Narendra hamid keluar dari kamar mandi. Handuk melilit pinggangnya. Rambut ikal hitamnya terlihat masih basah, bahkan meneteskan titik-titik air. Pria itu mendongak, tatapannya jatuh pada jam di dinding. Pukul tujuh pagi kurang. Ia tidak perlu terburu-buru karena masih ada satu jam lagi sebelum agenda selanjutnya.
Naren berjalan mendekati meja nakas yang berada di sebelah ranjang. Di sana tergeletak ponsel pintar miliknya. Naren menyambar benda tersebut. Di layar ada satu notifikasi email masuk. Naren mengklik, lalu masuk ke akun untuk membaca surel tersebut. Ternyata dari editor naskahnya.
Pria itu teringat dengan kejadian kemarin. Setelah membaca naskah yang dikirim balik ke dirinya, pria itu geram setengah mati. Bagaimana tidak? Karya yang ia tulis diacak-acak oleh editornya tersebut. Oke, Naren akui kinerja editornya itu bagus. Karyanya jadi lebih baik. Akan tetap perbedaannya jadi terlalu jauh. Pria berambut ikal itu merasa itu bukan lagi karyanya. Pada naskah itu tidak ada lagi ciri khas tentang dirinya yang tertinggal. Dan itu melukai harga diri Naren sebagai penulis. Idealismenya terganggu.
Maka, dengan kekesalan Naren membalas surel tersebut. Mengatakan bahwa ia tidak senang naskahnya diubah-ubah. Kalau masih tetap diubah, Naren akan menarik naskahnya. Toh kenyataannya, sebagai penulis Wattpad terkenal, banyak penerbit yang mengincar naskahnya itu untuk diterbitkan.
Pagi ini, ia kembali mendapat balasan dari editornya tersebut. Email itu cuma berisi 4 kalimat yang terdiri dari ucapan salam pembuka, ajakan bertemu, nomor ponsel, dan salam penutup. Naren tampak berpikir sesaat setelah membaca surel tersebut. Kemudian, ia menyalin nomor ponsel tersebut dan menyimpanya di kontak. Setelah itu ia meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, tidak membalas email tersebut. Nanti saja, putusnya seraya berjalan menuju lemari pakaian yang berdiri di sisi kanan kamarnya.
Kamar pria itu bisa dikatakan cukup luas. Sebelah kiri terdapat pintu dari kaca yang langsung mengarah ke balkon. Di tengah terdapat ranjang berukuran besar yang diapit meja naskah di bagian kepala. Sisi kanan ada lemari pakaian, lemari hias. Di dekat pintu masuk ada meja kerja dengan laptop dalam kondisi terbuka. Di atas meja ada rak buku gantung. Terdapat banyak buku di sana, tetapi yang mendominasi ada novel fiksi.
Naren mengeluarkan celana jeans berwarna, t-shirt dengan pola strip hitam putih lengan panjang dari lemari. Setelah itu ia berpindah ke meja rias. Ia memakai deodoran, hand body, lalu mengenakan pakaiannya. Sentuhan terakhir adalah merapikan rambut ikalnya. Naren menggunakan sedikit gel lalu menyisir rambutnya hingga rapi. Pria itu menatap pantulan dirinya di dalam cermin, lalu tersenyum lebar, puas dengan penampilannya.
"Kau memang tampan, Naren," bisik pria itu. Kalau saja ada yang mendengar, pasti menganggap Naren terlalu narsis memuji dirinya sendiri. Tapi itu bukan masalah bagi Naren. Ia akui dirinya memang narsis. Dan menurutnya, memuji diri sendiri adalah salah satu cara menghargai dan mencintai dirinya.
Sekarang Naren tinggal memasang sepatu, lalu turun ke bawah untuk sarapan. Samar-samar ia sudah mencium aroma nasi goreng buatan mamanya.
Sebelum keluar kamar, Naren kembali melihat ke cermin, dan tersenyum.
***
Rania harus mengakui pria dalam foto yang sedang ia tatap itu memang tampan. Rambut ikalnya terlihat halus, kulitnya cerah dan bersih. Matanya bulat dan bersinar ramah. Yang paling memikat adalah senyumnya. Seakan dengan melihatnya saja, ia ikut tersenyum bersama.
Foto pria itu adalah Narendra Hamid. Sekarang Rania tahu alasan dibalik ketenaran Narendra Hamid. Ia memiliki wajah yang mudah membuat pembaca Wattpad (yang kebanyakan adalah kaum hawa) jatuh hati.
Kemarin Rania akhirnya mengikuti saran Dara untuk bertemu dengan Pak Danu. Chief editor tersebut menyambutnya dengan hangat. Pak Danu mempersilakan Rania duduk, lalu menawarkan teh chamomile kepadanya. Sebenarnya Rania lebih menyukai kopi. Tapi ia merasa sungkan untuk menolak kebaikan Pak Danu. Setiap kali Rania melihat atasannya itu, selalu selalu teringat kepada ayahnya yang sudah meninggal.
"Minum dulu. Saya bisa merasakan suasana hatimu sedang tidak baik," kata Pak Danu seraya meletakkan cangkir teh di hadapan Rania. Wanita itu mengangguk dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Pak Danu kembali duduk di kursi miliknya dengan tangan terlipat di atas perut.
"Sudah lebih baik?" tanya Pak Danu, setelah sepuluh menit berlalu, dan cangkir teh chamomile Rania habis.
Rania tersenyum tipis dan mengangguk.
"Sekarang kau bisa membicarakan apa pun yang kau inginkan. Saya siap mendengarkan."
Dan meluncurlah curhatan dari bibir Rania. Tentang malam-malam yang ia lewati untuk mengoreksi naskah milik Narendra Hamid. Tentang betapa banyak kekurangan pada naskah tersebut. Nada suara Rania makinn menggebu ketika memberitahu tentang surel yang dikirimkan Narendra Hamid kepadanya. Selama Rania bercerita, Pak Danu mendengarkannya dengan saksama, sama sekali tidak menginterupsi. Inilah salah satu hal yang membuat Rania menyukai pekerjaannya. Ia memiliki atasan yang menghargai bawahannya.
"Jadi kau ingin meminta saran dariku mengenai penulis ini?" tanya Pak Danu setelah Rania mengakhiri ceritanya.
Rania mengangguk. Tujuannya memang itu. Ia yakin Pak Danu punya ide yang bijaksana dalam menghadapi penulis. Terlebih atasannya itu sudah berpengalaman di bidang ini. Sebelum mendapatkan posisinya sekarang, Pak Danu dulunya juga editor seperti Rania. Jadi, Rania yakin Pak Danu sudah bertemu dengan berbagai karakter penulis.
"Ajak penulis ini bicara dari hati ke hati. Secara langsung. Jangan lewat email. Karena sering kali seseorang salah punya penafsiran yang beragam terhadap tulisan. Komunikasi lewat media terkadang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Saya yakin, tujuan kalian sama. Penulis dan editor itu sama. Pasti Menginginkan hal yang terbaik untuk naskah ini."
"Jadi saya perlu meneleponnya langsung?"
Pak Danu tersenyum. "Kalau memungkinkan, mungkin bertemu lebih baik. Duduk di sebuah meja, menikmati minuman dan kue manis, lalu membahas hal terbaik untuk naskah ini. Kalian hanya butuh usaha untuk saling memahami. Ya, layaknya orang pacaran." Pak Danu mengakhiri ucapannya dengan tawa kecil. Tawa yang menular kepada Rania.
Bukan ide yang buruk. Mungkin bisa ia coba.
Dan di sinilah Rania sekarang, di kubikelnya, mencari informasi tentang Narendra Hamid. Saat mengetahui si penulis tinggal di kota yang sama, Rania mengirim email ke Narendra Hamid untuk mengajak bertemu. Tak lupa ia menyantumkan nomor ponselnya di sana, memudahkan Narendra Hamid untuk mengomfirmasi. Namun sudah satu jam berlalu sejak surel terkirim, tapi belum ada balasan dari penulis tersebut. Rania kembali memandang foto Narendara Hamid di akun Instagram. Akun itu ia dapatkan dari akun Wattpad penulis tersebut.
"Lagi lihat apaan?" tanya Dara sambil berjalan ke kubikel Rania.
Rania mengangkat ponselnya, menunjukkan kepada Dara.
"Tampan. Gebetan baru?"
Rania terkekeh pelan, lalu menggeleng.
"Terlalu muda."
"Memang, tapi tetap saja tampan. Kalau bukan, lalu siapa?"
"Narendra Hamid. Penulis Wattpad belagu itu."
***
@haribawa2018 iya. Tapi gpp. Coba suasana baru. Mana tahu dari sini bisa ketemu jodoh naskahnya.
Comment on chapter Saat Jatuh Cinta