Loading...
Logo TinLit
Read Story - Gue Mau Hidup Lagi
MENU
About Us  

Happy Reading!

 

 

Malam itu dia berbeda. Normal sih, ketika mengajak bertemu Rima di taman yang berada tepat didepan kost gadis itu. Seperti biasa kala rindu menyapa senyumnya harus segera dilihat, meski malam semakin menggeliat. Rasanya saat itu yang membuat Rima berfikir bahwa Gema berbeda adalah sorot sendunya, genggaman tangannya yang terasa dingin dan hadirnya yang begitu misteri.

Dengan seluruh peluh-peluh kecil yang menempel dipelipisnya Gema menunjukkan kesungguhannya. Pria itu menggamit kedua telapak tangan Rima dan menjadikan salah satu jarinya sebagai rumah untuk cincin berlian. Manis sekali. Hal yang bahkan tidak sekalipun terlintas dalam benak Rima.

Gema melamarnya.

"Aku ingin kita menikah---"

Lengkungan bibir tipis Rima tak ayal menghalau semu merah dikedua pipi untuk pandangan Gema. Ia bahkan dapat mendengar degup jantung tak seirama dari gadisnya.

"Kenapa melamarku disuasana seram begini, Gema?"

"Aku ingin kita menikah. Secepatnya. Karena waktuku. Tidak banyak" Gema menilik kanan kirinya, seolah gerakannya tengah diawasi. Ia gelisah, genggaman dijemari Rima pun mengerat seiring netranya berjelajah mengamankan keberadaan.

"Gema, are you okay?"

Lantas Gema berdiri. Kemudian menangkup bahu Rima dan membantu gadis itu berdiri.

"Ayo masuk ke kamar mu, Rima" katanya mendorong punggung gadis itu berbalik menuju gang kecil yang akan mengantarnya pada sebuah rumah dengan beberapa jumlah kamar.

"Kenapa terburu-buru?" bahkan Rima sudah meminta izin pada satpam penjaga kost bahwa ia ada keperluan mendesak diluar. Padahal peraturan tidak boleh dilanggar, Rima rela berbohong demi dapat melihat wajah Gema.

"Rima, besok dan beberapa hari kedepan jika aku tidak bisa dihubungi tolong jangan cemas ya. Aku akan kembali" bibir Gema mendarat kembali dipunggung tangan gadis itu. Bagian tercantik setelah rupa manis si Rima adalah punggung tangan yang kini bertengger indah sebuah cincin berharga.

Tanda ikatan. Gema tidak akan membuat siapapun memisahkan dia dan Rima. Tapi tetap ia merasa takut. Akankah ia dapat kembali dan menepati janjinya untuk menikah dengan gadis itu.

Sreeek...

Dia datang. Gema yakin suara itu menandakan kedatangannya. Dasar iblis.

"Rima aku harus pergi"

Dan dengan hembusan kekecewaan Rima menyaksikan Gema berlari sangat kencang meninggalkan dirinya.

Harusnya malam itu Rima menahan Gema. Tarik saja lengannya dan kunci pria itu disana. Tanyakan apa alasannya tidak bisa dihubungi seminggu ini. Rima kalut, gundah, risau. Gadis itu merindu. Pada sosok pecandu. Sang pemandu. Pemilik suara merdu yang melamarnya malam itu.

Duduk manis menatap malam berteman lagu-lagu ballad. Secangkir teh hijau dengan kepulan asap hangat tak mampu menghangatkan perasaannya. Karena sadar yang dinanti tak kunjung berderap.

Tap.. Tap..

"Siapa disana?" Rima menoleh dan tidak menemukan siapapun. Tapi telinganya jelas mendengar suara derap kaki.

Mungkin itu Gema. Pria itu pasti datang malam-malam untuk menemuinya. Seperti tujuh malam yang lalu, Bukankah begitu.

Rima berhenti melangkah. Dua langkah mundur ketika menangkap satu pasang sepatu menyembul dari balik pohon mangga besar disamping sebuah rumah. Rima tidak sebodoh itu untuk tahu tamu yang hadir tanpa diundang.

Buru-buru gadis itu berbalik, ia tersentak melihat seorang pria merentangkan tangan tiba-tiba.

"Ah, Pak Doni" hembusan napas lega keluar dari bibir Rima. Hampir saja ia mungkin berfikir akan mati malam ini jika yang berdiri didepannya adalah pemilik sepasang sepatu yang tengah bersembunyi dibalik pohon mangga.

"Sudah malam neng. Mau izin keluar lagi?" sepertinya satpam penjaga kost Rima sudah hapal wajah-wajah tukang izin keluar malam seperti dirinya.

Tersenyum kikuk Rima pun menggeleng. "Tidak, cuma nyari angin saja Pak" menunjuk udara lalu melenggang pergi.

Rasa penasaran rupanya begitu tebal memeluk pikiran Rima. Sambil berjalan masuk kedalam pintu kamarnya gadis itu kembali menolehkan pandangan pada pohon mangga itu. Namun sepasang sepatu itu sudah tidak lagi terlihat. Mungkin lari mengamankan diri sebelum diketahui.

Keesokan harinya seperti biasa Rima akan mengunjungi rumah ibunya. Dengan menaiki bis, gadis itu hanya butuh dua jam saja untuk bisa sampai disana.

Dan disinilah Rima berada, saling berhadapan dengan ibunya. Memandangi beberapa peralatan aneh yang membuat dada Rima bergetar ketakutan.

"Dia datang lagi menemuimu, bukan?" tanya sang peramal.

Rima mengangguk gusar. Percuma ia terus bohong soal kehadiran sepasang sepatu itu beberapa malam lalu. Rima harus segera menuntaskan misteri ini sebelum Gema datang kembali.

"Dia ingin menuntaskan apa yang belum selesai"

"Belum selesai, apa?" apanya yang belum selesai. Rima yakin cerita ini telah usai, bahkan sebelum dirinya memutuskan menjalin hubungan dengan Gema.

Peramal itu berhenti menatap garis-garis tangan Rima dan memilih menemukan jawaban dari mata gadis itu. Perasaan seorang ibu tidak akan jauh berbeda, meskipun putrinya terus berbohong binar matanya tidak akan bisa mengelak.

"Kau masih mencintainya, bukan?" tanyanya tepat sasaran.

"Gema? Tentu saja, Bu. Dia bahkan melamarku. Lihat cincin ini, cantik bukan?" jawab Rima tak lupa menunjukkan punggung tangan kirinya pada peramal tersebut.

"Bagas. Pria itu, Rima"

Pandangan gadis itu meluruh kelantai. Menghindari tatapan ibunya, karena berbohong berapa kalipun nyatanya Rima tetap kalah. Ibunya seorang peramal yang mengetahui segalanya.

"Apa dia tidak akan menyakiti Gema, Bu?" kekhawatiran menulusup kedalam perasaan Rima.

"Bagas menuntaskan apa yang belum selesai menurut dirinya. Ibu tidak tahu apa cerita kalian memang sudah selesai atau belum"

Jadi Bagas terus mengikutinya karena masih memiliki dendam yang sukar diterimanya. Tapi ini soal hati, Rima tidak akan sanggup berjalan dengan orang yang jelas-jelas selalu membawanya pada jalanan berduri. Meski cinta masih mengikat hatinya, namun pikirannya tidak pernah mau kalah. Meninggalkan Bagas adalah pilihan Rima, dan hatinya harus menerima itu.

Urusannya selesai, Rima bangkit berdiri dan menyalami punggung tangan ibunya.

"Aku harus kembali ke tempat kost, Bu. Assalammualaikum" pamitnya.

"Waalaikumsalam"

Rima pergi dari rumah ibunya dengan beberapa pertanyaan bersarang dalam benak kecilnya. Semua ini belum tuntas? Pertanyaan itu beranak-pinak tanpa jawaban.

Suasana sudah gelap dan Rima masih berdiri di halte menunggu bisnya datang. Ia sedikit gelisah, karena bagaimanapun ia masih dipenuhi dengan kehadiran sosok Bagas. Bagaimana jika pria itu kembali mendatanginya?

Tap...

Tap...

"Siapa disana?" Rima yakin dia merasakan pergerakan dari arah belakangnya. Tapi saat ia menengok kesana tidak ada apapun selain suasana sunyi malam hari.

Bodohnya Rima malah pulang malam hari. Kenapa dia tidak sadar waktu dan segera pulang ke tempat kost-nya. Jika sudah begini, mau kembali ke rumah ibunya pun tidak mungkin. Karena Rima tidak bisa meninggalkan halte bis.

Tengkuknya terasa dingin, nyalinya tiba-tiba menciut saat merasakan suara derap kaki memasuki indera pendengarannya kembali.

"Jangan main-main, ini sudah malam" ujarnya sembari menerawang ke sekitar.

Rima tidak bisa diam saja saat sepasang sepatu tertangkap matanya. Bersembunyi dibalik tempat sampah diujung kios yang sudah gelap. Padahal Rima yakin biasanya tempat itu tidak dibiarkan begitu saja gelap. Ia sering bolak-balik dari rumah ibunya ke tempat kost dan selalu menemukan lampu didepan kios tersebut menyala.

Ini pasti ulah sepasang sepatu itu. Dimanapun benda itu terlihat suasana langsung berubah menjadi menyeramkan.

Kakinya mengharuskan ia melangkah menjauhi tempatnya berdiri. Kemana saja untuk menemui tempat yang ramai. Setidaknya sepasang sepatu itu tidak akan berani memunculkan dirinya dengan suasana ramai.

"Akh.." sialnya belum sempat bertemu tempat yang ramai Rima malah terjatuh. Hak sepatunya patah tiba-tiba hingga lututnya terasa sedikit nyeri.

"Jangan menghindariku Ri...Ma.."

"Siapa kau?" jantung Rima bergetar, ia ketakutan. Sangat jelas terdengar bahwa suara itu memanggil dirinya.

Tap...

Tap...

Nafas Rima memburu hebat. Dengan cengkeraman kuat ditas selempang yang ia kenakan, gadis itu berusaha mati-matian tetap bertahan meski peluh telah membasahi wajahnya.

"Aku mencintaimu... Ri... Ma..."

"Akh..." Rima menundukkan kepalanya, menggeram ketakutan yang tertahan. Haruskah ia berteriak?

Tapi, mendengar suara itu Rima tidak bisa mengusirnya. Meski ia tahu ketakutan dapat dengan mudah mendominasi keadaan. Bolehkah Rima egois sekali saja, selama hidupnya bolehkah Rima menjadi serakah?

"Ba...gas.." perlahan nama itu berhasil keluar dari bibirnya. Nama yang sudah lama tidak ia dengar.

"Kau masih mengikutiku?"

"Bagas, apa maksudmu dengan ini semua? Apa yang ibu katakan benar, Bagas? Apa diantara kita ada yang belum terselesaikan?"

Rima tersentak mendapati sepasang sepatu yang biasa bersembunyi kini sudah berada dihadapannya. Awalnya Rima pikir itu hanya sebuah sepatu. Ternyata tertanam disebuah kaki.

Setelah berhasil mengumpulkan keberaniannya gadis itu mendongak. Perlahan, menemukan sepasang kaki jenjang yang terbalut jeans hitam penuh darah. Iya, darah yang terasa sekali baunya. Kemudian ia juga melihat perut dan bagian dada yang bidang. Pakaiannya pun penuh noda darah, amis dan anyir. Tapi Rima masih dapat melihat name tag yang tertera didada kiri pria itu.

"Sam... Samuel..." ejanya.

Tunggu, jadi sosok itu adalah samuel bukan Bagas. Rima menelan ludahnya penuh kesulitan. Kemudian melanjutkan pandangannya untuk menilik rupa seperti apa sosok sepasang sepatu yang selama ini menguntitnya itu jika bukan Bagas. Dan apa sebenarnya tujuan sosok itu melakukan hal demikian pada Rima.

Setelah melihat sampai dibagian leher, tubuh Rima menegang. Ototnya kejang seketika. Lumuran darah disekujur tubuh sosok itu ternyata berasal dari bagian lehernya. Dimana menjadi bagian yang memisahkan satu susunan tubuh dari manusia.

Sosok itu tidak memiliki kepala.

"Aaaaaa...."

***

Andai saja bisa, Rima tidak ingin terbangun saja. Daripada ia harus kembali diserang rasa takut akibat pertemuan pertamanya dengan makhluk mengerikan malam itu.

Tapi ibunya sudah susah payah merawat dirinya hingga sehat dan berhasil membuka mata. Namun bayang-bayang sosok tanpa kepala itu masih menari-nari dipikirannya.

Rima ingat saat sosok itu berdiri didepannya dan ia berteriak setelah itu tak sadarkan diri. Lalu keesokan harinya ketika membuka mata ia melihat ibunya tengah mengganti handuk kecil yang semalaman membalut keningnya.

"Makhluk itu... Aku takut, Bu" lirihnya sembari mengusap wajah.

"Apa Gema mencariku, Bu?" kenyataan bahwa Gema belum juga kembali membuat dirinya semakin tidak bisa tenang. Sama takutnya seperti diteror makhluk aneh, Gema menghilang adalah kedukaan hatinya.

"Dimana dia, kenapa menghilang tanpa kabar? Bukankah kau bilang, dia sudah mengajakmu menikah?---"

"---Rima, sosok itu Bagas?"

Rima tersentak, mengeratkan cengkeraman diujung selimut yang menutupi kakinya. Ia mendadak dingin, merinding, bayangan sosok itu kembali berputar dikepalanya. Bukan Bagas, sosok lain, mengapa mengenal Rima.

"Bukan, Bagas?" tebak Nada--Ibu Rima.

Tanpa sadar meski ingin menutupi, Rima mengangguk lemah.

"Siapa? Katakan pada Ibu siapa dia?"

Rima langsung menoleh. Cengkeraman diselimut terlepas, ia menarik lengan ibunya kuat.

"Memang bukan Bagas. Tapi sosok lain. Ibu tahu kan siapa dia?"

"Apa maksud kamu Rima?"

"Sosok itu. Ibu tidak usah bohong. Aku memang tidak seharusnya mendatangi Ibu" Rima bangkit, ia hendak pergi namun Nada berhasil mencekal lengannya.

"Jangan pergi sebelum semuanya jelas. Apa maksud kamu, Rima?"

"Ibu tidak usah pura-pura. Aku sudah tahu semuanya. Tidak perlu lagi menutupi apapun dariku, semuanya berakhir disini. Seberapa kuatpun usaha Ibu menjauhkan aku dengan orang yang aku cinta, pilihan tetap ada padaku"

Cekalan Nada merosot, dia menatap kosong wajah putrinya. Tapi diluar dugaan senyuman sinis seketika muncul. Menyiratkan energi seorang pemisah dalam dirinya yang tidak pernah luntur.

"Pergilah... Temui Gema jika kamu bisa"

"Kenapa Ibu melakukan ini, Bu? Kenapa Ibu berubah menjadi seorang pembunuh?"

"Ibu tidak membunuhnya, Rima. Hanya melanjutkan percobaan yang dulu gagal Ibu lakukan pada Bagas"

"Cukup, Bu! Kumohon..." kedua telapak tangan Rima menyatuh. Ia memohon dengan menjatuhkan bulir-bulir likuid tanda runtuhnya dinding pertahanan. "Kumohon jangan lakukan apapun pada Gema, Ibu. Aku mohon..."

"Lalu jantung siapa yang harus Ibu ambil? Kamu?"

"Ibu bukan manusia" Rima menjauh dengan gelengan kepala dan sederet kalimat yang selalu ia ucapkan itu.

Sepanjang perjalanan air mata keluar begitu saja dari matanya, sambil terus memikirkan keberadaan Gema. Sedetik pun Rima tidak bisa diam. Walau untuk mengambil napas pun ia tidak sanggup.

Jika saja selama ini Rima sadar darimana kekuatan ibunya kembali pulih---yang tidak lain dari organ manusia---mungkin saja Gema tidak akan jauh darinya.

Nada sudah lama mengikat perjanjian dengan para iblis demi kekuatan supranatural yang dimilikinya. Menghalalkan segala cara agar kekuatan itu tidak pernah hilang.

Rima pikir Nada sudah berubah sepenuhnya, merelakan dunia hitam tersebut dan mau meluruskan hidupnya. Menanggalkan Bagas sebagai tumbal terakhir, Rima ikhlas. Tapi, sekarang gelapnya dunia itu telah menggelapkan pikiran Nada.

Masih jelas terdengar seperti sebuah rekaman apa yang dulu Bagas ucapkan sebelum jantungnya direnggut oleh Nada.

"Karena aku mencintaimu sampai akhir. Jangan kalah dengan kegelapan, Rima adalah putih. Aku yakin, Rima bisa berusaha meyakinkan Tante Nada"

Tangis Rima pecah, kakinya mendadak lemas. Dan disini akhirnya dia terjatuh, halte bis. Sama seperti malam saat pertemuannya dengan makhluk tak berkepala bernama Samuel.

"Rima"

Praktis Rima langsung menoleh karena suara bariton yang sudah sangat ia rindukan memanggil namanya.

"Akh... Gema!" Rima berteriak. Bersusah payah ia merangkak untuk mencapai pria itu.

"Tolong!" tubuh Gema mulai mendingin, darah segar terus keluar dari dadanya. Dan anehnya, langit tiba-tiba menggelap. Tidak ada seorangpun yang bisa Rima mintai pertolongan.

"Hahaha..." suara tawa menyadarkan Rima bahwa waktunya sudah dekat. Gadis itu sontak merengkuh tubuh Gema lebih erat. Tidak rela sedikit pun ibunya melakukan hal keji sama seperti apa yang wanita itu lakukan pada Bagas.

"Samuel!" Nada berseru memanggil, Rima bergidik. Makhluk tanpa kepala itu memang benar milik ibunya.

"Ibu jaga batasan Ibu!" Rima tahu ia tetap kalah namun berusaha terus memberontak. Demi Gema dan demi menuntaskan kekejaman ibunya.

"Tau apa kamu? Setelah jantungnya Ibu ambil kau hanya perlu mencari pria lain, nanti Ibu ambil lagi jantungnya, begitu seterusnya Rima. Bukankah kau ingin menjadi anak yang berbakti?"

"Toloooong!!" teriak Rima tiada henti mencari pertolongan.

Nada terbahak kembali. "Bodoh! Sejak kapan kamu jadi anak bodoh, Rima? Ini dunia Ibu, tidak ada yang akan mendengarkanmu"

"Apa?"

Ah, benar. Ini bukan dunia dimana orang-orang akan peduli dengan satu sama lain. Tempat Rima sekarang berdiri adalah dunia lain milik rekan seperjanjian ibunya. Pantas, tiba-tiba gelap dan sunyi menyapa sekitarnya.

"Samuel, bawa Gema kemari"

Makhluk pemilik sepasang sepatu itu berjalan semakin dekat dengan jarak Rima. Gadis itu segera mendekap Gema yang tengah menormalkan napasnya.

"Gema, kumohon bertahanlah" tangan Rima memeluk punggung Gema.

Sesak melingkupi perasaan gadis itu, melihat orang yang dikasihinya terbujur kesakitan didepan mata. Dia seolah menjadi manusia paling hina dan tidak berguna. Sampai-sampai harus terus menjadi alasan penderitaan orang lain.

"Ibu!" Pekik Rima. Nada menoleh cepat dan menemukan manik mata putrinya kini menusuk miliknya.

"Kumohon, Bu. Kumohon hentikan ini. Kumohon..."

Gema yang tengah kesusahan menarik udara tidak sanggup melihat kekasihnya menangis sambil memohon-mohon. Pria itu terus menggenggam erat tangan Rima. Dan memberikan jawaban lewat sorot matanya bahwa yang sudah terjadi bukanlah salahnya.

"Gema... Tidak! Gema kumohon bertahanlah, kita tidak boleh membiarkan iblis itu menang. Tidak boleh Gema. Kumohon... Tolong jangan tinggalkan aku. Aku mohon, Gema..." Karena Rima sudah tidak sanggup terus menjadi sebuah alasan kematian orang lain. Cukup untuk Bagas dan Samuel saja, jangan Gema juga.

Apakah dunianya akan terus berjalan seperti saat ini, berakhir dengan menyaksikan orang terkasihnya kesakitan. Rima tidak ingin, lebih baik ia saja yang berakhir.

"Samuel dengarkan aku, cepat bawa Gema kemari!"

Sebelum makhluk mengerikan tanpa kepala itu berbuat hal keji pada Gema, Rima akan menggagalkannya meski ia akan berurusan dengan kematian.

"Ri...ma, ja-jangan melakukan a-apapun. Kau pa-pasti akan ter-terluka"

"Gema, jangan memikirkan aku disaat-saat seperti ini. Aku tanya padamu, Bukankah kau mencintaiku, Gema?" aku Rima, bertanya dengan nada suara yang hampir tenggelam karena tangisannya.

"Sa-sangat" jawab Gema meskipun tenggorokannya sudah sangat susah dikendalikan.

Karena sampai nanti waktunya berakhirpun pria itu akan terus mencintai Rima. Sebelum atau sesudah mengetahui fakta mengerikan ibunya.

"Kalau begitu, kenapa kamu harus berjuang sendirian? Gema, kamu harus tahu bahwa hal ini bukan pertama kalinya terjadi. Ibuku..." tidak sanggup, meskipun Gema sudah tahu apa yang akan terjadi padanya dan semua rahasia kekejaman Nada. Rima tidak akan pernah sanggup membuat luka Gema semakin parah dengan fakta bahwa semua pria yang dekat dengan Rima pasti akan berakhir sama seperti dirinya.

"Uhuk... Aku.. Uhuk aku su-sudah tahu---"

"Apa?!" mata Rima melebar sempurna. Jadi, selama ini Gema sudah mengetahui semuanya? Tapi kenapa dia---

"Dan, itu a-adalah alasan--Uhuk...-- A-aku menghilang. A-aku i-ingin men-mencari ca-cara untuk--Uhuk...-- menghancurkan i-ibu ka-kamu, Rim.."

Kembali terjatuh, air mata Rima terasa tidak pernah habis. Seolah terus-menerus diproduksi untuk merobohkan pertahanannya.

"Gema... Aku sadar selama ini kalau kamu adalah jodohku. Aku tidak akan biarkan kita berakhir sampai disini. Hari ini, kamu boleh jadi korban aku yang terakhir. Tapi, aku janji setelah itu hanya kamu yang tetap akan aku cari"

Telapak tangan Rima sungguh menghangatkan pipi Gema. Dan menurut pria itu, meski keadaannya separah itu saat ini adalah hal ternyaman. Setidaknya, ia bisa pergi dengan kehangatan.

Mendadak Gema rasa denyut nadinya melemah. Semua darah dalam tubuhnya seolah habis keluar lewat dadanya yang robek dan sebagian ia keluarkan lewat mulut. Pandangannya mengabur. Wajah Rima lama-lama menghitam dan yang ia rasakan hanya sakit yang amat dalam.

Tetes demi tetes likuid bening mengalir jatuh mengenai pipi Gema yang kini sudah menutup matanya. Rima rasa dunianya berhenti berputar. Dadanya berjuta-juta lebih sesak dari sebelumnya. Sekarang Gema-nya sudah pergi. Gema-nya sudah tidak bisa lagi memeluknya.

"Gema... "

"Gema... Jangan! Kumohon... Kumohon jangan pergi!" Rima mengguncang-guncang keras tubuh Gema dan terus terisak.

"Sudahlah Rima! Kamu itu sudah ditakdirkan hanya untuk membantu Ibu. Sekarang pergi dari sana, biarkan Samuel mengambil jantung milik Gema. Kamu jangan disitu terus, nanti darah Gema mengotori pakaianmu"

"Cih" Rima mendecih keras dan memalingkan wajahnya hingga tepat menatap tajam kearah Nada. "Hari ini untuk pertama kalinya ibu akan mendapat dua jantung sekaligus. Setelah ini, tolong berhentilah bu. Jika ibu masih sayang pada anak ibu, aku mohon berhentilah--"

"Aku, aku---" Rima menemukan pisau bercecer darah yang membasahi sepasang sepatu yang sangat ia kenali.

"Aku!" pisau penuh darah itu berpindah ketangan Rima dalam satu detik. Ia mengarahkannya langsung tepat kearah pergelangan tangannya.

Dengan menajamkan netranya bagai elang memburu mangsa, Rima menancapkan pisau tersebut hingga darah segar memancar dari sana.

"Tidaaaaak!" bibir Nada bergetar. Entah mengapa, rasanya ada puluhan batu berjatuhan mengenai paru-parunya.

Tetesan air mata menjadi saksi bahwa rasa sakit itu tidak sebanding dengan sakitnya melihat Gema pergi. Rima harap ini terakhir kalinya ia patuh pada perintah ibunya.

Rima lirik tubuh kaku Gema disebelahnya. Tubuh penuh darah itu sebentar lagi akan sama seperti dirinya. Seketika ia ambruk dan membiarkan lututnya yang lemas menyentuh tanah.

"Gema... Aku bangga menjadi seseorang yang kamu sayangi. Jangan khawatir, karena kisah kita tidak akan berakhir seperti ini. Kita akan bertemu lagi, aku janji" bibir Rima melengkung. Senyuman termanis yang ia suguhkan untuk rekam memori perpisahan mereka.

"Aku akan mencarimu. Gema, aku---" sial. Nafas Rima sulit dihembuskan.

"Aku--"

Jari-jarinya terus bergetar hebat. Oksigen sulit diraih dan jantungnya berhenti, semua gelap.

"Sayang--"

"Kamu... Se... La... Ma... Nya..."

Samuel, sosok tanpa kepala itu bersimpuh. Tangannya meraba tubuh yang berhasil ia pegang dan mengambil organ jantung dari sana.

"Rima..." suara itu, apa Nada sudah menyesal?

Awan-awan tidak pernah bergerak tapi dalam beberapa waktu bentuknya pasti berubah. Nada sudah berulang kali mengatakan bahwa sebenarnya awan-awan diatas sana bergerak, tapi putri kecilnya tetap tidak akan percaya padanya.

"Ibu, setiap hari Rima selalu berdoa pada Tuhan meminta hal yang sama"

"Oh, iya? Apa itu, sayang?"

"Tiga hal yang selalu Rima harapkan. Pertama, jika Rima sudah besar nanti, Rima akan membelikan rumah untuk Ibu. Yang kedua, Rima berharap Ibu tidak akan mencari Ayah baru buat Rima. Dan yang terakhir---"

"Apa, nak?"

Rima kecil tersenyum, gigi-giginya yang tidak tersusun rapih terlihat sangat lucu. "Rima harap Ibu bisa hidup lebih lama. Rima minta sama Tuhan kalau Rima akan meninggal lebih dulu. Nanti, Ibu jangan menangisi Rima ya? Ibu jangan sedih kalau sendirian disini"

Nada tersadar hidupnya hanya tentang keserakahan.

Dan,

Selamat datang penderitaan.

***

Dibawah panasnya terik matahari, gadis itu berdiri dengan mengepalkan buku-buku tangannya sekuat tenaga. Selalu meyakinkan bahwa ditinggalkan bukan akhir dari kehidupan. Baiklah, Diandra hanya butuh menghela napasnya kemudian meneriaki dua manusia tanpa hati yang tengah berbincang disebuah meja.

"Kya! Dasar manusia tidak tahu diri. Cowok gila! Sejak kapan lo duain gue?" Diandra membelalak lebar, seribu kalipun ia tidak akan rela harga dirinya dijatuhkan serendah-rendahnya hanya karena cinta.

"Di, gue bisa jelasin. Dia bukan seling--"

Wajah masam Diandra berubah damai seratus delapan puluh derajat. Alasannya, ia melihat sahabatnya kini duduk manis diatas meja kasir restauran tersebut. Sesuai dengan nasihat sahabatnya tersebut Diandra akan memasang wajah seolah pria itu sama sekali tidak berharga.

Misi dimulai.

"Bukan selingkuhan? Hmm... Kalau begitu apa dia ini tukang sayur di rumah lo? Pembantu lo? Tukang cuci piring? Ya ampun" Diandra menutup mulutnya sebelum kembali dirasuki amarah besar.

"Apa?! Lo ngatain gue babu? Hei! Jangan sok belagu. Lo itu selama ini udah dibohongin sama Raimond, asal lo tahu. Dasar bodoh" cibir wanita yang Diandra yakin dan tambah percaya gadis ini adalah selingkuhan kekasihnya, Raimond.

Dan apa katanya, bodoh? Diandra ingin sekali menampar pipi gadis itu dan menarik bibir merahnya lalu disiramlah wajah sok kecantikan itu. Tapi, dia kembali diam. Sahabatnya yang masih duduk manis diatas meja kasir menggeleng halus. Jangan-lakuin-hal-bodoh.

Pertama-tama Diandra menghela napas. Daripada marah dengan tindakan dan sahabatnya jelas melarang, bagaimana dengan lisan?

"Bodoh? Bodoh? Kalo gue bodoh, lo cewek murahan yang mau-maunya jadi simpenan disebut apa ya? Oh... Idiot? Haha... Tidak-tidak, itu terlalu ringan. Hmm... Oh---" Diandra menoleh pada Raimond yang sudah meringis ketakutan kemudian melayangkan kembali tatapan maut pada gadis selingkuhan kekasihnya itu.

"Kurang waras. Haha... Benar, kurang waras. Selamat ya atas hari jadi kalian yang gue gak tau. Gue doain semoga gak akan lama-lama jadi manusia kurang waras. Permisi"

Perfect! Didalam hatinya Diandra berseru keras karena usahanya membalas dendam dengan cara yang anggun terlaksanakan. Meskipun jauh didalam hati kecilnya ia ingin sekali menangis. Perempuan mana yang hanya tertawa saat dikhianati seperti itu.

"Diandra tunggu!" teriakan Raimond tertelan karena langkah cepat Diandra meninggalkan tempat kejadian.

Dengan merasakan hembusan angin sepoi, Diandra menoleh dan saat itu pula sahabatnya mencubit pipi kirinya dengan keras.

"Aww!" Diandra memekik keras.

"Bagus sekali, itu adalah suatu cara paling manis membalas cowok tidak berperikemanusiaan seperti Raimond"

Diandra menarik lengan sahabatnya dan membawanya berjalan beriringan. Ingin sekali ia membalas kalimat sahabatnya itu, tapi bagaimana jika ia dikira orang gila?

Sampai didalam mobil, seperti biasa Diandra akan duduk didepan setir kemudi sedangkan sahabatnya duduk disebelahnya.

"Makasih banyak ya, Rima. Lo emang sahabat paling baik yang gue punya. Gue janji, gue bakalan bantuin lo nemuin---siapa namanya?---"

"Ah.. Sudahlah, gue rasa cinta gue penuh dosa. Tuhan mungkin tidak akan menyatukan kita kembali"

"Hei, Rima. Tidak ada yang tidak mungkin didunia ini. Lo meragukan kemampuan gue? Setiap hari, setiap melewati jalan atau dimanapun itu, gue bakal buka mata lebar-lebar dan mencari tahu keberadaan hantu laki-laki itu"

Wajah pucat Rima sedikit menampilkan semu merah, Diandra memang gila bersahabat dengan hantu. Tapi, siapa yang patut disalahkan? Rima hantu baik yang selalu menasihatinya.

"Kenapa lo antusias banget mau nyatuin gue sama Gema?"

Diandra tersenyum lebar, "Ya, namanya Gema. Aku akan mencarinya"

"Mau taruhan? Beberapa menit setelah ini gue rasa lo bakal lupa namanya"

"Tidak begitu, Rima sayang. Iya, oke. Mulai sekarang gue bakal ingat baik-baik namanya Gema. Right?"

"Dan pertanyaan lo, kenapa gue antusias banget buat bantuin lo nemuin Gema adalah... Ya, gue miris aja denger kisah kalian. Bukan kalian yang salah, tapi orang lain---"

"Maksud lo ibu gue?" tebak Rima.

"Bukan, bukan. Hantu, iblis" jawaban asal Diandra jelas memberitahu kebenarannya. Rima menggeleng dan menyingsing lengan putih panjangnya.

"Gue juga mau banget buktiin kalo cinta sejati itu ada. Kalo bener ada gue lebih baik disatuin jodoh gue kalo udah mati dah gak papa. Daripada gue terus diduain"

"Hei, Diandra. Lo kan tahu berapa mantan gue sebelum berakhir dengan Gema?"

"Dua"

"Gue rasa setelah kedua kali lo disakitin, takdir akan menyatukan lo sama jodoh lo yang sesungguhnya. Semangat!" Rima mengepalkan tangan keudara. Sedangkan Diandra mulai bisa mencerna baik-baik kalimat Rima yang benar. Menurutnya, Rima seratus persen benar.

Dengan memegang kuat setir kemudi. Diandra menginjak pedal gas. Dan membawa kereta kuda besinya meninggalkan Raimond, si manusia paling mengerikan.

Sepuluh tahun kisahnya berakhir mengenaskan, Rima pikir hidupnya sebagai hantu setidaknya akan sedikit lebih membahagiakan. Tapi, kenyataannya tidak seperti itu. Rasa bersalah harus mencari Gema dan menepati janjinya untuk selalu bersama selalu menghantui dirinya.

Setiap Diandra bercerita soal pria-pria keji yang selalu membodohinya, diam-diam Rima merasa dendam. Pada takdir? Bukankah dulu ia selalu bertemu orang-orang baik dan sayang padanya namun tetap saja ada rintangan besar. Sekarang, sepuluh tahun berlalu takdir selalu mempermainkan.

Namun Rima sadar, cerita takkan menarik tanpa konflik.

"Rimaaaaaa" hantu itu tersentak saat sedang asik melamun tiba-tiba Diandra, sahabatnya, berteriak sambil berlari menghampirinya.

"Kenapa sih, Di?"

Wajah sumringah Diandra langsung terpancar setelah melirik hotel yang baru saja ia masuki, sebagai tempat kerja gadis itu.

"Gue udah nemuin si Gema"

Rima terkejut luar biasa. "Serius? Dimana dia?"

"Tapi..." entah perasaan Rima saja yang aneh, atau ia memang sadar bahwa Diandra mencemaskan sesuatu.

"Tapi, apa?"

"Gimana kalau Gema bukan hantu, tapi manusia?"

Bola mata Rima bergetar. Bisakah hantu sakit hati? Rima menyesal, kenapa tidak kisah hidupnya, kisah matinya, ia hanya akan jadi mengenaskan.

"Rima jangan sedih, gue bakal cariin hantu cowok paling ganteng buat lo. Jangan sedih ya"

Rima menunduk tiga detik untuk menghilangkan nyeri dihatinya, kemudian mendongak dengan mata merah dan Diandra tahu hantu itu tengah menahan air matanya.

"Diandra...---"

"Gue mau hidup lagi"

Bisakah?
Bisa saja, atas kehendak Tuhan.



 

---The End---

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags