Read More >>"> Kepada Jarak, Maaf!
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kepada Jarak, Maaf!
MENU
About Us  

Bagi Rea cinta itu gelap.

Sebab telah beberapa kali ia disesatkan. Dibodohi oleh perasaannya sendiri. 

Pemikiran itulah yang membuat Rea akhirnya memilih berhubungan jarak jauh. Yang untuk sementara baginya tidak akan membuat rumit. Tidak akan membuat sesak karena hanya sebagai penghibur. 

Namun Rea salah. Hatinya yang menyalahkan semuanya. Rea jatuh cinta kepada keegoisan Ardan yang tidak pernah bisa menjadikannya sebagai satu-satunya.

Sampai detik ini, 15 Mei 2019. Usia hubungan jarak jauh yang ia jaga sudah memasuki bulan ke sembilan. Walau tidak ada pernyataan cinta secara resmi, tapi keduanya tahu bahwa perasaan mereka sama. Sehingga diputuskan tanggal 15 Mei adalah hari jadi mereka. Hubungan yang terjalin di tengah jarak yang membentang. Hubungan yang tercipta karena pertukaran pesan yang semula klise, kemudian perlahan menjadi manis. 

Di sini, kamu akan menemukan kisah cinta sepasang wanita dan pria dewasa yang di dalamnya kamu akan mendapatkan sesuatu yang manis. Dan juga sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehmu.
 
Cinta mereka sederhana, dan mereka memilih cara yang sederhana pula untuk membuktikan cinta mereka masing-masing.

🎊🎊🎊

Pukul setengah tujuh alarm digital membangunkan tidur pulas seorang wanita berusia dua puluh enam tahun yang bernama lengkap Arealisa Resvita itu. Ia mengucek mata lalu bangun dan mengumpulkan nyawa. Sudah menjadi tradisi dan kebiasaan baginya untuk memeriksa ponsel dan notifikasinya setiap matanya terbangun dari tidur. 

Ada tujuh buah pesan tak terbaca yang dikirimkan oleh pengirim yang sama. Rea memberi nama pengirim itu dengan My Illusion. Dan satu panggilan tak terjawab dari orang yang sama. 

Lima menit telah berlalu, Rea memutuskan berbaring lagi dan memainkan ponselnya. Bukan bermain ponsel, tepatnya membalas chat yang menumpuk karena kemarin dia ketiduran setelah lelah menunggu balasan chat dari kekasihnya yang tak kunjung datang. Kebiasaannya yang lain setiap bangun tidur adalah, tidak akan langsung masuk ke kamar mandi sebelum mengetik sebuah pesan singkat.

Arealisa Resvita : 
Kamu ke mana sih, Dan? 

Bisa ya, kamu diemin chatku selama ini. Telepon juga nggak diangkat. 

Kamu ngapain emang? 

Sesibuk itu kamu sama kerjaan? 

Ya udah, aku ngerti. 

Bye. Good night πŸ–€

My Illusion : 
Sayang

Maaf kemarin aku sibuk
Habis pulang dari kantor Ersa nelepon malam-malam. Ternyata mobilnya mogok pas mau pulang ke rumah.

Aku nggak tega biarin dia sendirian malam-malam naik taksi, takut terjadi apa-apa.

Jadi aku nganterin dia. Dan pas pulang langsung ketiduran. 

Maaf ya πŸ’“

Rea menghela napas kasar membuka chat itu. Ersa lagi, sahabat Ardan yang paling utama untuk pria itu. Memaksa Rea untuk paham setelah membaca chat berisi penjelasan dari Ardan. Rea hanya bisa mengangguk walau Ardan tidak akan bisa melihatnya. Walau ada bagian hatinya yang terasa nyeri, Rea tidak mau ambil pusing. Itu memang hak Ersa untuk ukuran wanita yang hanya memiliki Ardan sebagai sahabat laki-laki yang bisa dia andalkan. 

Dua puluh menit telah berlalu kini Rea berada di meja makan bersama satu kakak laki-lakinya dan kedua orang tuanya. Rea menyeduh teh lalu memberikan kepada Wersa—kakaknya, dan langsung memasukkan roti selai kacang ke dalam mulutnya. 

“Ngantor kamu?” tanya papa Rea.

Rea mengangguk untuk pertanyaan klise itu. “Masih banyak banget kerjaan di kantor, Pa,” jelasnya. 

Papanya mengangguk sambil menggigit roti. “Tadi malam kamu pulang jam berapa? Kok, nggak minta jemput sama Wersa saja?”

“Jam sepuluh. Nggak usah lah, Pa, aku tahu Wersa juga nggak bakalan mau jemput aku,” kata Rea dan tersenyum miring kepada Wersa.

“Kamu aja yang suudzon terus sama kakak sendiri,” sahut Wersa tak terima. 

“Emang kenyataan juga, kan,” balas Rea tak mau kalah.

“Sudah, sudah. Pagi-pagi udah cek-cok aja. Makan aja sarapannya habis itu langsung berangkat biar kalian nggak pada telat,” Mama Rea melerai.

Rea mengangguk lalu mulai memakan sarapannya. Tak lama setelah satu potong roti tawar ia habiskan, ponsel Rea yang ia letakkan di atas meja makan berbunyi. Panggilan suara dari Ardan. 

Sontak Rea melirik Wersa yang masih asik makan, dan mamanya yang menatapnya penasaran. “Siapa?” Tapi malah papanya yang bertanya perihal panggilan.

Rea mematikan telepon Ardan dan menyimpan ponselnya ke dalam tas dengan gerakan cepat. “Ardan, Pa,” jawabnya lalu segera berdiri dan menghabiskan susunya yang tersisa setengah. Kemudian, wanita berusia dua puluh enam tahun itu menyalami mama dan papanya. 

“Berangkat duluan, ya, Sa,” pamitnya kepada Wersa seraya mengerling jahil.

“Siapa Ardan itu?” Tepat setelah deru mesin mobil Rea terdengar meninggalkan rumah, papanya langsung menanyakan perihal Ardan kepada Wersa.

“Pacarnya, Pa,” jawab Wersa.

“Kenapa nggak pernah dia ajak main ke rumah?” Kini Mika ikut menimpali.

“Iyalah nggak dia ajak ke rumah. Orang pacarnya di Palembang. Rea itu pacaran sama cowok yang batang hidungnya sama sekali nggak pernah dia lihat secara nyata.”

Jodi mengerutkan alis mulai tertarik. “Kenapa dia mau?”

“Ya gimana kalau orang udah suka, Pa. Wersa udah sering bilangin sama dia jangan terlalu serius sama pacarnya itu, nggak bakal ada kejelasan juga kayaknya.” 

“Kenapa kamu ngomong gitu soal adik kamu sendiri, Sa?” Mika menatap Wersa dengan menyelidik.

Dan Wersa menghela napasnya. “Iyalah aku ngomong gitu, Ma. Logikanya aja kalau cowok itu beneran serius sama Rea dia pasti datang ke sini nemuin Rea. Nggak ada alasan nggak bisa apalagi cuma Palembang ke Banjarmasin ini. Tapi kenyataannya juga nggak ada pergerakan.”
 
“Sudah berapa lama adik kamu main-main sama pria itu?” tanya Jodi.

Wersa tampak berpikir. “Wersa nggak tahu pasti, sih, Pa. Wersa tahu dia punya pacar juga baru-baru ini aja.”

“Nanti Papa yang bicara langsung sama dia. Sudah cukup main-mainnya. Papa punya teman yang anaknya seumuran sama Rea, nanti Rea Papa kenalin sama anaknya Surya saja,” ujar Jodi melirik Mika.

“Papa yakin anak kita setuju sama kehendak Papa itu?” 

“Yakin,” jawab Jodi mantap.

Mika menghela napasnya. Jujur saja dia sedikit keberatan dengan keputusan suaminya ini.

🎊🎊🎊

Luvita Astrelia : 
Ajakin Pika juga sekalian. Hang out kita, lama banget kan nggak kumpul-kumpul.

Arealisa Resvita :
Iya, nih. Okay. Nanti gue yang ngajakin. Semoga aja dia nggak sibuk yep

Luvita Astrelia : 
Sip. See you soon babyπŸ’—

Setelah mengakhiri chat dengan Ara, sahabatnya, Rea langsung meletakkan kembali ponselnya di atas meja untuk di-charge. Kemudian, tanpa sadar ia mengerutkan alis. Setiap kali dia bertukar pesan dengan Ara, sahabatnya itu selalu memakai emotikon hati yang berbayang. 

Selalu seperti itu. 

Mungkin hanya kebetulan saja hal serupa sama seperti chat Ardan. Yang juga memakai emot berbayang saat bertukar pesan dengannya.

Rea menghela napas dan memijat keningnya, tidak, mungkin ini hanya kebetulan saja. Lagi pula, untuk apa dia memusingkan kepalanya hanya untuk memikirkan sesuatu yang terdengar tidak penting seperti emotikon chat ini? Tidak terlalu penting juga. Seharusnya dia hanya fokus pada pekerjaan saja. Hah! Rea kemudian membuang napas kasar dan bangkit dari kursi setelah ia melihat jam di tangan kirinya. 

Waktunya meeting dengan klien baru siang ini. Rea bekerja di salah satu perusahaan wedding organizer terbesar di Banjarmasin. Usianya sudah menginjak dua puluh enam tahun pada bulan Maret lalu, sekarang, bukan saatnya lagi bagi Rea untuk bermain-main atau bermalas-malasan. Benar kata Jodi, bahwa seharusnya Rea tidak perlu membuang-buang waktu untuk berada pada hubungan yang sebenarnya tidak ada kejelasan. Bahkan tidak pernah bertemu sekalipun. 

Rea juga tahu, dia dan Ardan tidak mungkin bersatu. Karenanya Rea tidak ingin terlalu memperdalam perasaannya. Karena saat kita sudah terlalu jauh menjatuhkan hati pada seseorang, kemungkinan tersakiti akan semakin besar jika harus berpisah. Sebab penyebab patah hati bukanlah dia yang menyebabkan luka, tetapi ketika perasaan kita yang terlalu mengharapkan sesuatu yang lebih. 

Ketika sampai di ruang meeting, teman-temannya sudah berkumpul dan klien mereka juga di sana. Rea pun langsung masuk dan tersenyum menyapa mereka yang sudah datang lalu duduk di kursi. 

Meeting berjalan dengan lancar, Rea bersyukur kliennya kali ini tidak cerewet dan mudah diatur demi kelancaran dan kenyamanan resepsi pernikahannya. Sekarang sudah pukul dua siang, Rea sudah melewatkan jam makan siangnya. Tapi, wanita itu tidak ambil pusing, dia langsung berjalan ke kantin kantor untuk segera makan. 
Di kantornya bekerja Rea tidak memiliki banyak sahabat, dia hanya memiliki beberapa teman baik. Walau dia tidak bisa dekat dengan mereka sedekat pertemanan dia dengan Pika dan Ara. Tapi, Rea bersyukur, masih ada orang baik dan tulus di lingkungan dia bekerja. 

Ting!

Ponsel Rea membunyikan notifikasi, langsung saja wanita itu membukanya karena berpikir chat itu dari Ardan. Tetapi dari Pika. 

Priskilla Katherina : 
Jadi mau hang-out nih kita? Ke mana? 

Arealisa Resvita : 
Di kafe biasa aja, tapi kali ini di area outdoor ya, wkwk

Priskilla Katherina : 
Sip ajalah. Btw, boleh bawa gebetan?πŸ˜†

Arealisa Resvita :
Nggak usah, nanti bakalan nggak enjoy lagi.
 
Priskilla Katherina : 
Oke. Jadi udah oke ya, gue kerja dulu deh. See you❣️

Dan, kenapa emotikon yang Pika pakai berbeda dengan emotikon yang dipakai oleh Ara? Tetapi milik Ara sama dengan milik Ardan. 

Rea jadi berpikir, apa mungkin hanya perihal emotikon yang selalu dipakai oleh seseorang mencerminkan kepribadiannya? 

🎊🎊🎊

Rea tidak memikirkan ini sebelumnya, bahwa ketika dia sampai ke rumah tiga orang langsung menyambutnya di ruang tengah. Terutama papanya yang menatap dengan tidak santai. Mamanya menatap lebih hangat, dan Wersa menatap biasa. 

“Ini ada apa? Tumben kumpul-kumpul gini. Nungguin aku, ya?” Rea menaruh tasnya di sofa kosong dan duduk di samping mamanya. 

“Kerjaan kamu gimana? Lancar?” tanya papa. 
Rea mengangguk, masih tidak menyadari apa yang akan segera terjadi. “Lancar, Pa. Baru dapet klien yang nggak ribet, tadi siang udah meeting. Menyenangkan. Tapi aku kayaknya jadi lebih sibuk nerima project ini, soalnya acara yang klien minta nggak begitu sederhana.” 

Papa mengangguk-angguk. “Kamu sudah punya pacar?” 

Rea langsung mengangkat alis, lalu melempar tatap kepada Wersa. Hanya dia yang tahu dengan pacar Rea di rumah ini. “Sudah, Pa.” 

“Langsung kenalin sama Mama dan Papa, ya, Re,” timpal mamanya. Mata Rea langsung membulat, bagaimana mungkin dia mengenalkan Ardan kepada orang tuanya sedangkan dia saja tidak pernah bertemu sama sekali dengan pria itu? 

Pikiran-pikiran yang bersarang di kepalanya langsung membuat Rea gugup dan memilin jari-jari tangannya. “Nggak bisa, Ma, dia nggak tinggal di sini,” cicit Rea. 

“Di mana dia tinggal?” tanya papa. 

“Di Palembang,” jawab Rea.

Papa mengangguk. “Dekat, kok, bisa naik pesawat kalau dia memang niat mau datang ketemu Papa sama Mama.” 

Dan Rea makin skak mat. “Ehm ... Rea nggak yakin dia bisa, Pa, soalnya ... kita nggak pernah bertemu sekalipun.” 

Rea kira papanya akan kaget, tapi sebaliknya. Rea jadi curiga papanya sudah tahu masalah ini. “Untuk apa kamu masih bertahan sama laki-laki yang seperti itu? Melihat saja kamu tidak pernah, bagaimana bisa kamu yakin dia serius dengan kamu?” 

Rea menggigit bibirnya keras-keras. Aura berbicara papanya semakin membuatnya takut. “Rea memang nggak yakin, Pa,” gumamnya.
 
Mama Rea menghela napas, “Kamu aja nggak yakin, Sayang, gimana bisa? Usia kamu sudah nggak terlalu muda lagi, loh, bukan waktunya lagi untuk main-main.” 

Satu yang tidak ingin Rea dengar; ucapan mamanya yang membawa perihal umur. Rasanya tidak enak, jujur saja. Namun Rea hanya diam. 

“Putuskan pacarmu itu, Rea. Kamu masih bisa mendapatkan yang lebih baik dan lebih pasti daripada laki-laki nggak jelas itu, Papa bisa carikan buat kamu,” pungkas papanya, akhirnya. 

Bahu Rea langsung merosot turun. Sakit sekali rasanya. “Nggak bisa, Pa. Aku sayang sama dia, mungkin, nanti aku juga putus sama dia. Tapi bukan sekarang.” 

“Harus sekarang, Rea!” tegas papanya. “Jangan membuang waktumu untuk sesuatu yang sudah pasti sia-sia.” 

Wersa menatapnya lembut, melemahkan pertahanan Rea untuk melawan.  Mau tidak mau, Rea membuang napasnya sedikit kasar. Dari dulu sampai sekarang, sosok papa adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa ia lawan. 

“Iya, Pa,” putusnya akhirnya. 

Mama memeluknya dan mengusap bahunya dengan lembut. “Percaya aja, Sayang, ini terbaik buat kamu.” 

“Nanti Papa kenalkan kamu dengan anaknya sahabat Papa, seumuran sama kamu. Sama dia, Papa memberi kamu restu sepenuhnya,” cetus Jodi. Terdengar sangat ringan. 

“Papa gampang ngomong, tapi aku yang jalaninnya,” batin Rea, sambil mengusap matanya yang berair. Lalu meraih tasnya dan bangkit ingin menuju kamar.

“Aku istirahat dulu, Ma, Pa, Kak,” pamitnya.
 
Setelah selesai membersihkan diri, Rea membuka ponselnya yang kehabisan daya. Lalu mencolokkannya ke pengisi daya, menggunakannya sambil di-charge. Hanya untuk menghubungi Ardan, untuk mengakhiri hubungan mereka. Jahat sekali Rea. 

Arealisa Resvita : 
Ardan... 

My Illusion : 
Hm? 

Baru pulang? 

Arealisa Resvita : 
Iya

Ada yang mau omongin sama kamu. Aku telepon ya

My Illusion : 
Iya

Rea men-dial nomor itu dan langsung terdengar suara di seberang sana.
 
“Dan...,” panggilnya, pelan. 

“Kenapa, Yang? Suaramu kenapa? Kamu sakit?”
 
“Nggak. Aku baik-baik aja,” jawab Rea, seraya berjalan ke arah balkon kamarnya. “Serius, aku mau ngomong.” 

“Yakin kamu nggak apa-apa?” tanya pria itu lagi, tentu terdengar sangat khawatir. “Ya udah, ngomong aja.” 

“Aku nggak bisa lagi lanjutin ini sama kamu, Dan, aku mau selesai sampai di sini aja,” ucap Rea, setelah berhasil mengumpulkan sebanyak-banyaknya oksigen di paru-parunya. 

Seseorang di seberang sana tentu saja merasa sangat terkejut, tidak pernah Rea melakukan hal gegabah seperti ini sebelumnya. Sebesar apa pun masalah mereka. “Rea ... jangan gini, kalau ada masalah kita bicarain baik-baik dulu, aku nggak mau selesai sama kamu.” 

“Kita nggak ada masalah, Dan, tapi emang aku yang udah nggak bisa lanjut lagi sama kamu,” ucapnya. “Sudah, ya, aku matiin teleponnya. Lanjut di pesan aja.” 

Dan tanpa persetujuan dari Ardan, Rea menyelesaikan teleponnya.

My Illusion : 
Kenapa gini sih, Re? 

Kamu kenapa? 

Ini bukan kamu banget.

Yang, kasih aku alasan. 

Aku nggak mau putus. 

Aku sayang sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu. 

Kalau penyebab kamu ngambil keputusan ini karena aku yang nggak bisa manis sama kamu, aku minta maaf. 

Aku sayang sama kamu, Re. Beneran. Kamu sendiri tahu dari sikapku yang memang sedikit kaku, aku tetap sayang sama kamu. 

Masih ingat, kan, saat aku bilang itu sama kamu? 

Jadi, jangan minta putus ya? Jangan serius sama ucapan kamu tadi.

Sakit. Dan, sesak. Itulah perasaan yang Rea alami saat ini. Ardan tak pernah menembaknya, Ardan hanya pernah mengungkapkan perasaannya beberapa kali, tidak sering. Tapi Rea mengerti sifat laki-laki itu, tidak bisa berkata-kata manis. Ardan hanya melakukan semuanya dengan tindakan. Rea tahu. Dan alasannya mengakhiri semuanya bukan karena alasan yang Ardan pikirkan, tetapi memang karena keadaan yang menuntut. Lagi pula, Rea juga perlahan sadar, kenyataannya dia dan Ardan memang tidak bisa berlanjut. 

Arealisa Resvita : 
Bukan karena itu, Dan

Tapi, karena kita jauh. Kita nggak pernah ketemu. Selama kita menjalin hubungan, aku nggak pernah melihat kamu secara langsung. 

Maaf, karena akhirnya aku keberatan dengan semua ini. 

Dan kita nggak pernah pacaran, kita cuma menjalani sesuatu yang mengalir.

My Illusion : 
Oke. Besok aku ke Jakarta, tunggu aku, dan anggap aja kita nggak putus. 

Arealisa Resvita : 
Nggak usah, Dan. Kamu nggak perlu ngelakuin itu. 

Dan kita tetap putus. 

Orang tuaku nggak memberi toleransi buat hubungan kita ini, hubungan yang nggak pasti kata papa. 

Ngerti, ya? Aku sayang sama kamu, DanπŸ–€

My Illusion : 
Ya udah, kalau emang kenyataannya kayak yang kamu bilang. Aku nggak bisa maksain keadaan. 
Jadi kita berakhir hari ini, ya? 

Oke. Kamu jaga diri baik-baik, biasain tanpa aku ya, hehe. Jangan sampe telat makan, apalagi nggak makan. Nanti maag kamu kambuh, sakit nanti. 

Hati aja yang sakit, fisik jangan. 

Aku juga bakal ngerjain apa yang biasanya kamu suruh. Kamu sosok terindah yang sempat aku miliki, dan ini nggak bohong dan nggak lagi ngegombal. 

Kerjanya jangan terlalu capek, ya, Sayang. Jangan lagi begadang. Cukup sama aku aja kamu tidur larut malam, setelah nggak sama aku, jangan. Karena itu perbuatan yang nggak baik. 

Terakhir, aku sayang banget sama kamu. 

Love you πŸ’—

Sayang kamu πŸ’“

Dan setetes air mata mengalir di pipi Rea, tanpa terasa, tanpa aba-aba. 

Arealisa Resvita : 
Iya, Ardan. Makasih, ya, udah sayang sama aku. 
Aku juga sayang sama kamu πŸ–€

Balasan dari Ardan belum masuk tapi pesannya sudah terkirim. Jari Rea menggeser tampilan WhatsAppnya ke bagian story, lalu menggeser ke atas dan ke bawah. Tak lama melakukan pergerakan tak berarti, Rea menemukan story Ardan yang dikirim pukul 2 siang, tepat saat dia makan di kantin kantor. 

Ardan dengan kemeja biru laut duduk bersama seorang wanita yang mengamit lengannya dengan sangat erat dan tersenyum ke arah kamera. Ardan juga tersenyum. 

Rea kenal dengan perempuan itu, dia Ersa, sahabat Ardan. Dan rasanya jauh lebih sakit saat melihat pemandangan ini daripada perkataan papanya tadi. 

Seharusnya dari dulu Rea sadar, bahwa seperti ada sesuatu yang lain antara Ardan dan Ersa. 

🎊🎊🎊

“Hai....” Pika membuka tangannya lebar-lebar saat menyambut kedatangan Rea di kafe tempat mereka bertemu. Rea memeluk Pika lalu beralih pada Ara. 

“Alhamdulillah, gue udah dipesanin,” ucap Rea saat duduk di meja, lalu menyesap cappuccino miliknya yang sudah tersedia di meja. 

“Enak ya, kafe-nya sepi gini. Jadi lebih leluasa,” ujar Ara. 

Mereka memang bertemu di hari Senin, hari di mana Rea bisa libur. Dan temannya yang meliburkan diri. Mengingat itu, Rea tertawa dalam hati. 

“Makasih, loh, udah luangin waktu buat gue,” ucap Rea. 

Dua sahabatnya tertawa, sudah lama sekali mereka tidak bertemu karena susah mengatur waktu. Beruntung, ikatan di antara mereka masih kuat sehingga tidak ada jarak antara ketiganya. Karena waktu bertemu yang ditentukan bertentangan dengan waktu libur sahabat Rea. 
Seperti inilah bekerja sebagai wedding organizer, libur di hari kerja, dan sibuk saat weekend. 

“Masih sama Regi, Ra?” tanya Rea kepada Ara yang selesai menerima telepon.

“Masih, dong. Awet, ya,” cengir Ara. 

Rea tersenyum, “Bagus kalau gitu. Enak yang udah ketemu sama pacar, ya.” 

Pika mengerutkan alis. “Kenapa ngomong gitu, Re?” 

“Gue putus sama Ardan,” cetusnya. 

Ara dan Pika melongo. “Kenapa bisa?” 

“Kalian tahu nggak, sih, gue nemuin sesuatu yang aneh sama Ardan.” Rea menyesap cappuccino-nya lagi dan membawa pembicaraan ke topik yang lebih serius. 

“Apa?” sahut Ara. 

Rea membuka ponselnya, lalu menunjukkan kumpulan chat Ardan kepada dua sahabatnya.
 
My Illusion : 
Sweet dreamπŸ’—

Pagi, SayangπŸ’—

Aku suka rambut kamu digeraiπŸ’“

Karena aku nggak tahu, kenapa bisa sesayang ini sama kamuπŸ’—

Kamu percaya sama aku, Ersa cuma temen, dia sahabatku, Re. Percaya yaπŸ’“

“Yang bikin lo bingung itu apa, emang?” 

“Lo liat, chat Ardan nggak jauh-jauh dari emotikon hati berbayang. Gue jadi curiga, dan juga, chat gue sama lo, Ra, lo juga pakai emot kayak punya Ardan. Selalu. Gue jadi mikir, apakah yang ada di kepala Ardan itu sama dengan apa yang ada di kepala gue setiap kali pakai emotikan hati hitam?” 

Karena Rea selalu memakai emotikon hati hitam, sebab menurutnya emotikon hitam mencerminkan dirinya yang merasa cinta itu gelap, dan sulit percaya pada perasaan seseorang. 

“Sama ya, kayak gue ...” Ara bergumam, “Kalau gue sendiri pakai emot itu emang ada maknanya, sih,” lanjutnya. 

“Maknanya apa?” sahut Pika yang ikut bingung. Apa sama dengan emotikon yang gue maknai sendiri? Batinnya. 

“Gue bukan tipe orang yang setia. Gue nyaman sama emotikon itu karena mencerminkan diri gue, emot berbayang menurut gue adalah, karena cinta gue nggak cuma satu. Gue cinta sama pacar gue, tapi ada orang lain yang nggak bisa diabaikan oleh hati gue,” jelas Ara. Menikam jantung Rea tepat di bagian tersakitnya.

“Kenapa lo bisa awet sama Regi?” tanya Pika, sedangkan Rea sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri. 

“Karena gue berusaha mengabaikan orang yang nggak seharusnya memiliki hati gue selain Regi,” pungkas Ara. 

Dan, apa mungkin Ersa adalah sosok yang berkaitan dengan Ardan dan penjelasan Ara tadi? 
Lalu, apa makna dari emotikon Ardan yang lain?
Rea benar-benar bingung. 

🎊🎊🎊

Rea pikir papanya tidak akan secepat ini mewujudkan ucapan beliau pada saat itu. Tapi kenyataannya, sekarang Rea berada di sebuah restoran bintang lima bersama keluarganya dan sedang menunggu keluarga Surya untuk datang bersama anaknya yang akan dikenalkan dengan Rea. 

Tanda tanya di kepalanya saja belum terjawab, sekarang akan ada masalah baru lagi yang datang dari papanya. 

“Selamat malam, Jodi, maaf membuat kalian lama menunggu.” 

Sapaan itu membuat Rea langsung mengangkat kepala, dan seketika terkejut saat melihat sosok tinggi berkulit sao matang, dahi yang sedikit lebar namun ia suka, ada di fisik pria yang memakai kemeja hitam itu. Jantungnya berdebar, apalagi saat pria itu juga tampak kaget menatapnya, namun perlahan tersenyum. 

Mulut Rea membuka, ingin menyebut nama pria itu, namun pria yang ia tatap mengangkat tangan seolah memberi isyarat untuk ia tetap diam.
 
“Kami berangkat dari Palembang kemarin, dan istirahat sejenak hari ini. Rasanya saya masih saja jet lag,” kekeh Surya sebagai kepala keluarga yang datang. 

Jodi tertawa. Dua pemimpin keluarga itu langsung berbicara akrab satu sama lain, mama Rea dan ibu dari pria itu juga. Sedangkan Wersa pamit ke toilet. Bosan berada di tengah pertemuan keluarga seperti ini. Hingga sampai pada detik di mana Surya mengenalkan putranya kepada Jodi, dan kepada Rea tentunya. 

“Ini putra saya, Ardan. Anak kedua dari pernikahan saya dengan istri,” ucapnya. “Kamu kenalan sama Rea sana, Dan,” suruh Surya kemudian.
 
Rea tersenyum dan langsung mengulurkan tangan. Tangan Ardan besar dan hangat, sangat pas melingkupi tangannya yang kecil. “Rea,” ucapnya. 

“Ardan,” balas pria itu, tak bisa menyembunyikan senyumnya. Demikian juga dengan Rea. 

“Loh? Rea? Nama lengkap Nak Rea ini benar Arealisa Resvita, bukan?” Secara tiba-tiba ibu Ardan menyahut, mengalihkan perhatian Rea untuk kemudian mengangguk. 

Ibu Ardan tersenyum lebar. “Ini loh, Pa, perempuan yang sering Ardan ceritakan sama Mama. Rea ini, pacar dia yang berhubungan lama sama dia. Tapi kalian sempat putus, ya? Benar, Nak Rea?” 

Rea menahan napas, ternyata Ardan sudah mengenalkan dirinya kepada keluarganya. Sementara Rea menganggap tidak terlalu penting dan malah menyembunyikan hubungan mereka dari papanya. 

“Iya, Tante,” jawab Rea. Menimbulkan raut terkejut di wajah papa dan mamanya. 

Karena kekasihnya, ralat, mantannya kini sudah berada di depan mata. 

🎊🎊🎊

Hubungan Rea dan Ardan tidak jadi kandas, mereka kini kembali lagi menjadikan pasangan. Papa Rea yang semula terkejut akhirnya memberikan restu kepada mereka. Yang lebih membuat Rea senang lagi adalah orang tua Ardan yang menugaskan pria itu untuk memimpin cabang perusahaan yang ada di Banjarmasin. Otomatis mereka akan lebih sering bertemu, tidak lagi dipisahkan oleh jarak. 

Bukan jarak lagi yang memisahkan mereka, tetapi seperti ada hal baru yang perlahan membuat keharmonisan mereka perlahan terkikis. Ersa, sahabat Ardan yang tinggal di Palembang mampu membuat perhatian Ardan begitu terbagi. Mampu membuat Ardan berkorban untuk pulang ke Palembang saat Ersa berada dalam keadaan sulit. Menjadikan Rea merasa tak nyaman setiap kali melihat Ardan sangat dekat dengan wanita itu. 

Rea tahu, Ardan tidak perlu menjauh dari sahabatnya walau sudah bersama Rea. Tapi, seharusnya Ardan lebih memikirkan perasaannya setiap kali melihat raut khawatir Ardan untuk Ersa. Ada bagian dari hati Rea yang perlahan retak melihat kedekatan mereka. 

Perihal ucapan Ara waktu itu, Rea berani membenarkan. Bahwa Ardan mengartikan emotikon dengan makna yang sama. 

“Itu kenapa aku mikir, emotikon yang kamu kirim selalu itu-itu aja. Nggak pernah yang lain selain emotikon yang satunya. Aku mungkin lebay mempermasalahkan tentang emotikon, tapi aku beralasan. Karena temanku sama kayak kamu, dia pemakai yang sama. Memaknai emotikon itu dengan jati dirinya sendiri. Kupikir kamu sama kayak Ara, benar kayak gitu, Dan?” Rea menatap Ardan lekat, meminta penjelasan dari pria itu.

“Iya, aku memaknai emotikon itu dengan perasaanku sendiri. Bahwa, selain sayang sama kamu, aku juga peduli sama Ersa,” ungkapnya. Rea menggigit bibir, menahan agar tidak menangis. 

“Ada apa kamu sama Ersa?” tanya Rea, lebih pilu. 

Ardan menghela napas, “Aku jatuh cinta sama sahabatku sendiri,” tuturnya. 

Membuat lutut Rea melemas, namun mengharuskan berdiri untuk segera pergi dari ruangan Ardan. Untuk segera menyendiri, menangis untuk perasannya yang diduakan. Sadar bahwa Ardan sekejam ini kepada hatinya.
 
“Aku mau pulang.” Rea meraih tasnya dan melangkah dengan ketukan hak sepatu yang lebih keras dari yang ia perkirakan. Ingin meraih handel pintu ketika Ardan menarik tubuhnya lalu perlahan memeluknya. 

“Jangan pergi, Re. Aku sayang sama kamu,” bisiknya di telinga Rea. Semakin membuat air mata Rea ingin jatuh. 

“Kamu egois, Dan, kamu cinta sama Ersa, tapi nggak mau aku pergi. Mau kamu apa?!” Rea berteriak. Meronta-ronta mencoba melepas pelukan Ardan di tubuhnya. Namun gagal, tenaganya tidak sebanding. 

“Aku mau kamu. Nggak mau sama Ersa.” 

Rea tersenyum miring. “Kamu memang egois!” 

“Aku tahu. Itu kenapa aku selalu pakai emotikon hati yang tampak berdebar, karena aku egois.  Aku nggak mau kehilangan kamu, aku cinta Ersa, tapi aku mau melupakan dia. Makanya aku mau datang ke sini saat Papa minta untuk ketemu anak sahabatnya, saat putus dari kamu aku kacau. Dan mengiyakan permintaan Papa supaya aku bisa lupain kamu, walaupun berniat menjadikan wanita yang mau dikenalkan sama aku sebagai pelampiasan. Tapi beruntungnya, wanita itu kamu. Semakin membuat aku ingin melupakan Ersa, dengan tinggal di sini, di dekat kamu. Dan jauh dari dia.” 

Rea sudah menangis dan berhenti berontak. Tangannya berada di samping tubuh, masih membiarkan Ardan memeluknya tanpa membalas pelukan. Dia terkejut. 

Namun Ardan menarik tubuh, berganti menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan menatapnya. “Aku sesayang itu sama kamu, Re, nggak masalah aku kehilangan Ersa asal tetap bisa sama kamu. Walaupun aku punya perasaan sama Ersa, tapi rasa sayangku ke kamu bisa mengalahkan perasaan itu.” 

“Aku egois, karena aku nggak mau kamu dekat sama pria mana pun. Tapi aku sendiri terjebak sama Ersa. Aku sadar tentang hal itu.”

Rea menggelengkan kepalanya. Shock dengan pernyataan yang dia dengar. 

“Aku mohon, percaya sama aku,” lirih Ardan, menyatukan dahi mereka. Membuat hidung keduanya bersentuhan. 

Rea tahu dia juga sesayang itu kepada Ardan, hanya saja dirinya yang sering mengelak atas perasaannya. Kini Rea bingung harus melakukan apa. 

“Aku mau pulang,” cicit wanita itu kemudian. 

Ardan menatapnya, “Jangan pergi,” pintanya. 

“Aku cuma mau pulang,” ulang Rea. 

Lalu Ardan mengecupnya, “Aku antar.” 

🎊🎊🎊

Satu minggu telah berlalu tanpa komunikasi dengan Ardan. Dan hal itu menyiksa Rea, dia harus menahan diri untuk tidak menghubungi atau membalas pesan pria itu. Untuk lebih meyakinkan perasaannya dan mencari tahu tentang Ersa. 

Tidak ada yang tahu bahwa sekarang Rea ada di Palembang untuk bertemu Ersa. Dia langsung datang ke rumah Ersa yang alamatnya diberikan langsung oleh wanita itu. Beruntung dia sempat mendapat kontak Ersa saat dia masih berpacaran dengan Ardan dulu. 

Ketukan yang ketiga kali berhasil membuat Rea bertemu dengan wanita berambut sebahu dan berkulit putih yang dia yakin adalah Ersa. 

“Rea?” Rea mengangguk. 

“Masuk, Mbak,” ajak Ersa semakin lebar membuka pintu rumahnya. 

Saat di ruang tamu Rea terkejut dengan kehadiran seorang pria yang tidak dia kenal, lalu menatap Ersa penuh tanya. 

Ersa tersenyum canggung. “Kenalin, Mbak, ini calon suami aku. Kak, ini Mbak Rea, pacarnya Ardan,” ucap Ersa. 

Rea terkejut, tentu saja. Saat pria itu menjabat tangannya dan melempar senyum. Sangat mirip dengan Ersa. 

Menjadikan Rea paham tanpa perlu dijelaskan pun, bahwa Ersa tidak memiliki perasaan yang sama kepada Ardan. 

🎊🎊🎊

Rea sudah memutuskan, dia menerima Ardan kembali. Dilihat dari sikap pria itu selama ini, Rea yakin sosok Ersa sudah tidak lagi ada dalam hati Ardan. Semakin membuatnya mantap untuk memulai kembali cerita mereka dari nol. 

Mungkin beberapa orang mengatakan Rea bodoh, mungkin saja mereka benar. Karena Rea mau menerima kembali laki-laki yang secara terang-terangan mengaku mencintai wanita lain di hadapannya. Tapi bukankah pria yang jujur adalah pria yang gentle dan bisa dipegang ucapannya? 

Lagi pula, Ardan sudah berjanji untuk melupakan Ersa. Rea berusaha percaya, karena kunci kesuksesan hubungan adalah kepercayaan. Rea menghargai usaha yang dilakukan Ardan untuknya. Pria itu tidak memaksa Rea untuk kembali, tetapi memberi Rea waktu untuk menyesuaikan diri. 

Rea senang, dicintai oleh sosok Ardan yang menurutnya berbeda dengan laki-laki lain yang sempat singgah di hidupnya. Kini Rea tak lagi menyangkal tentang perasaannya kepada Ardan, tidak lagi menganggap hubungan mereka sebagai hubungan yang tidak mungkin. Karena Ardan sudah ada di depan matanya, membuatnya percaya bahwa hatinya telah terjatuh untuk orang yang tepat.

Ardan Rahardian. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags