Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bila
MENU
About Us  

Pertemuan di Halte Tua

 

“Hey! Ma … ma … masih nunggu bis?!”

Tak kuduga, sapaanku yang datang secara tiba-tiba dengan nada tinggi, gagap dan tak beraturan–kurasakan lebih menyerupai teriakan–ternyata membuat Kinan terkejut dan tertegun sejenak. Sedetik kemudian, dengan gerakan refleks, cewek berambut sepunggung itu menoleh dan mengamatiku beberapa detik dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Arga?!” sahut Kinan, setengah berteriak.

Beberapa saat kemudian aku menangkap wajah cewek berlesung pipit itu memerah dadu. Sepertinya dia grogi. Ya, aku yakin dia grogi–tak kupungkiri aku pun demikian, bahkan lebih dari sekedar grogi. Matanya membulat dalam sekejap. Lantas, segaris senyum ala kadar terlukis di bibirnya yang segar. Namun, satu dua detik kemudian dia kembali ke posisi semula, lekat dengan buku bacaan di pangkuannya. Aku berharap, Kinan tidak sedang berusaha menghindariku.

Diam-diam aku bersyukur Kinan tak menatapku terlalu lama. Dapat kupastikan, aku tak akan sanggup jika harus melakukan kontak mata langsung dengan cewek berkulit hitam manis itu. Aku sadar, saat ini aku tak memakai kaca mata hitam, Benda kecil kesayangan yang sangat berarti dalam hidupku itu, biasanya membantu menyembunyikan wajah dari tatapan orang. Meskipun aku terlalu takut dan tidak nyaman jika diperhatikan, namun beberapa bulan terakhir ini aku sengaja sering tak memakai kaca mata itu. Ini  sesuai dengan anjuran papa dan dokter.

Saat-saat genting seperti ini, beruntung nasihat papa dan dokter selalu muncul di benak, mengingatkanku untuk selalu berusaha mencoba melakukan kontak mata dengan orang-orang yang baru aku kenal. Dan jika mampu, mencoba berkomunikasi dan berlatih berbicara dengan baik dan benar. Mereka bilang, ini sangat bagus efeknya.   

Melihat Kinan menyembunyikan wajah, ada rasa bersalah yang muncul secara tiba-tiba. Menyesak dan berpilin di dada. Apa lagi ketika kurasakan sambutan Kinan yang biasa-biasa saja. Sepertinya aku sudah membunyarkan konsentrasi dan keasyikan ia membaca. Ah, sepertinya kehadiranku memang tak pernah diinginkan oleh cewek bermata jernih itu. Tidak oleh siapa pun, aku rasa. Mungkin Kinan tak ada bedanya dengan teman-teman lain di sekolah dan semua orang yang tak pernah mau peduli keberadaanku. Tuhan, sampai kapan harus seperti ini?

Atau … apakah ini memang salahku, melakukan hal tolol pada cewek yang belum seberapa aku kenal?  

Seharusnya aku bisa menggunakan cara yang lebih baik dan halus untuk menyapanya. Jujur, bukan karena sama sekali aku tak ingin mencobanya. Tetapi entahlah. Setiap kali aku berada di dekat Kinan, lidahku mendadak lebih kelu dari biasanya. Aku bahkan merasa sulit hanya untuk mengatur kata-kata–terlebih napas. Tak heran jika kemudian aku lebih sering menjadi manusia paling dungu yang hanya bisa tergagap di hadapannya.

Aku memang memiliki banyak kelemahan. Selain sering merasa minder yang berlebihan–apa lagi harus berhadapan dengan cewek secantik Kinan–aku juga kurang pintar mengungkapkan perasaan secara verbal dan sulit mengontrol emosi yang terkadang meluap-luap. Parahnya lagi, aku sering takut keberadaanku ditolak oleh semua orang. Aku phobia dengan sebuah penolakan.

Menyadari semua ini, acap kali membuatku sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan orang-orang yang baru aku kenal. Aku lebih nyaman menghabiskan waktu menyendiri untuk membaca, menulis atau asyik mengedit foto-foto hasil jepretanku menggunakan software terbaru yang aku kuasai.

Walau keinginan untuk bersosialisasi sangat besar, tetapi kelemahanku tak jarang lebih kuat pengaruhnya. Sehingga, terkadang menutupi kelebihan yang kumiliki, mengalahkan potensi diri, mengabaikan akal sehat dan mematahkan segala keinginan. Kelemahan ini sangat mengusikku, membuat aku labil, frustrasi dan terkadang membenci diriku. Keinginan dari lubuk hati yang paling dalam adalah; aku tidak ingin seperti ini. Aku ingin seperti cowok normal pada umumnya. Aku ingin seperti teman-teman sebayaku!  

Kuparkirkan ninja 250-ku sejajar trotoar, tak jauh dari bangku kayu tua yang diduduki Kinan. Dahulu, tempat ini adalah sebuah halte bis kota. Tetapi sejak Pemkot membuka trayek baru TransJogja dan membangun halte di sebelah Timur gedung Telkom, sejak itu nyaris tak berfungsi lagi. Banyak penumpang lebih memilih armada baru TransJogja yang nyaman.  

Dengan keberanian yang terbilang hebat–dan tak dari mana datangnya–perlahan aku duduk di samping Kinan tanpa sempat bertanya terlebih dahulu apakah aku boleh duduk di sana atau tidak. Bodoh! Bukankah seharusnya aku meminta persetujuan dan izin dari dia terlebih dahulu? Aku ingin melakukannya. Namun, entah mengapa urung aku utarakan. 

“Sudah hampir sore,” ujarku perlahan dan hati-hati, tak ingin kembali membuyarkan konsentrasinya. Bicara perlahan, kata papa dan dokter, sangat membantu untuk bicara lebih teratur dan mengurangi rasa gugup yang berlebih.

“Iya, sudah hampir jam lima. Bentar lagi bisnya pasti datang,” ujarnya seperti tengah menyemangati diri sendiri. Dia memandangku sekilas. “Nggak nganter?”

“Barusan aku dari Gramedia. Hmm….” Aku harus menghentikan ucapan ketika derum suara motor melintas di tempat itu dan memecah suasana. Polusi suara tingkat tinggi itu mendadak membuat gendang telinga terasa mau pecah. Kulihat Kinan melakukan hal yang sama. Ia menutupi kedua lubang telinga dengan jari telunjuknya dan membukanya ketika suara knalpot itu benar-benar lenyap.

“Aku … aku nggak se … seng … sengaja lihat kamu di sini.”

“Terus?”

“Aku sengaja ke sini.”

Kembali dia menatapku. “Loh, katanya nggak sengaja?” tanyanya penuh selidik. Ada senyum sedikit jenaka di bibirnya yang indah.

Astaga! Kenapa Kinan terus mendesakku dengan pertanyaan itu?

“Mak … maksudku. Hmm, maksudku … waktu aku lewat di sini, nggak se … sengaja lihat kamu. Terus, aku … terus aku, sengaja mampir.”

Aku masih terus mencoba menata nada suara dan napas yang berpacu dengan degup jantung tak beraturan. Dag dig dug, persis suara bedug yang bertalu tanpa keserasian nada. Aku ingin menyudahi ini semua. Aku … aku ingin segera berlalu dari hadapan Kinan.

Namun kulihat Kinan kembali tersenyum.

Aku mengendikkan bahu, lalu menyandarkan punggung pada sandaran bangku kayu yang kami duduki. Ada sesuatu yang merambati palung hati ketika menyaksikan senyum ramah Kinan. Sesuatu yang membuat nyaman dan menenangkan.

“Kamu ngerti maksudku?”    

“Tentu. Aku paham kok,” ujarnya pelan.

Lantas kembali ia akrab dengan buku bacaannya. “Aku sambil baca, ya. Nggak papa, kan?” suaranya seperti permohonan, seolah sengaja berusaha ingin membantu meredakan gemuruh di dadaku.

Aku menyilakan ia melakukan hobinya.

Kemudian diam. Tiba-tiba senyap menyergap. Kesempatan ini kugunakan untuk terus mencoba menata debaran jantung. Kali ini kuberanikan diri menatap wajahnya lebih dalam. Sungguh, sulit luar biasa.

“Kenapa bisnya be… belum datang juga?” tanyaku, sekedar ingin mendobrak kekakuan.

Matahari semakin menyondong ke arah barat.

“Nggak tahu, nih. Kamu pulang duluan aja, Ga.”

“A… aku, mau di sini sam… sampai kamu pulang.”

Perlahan bibir Kinan kembali mengembang. Segaris senyum kembali terlukis walau tidak begitu kentara, sepertinya dia sengaja tak ingin menunjukannya padaku. Namun aku terlanjur menangkap senyum itu, membuatku kesulitan mengalihkan pandangan ke arah lain. Sesaat aku kembali bergetar. Degup jantung yang sejak tadi belum juga mereda, semakin memburu dengan ritme yang tak beraturan. Sungguh, senyum di bibir mungil itu terlalu indah untuk dilewatkan.

Tapi, kenapa Kinan hanya diam? Mungkin benar, dia tidak suka aku berada di sini. Terganggu … atau? Ah, Kinan, bicaralah.

“Aku nggak meng … mengganggu, kan?”

Kinan menggeleng pelan, tanpa mengalihkan pandangan. Wajahnya masih menunduk lurus pada bukunya. Eits, tetapi saat ini sangat jelas aku melihat perubahan wajahnya. Ada rona bersemu merah kembali membias di pipi. Dia salah tingkah. Perlahan tangan kanannya membenahi anak rambut yang jatuh satu-satu di pipi, lalu menyelipkan di celah telinganya.

Aku menarik napas, lalu mengempaskannya ketika aku membuang pandangan ke arah lain. Langit begitu cerah. Angin bertiup pelan menyapu wajahku dan wajahnya. Beberapa lembar daun flamboyan peneduh bangku panjang yang kami duduki, berjatuhan di sekitar. Satu tangkai bunga berwarna jingga jatuh dekat kakiku.

 Sinar matahari menerobos sela-sela pohon mahoni yang tumbuh berjejer di sepanjang trotoar di seberang jalan. Beberapa burung kecil mencicit berkejaran dari dahan satu ke dahan lainnya. Mereka saling memamerkan sayapnya dan saling mematuk ketika tubuh mereka bersinggungan. Keasyikan itu tak terganggu suasana apapun, bahkan ketika satu dua kendaraan melintas di jalan aspal, di bawah pohon-pohon mahoni tersebut.

“Nggak belajar kelompok?” tanyaku beberapa saat kemudian, masih berusaha menguasai suasana dan meredakan debaran di dada dengan benar.

“Ajeng lagi ada urusan sama keluarganya.”

Kuamati sekeliling. Tak ada orang lain yang melintas di sana, hanya aku, dia dan beberapa kendaraan yang melintas. Mestinya aku tidak perlu canggung untuk menyapanya dengan kata-kata dan nada yang lebih baik. Tetapi mendadak aku bingung, kata-kata apa lagi yang harus aku lontarkan. Aku kehilangan kata.

Menanyakan kabarnya? Rasanya tak mungkin, sebab di kelas tadi, kami sudah bersama-sama dalam waktu yang cukup lama sejak pagi hingga siang. Lalu, bertanya bagaimana kerja kelompok dan hasil ulangannya? Ah, itu juga sudah aku tanyakan ketika bertemu di kantin tadi siang.

“Masih lama?” Akhirnya pertanyaan pendek itu yang keluar. Aku sendiri tidak begitu paham apa maksudnya. Kusadari beberapa saat kemudian, ini sangat bodoh!

Astaga! Aku yakin, Kinan berpikir betapa tololnya aku melontarkan pertanyaan tak bermutu itu. Ingin rasanya kutampar mulutku sendiri saat ini juga. Aku ingin berteriak sekencang yang aku bisa.

Kinan mendongak perlahan, menatapku sekilas. Hanya sekilas. Sesaat setelahnya dia segera menyembunyikan wajahnya manakala tatapannya menusuk mataku dengan telak.

Aku terkesiap. Dadaku dipenuhi berbagai rasa yang amat sulit kujabarkan. Rasa ini kerap terjadi setiap kali aku menatap mata indah itu. Aku tidak paham dan kurang begitu mengerti apa sebabnya. Yang aku tahu, mata itu begitu teduh, membuat aku kecanduan untuk menatapnya lebih lama meski aku tak bisa.

Aku meralat kata-kataku yang terdengar aneh, menyadari kebodohanku. “Harusnya kamu sudah di rumah.”

“Benar, seharusnya aku sudah di rumah,” suaranya makin pelan seperti tengah berbisik pada dirinya sendiri, “Kamu harus pulang, Ga. Nggak enak kalau Vera lihat kamu masih di sini….”

“Aku sudah bilang, ja … jangan takut!” potongku cepat.

Tiin! Tiiinn!

Suara klakson yang nyaring dari mobil yang melintas di depan kami sesaat mengganggu pendengaran dan menelan ucapanku. Aku terpaksa harus mengulang ucapanku. “Jangan takut sama dia!” ujarku tegas.

“Siapa yang takut?” kilahnya, seolah sedang meyakinkanku. “Aku hanya nggak mau dia ngamuk-ngamuk lagi sama kamu.”

God! Mungkinkah ini salah satu bentuk perhatian? Ah, lebih baik aku tak terlalu berpikir jauh ke sana. Ini terlalu dini. Aku tidak perlu GR saat ini. dan … lebih baik aku tak terlalu berharap. Siapa tahu Kinan hanya tidak ingin melihat tingkah Vera yang terlalu berlebihan dan norak. Bisa jadi, Kinan benar-benar tak ingin selalu dianggap menjadi biang masalah di antara aku dan Vera. Yah, dia tidak seharusnya disalahkan. Bukan dia sumber masalahnya selama ini, tetapi aku!  

Aku hanya bisa diam dengan gemuruh di dada yang tak juga mau mereda. Aku kehilangan kata-kata yang tepat yang bisa aku sampaikan dalam situasi seperti ini. Rasanya sulit untuk bersikap dan kehilangan cara bagaimana menata debaran jantungku yang ternyata tak mudah untuk dikendalikan.

“Kalau kamu pikir aku takut sama Vera dan genk-nya, itu salah besar, Ga,” ujarnya lagi. Kali ini tatapannya lekat di wajahku. “Dengar, Ini mungkin terdengar kayak ancaman. Aku nggak akan membiarkan kejahatan Vera makin menjadi. Aku nggak suka! Harus ada orang yang berani menghentikannya.”

“Iya, aku mengerti,” aku mencoba tersenyum walau terasa hambar. “Tapi jujur, saat ini aku nggak ingin mem… membahas tentang Vera atau siapapun.”

 Aku hanya ingin bicara dengan kamu, tentang kamu, ucapku dalam hati. Kuberanikan membalas tatapannya. Wajah ayu itu perlahan-lahan kembali ke posisi semula. Mata beningnya kembali begitu betah menyusuri kalimat demi kalimat dalam bukunya.

Tiba-tiba aku menemukan celah yang begitu sempurna. “Buku apa?” tanyaku pendek, pelan dan yakin. Yakin dengan pertanyaan yang tepat dalam situasi yang tepat pula. “Kayaknya menarik?”

“Ini buku lama, kubeli di pasar klithikan[1] sebulan lalu,” dia menunjukan judul di sampul bukunya, ‘Soekarno Files’. “Ini terjemahan dari buku asli berjudul sama, ditulis oleh Antonie C.A. Dake dari Belanda dan dicetak di Indonesia tahun 2005.”

“Suka bacaan sejarah ya?”

“Suka. Tapi kebetulan aku suka tentang Soekarno.”

Dia kembali diam, kembali asyik dengan bukunya. Kembali sunyi merajai suasana. Dan kembali kekakuan tercipta. Tuhan, berikan aku kekuatan yang lebih agar aku bisa berbicara layaknya orang-orang normal. Layaknya seorang cowok normal.

Kalau saja bisa, ingin rasanya aku lebih aktif, lebih banyak bertanya agar dia lebih banyak memberikan jawaban. Walaupun ini bukan percakapan yang sempurna, namun setidaknya aku bisa lebih banyak mendengar suaranya. Selama ini, dia tak pernah memulai pembicaraan denganku, juga dengan teman-teman sekelas. Ddia terlalu pelit kata-kata.  

“Mau kuantar pulang?”

Entah dari mana datangnya keberanian hebat ini. Pertanyaan yang tak pernah kurancang ini tiba-tiba saja terucap dengan mudah dari bibirku. Tanpa ragu, tanpa takut dan begitu lantang seperti anak panah yang melesat dari busurnya. Jujur, aku sendiri hampir tak percaya.  

Untuk kesekian kalinya dia menatapku. Kali ini seolah ingin meyakinkan bahwa benar suara itu dari mulutku. Keraguan terlihat nyata di wajahnya.

"Aku serius,” ujarku pelan, meyakinkan kebimbangan yang jelas tergambar di bola matanya. “Ka… kamu…, kamu bilang… sudah harus ada di rumah?
"Hmmm...."
"Aku free. Mau, kan?" desakku tanpa sadar.
Jujur, aku tak ingin membuang kesempatan yang mungkin tidak pernah ada lagi kata ‘lain kali’ ini.

Perlahan dia meletakkan pembatas buku di halaman yang dibacanya. Dengan sangat hati-hati dia menutup buku bersampul merah itu, lalu meletakkannya di pangkuannya seperti tengah memperlakukan barang yang sangat berharga–aku yakin, buku bergambar wajah Soekarno dan Soeharto itu memang sangat berharga baginya.

 Dia menepuk punggungku dengan sangat pelan. Bibirnya yang lembut dan merah alami tersenyum. Begitu manis. Seketika hatiku bersorak girang. Sepertinya dia menerima tawaranku. Terima kasih ya, Tuhan.

Tetapi, tetap saja akhirnya aku harus menelan rasa kecewa ketika kata demi kata penolakan halus meluncur dari mulutnya.

“Nggak usah, Ga.”

“Ta… tapi. Tapi aku…”

“Aku tahu kamu serius. Tapi aku nggak mau merepotkanmu. Sungguh," Dia menghela napas sebelum akhirnya berdiri. "Lihat, Ga, bisnya datang. Maaf, duluan, ya."

***

Keinginan untuk menyapa dan mendengar suara Kinanthi semakin menggebu setiap saat. Aku tak tahu apa sebabnya. Rasanya terlalu dini untuk menerka-nerka bahwa aku sedang jatuh cinta pada murid baru itu. Aku tidak mungkin melangkah terlalu jauh untuk mengejarnya. Sebab, mungkin aku hanya kagum dengan cewek manis bermata agak sipit itu.

Dia memang cewek istimewa, menurutku. Hampir setiap hari menjadi bahan omongan di antara teman-teman di sekolah. Banyak teman cowok yang memberi perhatian lebih padanya, sementara teman-teman cewek banyak yang iri dan tidak suka karena dia dianggap istimewa oleh teman-teman cowok.

Dia jarang bicara, tetapi dia lah satu-satunya cewek di kelasku–sekaligus murid baru–yang berani menantang dan melawan kegarangan Vera, Lina, Agnes dan Nana, empat sahabat yang tergabung dalam satu genk konyol dan sangat terkenal karena kesadisannya.

Aku ingin memiliki waktu untuk mengobrol lebih panjang, tentu saja dengan cara yang wajar, tanpa harus merasa canggung dan grogi karena kehilangan kata-kata–dan mampu mengontrol debaran jantungku.

Di manakah keberanianku?

Sudah hampir seminggu aku tidak punya kesempatan untuk menyapa Kinan di kelas dan di kantin sekolah. Kami tidak sedang saling menghindari pertemuan, hanya terlalu sibuk dengan belajar kelompok dan persiapan ujian. Namun keinginan untuk menyapanya makin menggunung dari hari ke hari. 

Seperti siang-siang yang telah lalu, jalurku seperti sudah terpola; selalu melewati halte tua ini. Berharap bisa menemui dan menyapanya lagi di sini.

 Hari ini adalah keajaiban. Dia duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang hampir serupa dengan waktu itu. Dan seperti keajaiban pula, tiba-tiba keberanianku mendadak muncul untuk menyapanya dan menjejerinya lagi di sana.

Aku banyak belajar dari yang lalu, maka teguranku kali ini kuusahakan agar bisa terdengar lebih wajar di telinga, “Kinan, masih di sini? Bisnya belum datang juga?”

Dia terlihat sangat ceria. “Eh, kamu, Ga? Nggak bareng Vera?”

“Barusan aku se… sengaja lewat sini.”

Terdengar seperti de ja vu memang. Mengapa harus ada pengulangan percakapan seperti itu, bukankah ini terdengar terlalu aneh? Yah, tetapi aku tidak sedang menulis buku cerita, kemudian bisa menghapus kalimat yang tidak aku kehendaki sesuka hati lalu memasukkan dialog indah di dalamnya.

Kuperhatikan wajahnya bersemu merah, seperti biasa. Seperti yang sudah-sudah, ada seulas senyum di bibirnya yang halus dan sesegar mawar. Aku percaya dia sedang merasakan keanehan yang sama.

“Sudah terlalu sore. Ka… kalau mau, aku bisa antar kamu pulang.”

“Eh, jangan, Ga.” Dia tergagap. “Eh, maksudku nggak usah. Tapi aku…”

“Aku serius,” yakinku.

“Aku tahu kamu serius, Ga. Tapi masih akan ada bis yang akan lewat kok.”

“Tapi .…”

“Aku pulang naik bis saja. Terima kasih tawarannya.”

Percakapan yang kaku, aneh dan terkesan tidak wajar, seperti dialog dalam novel-novel jadul yang pernah aku baca. Bagaimana mungkin kami bercakap-cakap tanpa saling memandang satu sama lain? Dia sibuk dengan buku yang sedari tadi ada di pangkuannya, sementara aku asyik memainkan gantungan kunci motorku. Semua ini tak ubahnya adegan sinetron konyol dan tak bermutu. God, help me, please…  

Ini sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pendekatanku dua minggu lalu. Perasaanku sudah sedikit terkontrol beberapa hari belakangan ini. Meskipun demikian, aku mengakui dengan jujur, masih sulit mencairkan suasana. Begitu sulit mengakrabkan diri dengan cewek berbulu mata lentik itu.

Aku ingin sekali lagi menawarkan niat baikku kepadanya. Mengantarnya pulang hingga sampai ke rumahnya, seperti yang pernah dilakukan Rido. Namun kuurungkan ketika sebuah sedan biru berhenti di depan kami dengan sangat tiba-tiba. Suara klakson menjerit berulang-ulang memekakkan telinga.

Seperti baru saja tersadar dari tidur panjangnya, Kinan bangkit dari duduknya dengan serta merta. Wajahnya menegang seketika. Bergegas dia memasukkan buku yang tengah dibacanya ke dalam tas berbahan jeans berwarna biru yang sejak tadi ada di pangkuannya.

“Heh! Kamu tahu ini sudah jam berapa?! Enak saja masih santai-santai! Dasar udik!” Tiba-tiba seorang cowok berteriak dari dalam mobil itu lewat kaca yang dibuka setengahnya. “Buruan masuk sebelum aku seret!”

“Siapa?” tanyaku penasaran. Dadaku bergolak seketika.

Kinan hanya memandangku sekilas. Tak ada reaksi.

“Maaf, aku pulang duluan, Ga.” Hanya kalimat pendek itu yang sempat diucapkannya dengan suara hampir tak terdengar.

Melihatnya bergegas masuk ke dalam mobil tanpa menoleh lagi ke arahku, mendadak hatiku panas. Darahku naik ke ubun-ubun. Ingin rasanya aku berteriak dan mencegah kepergiannya. Ingin kukejar mobil mewah yang sesaat kemudian melesat meninggalkan kepulan asap tipis di sana.

Tempat sunyi ini tiba-tiba saja menjadi tempat yang begitu membosankan. Kulihat suasana sekitar. Sepi. Hanya ada aku yang duduk dengan gelisah. Jalan di depanku makin padat oleh kendaraan. Sudah mendekati jam lima sore. Sore-sore begini burung-burung kecil di dahan mahoni masih riang berkejaran, seolah tidak mengerti kata lelah. Mata-mata mereka yang hitam menatapku penuh tanya–atau curiga. Barangkali prihatin. Aku benci mereka!

Jadi, diakah kesayanganmu itu, Kinan? Aku tak percaya! Bagaimana mungkin seorang pacar bisa berteriak-teriak pada pasangannya di depan orang lain? Kinan yang lembut dan sederhana sungguh tak layak mendapat perlakuaan kasar seperti itu. Dia tak pantas dipermalukan di depan orang lain. Hanya cowok tak punya hati yang bisa malakukannya.

Yah, dia bukan cowok yang baik untuk Kinanthi.  Sungguh … aku benci cowok itu!

***

 

[1] Pasar barang-barang bekas. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Me vs Skripsi
1814      747     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
SIBLINGS
6528      1152     8     
Humor
Grisel dan Zeera adalah dua kakak beradik yang mempunyai kepribadian yang berbeda. Hingga saat Grisel menginjak SMA yang sama dengan Kakaknya. Mereka sepakat untuk berpura-pura tidak kenal satu sama lain. Apa alasan dari keputusan mereka tersebut?
You*re My Star
345      220     0     
Short Story
Mengagumi pesona lelaki cantik di sebuah rumah sakit, Brian, membuat hari Zora menjadi penuh dengan kejengkelan dan debaran. Tanpa sadar satu hari yang terasa panjang menjadi singkat, sejenak Zora melupakan ketertekanan dan kesepiannya selama ini. Zora adalah langit Brian. Dan Brian adalah bintang Zora. Kisah singkat yang terjadi dalam satu hari menjadi kenangan yang tidak terlupakan.
Ayah Ku Pahlawanku Ibu Ku Malaikatku
376      224     3     
Short Story
Ini adalah kisah hidup ku "Menjadi seorang perempuan yang kuat dan tegar seperti saya ini bukanlah suatu hal yang mudah, karena tidak semua orang bisa seperti saya." Penulis by Louissa Damayanti ©2020
Secret Elegi
4302      1270     1     
Fan Fiction
Mereka tidak pernah menginginkan ikatan itu, namun kesepakatan diantar dua keluarga membuat keduanya mau tidak mau harus menjalaninya. Aiden berpikir mungkin perjodohan ini merupakan kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Menggunakan identitasnya sebagai tunangan untuk memperbaiki kembali hubungan mereka yang sempat hancur. Tapi Eun Ji bukanlah gadis 5 tahun yang l...
If Is Not You
10542      2164     1     
Fan Fiction
Kalau saja bukan kamu, mungkin aku bisa jatuh cinta dengan leluasa. *** "Apa mencintaiku sesulit itu, hmm?" tanyanya lagi, semakin pedih, kian memilukan hati. "Aku sudah mencintaimu," bisiknya ragu, "Tapi aku tidak bisa melakukan apapun." Ia menarik nafas panjang, "Kau tidak pernah tahu penderitaan ketika aku tak bisa melangkah maju, sementara perasaank...
Seseorang Bernama Bintang Itu
527      368     5     
Short Story
Ketika cinta tak melulu berbicara tentang sepasang manusia, akankah ada rasa yang disesalkan?
The Call(er)
1278      775     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
Transformers
296      248     0     
Romance
Berubah untuk menjadi yang terbaik di mata orang tercinta, atau menjadi yang selamat dari berbagai masalah?
Arjuna Berkacamata
575      390     1     
Short Story
ini adalah kisahku bersama seseorang yang kukagumi. kisah yang memberikanku pelajaran besar tentang apa yang seharusnya kita lakukan dalam hidup ini untuk menggapai apa yang kita impikan atau apa yang kita mau