I : Memperkenalkan, Elliora Renata
Hari-hari tampak berjalan biasa, tapi tidak bagiku. Bagi kebanyakan orang masa SMA atau SMK adalah masa emas dari seorang manusia, mungkin banyak yang berkata jika aku adalah orang membosankan lantaran sifat cuekku.
“Boneka porselen lewat!”tunjuk salah satu kepala geng sekolahanku yang kala itu tengah merokok di sebuah gang kecil di dekat gedung sekolahan. Aku tetap berjalan tak menggubris mereka karena terlalu sibuk membaca sebuah novel misteri.
“Awas bos!”
“Itu mata ga pernah tidur apa ?”celetuk salah satu dari mereka dapat kudengar.
“Mata kok merah, itu mata apa darah ?”timpal salah satu dari mereka seraya datang menghampiriku yang diam membeku karena mengungkit perihal iris mataku. Panas telingaku mendengarnya, jika bisa aku ingin memotong telingaku agar suara mereka tak dapat didengar lagi.
Ah…ini benar-benar menjengkelkan sampai akhirnya suara lolongan mereka yang mirip dengan anjing itu menghilang ketika seorang pemuda datang memukuli mereka dengan brutal sampai salah satu dari mereka bersujud memohon ampun. Pemuda itu mengenakan celana abu-abu yang masuk sesuai dengan peraturan sekolah, aku tidak mengenalinya karena sebagian wajahnya tertutupi oleh slayer merah khas preman, menutupi sebagian mulutnya.
Aku menatapnya nanar serta sepertinya aku membeku di tempat, tak lama setelahnya dia menghampiriku dan menarik tanganku kasar menuju halaman belakang sekolah, mengingat aku tinggal di belakang perumahan sekolahan, sehingga gerbang belakang merupakan alternatif bagiku yang terkadang suka telat.
Napas kami sama-sama tersengal, ketika kami sudah memasuki halaman belakangan sekolahan yang masih sepi itu. Beberapa penjaga kantin tampak masih bersiap-siap. Mungkin aku datang terlalu pagi, aku menatap pemuda yang kemudian berjalan di sebelahku dan reflek mengucapkan terima kasih kepadanya. Padahal aksi tadi mungkin hanyalah bentuk ‘dendam’ kepada geng grup Yuda, tapi tampaknya pemuda ini memiliki kedudukan jauh lebih tinggi dari si kepala geng Yuda dari kelas XII-RPL-1.
Dia menggelengkan kepalanya dan membuka maskernya, wajahnya cukup asing, kulitnya hitam manis, bibirnya tipis dan kedua sorot matanya tajamnya bersembunyi di balik kacamata hitam yang masih dikenakannya.
Aku tidak mengenalinya dengan betul lantaran hodie-nya menutupi hampir keseluruhan rambutnya. Tapi suaranya tampak familier di telingaku, aku cukup mengenalnya karena sering mendengarnya di sekolahan.
“Kalo lo dirundung lagi, lawan apa!”bentaknya berhasil membuat hatiku memanas karena emosi. Mungkin baginya melawan itu adalah mudah, tapi bagiku? Aku lebih memilih bertahan ketimbang melawan karena hal seperti itu sama sekali tak berguna.
“Gak guna,”Aku menukas bentakannya, aku melirik ke ujung mulutnya yang tampak robek itu sebelum akhirnya reflek menyerahkan plester yang baru kuambil dari dalam ranselku, “Nih,”kataku.
Dia mengambilnya dan menatapku heran, “Lo ini sebenernya punya emosi gak sih ?”cemoohnya berang, meungkin dia bingung.
Aku hanya memiringkan kepalaku, “Iya,”kataku malas, “tapi tak ada gunanya menunjukkannya,”lanjutku seraya berjalan mendahului sosoknya untuk menuju kelas yang ada di lantai 3.
Dia membuntutiku dan mendengus sebelum akhirnya membalikkan badanku sehingga kami saling bertatapan saat ini, dia menatapku tajam—tampaknya begitu karena kedua alisnya saling bertaut—sebelum akhirnya mencubit pipiku, “Pantesan mirip banget boneka porselen banget,”sungutnya setelah menelik cukup dalam mataku, ia kemudian pergi melenggang ke lantai 2, tempat toilet berada.
Aku menatapnya heran dan bingung karena siapa dia? Aku bukanlah orang yang mudah mengingat nama orang dan wajah orang.
Aku berjalan menuju lantai 3 dan membuka lokerku untuk mengambil beberapa buku catatan yang ditinggal, alangkah terkejutnya diriku menemukan secarik amplop berwarna hitam berisikan kertas hitam juga—itu surat, penulis menggunakan pena putih yang mengukirkan aksara yang asing di mataku. Aksara apa ini ? apakah ini aksara hanacaraka ?
Ini sudah yang ketiga kalinya aku mendapati surat kaleng ini, entah kenapa aku menafsirkannya sebagai surat ancaman, yang kulakukan hanyalah menghela napas tanpa membuka kertas itu, memasukkannya ke dalam ransel sebelum akhirnya memasuki ruang kelas nan masih sepi itu.
Aku menderita albinis, tubuhku gagal memproduksi melanin yang menghasilkan warna pada kulit. Jangankan kulit putih pucat bak kertas, rambutku juga putih, banyak yang menjulukiku sebagai boneka porselen SMK Kriya, karena bukan hanya penampilan fisikku putih bak boneka porselen, aku minim emosi juga kata banyak orang.
Meskipun sudah sering diolok-olok, aku selalu membalas olokkan mereka dengan nilai-nilai sempurna pada ujian praktek dan tulis, itulah sebabnya perlahan olokkan yang terkesan mirip lolongan anjing mencari perhatian sedikit mereda ketika semester 1 usai mendapatkan nilai hampir sempurna hampir di seluruh mata pelajaran.
II : Penikaman
Hari Rabu bukanlah hari yang menyenangkan bagiku. Maksudku, bukan berarti aku memiliki hari menyenangkan sebagaimana remaja pada umumnya, sama seperti biasa, aku datang ke sekolahan, duduk manis dan menyumpal kedua telinga ku dengan earphone baby blue kesayangan ku untuk menunggu guru datang ke kelas.
Hari Rabu, bukan hanya karena hari ini ada pelajaran olahraga saja, aku bertugas sebagai ketua regu piket sehingga aku bertanggungjawab penuh atas segala tugas piket hari ini mengingat anggota regu piketku itu sungguh payah!
"Elly sama Ikhya, bisa tolongin gue gak?”Rana menghampiriku, kebetulan Ikhya duduk tepat di depanku, “Tolong bawain semua bola voli ke gedung olahraga bisa gak ?”pintanya, “Gue ada rapat OSIS hari ini,”lanjutnya sambil mengangkat buku agenda OSIS-nya.
Aku yang kala itu asyik membaca novel hanya mendengus malas dan melenggang pergi menuju gudang.
Ikhya, dia adalah salah satu siswa unggulan dari kelas X-TKJ-1 yang meskipun tidak masuk peringkat 10 besar, mendapatkan nilai matematika dasar tertinggi mengalahkan anak-anak akuntansi.
Termasuk tipe pendiam, tapi ia memiliki circle persahabatan karib dengan keempat teman sekelasnya saja dan jarang terlibat obrolan serius orang lain termasuk diriku. Kami juga biasanya hanya melakukan tugas piket dalam diam tanpa berkata sepatah kata apapun, meskipun sebelumnya kami bersekolah selama 2 tahun di SMP yang sama—kami mulai sekelas ketika kelas 8 dan 9—kami sama sekali tidak pernah terlibat sepatah kata apapun, tidak ada basa basi hangat sebagaimana alumni pada umumnya, mengingat aku memiliki hawa keberadaan tipis sehingga jarang sekali orang menyadari diriku.
Tapi pagi itu dia tampak berbeda, dia baru saja datang, rambutnya acak-acakan tanpa disisir rapi seperti biasanya dan dia langsung berjalan membuntuti ku menuju gudang sekolahan untuk mengambil bola voli.
Tak lama, ketika aku baru saja membawa beberapa bola voli dari dalam sana, Ikhya terdiam, netra kelamnya tampak melihat sesuatu dari pojok gudang usang tersebut. Apakah dia melihat hantu atau sejenisnya?
Aku menghela napas, “Kita harus bekerja, cepat! Bukankah kau juga disuruh Rana untuk bekerja kan!”tegurku tak menggubris keberadaan orang ketiga itu.
Tak ada percakapan di antara kami bertiga, tersisa hanyalah hening sejenak, aku mengehela napas dan memilih mengabaikan kehadiran orang itu sambil mendorong keranjang berisikan bola voli yang cukup berat itu seorang diri ke luar gudang untuk dibawa ke gedung olahraga nan letaknya dekat dari gudang usang itu. Ikhya diam membeku dengan wajah pucat seperti orang melihat hantu.
Aku tak mengerti apa yang ada di kepala Ikhya pada saat itu, tak lama kemudian aku terhuyung jatuh ke depan lantaran Ikhya mendorong kasar tubuhku dia menarik kasar tanganku ke belakang bahunya, aku mengikuti arah tatapannya dan menatap nanar sebilah pisau bergerigi yang siap mengantarkan nyawa siapa saja.
“Jangan halangi cinta di antara kami lagi!”serunya seraya berlari mengunci pintu gudang, mataku membulat sempurna ketika dia mulai menebaskan pisau bergerigi itu secara membabi buta, beruntung Ikhya dapat menghindarinya dengan cepat.
Dia menebas punggung Ikhya yang masih diam mempertahankan kedudukannya sebagai pelindungku, di sisi lain aku mencoba sekuat tenaga membuka pintu menggunakan kunci piket, aku segera membuka pintu gudang itu tapi sayangnya, sebelum pintu itu terbuka dengan sempurna, pemuda itu kembali tertikam di bagian tangan kanannya—yang digunakan untuk melindungi organ vitalnya karena si penyerang mengincar jantungnya.
Mataku membulat ketika dia menarik tubuh Ikhya dalam sekali hempasan dan menebas hampir seluruh bahuku dengan pisau bergerigi itu, aku merasakan rasa sakit luar biasa, pada titik itu aku terjatuh seraya berpikir, mungkin ini adalah akhir hidup seorang Elliora Renata.
Aku jatuh tak sadarkan diri, samar aku sempat melihat Ikhya berdiri dan menghantam keras bagian kepala pelaku penyerangan itu dengan sekuat tenaga yang tersisanya sebelum akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri menimpaku yang sudah dalam keadaan sekarat.
III : Memperkenalkan, Salim Resta
Aroma antiseptik khas rumah sakit yang kubenci sejak lama langsung menyeruak tatkala aku terbangun. Langit-langit putih menyambut indera pengelihatanku, berikutnya aku merasakan rasa nyeri yang cukup menyiksa seluruh tubuhku dalam waktu singkat.
Aku melirik ke sebelah kanan menemukan sekat menutupi sebagian kamar ku, tampaknya aku berbagi kamar dengan orang lain. Aku melirik ke sebelah dan menemukan sofa yang disediakan untuk penjaga dari pasien dipenuhi oleh 2 orang asing yang sibuk berbincang.
Tak ada satupun yang kukenal di sana, seorang wanita berpakaian khas wanita karir tampak sibuk berbincang dengan seorang pemuda berpakaian setelan kemeja rapi seperti orang penting di kantor pemerintah, keduanya berbincang dengan hangat tanpa menyadari jika aku sudah terbangun.
Aku menggerakkan sedikit tanganku dengan harapan mereka dapat mendengarnya dan memanggilkan perawat untuk segera memeriksaku dan aku berniat menanyakan apakah kedua orangtuaku atau waliku sudah datang.
Pemuda berkulit sawo matang dengan kedua iris mata berbeda itu menoleh ke arah ranjang rawat tempatku berbaring, dia segera menghampiriku dan menekan sebuah alat yang berguna untuk memanggil beberapa perawat.
Terlihat dia berperawakan jangkung dengan sorot mata bulat nan lembut itu tampak menelaah keseluruhan diriku, aku membalas tatapannya dengan sayu mengingat tenagaku belum pulih sepenuhnya.
Tak lama, 5 orang perawat perempuan datang mengerubungiku dan segera melakukan pemeriksaan pada luka yang kuderita. Salah satu dari mereka yang dapat disebut sebagai ketua kemudian menghampiri salah satu wanita yang bersama pemuda itu untuk menjelaskan kondisi tubuhku saat ini.
“Siapa kalian?”tanyaku datar ketika para perawat baru saja keluar memeriksa lukaku.
Pemuda itu menggaruk tengkuknya, tampak canggung, “Aku Salim Resta, dari agensi detektif Interpol,”jawabnya memperkenalkan dirinya setelah duduk di atas bangku, dia kemudian mengangkat tangannya, “Dan beliau adalah wali sementaramu karena Bapak kamu, Pak Latif Ali Maksum dan ibumu Diana Pramata sedang sibuk menghadiri rapat di tempatnya kerja.”ungkap Salim dengan ekspresi wajah sedikit suram, “Dan beliau namanya Bu Yuanda Hassanieh, dia adalah ibu dari Ikhya yang dengan sukarela menjadi wali sementara Anda,”Dia memperkenalkan Yuanda, wanita yang kuterka berusia sekitar 35 tahunan ke atas itu.
Aku membungkukkan badanku, “Saya Elliora Renata, maaf bikin repot Anda, Nona Yuanda,”ucapku sesopan mungkin karena merasa tidak enak dengan wanita berparas manis itu.
“Gak usah formal banget Dek, saya Mama Ikhya, kebetulan Ikhya-nya juga dirawat sebelahan sama kamu,”ujarnya sambil menunjuk ke arah ranjang yang tertutupi oleh sekat pemisah. Tampaknya itu adalah ranjang tempat Ikhya berbaring.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah Salim Resta yang duduk di sebelah kiri Yuanda, kedua tangan berkulit sawo matangnya itu memegang pulpen dan buku kecil layaknya seorang detektif yang bersiap akan meminta keterangan dari korban, aku menghela napas sejenak seraya berkata jengkel.
“Apakah kau akan melakukan semacam interogerasi?”tanyaku dengan menatap lurus wajah pemuda itu, “Ayolah, aku adalah korban bukan pelaku,”sungutku kesal tak terlampiaskan.
Salim terkekeh, “Kau mengingatkanku kepada partner kerjaku,”gumamnya dengan senyum merekah di wajahnya yang manis sebelum akhirnya dia mengeraskan sedikit ekspresi wajahnya sehingga kesan serius, “Jika tidak keberatan saja, aku tidak ingin mengganggu kesehatan psikismu dulu, Nona Elliora.”
Aku menatap selang infus yang menempel pada tangan kananku sekilas, mengumpulkan sedikit niat untuk menjawab pertanyaan, “Hm…jika bertanya apakah kejadian ini adalah hal yang pertama bagiku. Maka jawabannya tidak,”Aku memulai untuk melakukan sesi tanya jawab dengannya, ini adalah kali keempatnya aku melakukan adegan sesi tanya jawab mengingat kasus serupa juga menimpaku 1 tahun lalu ketika masih duduk di kelas 1 SMP.
Salim menegakkan tubuhnya dan mengangkat wajah manisnya itu, menunjukkan sinyal keterkejutannya, aku hanya tersenyum masam mengingat rangkaian peristiwa tidak mengenakkan yang pernah ku alami semasa SMP. Kami sekeluarga tak dapat melaporkan ini ke pihak kepolisian lantaran takut menarik perhatian media massa mengingat keluarga kami adalah salah satu politikus yang cukup berpengaruh dalam pemerintahan negeri ini.
“Baiklah, apakah ini yang kedua kalinya?”tanyanya.
Aku mengangguk, “Ini yang keempat!”seruku jengkel, “Sudah 4 kali percobaan pembunuhan ku alami, dan motif ini benar-benar kelewat konyol,”dengusku mengingat kata-kata terakhir tersangka itu berhubungan dengan ‘cinta’. Jika memang tersangka adalah salah seorang murid, maka itu adalah mimpi buruk karena kebobrokan sistem pendidikan pikirku sekilas saat itu mengingat akhir-akhir ini guru-guru bersifat apatis, meskipun kami sudah SMA dan sudah dapat dibilang ‘dewasa’pemikirannya, mereka seharusnya tetap membimbing perbaikan etika kami. Guru BK saja hanya duduk manis di ruangannya tanpa memperhatikan setiap siswa yang melanggar.
Sekilas aku melirik Yuanda yang kini menutup mulutnya, tatapannya layaknya seorang Ibu mengasihani anaknya. Tatapan yang takkan pernah kulihat lagi mungkin dalam hidupku.
“Jika tidak keberatan,”Salim, pemuad berwajah manis yang lembut itu menimang sejenak tampak berpikir, “Bisakah Dek Elliora menceritakan rangkaian rencana pembunuhan yang pertam Adek alami ?”
Aku kembali menatapnya sekilas dan menunduk, “Pembunuhan pertama dan kedua menggunakan sianida dan tersangkanya tidak pernah ditemukan,”ungkapku singkat.
“Apakah tidak ada rekaman CCTV di dapur Anda?”
“Kejadiannya terjadi di villa yang disewa, pada saat itu aku sedang mengikuti acara perpisahan dan yang kedua di rumah utama ketika acara lebaran,”tukasku jengkel karena hampir saja mati konyol meminum teh yang sudah dicampurkan morfin berdosis tinggi itu, “Berikutnya yang ketiga sepulang sekolah ketika kelas 1 SMP, aku terbiasa pulang sambil membaca buku, aku tinggal di rumah Nenekku. Jarak sekolah dan rumah mereka cukup dekat sehingga aku memilih pulang menggunakan sepeda, kejadian itu terjadi ketika di kebun tebu—aku melewati jalan utama yang dekat kebun tebu. Seseorang tak kukenal menikam punggungku, tampaknya dia mengincar bagian jantung melalui belakang tapi sayangnya tikaman itu tidak terlalu tajam sehingga aku selamat.”
“Itu benar-benar mengerikan,”gumam Yuanda yang tampaknya tak terbiasa dengan kekerasan.
Aku hanya tersenyum kecil seraya meremas selimut itu dengan sedikit amarah membuncah, “Yang ini yang terakhir, aku melihat anak Anda—Nona Yuanida, ditikam, aku tidak tahu apa yang membuatnya mau melindungiku, tapi yang jelas ketika itu aku melihat kepala anak Anda ditendang dengan cukup keras hingga terdengar suara retakan tulangnya, aku terhuyung dan dia… menusuk perutku… seterusnya gelap dan aku tidak mengetahui apa-apa lagi kecuali suara teriakan yang datang dari Ikhya meminta pertolongan sebelum akhirnya dia jatuh tak sadarkan diri,”ceritaku terkait dengan perkara yang terjadi.
Salim menutup bukunya dan bangun dari posisinya, “Entah mengapa aku sedikit mendapat gambaran,”gumamnya ambigu berhasil membuatku sedikit tertarik, dia melirikku, “Apakah kau seorang kutu buku, Nona Elly ?”tanya pemuda itu mencairkan suasana yang semula cukup tegang itu.
“Aku hanya tertarik pada karya-karya Agatha Christie, dan Conan Doyle, aku tidak banyak membaca buku tapi yang jelas aku menyukai karya keduanya,”jawabku menjawab pertanyaan itu seadanya mengingat aku bukanlah tipe kutu buku, aku hanya menyukai karya dari keduanya.
“Pantas saja,”dengusnya, “Aku memiliki kakak angkat, dia memiliki rambut putih dan mata merah sama sepertimu,”ujarnya.
Aku memiringkan kepalaku sedikit lemas, “Apa maksudmu, albinis?”
Dia mengangguk seraya menunjukkan foto seorang gadis muda berusia sekitar 15 tahunan tengah merokok di sebuah balkon dengan ekspresi wajah datar, iris matanya benar-benar merah, persis sepertiku. Entah mengapa melihatnya sama saja seperti berkaca.
“Dia berusia 25 tahun,”ungkapnya berhasil membuat kami melongo tidak percaya karena gadis di foto itu sama sekali tidak terlihat seperti seorang perempuan dewasa, gurat wajahnya tampak menyenangkan seperti remaja. Salim kemudian terkekeh mendapati mata kami berdua melebar seakan keluar dari tempatnya, “Lagi pula, mungkin kalian tidak akan mengira jika usiaku sudah 21 tahun bukan,”tebaknya.
Aku memiringkan kepalaku, entah mengapa keluarga pemuda ini memiliki paras yang benar-benar menipu. Ah tidak, mungkin karena terlalu terpana pada keindahan kedua matanya, aku jadi tidak memperhatikan beberapa guratan di wajahnya sehingga aku tak dapat memperkirakan berapa usia pemuda tersebut.
“Kalian mirip sekali, sama-sama memiliki imajinasi tajam dan masa lalu hampir mirip,”Dia tampak menggerutu gusar, “Apa mungkin teori Doppelgänger benar-benar ada?”
Aku mengangkat bahuku tak mengerti, Yuanda yang sedari tadi hanya menanggapi cerita Salim kemudian mendapatkan sebuah telepon masuk. Dia memohon izin untuk mengangkat teleponnya—sungguh betapa beretikat baiknya wanita itu, jarang sekali aku melihat orang yang izin mengangkat teleponnya.
Tak lama, dia bergegas mengambil tas tenteng dan mantel berwarna birunya yang semula menggantung di atas sofa, “Apakah Anda tidak keberatan kutinggalkan ?”tanya wanita itu khawatir dan tampak gelisah ketika akan meninggalkan kami berdua, Salim menggelengkan kepalanya, “Tidak masalah, aku bisa menjaga keduanya di sini,”sahut pemuda itu ramah.
Yuanda yang tampak tidak enak itu kemudian membungkukkan tubuhnya dengan sopan, “Terima kasih, jika Ikhya bangun, tolong sampaikan permohonan maaf karena aku harus bekerja…kami kekurangan orang di pabrik,”jawab wanita itu segera pamit dan meninggalkan kami sebelum mendapat jawaban dari Salim.
Aku merasa sedikit merasa pening, “Berapa lama aku tidur?”tanyaku.
Salim tampak berpikir sejenak, “Sekitar 10 hari, Nona,”jawabnya santai.
Aku yang tengah meminum air sedikit tersedak, selama itu kah aku tidur ?
“Sedangkan itu, berapa lama Ikhya tidur?”
“Dia bangun lebih cepat dari Anda, tepat pada hari kelima, dia sudah sadarkan diri karena golongan darahnya memiliki rhesus plus sehingga mudah mencari pendonornya,”katanya, “Kau sangat perhatian sekali, apakah dia pacarmu?”tanyanya lagi.
“Bukan,”bantahku kesal, “Aku tidak memiliki pemikiran menikmati masa remaja seperti itu!” tukasku kesal. Dia hanya terkekeh sebelum akhirnya dia memasang ekspresi wajah serius.
“Aku heran,”Salim meletakkan pulpen bertinta hitam itu di atas nakas sejenak, “Kenapa kau bisa begitu tenang walaupun baru lolos dari maut? Seharusnya respon normal seorang gadis adalah ketakutan luar biasa atau tidak trauma,”selidiknya sambil mencondongkan tubuhnya, tatapan penuh selidik.
“Apakah Anda curiga jika aku memiliki gangguan kejiwaan yang berhubungan dengan ‘psikopatik’?”
Salim menjentikkan jarinya, “Betul sekali, 100 untukmu, kau benar-benar cerdas,” pujinya berhasil membuatku tersipu.
“Baiklah,”Dia mulai serius kembali dan menegakkan badannya, “Responmu terlalu tenang seperti air, aku jadi curiga jika kau psikopat yang merencanakan penikaman ini,”selidiknya.
“Oh!” Aku berseru jengkel, “Aku bukan seorang yang pandai bersandiwara dan bahkan aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Ikhya! Aku tidak punya alibi sebagai dalang dari penikaman ini!”tukasku kesal mengingat posisiku di sini adalah sebagai korban.
Dia terkekeh, “Jangan terlalu emosi,”ucapnya, “Nanti lukamu terbuka lagi,”nasihatnya.
Sejenak lengang karena Salim tampak sibuk menulis di atas buku catatan kecilnya itu, “Apakah di zaman ini, masih wajar ada yang namanya surat kaleng?”Aku mengalihkan pembicaraan karena tampaknya dia kehabisan bahan obrolan. Aku teringat dengan surat kaleng beraksara asing itu.
“Memangnya kau dapat surat apa itu?”tanya Salim, “Di mana kau menyimpannya sekarang ?”
“Di ranselku, bisakah kau mengambilkannya ?”
Dia mengangguk dan membawa ransel berwarna hitam milikku, aku merogohnya dan mencoba mencari surat-surat yang ditulis menggunakan kertas hitam itu.
“Apakah kau tahu ini aksara apa?”tanyaku setelah mendapatkan kertas itu dan menyerahkannya kepada Salim.
Salim menelaahnya sekilas, “Ini aksara Yunani, jarang sekali ada yang menggunakan aksara ini…”gumamnya, “Aku akan menanyakan artinya dulu kepada temanku!”Dia kemudian membuka ponsel flip berwarna merahnya dan tak lama terhubung dengan temannya itu.
“Halo, Semyon!”
Semyon? Nama yang aneh pikirku, apakah orang Polandia?
“…”
“Aku punya sedikit pekerjaan untuk seorang pengangguran ahli bahasa sepertimu!”
“…”
“Aksara Yunani, aku akan mengirimnya ke email nanti,”
“…”
“Aku juga sibuk, bye!”
Salim mematikan sambungan teleponnya dan kembali duduk di kursi tempat semula ia duduk, “Aku harus meninggalkan ruangan ini sekarang karena jam besuk sudah habis,”pamitnya, “Sampai besok lagi karena aku harus kembali bekerja, besok aku akan mengunjungimu lagi, Nona Ell!”
Berkas III : Kisah Roman Picisan
MASIH di hari yang sama, pukul 11, aku tidak bisa tidur. Beberapa perawat baru saja meninggalkan ruang rawatku karena sebelumnya mereka bertugas menggantikan perban yang membalut perutku, entah kenapa rasa sakit yang kurasa berhasil membuatku terjaga saat ini.
Mungkin ini efek karena sudah lama sekali tertidur jadi energiku benar-benar terkumpul. Aku mengambil ponselku, mendapati 3 pesan masuk dari 2 orang berbeda, 2 dari sepupuku dan yang satunya dari ibuku.
Ibu Negara
Udah siuman belum?
Basa basi yang terlewat basi, tak ada gunanya menjawabnya. Aku memilih untuk tak menjawabnya dan beralih ke pesan Manaf.
Manaf
Gue percayain nih kasus ke Salim. Ini masalahnya lingkungan sekolah sehingga sekolah itu tanggung jawab sama kasus ini
Gue harap pelaku bisa ditangkap
Aku tersenyum gusar dan mematikan ponselku lagi, masa bodo dengan semuanya, aku tidak peduli mereka!
“El?”
Samar aku mendengar suara dari sekat pemisah, aku sedikit melirik dan suara itu berasal dari Ikhya.
“Apa?”sahutku.
“Lo ga tidur?”
Aku menggelengan kepalaku, “Jika saya tidur buat apa saya jawab pertanyaan Anda?” balasku menggundang suara tawa kecil darinya.
“Sifat lo yang jelek itu bikin lo jadi tersisihkan dari masyarakat tau gak sih?”sindirnya.
“Aku tidak terlalu suka dengan basa basi,”tukasku datar.
“Tapi itu penting untuk membentuk suatu relasi antara manusia,”tukasnya dari balik sekat pemisah yang belum dibuka tirainya itu sehingga aku hanya mengira-ngira ekspresi wajahnya jengkel.
“Aku tidak mau mendengarnya dari seorang siswa pendiam sepertimu,”sindirku.
“Gue juga ga tau gimana caranya basa basi…”Dia bergumam lirih, tampak menunduk gerak-geriknya.
“Jadi, untuk apa kau menyuruhku untuk menjadi sosok ideal dari manusia?”
“Karena itu kekurangan lo.”
“Setiap manusia memiliki kekurangan,”tukasku berang.
“Gue ga tau gimana caranya… Apa karena lo-nya terlalu kritis, apatis dan skeptis, atau karena gue-nya yang pengecut,” Aku mendengar dia menahan napas sejenak, “Tapi sebenernya.”
Aku tak dapat mendengar berikutnya karena tampaknya obat tidurku mulai bekerja sehingga aku tidur terlelap.
***
IV : Faktanya
Seminggu berada di rumah sakit, aku bersikeras untuk pulang karena merasa lebih baik. Mungkin sudah diperkirakan aku bolos selama 15 hari di sekolahan dan kuharap sekolah memakluminya.
Sejak hari pertama membuka mata dan bertemu dengan Salim Resta, kami bertemu lagi setidaknya sebanyak 3 kali—terhitung dengan pertemuan pertama. Pada pertemuan kedua dia membahas terjemahan dari surat kaleng yang ditemukan di lokerku, dan terjemahannya itu benar-benar membuatku berang.
“Bisa dipastikan, pelaku pengiriman surat kaleng ini tahu rencana penikaman,”ujar Salim dengan senyum simpul menghias wajah manisnya itu.
“Jadi apa artinya ?”desakku tak sabar.
Salim mengeluarkan kertas kecil hasil terjemahan, “Aku sempat menduga awalnya, mereka berkomplotan, dan salah satu dari komplotannya itu berencana mengkudeta ‘atasannya’ tapi dugaanku salah, ini adalah surat peringatan untukmu,”ungkap pemuda itu dengan tenang seraya mengeluarkan lagi beberapa kertas dari berkas.
“Ini adalah kalimat berbahasa Indonesia yang dituliskan dalam aksara Yunani.”
“Jelaskan lebih lanjut.”
“Bagaimana ya ku jelaskannya ya, pelaku penulisan kaleng ini menggunakan aksara Yunani tapi di baliknya dia menggunakan bahasa Indonesia. Dia berharap kamu mengartikannya karena dia sudah tahu ada yang mengancam nyawa kamu dari jauh-jauh hari.”
Ah! Rupanya seperti itu.
“Jadi pelaku surat kaleng itu menuliskan bahasa Indonesia dengan aksara Yunani!”celetukku baru mengerti.
Dia mengangguk dan memberikan kertas yang merupakan terjemahannya.
Surat 1
Jangan pernah percaya dengan salah satu teman sekelasmu ketika SMP!
Surat 2
Aku tidak tahu apa yang direncanakannya. Tapi aku mencium gelagat aneh darinya, o, Elly malang, bisakah kau menjaga dirimu sendiri?
Surat 3
Hari Rabu, jangan pernah terima perintah siapapun ke gudang olahraga sendiri. Meskipun guru menyuruhmu!
“Pelaku surat kaleng ini,”Aku menggantungkannya karena ketika kubaca kembali surat itu, aku mengingat satu ciri khas huruf yang sedikit kukenal, “Apakah benar, Ikhya Hassanieh?” tebakku berhasil membuat Salim menjentikkan tangannya.
“Kau benar,”jawabnya, “Dia mengakui kepadaku bahwa dia sudah memperingatimu karena sudah menemukan siapa pelaku dari aksi penikaman ini.”
“Se-secepat ini? Hanya dalam 14 hari saja?!”
Aku masih tidak tahu metode apa yang dilakukan olehnya itu dalam memperoleh informasi dan berorientasi untuk mengungkap tabir misteri dari pelaku yang menikamku kemarin.
Salah seorang pelayan yang bertugas untuk mengganti perbanku baru saja keluar dari kamar. Hari ini aku memilih untuk libur sebelum memasuki sekolah besok, lukaku juga sudah mengering dan tubuhku juga lebih ringan dari biasanya.
PIP…PIP.
Tak seperti para remaja kebanyakan yang menggunakan smartphone sebagai ponsel mereka, aku memiliki pengawasan ketat dari seluruh penjaga rumah, mereka mengontrol sekali penggunaan smartphone-ku, sehingga aku hanya bebas bermain smartphone di sekolahan. Aku hanya diberikan kebebasan bermain ponsel flip jadul yang populer pada zaman 2004-an itu untuk berkomunikasi, itupun hanya dengan sanak saudara dan beberapa kerabat yang—mungkin—membutuhkan bantuan berupa pinjaman uang—mengingat uang jajanku cukup banyak.
Pesan masuk dari nomor tak dikenal… aku memiringkan kepalaku sebab hanya sedikit orang saja yang mengetahui nomor ini. Tapi ketika melihat pesan pembuka aku menghela napas lega karena orang itu adalah Salim Resta.
+628-****-****
Lama tak berjumpa—eh kita terakhir bertemu 4 hari yang lalu bukan?—bagaimana kabarmu ? kuharap kau baik-baik saja sekarang.
Jika kau tidak keberatan, apakah aku bisa menjemputmu untuk ke lembaga pembinaan sosial ?
Me:
Untuk apa?
+628-****-****
Kami sudah menangkap tersangka penikaman dan aku menggiringnya ke pengadilan
Walaupun kami memenangi pengadilan, tersangka penikaman dirujuk untuk melak-
ukan hukuman masa coba berupa rehabilitas di panti sosial karena tersangka masih
di bawah umur
Mataku membulat, kenapa bisa seorang yang masih seusia denganku memiliki dorongan kuat untuk melakukan aksi pembunuhan? Apakah pelaku adalah orang kiriman dari organisasi bisnis saingan kakekku ? aku berpikir sejenak dan hanya mendengus.
Aku segera membalas pesan pemuda itu.
+628-****-****
Kau tahu alamat apartemenku tinggalkan ? jika kau berani, bujuklah para penjagaku untuk memberikan izin keluar kepadaku.
Aku tersenyum menantang mengingat mereka benar-benar memperlakukanku seperti orangtua possesif. Pulang terlambat 5 menit saja berbagai pertanyaan yang sama dilontarkan dari kelima pengawasku yang selalu bersiaga di flat tempatku tinggal.
Ketimbang untuk tinggal di rumah utama, aku sudah berencana tinggal seorang diri di flat yang sebelumnya dibeli untuk kepentingan komersil keluarga dan terbengkalai begitu saja, tapi mereka para pengawas tetap saja membuntutiku seperti anak ayam mengikuti induknya kemanapun melangkah.
Seorang Salim Resta pasti tidak dapat membujuk para pengawas sehingga percakapan akan terjadi di dalam rumah cepat atau lambat. Tapi aku tidak begitu mempedulikannya, jika bisa aku hanya ingin jauh dari keramaian saja. Lembaga rehabilitas masyarakat pasti adalah sebuah tempat ramai yang dihuni oleh puluhan—ah mungkin—hingga ratusan manusia anti sosial yang gagal menjalankan tugas mereka sebagai manusia pada umumnya.
Tapi tak lama, sekitar 40 menit kemudian ketika aku baru saja menerima teh buatan dari pelayan bernama Ri, pengawas perempuanku bernama Ra, menghampiriku dan berkata bahwa pacarku sudah menunggu di luar.
Aku hampir saja menyemburkan teh panas buatan pelayan ku itu ke wajah Ra yang memerah seperti kepiting rebus. Sejak kapan aku punya pacar? Mengerti dengan masalah asmara saja 0.
“Buruan Non dandan sana!” perintah Ra seakan aku adalah pesuruhnya. Aku mendengus dan mengambil sebuah jaket berwarna merah marun dan celana panjang berbahan kain itu karena aku tidak mau membuang waktu lagi.
Ra menahan langkahku dan mendudukkan diriku seperti boneka di hadapan kaca meja rias, aku mendapati penampilanku acak-acakkan dan mungkin sama sekali tidak memasuki kriteria sebagai perempuan menarik di mata kaum adam. Tapi, apa pedulinya aku?
“Aku akan sisirkan sebentar rambutnya,”ucap Ra lembut seraya menyisirkan rambut putihku seperti seorang kakak perempuan menyisir rambut adik perempuannya yang bandel. Aku hanya pasrah karena tidak ingin menghabiskan lagi energi, aku duduk menatap dia mulai mengepang rambutku dan mengikatkannya di belakang.
“Untung rambutnya panjang jadi cakep kan kalo dikepang!”pujinya ketika selesai memakaikanku sebuah one piece putih selutut. Bukankah ini terlalu mencolok untuk pergi ke tempat seperti pusat rehabilitas sosial?
Tapi dilihat dari gelagat Salim Resta, dia sepertinya menyembunyikan fakta bahwa aku akan dibawa ke pusat rehabilitas sosial dari para pengawasku sehingga dia berpura-pura menjadi pacarku. Beruntunglah yang menerima tamu adalah Ra, pengawas paling muda di sini yang sangat tergila-gila dengan cinta roman picisan.
“Sekali-kali Nona harus cari pengalaman di masa remaja,”Begitu celotehnya. Aku hanya menghela napas panjang dan mengambil beberapa pakaian panjang yang terlihat membosankan setelah ia keluar untuk diam-diam kukenakan ketika ada di luar.
Tak lama, Ra mengantarkanku ke ruang tamu, tempat Salim Resta berada, tapi alangkah terkejutnya aku karena keberadaan Ikhya di sini! Apa yang ia lakukan ? apakah ia juga ikut?
“Ah, apakah kau sudah siap?”tanya Salim.
Aku mengangguk, “Ayo pergi,”ucapku, dan kemudian aku menoleh kepada kedua pengawasku, “Tolong jaga rumah. Aku pergi dulu,”pamitku seraya berjalan mendahului mereka berdua.
****
“Terima kasih telah menjemputku,”ucapku kepada Salim yang duduk di kursi kemudi mobil itu. Aku mengambil posisi duduk di belakang dan Ikhya duduk di depan.
“Tidak masalah,”Salim menggelengkan kepalanya, “Tak masalah, aku tiadk ingin kau duduk di atas ranjang atas seperti gadis bodoh tanpa mengetahui kebenaran yang terjadi,”sahutnya ringan.
Aku tersenyum, “Aku merasa tersanjung, Tuan.”
“O ya, apakah kalian berdua berpacaran?”tanya Salim.
“TENTU TIDAK?!”jawabku dengan nada tinggi.
“Bagiku iya,”sela Ikhya yang baru bicara.
Aku melirik ke arah bahunya yang sedikit menurun, “Sudah lama aku menyukai bocah polos ini, tapi aku tidak tahu bagaimana cara menyatakannya,”lirihnya berhasil membuat Salim terkekeh.
“Hahaha… dan kau bahkan mengejar Dik Elly sampai ke SMK ini bukan?”tebak Salim yang langsung di-iya-kan oleh Ikhya. Jantungku berdebar 2x lebih cepat seperti berkeliling lapangan, wajahku memanas dan samar aku melirik ke arah spion mobil, untuk melihat seperti apa ekspresinya saat ini. Dia melemparkan senyum dan aku segera membuang wajahku.
Tak lama setelah beberapa percakapan yang ‘normal’, kami tiba di tempat rehabilitas tersebut. Entah bagaimana menjelaskan kondisinya tapi yang jelas aku merasa jika gedung itu terawat luarnya.
Kami berjalan beriringan, Salim kemudian meninggalkan aku dan Ikhya di ruang tunggu karena harus meminta izin.
Aku meliriknya, dan dia terang-terangan menatapku, “Lukanya sudah lebih baik?”tanyanya.
Aku mengangguk, “Lebih baik, lukaku sudah mulai kering,”jawabku seadanya.
Dia kemudian terkekeh, “Gimana?”
“Apa?”
“Tawaran sebagai pacar?”
“Memangnya pacar jabatan?”
Dia mengangguk dan menatapku dalam, “Jika kau tidak mengiyakannya maka aku akan mengumumkan hubungan kita sebagai sepasang kekasih di kantin,”ancamnya berhasil membuatku mengangguk cepat karena tak ingin menjadi pusat keramaian di sekolahan nanti.
Salim menginterupsi kami dan dia berkata bahwa waktunya tak banyak karena pelaku sebentar lagi jam konseling pelaku. Aku segera mengikuti langkahnya bersama Ikhya. Samar, aku merasakan jika tangannya yang berukuran lebih besar dariku itu menyentuh tanganku yang sedikit bergetar.
Salim yang tampaknya melihatnya hanya tersenyum kecil seraya menghentikan langkahnya ketika telah tiba di sebuah ruangan kosong yang hanya ada meja dan sebuah kursi di tengah-tengahnya. Tampak seorang gadis berparas manis itu duduk menunduk, kedua tangannya diborgol.
Aku mengenalnya! Dia adalah ketua kelas kami, Rana. Jadi, diakah tersangkanya?
“Dia hanyalah seorang sosiopat,”celetuk Salim.
Aku menggiggit bibir bawahku, jantungku berdebar hebat dan tampaknya aku siap untuk meledakkan amarahku, “Jadi firasatku benar selama ini.”
Rana mengangkat wajahnya, “Gue udah lama mau bunuh lo,”ucapnya, “Gue muak karena cuman lo doang yang diperhatikan Ikhya.”
Aku melebarkan mataku, jadi dia mau membunuhku hanya perihal cinta monyet? Ini benar-benar gila.
Dia hanya terkekeh, “Emosiku mulai stabil, aku akan akui singkat saja,”ujarnya, “Aku berencana membunuh kau dan Ikhya sebelum aku menggantung diriku… aku tidak kuat lagi karena sering menemukan Ikhya mencuri-curi pandang dan meletakkan surat cinta di bawah loker mejamu.”
Mataku membulat, “Apa maksudmu?”
“Kau selalu datang terlambat jadi surat cinta itu selalu kubuka terlebih dahulu sehingga kau tidak tahu jika ada seorang secret admirer mu. Belakangan ini aku hampir kepergok dan berkepikiran untuk mengakhirinya…”
Salim tersenyum sekilas, tapi tak lama… suara seperti bel sekolah menggema, “Aku ada sesi konseling. Kalian datang di jam yang salah,”ujar Rana seraya berjalan menghampiri beberapa orang yang menjemputnya di luar ruangan itu.
Aku menatap Ikhya yang sedari tadi menatapku, dan mengulas cengiran cukup lebar, “Apakah aku akan seperti ini lagi jika kau memperhatikanku ?”
Dia menggeleng, “Tentu tidak,”Dia mengulas senyum seraya mengacak rambutku sebelum bangkit, “Aku akan melindungi dirimu selama kau berada di sisiku…”
Wajahku memerah malu, dan aku mencubit lengannya, “Gombal?”
“Tidak, aku akan selalu melindungimu selama aku kuat!”
Aku terkekeh, “Bagaimana ijka musuhnya lebih kuat?”
“Aku akan selalu berkembang dan akan melindungimu selalu…”
Aku meringis, “Klise sekali…”