Cecilia,
Nama indah untuk paras yang tak kalah indah. Saat menyebut nama Cecilia, orang-orang otomatis akan teringat sesosok lelaki tampan. Lelaki yang tiap hari tak pernah jera mengejar Cecilia dengan beribu cinta terpancar di matanya. Sosok lelaki pendiam dan terlihat sukar bergaul yang tiba-tiba membuat hampir satu sekolah gempar dengan aksinya yang secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan besar pada salah satu murid tercantik—namun sungguh tak tersentuh— di sekolah mereka.
Dengan berbekal rasa tertarik yang perlahan berubah menjadi sayang, Judith bersikeras mengikis sedikit demi sedikit benteng pemisah yang nampak dibangun kuat Cecilia untuk semua orang di sekitar. Tekad bulat Judith melemahkan pertahanan es Cecilia nyatanya tak mendapat sorakan ramai para murid SMA Bela Bangsa, mereka justru menganggap hal yang dilakukan Judith adalah kesia-siaan mengingat betapa 'jauhnya' Cecilia.
Semenjak awal semester kelas sepuluh, Cecilia memang sudah mendapat perhatian lebih kaum adam. Wajah rupawan blasteran Indonesia-Jepang gadis itu mampu menarik atensi lebih dibanding teman-teman seangkatannya. Lelaki silih berganti mencoba mendekati. Namun, fakta Cecilia 'berbeda' dari gadis kebanyakan mendorong mereka semua pergi. Tidak beda jauh dengan kaum adam, kaum hawa pun mulanya berlomba-lomba mengajak Cecilia berteman tapi hasilnya tetap sama. Cecilia menutup diri, ia seolah mengisolasi dirinya dari jaungkauan orang lain.
Mendapat penolakan dari Cecilia membuat banyak kaum hawa mengecap Cecilia sebagai gadis aneh yang sombong, mereka mulai menarik diri, membiarkan Cecilia hidup dengan dunianya sendiri. Sementara di lain sisi, para lelaki justru merasa tertantang mengenal Cecilia. Beberapa kali Cecilia dijadikan objek taruhan, para lelaki mencoba mengulik kehidupan pribadi Cecilia. Namun, sampai mereka menginjak kelas sebelas sekarang, tak satupun latar belakang Cecilia diketahui kecuali fakta ibunya berdarah keturunan Jepang.
Cecilia benar-benar tak tersentuh.
Judith mengerang frustasi memandangi bangku Cecilia. Hari ini 'gadis payung' itu tak datang lagi. Terhitung sudah tujuh hari Cecilia alpa dalam buku absensi kelas. Tanpa keterangan, gadis itu bak menghilang. Jangan kira Judith tak berusaha, dia sudah mencoba menanyakan alamat Cecilia pada teman yang dulunya sekelas dengan Cecilia saat kelas sepuluh. Hasilnya jelas. Tak ada yang tahu. Lantas Judith mencoba peruntungannya dengan bertanya pada wali kelas mereka. Tapi—
"Ibu tidak tahu, nak. Lagipula untuk apa kamu menanyakan alamat Cecilia?!" ujar Bu Resya tenang. Belum sempat Judith memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan, Bu Resya lebih dulu berlalu pergi.
—Bu Resya malah menambah beban pikiran Judith, banyak tanda tanya berkelebat di dalam kepalanya.
Kemudian setelah sesi merenung panjang, Judith memutuskan untuk mencari tahu alamat Cecilia. Jika tak ada yang bisa membantunya maka Judith akan bertindak sendiri. Tidak ada cara lain, Judith perlu membobol data siswa. Iya, hanya itu satu-satunya cara.
***
Judith merebahkan tubuh, melipat kedua lengannya menutupi mata. Hati pria itu berkecamuk, sekarang kepalanya dipenuhi berbagai rencana untuk melancarkan aksi yang ia putuskan akan dilakukan besok malam.
"Baiklah, aku hanya perlu menetap di sekolah lalu mengendap ke ruang guru saat ruangan itu sudah kosong. Kemudian mencuri—ah tidak, aku tidak mencuri. Hanya mengecek, iya mengecek informasi Cecilia dan beres." ucap Judith bermonolog. Tak berselang lama, ia mengacak-acak rambutnya, "Sial! Semoga rencana konyol ini berhasil."
Paginya Judith kesiangan. Pria itu bergegas memakai baju dengan dasi yang belum terpasang rapih, "Bu! Kenapa ibu tidak membangunkanku?! Ah, ini pasti efek terlalu memikirkan Cecilia semalam." gerutu Judith sembari melangkah turun ke lantai dasar rumahnya.
Judith mengambil sepotong roti dan ia letakkan di kedua belah bibir sebelum berlari secepat kilat menuju rak sepatu, "Bu, aku berangkat!"
Ibu Judith menoleh, "Sudah sarapan?!" teriak wanita paruh baya itu lantas menggeleng-geleng mendapati anak semata wayangnya sudah menghilang di balik pintu.
Judith tiba di sekolah tepat waktu. Bersyukur kemampuan melajukan motor pria berpostur tinggi tegap itu bisa dibilang hampir menyamai Valentino Rosi. Ketika baru saja mendudukkan diri, Judith mendapati salah satu teman sekelasnya berdiri di samping meja miliknya. Judith yang jarang tersenyum dan malas bersosialisasi di kelas hanya menaikkan alis menunggu si gadis berbicara.
Elena memasang senyum tipis, "Woy, kamu sudah baca grup kelas? Kita sekelompok tugas Bu Nina." kata gadis bertubuh kecil mungil itu santai, sangat informal dan terkesan sok akrab. Ini pertama kali Elena mengajak bicara Judith, topik bahwa Judith si irit bicara yang kaku itu tidak suka bersosialisasi telah menyebarluas semenjak kelas sepuluh. Namun, tak berpengaruh sedikitpun pada keberanian Elena.
Judith mengangguk, "Oke."
Elena meringis mendengar jawaban singkat Judith. Mengutuk pria yang katanya tampak 360 derajat berbeda saat berhadapan dengan Cecilia itu.
"Oke, nanti aku akan mengirimu pesan kapan kita mengerjakan tugas. Selalu periksa ponselmu, kawan!" tutup Elena segera beranjak kembali ke kursinya. Judith sekali lagi hanya mengangguk, matanya langsung tertuju pada bangku ujung, dimana keberadaan Cecilia masih juga tak terlihat.
Kemanakah gerangan Cecilia?
Judith menghela nafas. Delapan hari tidak melihat wajah tenang Cecilia rupanya berdampak besar pada hati dan pikiran pria itu.
Sambil menopang dagu, kaki Judith bergerak gelisah menunggu mata pelajaran terakhir berakhir. Jam tangan pria itu menunjukkan pukul 15:50, sekitar sepuluh menit lagi sebelum bel pulang sekolah berdenting. Sebentar lagi tapi tidak menutup kenyataan bahwa Judith butuh kesabaran ekstra. Dia benar-benar sudah muak mendengar guru Bahasa Indonesia menjelaskan materi di depan sana.
Hingga akhirnya penantian yang terasa panjang itu terbayar. Bel pulang berbunyi.
"Baiklah anak-anak, kita bertemu lagi minggu depan. Silahkan tutup buku kalian."
Para murid di ruangan mulai berhambur, berlomba keluar. Judith keluar paling terakhir. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, Judith memutar langkah kakinya menuju toilet pria. Inilah rencana lelaki itu. Dia akan menetap di toilet pria hingga keadaan sekolah sepi. Tepat sebelum penjaga sekolah menutup seluruh ruangan dan gerbang pukul setengah tujuh malam, Judith akan lebih dulu melancarkan aksinya.
"Semoga rencana konyol ini berhasil!"
Sekarang waktunya. Pukul enam sore. Judith berdiri, memutar pintu bilik toilet tempat ia bersembunyi perlahan, berharap pintu itu tidak berdecit keras. Judith menyembulkan kepalanya sedikit, memeriksa keadaan. Ternyata suasana sangat sepi.
Pria tinggi itu melangkah, menyusuri koridor sekolah. Awalnya derap langkah kaki Judith terdengar nyaring menggema lantas teredam akibat gaya jalannya ia ubah. Lelaki itu berjinjit bak rakun sembari menyeret punggungnya pada dinding. Judith tidak habis pikir bila ada yang menemukannya dengan kelakuan seperti ini, bisa malu seumur hidup.
Pintu bertuliskan "Ruang Guru" terpampang di depan mata, secepat mungkin Judith tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia masuk ke dalam seusai mengintip dari jendela, ruangan itu kosong.
Beberapa tumpuk jurnal berada dihadapannya. Judith mencari jurnal kelasnya, 11-3. Judith tersenyum setelah mendapatkan apa yang ia cari. Tangan besar itu membolak-balik jurnal dengan teliti, mencari nama Cecilia.
Namun, dia kurang beruntung. Langkah kaki lain terdengar makin dekat dari arah luar padahal jurnal baru sampai pada halaman data diri siswa11-3 bernama Fernando. Belum ada tanda-tanda data diri Cecilia .
Dengan perasaan was-was, Judith memeluk jurnal itu erat. Ia merangkak masuk dalam lemari penyimpanan berkas yang bodohnya transparan.
"Sial, terkutuklah otak bodohku!" umpatnya pelan.
Judith menutup erat-erat matanya, tak berani menatap siapa manusia menyebalkan yang telah membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan yang sama dengannya. Kesempatan berpindah tempat persembunyian juga sudah lenyap. Ia mulai memikirkan beberapa alasan untuk dijadikan pembelaan nantinya.
Beberapa detik terlewati tapi tak ada apapun yang terjadi.
"Tamatlah riwayatku!" kutuk Judith dalam hati, matanya masih setia terpejam.
"Ju—Judith, apa yang kamu lakukan disini?!" suara familiar itu membuat mata pria yang namanya disebut terbuka lebar.
Judith mengusap kasar wajahnya sendiri, sempat merasa frustasi sebelum menghela nafas lega. Tungkai panjangnya kembali melangkah ke arah salah satu meja guru, membuka lembar selanjutnya jurnal data siswa.
Elena terdiam di tempat, "Hei, aku tanya apa yang kamu lakukan disini?!" ulang gadis betubuh kecil mungil itu sekali lagi saat tak mendapati jawaban. Pria di depannya justru kembali sibuk dengan pekerjaannya semula.
"Aku mendapatkannya! Oh, Tuhan! Akhirnya! Akhirnya! Akhir—"
Karena rasa penasaran terlanjur mengudara, Elena mendekat kemudian menarik paksa jurnal dalam dekapan teman sekelasnya yang mendadak menggila.
"Cecilia?!" pekik Elena bingung lantas beralih menunjuk wajah Judith, "Aku memang tidak pernah melihatmu mendekati Cecilia dengan mata kepalaku sendiri, aku hanya mendengar cerita dari anak-anak lain. Tak kusangka kamu sampai separah ini. Kamu stalker Cecilia?!"
Judith secepat mungkin menyilangkan tangan di depan dada, membantah tuduhan Elena, "Tidak! Bukan begitu! Aku hanya ingin mengetahui alamat rumah Cecil—"
"NAH KAN SUDAH KUDUG—"
"Sial, jangan berteriak! Dengarkan penjelasanku dulu!" ujar Judith pelan layaknya berbisik. Tangan pria itu membekap mulut Elena, memiting leher gadis mungil itu, "Kamu tahu Cecilia sudah delapan hari tidak datang ke sekolah tanpa keterangan, aku mengkhawatirkannya. Tidak ada satupun orang yang tahu alamat rumahnya. Dia itu teman sekelas kita."
Elena melepaskan diri seraya merapikan rambutnya. Matanya memicing tajam ke arah Judith, "Ternyata kamu aslinya cerewet juga."
Judith merotasikan bola mata, tidak mau repot menanggapi ucapan teman sekelasnya tersebut. Apa yang ia cari telah ketemu, setelah memotret dan membereskan kembali kekacauan yang ia buat, Judith bergegas pulang sebelum penjaga sekolah berkeliling menjalankan tugasnya.
"Sudahlah. Pokoknya kamu jangan menceritakan hal ini pada siapapun!" peringat Judith lantas ingin beranjak menjauh tapi tak berselang lama ia kembali membalikkan badan, "Dan tolong rahasiakan juga mengenai tingkahku!" lanjutnya pelan sembari berdehem canggung.
Elena memamerkan senyum mengejek, "Maksudmu tingkahmu yang ternyata menggelikan dan membuat bulu kudukku meremang?"
Judith mendengus, berdecak malas mendengar lontaran kalimat menggoda dari Elena. Badannya dengan sigap memutar, hendak melanjutkan langkah menjauh dari ruang guru.
"Eh, bagaimana kalau aku ikut membantumu mencari Cecilia?!"
"Jangan harap!" balas Judith tegas, tanpa sedikitpun menoleh.
***
Setelah kabur tanpa kata perpisahan pada Elena, Judith tiba di kediamannya. Lelaki tersebut memperhatikan hasil tangkapan gambar yang ia ambil di ruang guru. Alamat rumah Cecilia bertengger manis tapi sialnya Judith tidak tahu-menahu dimana tepatnya lokasi yang dicatat dalam jurnal data siswa milik Cecilia.
Kedua alis Judith mengerut, "Jalan Pasir Hitam. Hm, terdengar asing."
Judith mengerang frustasi untuk yang kesekian kali, berpikir mengapa seorang Cecilia bisa semengagumkan ini membuat Judith harus bekerja layaknya detektif. Tidak tahukah Cecilia betapa kecilnya otak Judith? Ini terlalu berat, Judith bukan Sherlock Holmes. Pundak pria itu mengendur sedikit demi sedikit, dia butuh kekuatan ekstra. Tak berselang lama, daun pintu kamar Judith diketuk membuat lelaki berahang tegas itu menegapkan tubuh.
"Ada temanmu di bawah, turunlah cepat!" perintah ibu saat menginjakkan kaki dalam ruang pribadi anaknya.
Judith tersentak, seingatnya dia tidak punya teman akrab yang bisa dengan gampang mengunjungi rumahnya. Seingat Judith pula, satu-satunya teman akrabnya hanya Leon, anjing peliharaan keluarga mereka. Mendengar ada 'teman' yang datang ke rumahnya untuk pertama kali selama 16 tahun hidupnya merupakan pengalaman baru. Dan tidak bisa dipungkiri, Judith agak gugup. Kutuk saja dirinya, dia tahu dia bodoh!
Judith mengendap-endap persis pencuri ketika kakinya berada di ambang jalan keluar kamar. Matanya memicing menemukan sosok familiar duduk nyaman di ruang tamu, perubahan drastis mimik wajah pria itu nampak jelas. Ia tak lagi berjalan mengendap-endap, kakinya bak kereta shinkansen menuruni tangga.
Gadis yang tengah duduk bersantai di sofa itu tersenyum lebar, mengangkat sebelah tangan serupa melambai. Judith mendengus kasar, apa-apaan pemandangan yang tersaji ini? Elena mengikutinya pulang ke rumah?
"WHAT THE H— HE–HELLO?!" jerit Judith, mencari pengalihan saat netranya menangkap keberadaan sang ibu tak jauh dari tempat Elena mendudukkan diri, ia mengulum bibir ke dalam dengan mata gelisah menatap ibunya yang kini memberikan tatapan laser.
Elena terkikik geli, merasa sangat senang melihat sisi lain dari seorang Arhamdi Judith. Apa kata mereka? Kaku dan menyeramkan? HAHA, luntur sudah image itu. Bagi Elena, Judith tak jauh beda dengan teman sekelas mereka yang lain. Menggelikan.
Hening sesaat.
Ibu muda berpakaian daster bunga-bunga di ruangan tersebut berdecak pelan, "Kenapa diam saja, Judith?! Sangat tidak sopan, pantas saja tidak ada yang mau berteman denganmu selama ini."
Elena lagi-lagi terkekeh. Tangannya mengibas-ngibas di udara, "Tidak apa-apa, tante. Saya dan Judith adalah teman dekat, wajar kalau dia bersikap begitu, ini karena kami sudah sangat akrab." katanya membual seraya mengedipkan sebelah mata pada Judith.
Kerutan di dahi Judith makin terlihat, pria itu tak habis pikir apa yang salah pada gadis aneh di depannya. Mereka baru hari ini berkomunikasi dan gadis mungil itu sudah berani berbuat sejauh ini? Apakah sikap jutek Judith tak mempan padanya?
"Ah, begitu rupanya. Tante sempat khawatir pada anak ingusan satu ini," balas ibu Judith sambil menunjuk ke arah anaknya, "Tante kira dia tidak punya teman. Anak ini sangat tertutup."
Judith meringis, mengapa ibunya terlalu cerewet? Berbanding terbalik dengan dirinya, memang Judith sepertinya tidak mewarisi sama sekali sifat ibunya, dia lebih cocok dengan sang ayah.
Sepeninggalan ibunya, Judith mengambil posisi duduk di depan Elena. Judith bersedekap, "Kamu mengikutiku?!" tudingnya, melengos.
"Tentu saja! Negosiasi kita belum selesai, kamu malah meninggalkanku seenak jidat. Kamu tahu, aku bisa saja langsung melaporkanmu tadi saat mengantarkan berkas Bu Nina yang ketinggalan. Tapi, niat itu kuurangkan karena hatiku ini sebenarnya sangat lembut. Sekarang kamu harus membayar kebaikanku!" oceh gadis itu, tangannya ikut bersedekap, memasang ekspresi menantang sama seperti ekspresi yang dipasang Judith detik itu.
Judith mendelik, "Apa maksudmu? Kamu minta bayaran? Dengarkan aku Elena yang terhormat, asal kamu tahu—"
"WOW KAMU TAHU NAMAKU?!"
Judith memutar bola mata—lagi. Ya, walaupun tidak suka kehidupannya diganggu di sekolah, setidaknya Judith mengetahui nama gadis ini. Lagipula bagaimana mungkin Judith tidak tahu nama teman sekelasnya padahal tiap hari guru selalu melakukan absensi?
"Jadi begini ya, Judith teman sekelasku yang sebenarnya menggelikan. Aku tidak akan meminta bayaran, oh tentu saja tidak. Aku lebih tertarik pada opsi lain. Aku harus ikutserta mencari Cecilia, tunggu sebentar jangan memotong ucapanku!" tunjuk Elena pada Judith tatkala mendapati mulut pria itu hendak bergerak protes, "Percayalah aku bisa membantumu. Aku sering mengamati Cecilia semenjak kita sekelas dengannya, aku rasa ada yang tidak beres padanya. Aku ingin membantunya sebagai ketua kelas yang baik dan aku tidak terima penolakan!" terang Elena panjang lebar. Judith melebarkan sedikit matanya, takjub melihat ada gadis yang berbicara sepanjang dan secepat itu dihadapannya. Benar-benar spesies langka!
Judith berdehem, "Baiklah! Tapi, kamu harus janji tidak menyusahkanku. Dan, kamu benar ketua kelas?!" tanya Judith tak percaya.
"Hei! Kita sudah dua bulan sekelas dan kamu baru tahu aku ketua kelas 11-3?! Kemana saja kamu selama ini? Tidur?!" omel Elena kesal. Judith mengerjapkan mata terkaget-kaget. Jangan salahkan Judith, dia tak hadir di hari pertama masuk sekolah saat pemilihan kepengurusan kelas berlangsung.
***
Seragam putih abu-abu tersebut nampak mencolok diantara puluhan orang di lampu merah. Keadaan sedang padat hari ini membuat seorang pemuda menarik nafas mencoba memaklumi.
Elena mendengus sebal, "Kenapa warna merahnya lama sekali, Judith?" omel gadis yang beberapa kali tidak sengaja membenturkan kaca helmnya pada belakang helm Judith selama perjalanan tersebut.
Judith mendelik, "Berisik! Mungkin ini akibat aku memboncengmu."
"Hei! Maksudmu aku pembawa sial?!"
Judith tidak menimpali kalimat terakhir Elena, lampu telah berganti warna menjadi hijau, Judith menarik gas motornya cepat. Jika ada yang penasaran kemana mereka akan pergi dengan masih berbalutkan seragam khas anak SMA, jawabannya tak jauh-jauh dari Cecilia. Ya, dua anak muda itu ingin melakukan rencana yang sempat mereka susun—ditengah perkelahian— kemarin malam. Mengupas misteri menghilangnya Cecilia selama seminggu lebih. Gadis yang tiap hari datang ke sekolah dengan rambut dikuncir dua, tiba-tiba tidak masuk sekolah tanpa ada alasan.
Motor mereka melaju kencang membelah jalanan. Bergantung pada GPS dan keyakinan kata hati, mereka berdua kini menyusuri sebuah jalan yang dikelilingi hutan lebat. Elena membatin melihat pemandangan yang mereka lewati, sangat sepi. Beruntung gadis itu tidak menyetujui usul Judith untuk berangkat sehabis adzan maghrib berkumandang dan memaksa langsung pergi selepas pulang sekolah yang kebetulan hari ini jadwal pulang mereka lebih lambat karena guru fisika masuk mengajar, menjelaskan materi minggu lalu yang tidak sempat dijelaskan. Mulanya jadwal pulang pukul empat sore, terpaksa berubah menjadi pukul lima sore.
Elena melirik arloji di tangan kanannya, lima belas menit lagi pukul enam sore. Aura di sekitar mulai mencekam bagi gadis berambut sebahu tersebut. Elena merengek, "Judith, apa GPS ini benar? Harusnya kita sudah dekat lokasi,"
Diam-diam Judith membetulkan ucapan gadis di belakangnya. Pria itu menarik rem, menaikkan kaca helmnya dan menoleh sedikit ke belakang, "Jangan-jangan kita tersesat."
"Sial, kamu menakutiku! Sudah kubilang ini ide buruk, harusnya kita minta bantuan teman sekelas lain yang mengetahui letak Jalan Pasir Hitam." Elena mencibir.
"Sudah kubilang juga, Cecilia itu tertutup dia pasti tidak akan senang melihat kita datang bergerombol. Dua orang bahkan sudah banyak."
Elena menggeleng prihatin, "Aku tahu sebenarnya kamu yang tidak mau bersosialisasi!"
Debat tidak penting pemuda-pemudi itu tak mungkin terhenti bilamana sebuah motor tidak mengambil posisi di samping mereka. Judith dan Elena dibuat menoleh otomatis. Mata dua orang itu mengerjap di waktu hampir bersamaan.
"Ada apa anak muda? Motor kalian mogok?"
Elena tersenyum ramah menatap seorang ibu dan bapak di samping mereka, "Tidak, bu. Kami hanya bingung mencari alamat jadi memilih menepi sebentar," terang gadis itu dibuat selembut mungkin. Judith memasang ekspresi jijik memandang ketua kelasnya. Elena kembali melanjutkan, "Kebetulan sekali ibu dan bapak singgah menanyai kami. Apa ibu dan bapak tahu Jalan Pasir Hitam itu dimana? Kami sepertinya tersesat." kekeh Elena, menggaruk helmnya.
Ibu yang ditanyai balik tersenyum ramah, "Kalian tidak tersesat, nak. Jalan Pasir Hitam memang benar lewat sini. Kalian hanya perlu lurus terus hingga pemukiman warga terlihat, itulah tempatnya. Sekitar dua puluh menit dari sini. Lurus terus ya, nak!"
Lengkungan bibir dua pelajar itu tertarik ke atas, setelah mengucapkan banyak terimakasih pada ibu dan bapak yang telah berjasa menolong kegundahan hati mereka, keduanya menancap gas kembali, berjalan lurus sesuai arahan.
Dua puluh menit lebih berlalu, adzan maghrib berkumandang. Sekali lagi Judith menepikan motornya. Mata mereka tertuju ke pemukiman di sekeliling, tak ada tanda aktifitas berlangsung. Mungkin semua orang menuju mesjid, pikir Judith.
Judith menolehkan kepala, "Kamu tidak sholat?" tanya pria itu tertuju untuk Elena. Berhubung Judith beragama nasrani, dia tidak sholat, "Aku tidak keberatan mengantarkanmu mencari mesjid lebih dulu." sambungnya.
"Tidak, aku sedang menstruasi." ujar Elena terlihat biasa. Judith sekali lagi memasang wajah menyebalkan membuat Elena terheran-heran, "what? Berhenti menatapku dengan tatapan seperti itu, kamu lelaki menggelikan!" hina Elena.
Judith mendelik tak terima, "Wanita jadi-jadian!" balasnya.
Tepat ketika waktu sholat berlalu, Judith melajukan motornya ke tempat yang dirasa aman. Ia memerintah Elena turun dari motor, diikuti dirinya yang juga turun. Judith memimpin perjalanan mereka, memutuskan berjalan kaki melanjutkan pencarian mereka berhubung sepertinya inilah lokasi yang dicari. Jalan Pasir Hitam Gang 3.
Namun, pencarian Cecilia nyatanya tak semudah yang Judith bayangkan. Tak ada warga yang menampakkan batang hidung berarti tak ada yang bisa dijadikan sumber informasi lebih lanjut. Padahal mereka berada di tempat yang benar. Jalan Pasir Hitam Gang 3. Sayang sekali, beberapa rumah di sini tak memiliki nomor. Jadi, agak mempersulit mencari rumah Cecilia yang juga tak memiliki nomor—atau nomornya memang sengaja tidak dicantumkan di data siswa? Oh, Cecilia benar-benar ingin menguji kekuatan cinta Judith, sepertinya.
Elena memegang kedua lutut, menghembuskan nafas lelah. Ia menatap punggung Judith yang semangatnya tak kunjung pudar, masih seperti beberapa jam lalu. Elena menyusul lantas menepuk punggung pria tersebut, "Kamu pasti sangat menyukai Cecilia, ya. Aku tidak bisa membayangkan kamu pergi mencarinya sendirian begini. Kita terlihat layaknya murid nakal yang kabur dari rumah!" tutur gadis itu.
Tentu saja orang-orang akan berpikiran buruk tentang mereka. Lihat, seorang pria dan wanita tak dikenal berkeliaran di malam hari dengan seragam putih abu-abu masih lengkap melekat di tubuh keduanya. Menakjubkan!
Judith mendorong pelan kepala Elena, "Cerewet!"
Mereka kembali berdebat. Bodohnya, tidak ada yang mau mengalah. Judith menjambak rambutnya sendiri mendengar suara melengking Elena yang tak mau berhenti mengomel. Pria itu menyesali kehidupannya belakangan ini, merutuki diri kenapa bisa bertemu dan terkait dengan gadis banyak omong—Elena—itu. Judith yang tak terjangkau, pencitraannya yang sekilas mirip Cecilia telah sirna. Hilang sudah. Dan tak ada orang lain yang bisa Judith salahkan selain Elena.
"Astaga, apa kamu tidak bosan mengoceh? Telingaku panas mendengarnya!"
Elena menghentakkan kaki bak bocah besar, "Aku tidak akan begini kalau kamu tidak memancingku Arhamdi Juditharno!"
"Jangan sembarangan mengubah nama orang lain! Namaku Arhamdi Ju—"
"Masa bodoh! Aku tidak peduli! Mau Arhamdi Juditharno, Arhamdi Kasino, Arhamdi Ind— Eumphh!!!"
Suara melengking itu teredam. Judith merangkul—lebih tepatnya mencekik— leher Elena dan menutup mulut gadis itu menggunakan telapak tangan besarnya. Pria itu memicingkan mata, memfokuskan penglihatannya pada seorang gadis di ujung jalan. Seorang gadis berambut panjang yang tengah dikuncir kuda, berkulit seputih susu, bertubuh proporsional bak model ternama. Gadis itu berjongkok di sana, bermain dengan tiga anak kucing di ujung jalan dengan penerangan minim. Jarak mereka tidak terlalu jauh.
"Cecilia?!" gumam Judith, "itu Cecilia, kan?! Elena, coba kamu perhatikan, apa benar gadis di ujung jalan itu Cecilia?!" tunjuk Judith pada gadis yang tengah berjongkok di sana, menampilkan side profile mirip Cecilia.
Elena mengerjap-ngerjap, "tunggu dulu, IYA JUDITH ITU CECILIA! KAMU BENAR, DIA CECILIA!" pekik Elena girang, terlalu antusias usahanya—yang ia namai sebagai kerjasama dua detektif junior— membuahkan hasil.
Sementara di ujung jalan sana, seorang gadis cantik refleks menolehkan kepala mendengar seseorang memekik memanggil namanya. Beberapa detik, hanya beberapa detik mata mereka bertemu. Mata Cecilia membola mendapati keberadaan dua teman sekelasnya tak terlalu jauh. Judith terkejut, reaksi yang diberikan Cecilia sangat di luar nalar. Setelah beberapa detik manik mata mereka bertemu, Cecilia secepat kilat berlari kencang, meninggalkan tiga anak kucing yang ia elus sebelumnya. Sekaligus menyisakan kepanikan dan kebingungan bagi Judith.
"HEI KENA— DIA LARI?!" Pekik Elena, lagi. Tak mempercayai penglihatannya, Cecilia kabur dari mereka.
Pencarian yang diniatkan dengan sepenuh hati oleh Judith, cinta yang ia tenteng kemana-mana sembari mengharapkan kehadiran seorang gadis. Apakah semua terlalu rendah sampai-sampai Cecilia justru berlari menjauh ketika bayangnya telah terlihat? Tidak, Judith tak mau semua berakhir sia-sia. dengan peluh menetes, ia sekuat tenaga menyusul laju lari Cecilia bersama Elena mengekor di belakang.
Judith tersenyum lebar kala Cecilia terjebak. Judith menangkap lengannya, mencengkram kuat bak takut kehilangan. Namun, perlawanan Cecilia ternyata tak sampai disitu saja. Gadis itu meronta, Judith dibuat kewalahan olehnya tapi pria tersebut bersikeras tak mau kalah. Cecilia tidak akan bisa kabur lagi.
Elena mengatur pernapasannya. Murid manis itu mengusap poni yang telah basah akibat berlari kesetanan mengejar Cecilia dan Judith, "APA-APAAN INI? KENAPA KAMU BERLARI, LIA?! KAMI TEMAN SEKELASMU, BUKAN PENJAHAT!" Jerit gadis itu kesal. Tak sadar telah membuat nama panggilan baru, berlaku sok akrab pada Cecilia.
"Benar! Kami tidak ada maksud jahat, Cecilia. Kami disini untuk memastikan kamu baik-baik saja. Kamu tidak masuk sekolah tanpa keterangan lebih dari seminggu, itu aneh. Aku cemas, tahu! Ah, maksud—maksudku kami semua cemas!" tambah Judith ikut mengeluarkan argumennya namun lebih tenang dibanding Elena.
Seorang ibu berambut coklat sepinggang yang memiliki wajah keturunan Jepang menatap punggung dua orang murid berpakaian seragam putih abu-abu yang berdiri tak terlalu jauh dari jangkauannya, bingung. Ibu mengambil langkah mendekat, ia mendapati eksistensi anaknya.
"Kamu tidak senang kami datang memeriksa keadaanmu? Makanya kamu—"
"Camila? Kamu membawa tamu, nak?"
Dua murid yang tadinya membelakangi sang ibu muda berbalik seperkian detik setelah suara lembut tetapi lantang tersebut keluar. Selanjutnya yang terjadi adalah Judith dan Elena yang mendadak jadi kompak, membeku di tempat. Sementara di sisi lain, Cecilia mengutuk diri dalam hati, ikut tak berkutik.
"Camila? Siapa mereka?" suara itu kembali mengudara. Judith mencubit tangannya sendiri, tidak mempercayai penglihatannya saat ini. Di depannya, berada seorang ibu dengan gadis yang wajahnya sama persis—hanya berbeda gaya rambut—seperti Cecilia. Tak beda jauh, Elena tercengang.
"Camila, kenapa diam saja? Kalau begitu bantu ibu, bawa Cecilia ke dalam dan persilahkan tamu kita masuk." ibu muda tersebut kembali melanjutkan sembari mendorong gadis di kursi roda beralih tangan kepada Cecilia. Tidak, apakah sekarang Judith harus memanggilnya Camila?
"Ca—Camila?!" cicit Judith tak bertenaga, otak kecilnya terasa terombang-ambing di lautan teka-teki.
***
Rumah cukup megah di antara pemukiman warga lain itu bernuansa putih polos berpadu sentuhan modern, kini Judith dan Elena duduk kaku di dalamnya. Tangan Judith berkeringat, ia merasakannya dengan pasti. Duduk berseberangan dengan dua gadis berwajah kembar tak pernah masuk dalam khayalan Judith perihal pencarian Cecilia. Ah, Judith lupa. Dia bukan Cecilia!
"Ekhm," gadis berkuncir kuda itu berdehem canggung. Rahasianya telah terbongkar. Tidak ada yang bisa ia tutup-tutupi lagi. Ia tak percaya bahwa rahasia yang ia kubur dalam-dalam semenjak kelas sepuluh bisa terbongkar secepat ini. Dan lebih tak percaya lagi, pelaku utamanya adalah ketua kelas dan pria yang secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan pada dirinya.
Dia—Camila—, sempat berpikir penyamarannya sebagai Cecilia—adiknya yang mengalami kelumpuhan—telah disusun serapih mungkin, tapi nyatanya hari ini hadir. Hari dimana semua terbongkar. Sejak awal kesalahan Camila yang paling berat adalah tak memberitahu ibunya bahwa ia tak memiliki teman sama sekali di sekolah sehingga dengan gampangnya ibu gadis itu terkecoh, mengira Camila mengajak teman dekatnya ke rumah. Nyatanya, Camila tak mau bersusah payah mencari teman, karena hal itu akan memperbesar resiko rahasianya terbongkar lebih cepat.
Apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Camila tak punya rencana B. Semua sudah berakhir. Gadis cantik itu tersenyum lemah, "Sekarang kalian sudah tahu semuanya, terserah kalian mau melaporkanku kapan. Aku akan mempersiapkan diri untuk mengundurkan—"
"Tidak! Tidak! Apa maksudmu?!" Judith memotong pembicaraan, kerutan di dahinya nampak jelas, "Kami tidak berpikir sejauh itu. Aku yakin ada alasan kenapa kamu melakukan ini, Cecil—maksudku Camila." terang Judith, sebenarnya memberi kode pada Camila untuk menceritakan lebih rinci mengenai ketidakpahamannya pada semua kejadian tak terduga ini.
Camila tersenyum lebar mendengar jawaban pria di depannya. Mata gadis itu bertukar pandang dengan saudara kembarnya.
"Aku tahu ini salah, tapi aku ingin dapat ijazah. Dengan keadaan lumpuh dan penyakitan seperti ini, tidak memungkinkanku bersekolah. Itu sebabnya Camila menggantikan posisiku. Wajah kami mirip. Jadi, aku rasa orang-orang tidak akan pernah tahu. Aku salah," jelas gadis berambut pirang bergelombang itu pelan, terdengar sirat kesedihan dari nada bicaranya. Camila yang berada di samping kembarannya mengelus-elus bahu adiknya.
Gotcha, kode tersampaikan.
Elena menggaruk-garuk kepala, "Aku sebenarnya masih bingung tapi teka-teki di kepalaku perlahan mulai menyatu. Aku memaklumi alasan kalian. Tapi, kenapa Camila tidak bersekolah selama seminggu ini?"
"Itu karena kakakku pernah diikuti beberapa kelompok pria. Mereka membuntuti mobil yang mengantar pulang Camila, kakakku takut rahasianya terbongkar. Untuk menghindari mereka, seminggu ini Camila memang sengaja tidak masuk sekolah." Cecilia menjawab. Elena mengangguk-anggukkan kepala.
Judith mengerjapkan mata beberapa kali, "Sekelompok pria? Maksudmu anak basket menggelikan yang selalu membuntuti Camila saat aku tidak ada itu?!" tanya Judith memastikan. Ia ingat beberapa kali ketika hendak menemui Cecilia—tanpa malu—ia berpapasan dengan sekelompok anak basket.
"Tolong mengacalah!" desis Elena menyahuti kalimat tak tahu diri pria di sampingnya. Judith berpura-pura tak mendengar.
"Kamu benar. Aku tahu mereka sedang bertaruh mendapatkan satu fakta mengejutkan dariku dengan batas waktu satu minggu. Itu sebabnya aku sengaja tidak masuk, aku perlu menggagalkan taruhan bodoh mereka. Sekaligus menjaga rahasiaku." Camila menimpali, mengingat kejadian dimana ia tak sengaja menguping pembicaraan bodoh sekelompok anak basket tersebut.
"Mereka gila!" celetuk Elena, "Sama seperti lelaki di sampingku."
"Hei!" pekik Judith tak terima. Camila dan Cecilia tertawa bersamaan melihat reaksi sebal Judith.
Terserah bagi kalian ini berlebihan atau apa. Tapi, tidak bisa dipungkiri ada sesuatu yang terasa ingin meledak di dalam tubuh Judith melihat perdana bagaimana Camila tertawa. Wajah cantik itu memancarkan aura berbeda. Ceria dan hangat. Berbanding terbalik dengan Camila yang ia ketahui di sekolah. Judith merasakan hawa panas menjalar dari pipi menuju kuping.
Elena mendelik malas menangkap basah apa yang terjadi pada Judith, "Kamu benar-benar menggelikan sekarang! Ada apa dengan wajah memerah itu?" cibir Elena. Benarkah pria di sampingnya ini Judith yang dibicarakan teman-teman?dingin dan menyeramkan? Bullshit!
Camila tersenyum tipis. Tangannya tiba-tiba terulur ke depan. Elena dan Judith sekali lagi dibuat kebingungan. Keduanya memandangi tangan Camila yang tengah melayang di udara, bertanya melalui manik mata maksud si gadis kuncir kuda.
"Berjabat tangan. Aku ingin berjabat tangan," tutur Camila, selembut kapas.
Elena tersenyum sumringah, bergegas menarik tangan Camila dan menggoyang-goyangkannya antusias bak anak kecil, "Ternyata aslinya kamu sangat baik. Tenang saja, rahasiamu aman di tangan kami, Mila."
"Berhenti mengubah nama orang lain semaumu, namanya Camila bukan—"
"Giliranmu," kalimat protes Judith terjeda. Camila tiba-tiba menarik tangan kanan pria itu, menjabatnya dengan senyum tak pernah luntur, mata gadis cantik itu sampai menyipit akibat terlalu lebar tertawa, "Senang bertemu kalian. Berhubung kalian sudah tahu rahasiaku, aku rasa tidak ada yang perlu dipalsukan lagi kepada kalian. Sekarang kita berteman. Bagaimana?" lanjut Camila, masih tak melepas genggaman tangannya pada Judith.
Elena berdiri, mengepalkan tangan ke udara, "Oke, ide bagus. Kita buat squad bertiga. Apa nama yang bagus? Ehmm," kata gadis tersebut sambil meletakkan telunjuk ke dahi, berpikir keras.
"Siapa bilang aku mau satu squad dengan wanita jadi-jadian sepertimu?" goda Judith, lidahnya terjulur mengejek Elena.
Elena berdecak, "Aku tahu kamu sangat menyukai Camila, tapi tolong jangan egois. Di sini aku juga diajak berteman oleh Camila." tangkis Elena mengalahkan Judith telak.
Camila terkikik, "sebenarnya aku lebih tua tiga tahun dari kalian. Umurku 19 tahun."
Mata Judith terbuka lebar, kaget mendapat serangan fakta baru itu. Tapi, setelahnya ia mencoba menguasai diri lantas berujar dengan santai, "Hm, cinta tidak memandang apapun, usia tidak berarti apa-apa bagiku. Itu hanya angka."
Elena bertepuk tangan berisik, "Hebat! Akhirnya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri seberapa tidak tahu malunya kamu mengejar-ngejar Camila. Ah ralat, kak Camila."
Setelahnya perbincangan mereka mengalir layaknya air. Sangat tenang dan terlihat nyaman. Sisi lain dari dua siswa yang dianggap tak tersentuh menampakkan diri. Dan, Elena bersyukur berada di antara mereka berdua. Menjadi orang pertama yang mencoba mengenal keduanya lebih dalam. Tawa hari ini, kejutan-kejutan dan fakta baru yang mereka terima hari ini, tidak akan pernah bisa terlupa. Bahkan karena terlalu asik mengobrol, membuka diri satu sama lain, Elena dan Judith lupa waktu. Sekarang tepat tengah malam. Terpaksa keduanya berakhir menginap di rumah Camila.
"Hari ini cuacanya sangat bagus," gumam Judith tersenyum-senyum sendiri. Elena menggelengkan kepala, begitulah rupanya penampakan pria dimabuk kasmaran. Camila dan Cecilia ikut dibuat terheran-heran, "Aku harap kita semua bisa merasakan perasaan menyenangkan ini setiap hari bersama-sama."
"Ya, tentu saja!" timpal Elena.
"Aku menyukai kalian." tutur Camila tulus. Netra indahnya menatap dua teman sekelasnya bergantian. Elena dan Judith refleks menolehkan kepala bersamaan mendengar penuturan Camila. Tak berselang lama, Judith terkekeh pelan. Disusul Elena yang juga ikut terkekeh—namun nyaring—.
"Aku juga menyukaimu, Camila." sahut Judith.
Elena menggerutu, "DASAR BUDAK CINTA MENGGELIKAN!"
Fin.
bagus ceritanya, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)