pencarian seorang pria muda bernama Rian, yang tidak lain adalah sahabat mereka. Sebenarnya, mereka berenam masih hidup, hanya Rian yang masih menghilang dan adik perempuan Jay lah yang masih berada di ambang kematian.

Sedangkan Jay yang masih di dalam kamar rawat meraih bingkai foto yang ada di meja nakas, foto adik perempuannya dan Rian berdiri berdampingan berlatarkan laut. Dia berdoa semoga Rian baik-baik saja dan segera ditemukan. Mungkin dengan begitu adiknya juga akan kembali padanya.

.....

Rian duduk di sebuah bongkahan kayu yang berada di pantai, menatap ombak tenang di hadapannya. Pikirannya melayang pada hari-hari di mana dia dan enam temannya bermain seperti anak kecil di pantai, sama-sama berselancar melawan ombak kecil karena mereka masih di tahap belajar. Dia ingat Jeff yang tidak bisa berenang memberanikan diri ikut berselancar bersama mereka dan perlahan terbiasa dengan ombak, Jay yang biasanya selalu serius saat itu paling bersemangat, Mark yang paling pertama menguasai teknik berselancar, Yoga dan Baim yang selalu berdebat, serta Jake dengan kamera yang tidak pernah lepas darinya.

Kini hanya dia seorang diri di pantai. Ah, tidak benar-benar sendiri. Perempuan misterius yang belum dia ketahui namanya ada bersamanya, sibuk bermain kejar-hindar ombak. Dia benar-benar tidak peduli jika saat ini Rian memperhatikannya atau mungkin saja dia tanpa sengaja melewati dinding pembatas dan mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara yang aneh.

Kemudian otak cerdasnya berfungsi kembali. Ini adalah mimpinya bukan? Lalu mengapa perempuan itu ada bersamanya? Apakah dia semacam jelmaan dewa kematian yang menjaganya? Atau dia seseorang yang Rian lupakan? Bukankah di saat seseorang dekat dengan kematian maka mereka akan mengingat orang yang paling mereka rindukan? Jika begitu, siapa perempuan di hadapannya ini?

“Sena”

Dia berdiri, kini mengingat siapa perempuan misterius itu. Sena, adik perempuan Jay, adik kesayangan mereka bertujuh, dan juga pacarnya.

Sena sepertinya tahu bahwa Rian telah mengingatnya kembali. Perempuan itu berhenti bermain dengan ombak dan menghampiri Rian yang berdiri mematung. “An!” panggilnya riang.

Rian menatap sendu Sena di hadapannya. Dia yang semula berdiri mematung kini tidak mampu berdiri tegak. Kedua kakinya seolah kehilangan tenaga untuk menopang tubuhnya. Dia tidak percaya bahwa dia bisa melupakan Sena, perempuan yang paling dia sayang selain ibu dan dua kakak perempuannya.

Sena yang selalu mendengar keluh kesahnya, yang selalu menyemangatinya kala dia berpikiran negatif, dan dia juga selalu mengeluh manja akan hal-hal kecil serta meminta dukungan dari Rian agar pria itu tidak merasa bahwa hubungan mereka hanya sepihak, hanya dirinya yang menerima. Perempuan yang paling mengerti dirinya dan selalu mencoba melengkapi dirinya dengan hal-hal kecil yang terkadang tidak diperhatikan orang lain namun selalu dia lakukan.

Bagaimana bisa dia melupakan perempuan itu?

“Kamu enggak salah,” ucap Sena berusaha menenangkannya. “Sekarang, pejamkan kedua matamu, fokuskan pendengaranmu pada suara ombak, dan coba ingat kembali semuanya”

Rian menggeleng kuat, matanya mulai berkaca-kaca. Dia benar-benar tidak sanggup menerima kenyataan pahit lainnya. Cukup sekali saja dia merasakan kehilangan lagi. Namun Sena dengan tenang menggenggam kedua tangannya. “Semua baik-baik saja,” bisiknya.

Tidak. Firasatnya mengatakan semua tidak akan baik-baik saja. Dia menatap Sena penuh mohon, “Kita bisa tetap di sini”

Dengan sabar Sena berusaha menenangkan Rian yang diserang panik. “Lalu bagaimana dengan keluarga kita? Kamu akan membuat mereka menderita melihat kita terbaring koma bertahun-tahun? Aku tidak ingin membuat kakak Jay menderita”

Wajah ibunya terlintas di pikirannya, membuat hatinya goyah. Dia tidak ingin membuat ibunya menangis. Dia juga mengingat Jay yang selalu berpesan padanya untuk terus menjaga adik kesayangannya saat dia mengatakan dia jatuh cinta pada Sena. Tapi dia tidak mungkin bisa kehilangan perempuan di hadapannya ini.

Rian mengeratkan genggaman tangan mereka dan berusaha bertanya memastikan, “Kamu tidak akan pergi?”

Dengan senyum misteriusnya Sena menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan lain, “Kenapa kamu berpikir seperti itu?”

Rian menelan ludahnya gugup, lidahnya terasa kelu untuk mengatakan apa yang ada di dalam otaknya, tubuhnya bergetar kuat. Sena yang selalu memahaminya menunggu dengan senyuman penuh arti.

“...Karena aku sudah ingat apa yang sebenarnya telah terjadi”

....

“An!”

Panggilan riang itu membangunkannya dari tidur siang singkatnya. Dengan lesu Rian mengubah posisinya menjadi duduk agar Sena dapat duduk di sampingnya. Dia tidak tahu mimpi apa yang baru saja dia alami namun perasaannya sangat buruk saat ini.

“Kenapa?”

Rian hanya menggeleng tidak bersemangat. Dia mengusap kasar wajahnya dan beralih memperhatikan Sena di sampingnya. “Kenapa?”

Sena mencubit gemas pipi Rian, “Aku duluan yang bertanya”

“Gelenganku tadi sudah menjawab pertanyaanmu”

“Ya, dengan penuh ambigu”

Rian tertawa kecil, membiarkan Sena dan tangan kecilnya beraksi memukul-mukul pelan tubuhnya. Melihat Sena yang seperti itu membuatnya gemas sendiri. Dia merasa beruntung memiliki Sena sebagai pacarnya.

“Kita ada janji sore ini. Kak Jay udah nunggu di luar”

Ah, Rian baru menyadari bahwa saat ini Sena berada di rumahnya, bukan sebaliknya. Sena termasuk jarang bepergian. Jika dia akan pergi, pasti Jay atau Rian yang akan mengantar jemputnya, bahkan menemaninya.

Dengan canggung Rian mengusap belakang lehernya. Dia lupa akan janjinya dengan enam sahabatnya ditambah Sena. Ini pertama kalinya dia bisa melupakan hal kecil seperti itu yang semakin membuat firasatnya tidak enak.

“An~” rengek Sena menyadarkannya kembali dari lamunannya.

“Kamu tunggu di sini, aku ganti baju dulu”

Sena berpikir sejenak lalu menyetujui permintaan pacarnya itu. Dengan cepat Rian berlari ke kamarnya, mencuci wajahnya dan mengganti pakaiannya. Tidak sampai sepuluh menit, dia sudah kembali berpakaian rapi dan wajah segar. Sena tersenyum puas dan segera menarik tangannya menuju gerbang rumah, tempat Jay dan yang lain menunggu di dalam mobil.

Sena duduk di bagian depan, di samping Jay yang bertugas mengemudi hari ini. Dengan terpaksa Rian duduk di bagian tengah, di samping Jake yang sudah heboh sejak melihat dia dan Sena keluar dari rumah. Dan perjalanan kecil mereka pun dimulai dengan penuh canda tawa. Namun entah mengapa Rian tidak merasa dia bisa tertawa bebas seperti biasa pada hari itu.

Dia tidak menyadari, bahwa Sena yang memperhatikannya sejak dia bangun tadi juga tidak dapat tertawa bebas begitu melihat wajahnya.

Akhir bulan ini mereka tidak mengadakan liburan bersama seperti biasanya karena Yoga dan Baim sibuk mengurus skripsi mereka. Untuk menebus liburan tertunda tersebut, sore itu mereka melakukan perjalanan ke pantai terdekat. Meski hanya menghabiskan waktu bersama selama beberapa jam, namun itu sudah cukup bagi mereka. Toh mereka juga masih bisa menghabiskan waktu di tempat lain, bahkan dengan saling menghubungi saja sudah bisa melepaskan rasa rindu mereka.

Yoga dan Baim berlari di pinggir pantai sepuas yang mereka bisa dan melupakan sejenak skripsi yang akan mengganggu hidup mereka. Di belakang mereka, Jake berlari dengan kameranya mengabadikan momen itu. Rian yakin itu akan menjadi ‘headline’ vlog Jake nantinya. Mark, Jeff, serta Jay ikut berlari kecil di belakang Jake sambil bersenda gurau mengenai pekerjaan mereka karena mereka bekerja di perusahaan yang sama.

Sena tidak bisa menikmati momen sore itu setelah melihat ekspresi Rian yang tidak biasa tadi. Dia berjalan di belakang kakaknya dengan kepala tertunduk, menatap kosong pada bekas jejak kaki yang dia buat di atas pasir basah. Sama halnya dengan Sena, Rian tidak berniat merangkul atau bermesraan sedikit dengan pacarnya. Dia hanya berjalan seorang diri dengan jarak lima meter dari sahabatnya dan Sena. Pikirannya kembali melayang pada mimpi buruk yang dia alami tadi siang dan belum dia ceritakan pada siapapun, bahkan pada Sena pun tidak.

“Rian!”

Dia menoleh, mendapati enam sahabatnya ditambah Sena sudah berhenti berlarian dan menunggunya dengan tatapan yang tidak bisa dia artikan, terutama Sena. Memberikan senyum kecil untuk menutupi dirinya, Rian mendekati Sena dan langsung merangkul pacarnya itu. Jay menatap tangan Rian yang merangkul adiknya dan hanya bisa menghela nafas. Ya, kini bukan hanya dia saja yang bisa merangkul adiknya seperti itu. Bahkan mungkin nanti adiknya tidak ingin menerima rangkulan darinya. Dia sama sekali tidak menangkap ekspresi janggal yang diberikan oleh adik perempuannya dan Rian, sama seperti yang lain juga tidak terlalu memperhatikan hal kecil seperti itu.

Perjalanan singkat mereka dihabiskan dengan menikmati barbeque di pinggir pantai. Sena memperhatikan Rian yang fokus memanggang dan mengurungkan niatnya untuk mengajak pacarnya bicara. Nanti saja setelah makan dia akan mengajak Rian berbicara berdua sebelum mereka kembali pulang ke kota. Sekarang saatnya dia fokus dengan daging mentah serta sayuran di hadapannya.

“Capek?” tanya Jay khawatir. Dalam hati Senan mengasihani dirinya sendiri karena memiliki seorang kakak tidak peka. Dia sudah tidak bersemangat sejak tadi sore dan Jay baru bertanya malam ini?

“Hm? Sedikit,” bohong Sena memberikan tusukan buatannya pada Jay yang bertugas sebagai perantara antara dia dan Rian.

“Duduk aja, biar kakak yang lanjutin”

Sena melirik Jake yang masih merekam Yoga dan Baim di pinggir pantai lalu beralih pada kakaknya seolah meminta persetujuan. Jay ikut melirik tiga sahabatnya yang paling konyol dan menatap Rian yang masih fokus pada pekerjaannya. “Rian,” panggilnya.

“Hm?” sahut Rian tanpa menoleh.

“Temenin Sena istirahat”

Barulah Rian menatap sepasang kakak adik itu, membiarkan Mark dan Jeff yang mengambil alih tugasnya sepenuhnya. Baiklah, Sena menarik kembali kata-katanya yang mengatakan bahwa Jay tidak peka. Dengan senyum lebar dia menarik Rian menuju salah satu sudut pantai yang sedikit jauh dari tim bermain dan tim memasak namun masih bisa Jay pantau dari kejauhan.

Mereka berdua duduk bersebalahan di atas pasir lembut dengan suasana yang seketika menegang di antara mereka karena tidak ada lagi yang mengusik pikiran mereka. Seharusnya salah satu di antara mereka ada yang mulai berbicara untuk mencairkan suasana, namun Rian terlalu takut untuk menceritakan apa yang mengganjal di pikirannya sejak tadi sore dan Sena juga terlalu bingung harus mengatakan apa pada Rian.

“Apa kamu masih mikirin itu?” akhirnya Sena berusaha bersikap lebih dewasa dengan membuka percakapan mereka. Dapat dia lihat Rian langsung menegang saat mendengar pertanyaannya. Namun dia tidak akan langsung menyerang pacarnya dengan pertanyaan langsung seperti yang ditakutinya. “Kalau kamu bukanlah pacar yang baik buat aku?”

“Ah...” sahut Rian merasa sedikit tenang. Sena tersenyum simpul. Bahkan untuk hal kecil seperti ini saja sangat dia perhatikan, membuat Rian tidak hentinya merasa bersyukur memilikinya. “Ya, mungkin”

“Hm...” Sena masih berusaha mengulur waktu, menantikan Rian yang membuka topik terlebih dahulu. Bukankah dia tadi sudah cukup mengalah dengan membuka percakapan terlebih dahulu?

Hembusan angin laut malam menerpa mereka. Sena berusaha untuk tetap tenang dengan memandang ombak bebas di hadapannya, sedangkan Rian sudah berkeringat dingin, berusaha memantapkan hatinya untuk mengatakan apa yang mengusiknya.

“Sebenarnya-“

“Sena, Rian!” panggil Jay pada waktu yang sangat tidak pas. Sena memejamkan matanya masih berusaha tetap tenang. Dia akui Rian terlalu banyak mengulur waktu untuk membicarakan masalahnya kali ini. Ini adalah pertama kalinya dan dia hampir kehilangan kesabarannya.

“Ayo kita makan malam,” perempuan itu berdiri terlebih dahulu. Dia tidak yakin masih bisa tetap tenang jika masih berada di sana. Namun sepertinya Rian benar-bena ingin menguji kesabarannya dengan menahannya untuk pergi.

“Aku mimpi buruk tadi siang,” ucapnya mulai membuka topik. Sena tidak merespon apapun, kesabarannya yang sudah hampir habis itu membuatnya tidak ingin menanggapi ucapan Rian sama sekali kecuali dia mendengar keseluruhan cerita Rian.

Rian diam selama beberapa menit. Tiba-tiba lidahnya kelu dan rasanya sangat sulit untuk mengeluarkan satu kata dari mulutnya. Dan habis sudah kesabaran Sena. “Ayo kita makan,” putusnya.

Pria muda itu mengira Sena tidak terlalu menanggapi masalahnya dengan serius dan dengan kecewa berdiri dan berjalan terlebih dahulu mendekati sahabatnya. Sena, yang kesabarannya sudah habis dan pertahanannya runtuh dengan terisak berbisik, “Aku takut...”

Dengan terkejut Rian berbalik. Airmata Sena sudah turun membasahi pipinya dan perempuan itu menatapnya nanar. “Kamu pikir aku tidak merasakan apapun ketika melihat wajahmu? Sudah lama aku menantikannya dan hanya ‘Aku mimpi buruk tadi siang’ yang bisa kamu katakan?”

Sena masihlah orang yang paling mengerti dirinya, yang paling memperhatikannya. Dan dia masihlah pacar buruk yang paling tidak mengerti dirinya sendiri dan paling tidak memperhatikan Sena.

Tangisan Sena semakin menjadi melihat Rian hanya diam saja dan terus menyalahkan dirinya sendiri tanpa berniat menenangkannya atau setidaknya kembali menceritakan apa yang dia mimpikan tadi siang.

“Sena?” panggil Jay yang paling sensitif jika sudah menyangkut adiknya. Dari sudut matanya Rian dapat melihat Jay melangkah mendekati mereka berdua, dan dengan panik dia memeluk pacarnya. Sena membalas pelukannya, membenamkan wajahnya pada dada bidang Rian, menumpahkan seluruh airmatanya hari ini pada Rian. Dan Rian hanya diam menerima semuanya. Karena semuanya memang salahnya.

....

Lama Sena diam setelah Rian mengatakan bahwa dia sudah ingat apa yang sebenarnya terjadi. Lalu dengan tenang dia menanggapi ucapan Rian, “Jika begitu, lanjutkan. Apa yang ada di pikiranmu, ceritakanlah semua. Aku bukanlah seorang peramal yang bisa menebak semua yang ada dalam pikiranmu. Aku akan menunggu hingga kamu siap, kali ini kesabaranku tanpa batas”

Rian menggeleng kuat, tangisnya semakin pecah. Tangisan penuh penyesalan yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua saat ini. Dia tidak sanggup mengatakan kebenarannya dengan mulutnya sendiri. Dia selalu berharap hal ini tidak akan terjadi pada dirinya, setiap malam dia selalu berdoa bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja.

Sayangnya ada hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita di dunia ini. Karena tidak selalu hal baik benar-benar baik, dan hal buruk tidak selalu benar-benar buruk. Tidak ada yang bisa mengalahkan kuasa Tuhan mengenai pilihan-Nya. Itulah yang saat ini tengah dialaminya. Kini dia sangat mengerti bagaimana perasaan ketakutan yang menghantui Sena di hari itu saat dia tidak kunjung menceritakan apa yang ada di pikirannya dengan baik. Jika saja dia menceritakannya, mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi.

Tiba-tiba suara ombak yang dia dengar berubah menjadi suara klakson mobil yang saling bersahutan. Dengan terkejut dia memperhatikan sekelilingnya dan mendapati bahwa kini dia dan Sena berada di trotoar jembatan penyebrangan di mana mobil berlalu lalang di belakang Sena sedangkan sungai besar di bawah mereka.

“Sena...” ucapnya panik.

“Aku memang menunggumu, namun waktu kita tidak banyak. Bukan aku yang membuat keputusan di sini,” Sena melepaskan genggaman mereka. “Ingatlah, bahwa aku sangat mencintaimu dan apa yang telah terjadi antara kita berdua bukanlah salahmu,” ucapnya mencium pelan dahi Rian yang basah oleh keringat dingin.

Dengan langkah ringan seperti tanpa beban Sena berjalan menuju pagar pembatas jembatan di mana terdapat dinding tidak terlihat yang merupakan pembatas antara hidup dan mati. “Tidak, Sena...” mohon Rian. Namun kakinya yang masih lemas tidak mampu bergerak, menguncinya di tempat. Dengan sekuat tenaga Rian meraih Sena, menyeret kedua kakinya yang mati rasa dengan satu tangan terulur berusaha meraih tangan Sena.

“Kamu harus kembali,” ucap Sena tersenyum sedih menatapnya, perlahan memejamkan matanya dan menjatuhkan dirinya dari pagar pembatas.

Rian berteriak penuh putus asa saat itu juga, tidak peduli jika suaranya hilang jika itu bisa mengembalikan Sena padanya. Sayangnya Sena tidak akan kembali, dia tahu hal itu.

....

Seorang laki-laki berhoodie hitam berjalan dengan kepala ditunduk menuju salah satu kamar rawat. Tangan kanannya memegang kuat buket bunga indah perpaduan warna biru putih, sedangkan tangan kirinya yang bebas terus berusaha menutupi wajah paniknya. Beberapa orang yang melihatnya menyangka dia baru saja melakukan kejahatan dan berniat melaporkannya, namun ditahan oleh para perawat yang sudah mengenalnya.

“Dia salah satu wali pasien, dan memang dia selalu datang seperti itu,” jawab salah satu perawat ketika seseorang melaporkannya.

Langkahnya berhenti di depan kamar dengan nomor 1510. Tangan kirinya yang sejak tadi menutupi wajahnya membuka pintu kamar dan dengan cepat seakan seseorang mengejarnya dia melangkah masuk. Dia sandarkan punggungnya yang tegang sejak di depan rumah sakit pada pintu dan perlahan terduduk di sana sambil mengatur nafasnya.

Setelah dia merasa sedikit tenang, diperhatikannya satu-satunya pasien yang terbaring di kamar itu. Seorang perempuan berambut hitam bergelombang sepunggung dengan selang infus di tangan kanannya dan masker oksigen menutupi setengah wajahnya. Tidak ada suara apapun di kamar itu selain deru nafas sang laki-laki yang sudah sedikit tenang dan suara mesin pendeteksi detak jantung yang terpasang di tubuh perempuan tersebut.

“Apa kamu tidak bosan bermain seorang diri di alam mimpimu, Sena?” ucap laki-laki itu yang sudah berdiri dan melangkah mendekati perempuan yang dia panggil Sena itu. Tidak ada respon, tentu saja. Satu helaan nafas panjang keluar dari laki-laki itu dan dia memberanikan dirinya untuk mengusap rambut panjang Na Young lalu beralih pada pipinya yang tirus, kemudian berakhir pada tangan lemahnya.

“Bisakah kamu berhenti menyiksaku seperti ini?” dimainkannya lima jari Sena, berharap ada respon dari sang pemilik. Sayangnya Sena masih terlelap dalam tidurnya.

Laki-laki itu mulai menangis. Dia menggenggam erat tangan Sena, meminta kekuatan dari perempuan itu.

Ini memang salahnya. Jika saja dia menceritakan apa yang mengganggu pikirannya di hari itu, maka mungkin itu tidak akan membuat Sena kehilangan ketenangannya dan selalu diserang rasa ketakutan berlebih yang menghantuinya selama beberapa hari terakhir hingga berakhir dengan dia yang terjatuh dari gedung. Dia memang masih hidup saat ini, namun kecil kemungkinan untuk dia kembali ke dunia ini. Menurut dokter yang menanganinya, dibutuhkan sebuah keajaiban untuk membangunkannya kembali.

Kapan keajaiban itu akan kembali? Berhari-hari dia terus berdoa meminta Tuhan untuk mengembalikannya, namun hari-hari dia tetap saja tersiksa dengan hal yang tidak pasti ini. Haruskah dia mengorbankan nyawanya sendiri sehingga Sena dapat hidup kembali?

Tangisannya terhenti tiba-tiba. Anggap saja dia sudah kehilangan akal sehatnya hari itu. Dia berdiri, menatap wajah tenang Sena selama beberapa menit kemudian memantapkan hatinya. Jika saja keajaiban itu datang saat ini, maka Sena akan membuka matanya dan menahan kepergiannya. Namun sesuai namanya, keajaiban adalah suatu yang jarang terjadi di dunia ini.

Dengan begitu Rian yang sudah memantapkan hatinya berusaha meminta Tuhan untuk mengganti nyawanya dengan nyawa Sena dengan cara menerjunkan dirinya ke sungai tempat Sena tadi menjatuhkan dirinya.

....

Rian membuka matanya, membiasakan cahaya masuk dan menajamkan pandangannya. Dia sudah tahu di mana dia saat ini, dan airmata jatuh begitu saja dari matanya. Dia tidak berhasil menukar nyawanya dengan nyawa Sena dan menyelamatkan hidup perempuan yang paling dia sayang itu. Justru Sena yang menyelamatkannya, seperti biasa.

“Hey,” suara serak Jay menyambutnya. Dengan wajah yang masih terlihat lelah Jay berusaha tetap tegar menatap sahabatnya sekaligus pria yang paling disayang oleh adik perempuannya.

Rian memejamkan matanya dan berbisik sedih, “Aku tahu tanpa diceritakan”

Ketujuh pria itu diam dalam kesedihan mendalam mereka yang tidak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata.

Tags: tlwc19

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
An Angel of Death
308      187     1     
Short Story
Apa kau pernah merasa terjebak dalam mimpi? Aku pernah. Dan jika kau membaca ini, itu artinya kau ikut terjebak bersamaku.
29.02
369      172     1     
Short Story
Kau menghancurkan penantian kita. Penantian yang akhirnya terasa sia-sia Tak peduli sebesar apa harapan yang aku miliki. Akan selalu kunanti dua puluh sembilan Februari
Sisi Lain Tentang Cinta
705      380     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
Rumah Hantu
316      203     2     
Short Story
kenapa kamu harus setakut itu dengan hantu?
My Halloween Girl
988      521     4     
Short Story
Tubuh Kevan bergetar hebat. Ia frustasi dan menangis sejadi-jadinya. Ia ingat akan semalam. Mimpi gila itu membuatnya menggila. Mimpi itu yang mengantarkan Kevan pada penyesalan. Ia bertemu dengan Keisya dimimpi itu. “Kev, kau tahu? Cintaku sama besarnya denganmu. Dan aku tak akan membencimu,”. Itu adalah kata-kata terakhir Keisya dimimpinya. Keisya tak marah dengannya. Tak membencinya. Da...
ashira dan Kematian
264      177     3     
Short Story
Ashira kehilangan Gabriel. ia berusaha menangkap pencuri yang sudah membuat gabriel pergi. namun semua berbalim ketika Ashira tau tentang siapa sebenarnya yang melakukan hal itu pada Gabriel.
25 September
343      224     2     
Short Story
Sekelumit cerita tentang seorang wanita yang merasa ada hal yang aneh dengan kekasihnya. Manisnya cerita mereka malah ditaburi peristiwa menyeramkan di luar nalar. Lalu apa yang terjadi di tanggal 25 September? Ikuti kisahnya dan temukan jawabannya !! Hati-hati dengan orang terdekatmu.
Test From The Spirit World
320      200     1     
Short Story
Kelly mengalami kecelakaan parah yang nyaris merenggut nyawanya. Namun, untuk mengembalikan rohnya ke dalam tubuh, ia harus menjalani tes dari Petinggi Dunia Roh. Dituntun oleh seorang pengawal roh, apakah Kelly akan berhasil melewati tes tersebut? Jika gagal, tentu saja ia harus menanggung risikonya…
Inspektur Cokelat: Perkara Remaja
275      188     1     
Short Story
Elliora Renata, seorang putri dari salah satu keluarga ternama di Indonesia, hal itu tak menjamin kebahagiaannya. Terlahir dengan kondisi albinis dan iris mata merah tajam, banyak orang menjauhinya karena kehadirannya disinyalir membawa petaka. Kehidupan monoton tanpa ada rasa kasih sayang menjadikannya kehilangan gairah bersosialisasinya sampai akhirnya...serangkaian kejadian tak menyenangkan...
One hour with Nana
310      209     3     
Short Story
Perkelahiannya dengan Mandala sore itu, membuat Egi dalam masalah. Mandala tewas setelahnya dengan tubuh penuh luka tusukan. Semua orang, pasti akan menuduh Egi sebagai pelaku. Tapi tidak bagi seorang Nana. Bagaimana Gadis berwajah pucat itu menangkap pelaku sebenarnya? Bisakah Egi selamat dari semua kejadian ini?