Loading...
Logo TinLit
Read Story - Heya! That Stalker Boy
MENU
About Us  

Heya!

That Stalker Boy

 

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan latar, nama atau kejadian itu hanyalah kebetulan semata. Tidak ada undur kesengajaan di dalamnya. Tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun. So, enjoy it : -)

 

 

 

~ 24 Juni 2019 ~

Matahari bersinar terik, membakar kulit.

Jakarta, macet lagi. Sebuah sedan hitam, ikut mengantri dalam barisan kendaraan panjang.

~12:04~

Gadis yang sedang menyetir itu, terus menengok jam tangannya dengan gelisah. Ia sudah terlambat 4 menit dari janji temunya di Grand Indonesia. Semenjak tadi, sedannya bahkan belum melewati Jl. Kawi Raya dekat tempat tinggalnya, Puri Imperium. Butuh setidaknya 10 menit untuk sampai tempat tujuan. Tapi, entahlah. Dengan kondisi saat ini, ia sudah tak yakin lagi.

Argh! Hari senin yang menyebalkan.” Ia terus menggerutu. Aliran musik metallica yang mengalun keras dalam speaker mobilnya semakin menyulut emosinya.

Rambut cokelat bergelombangnya terasa lepek karena keringat yang terus merembes melewati sela-sela kulitnya. Badannya yang ramping dengan kaki jenjangnya terus menggeliat dengan gelisah.

Bedak dan blush on yang memoles wajah putihnya hampir luntur. Begitu pula dengan maskara yang sedikit menebalkan mata sipitnya itu.

Ia menyetir mobilnya perlahan, lalu mengumpat dengan kesal begitu lampu lalu lintas kembali berwarna merah lagi, tepat sebelum gilirannya.

Tring! Tring!

Ponselnya bergetar, “Halo...”

Keningnya nampak berkerut mendengar ocehan suara dari seberang telepon gengamnya. Ia menggerakkan stir mobilnya, mencoba mencari celah untuk menyalip.

“Aduh, sorry banget. Ini gue masih di jalan. Kejebak macet, ini jalannya udah mulai rada sepi. Tunggu bentar, ya! paling sepuluh menitan gue sampe!”

Tut! Tut!

Ia menutup sambungan telepon. Tak mau mendengar argumen teman-temannya yang mungkin sedang jenuh menunggunya.

“Yah, sorry ya guys. Abisnya gimana lagi. Macet sih.” Gadis itu terus-terusan menyalahkan kondisi jalan yang macet. Padahal, dari lantai 5 apartemennya. Tentu ia bisa memantau kondisi jalan.

Seharusnya, ia bisa berangkat lebih awal lagi.

Perkiraannya meleset, 30 menit kemudian ia baru sampai di ruas Jalan M.H Thamrin. Sebuah mall besar, yang menjadi sentra perniagaan di kawasan itu terlihat dari balik kaca sedan miliknya.

Ia menyetir mobilnya perlahan menuju area parkiran. Bagaimana pun juga, ia tidak mau sampai mobilnya kena baret sedikit pun. Karena, belum ada sebulan mobil itu diserahkan padanya. Sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke 23, tepat tanggal 12 Mei kemarin.

“Halo, guys. Kalian udah nongkrong di mana? Nih, gue udah sampai.” Ia keluar dari mobilnya.

Suara dari seberang sambungan telepon itu nampak geram. Namun, gadis itu tetap santai. Tak menggubrisnya.

Gadis itu melangkahkan kakinya menginjak lantai pertama Mall Elit itu. Tapi, ia merasakan sebuah firasat yang aneh. Rasanya seperti ada seseorang yang sedang membuntutinya. Ia menoleh, hanya ada sekumpulan orang yang berlalu-lalang di belakangnya.

Ia kembali menempelkan ponselnya ke telinga. “Eh, sorry. Di mana tadi?”

Ia mendengarkan dengan saksama, “Oke, tempat biasa ya? di Markeze.” Ia menutup sambungan ponselnya. Berjalan menuju coffe shop yang terletak di lantai 1 tempat temannya berkumpul.

Ia melambaikan tangan begitu melihat dua orang temannya yang sedang duduk di sebuah meja dengan kursi yang tinggi. “Hei!” ia duduk di salah satu kursi yang tersisa.

Seorang gadis dengan tampilan super hype menngerutu padanya, “Levinka Maharani, kenapa primadona kampus ini telat sayang?”

Gadis yang dipanggil Levinka itu hanya terkekeh, “Maaf, ya Rena. Soalnya tadi macet.”

Gadis satunya yang memakai hijab dan tunik warna pastel senada tak kalah menunjukkan wajah masam, “Sayang, kita udah nungguin lama banget hlo.”

Levinka terkekeh lagi, “Sorry ya,  Fitri. Lain kali gue janji nggak bakal telat lagi deh. Eh, by the way. Kalian baik banget sih udah order-in cappucino kesukaan gue.” Ia menyambar cangkir kopi miliknya dan tanpa basa-basi menyesapnya. Menikmati rasa khasnya.

Kedua temannya hanya terkekeh melihat kelakuan Levinka. Anak ini terbilang cukup unik. Seorang penggemar musik metalica, primadona kampus yang juga seorang balerina dan kopi holic yang parah.

Fitri yang duduk di sampingnya menggeluarkan ponsel andalannya dan mengambil foto selfi mereka bertiga. “Eh, guys. Senyum dong.” Levinka yang masih menikmati cappucino-nya langsung berpose dengan satu tangannya membentuk lambang metal.

“Eh, fit. Lo itu ya, ke mana-mana cekrek dulu.” Rena yang tak kalah heboh dalam berpose terlihat sok menceramahi.

“Biarin dong. Yang penting itu eksis. Eh, btw cappucino lo masih enak, kah? Pasti udah dingin, kan? Kelamaan nunggu lo sih.”

“Ya, mau digimanain juga. Cappucino itu selalu terasa perfect di lidah gue. Sayang tau nggak, kalau nggak di minum.”

Rena dan Fitri hanya bisa saling pandang. Mereka sudah tahu betul sifat Levinka semenjak mereka menjadi tempan satu kelas di Universitas Sahid Jakarta, Fakultas Ekonomi.

Rena memajukan kursinya, “Eh, ngomong-omong nih. Gimana hubungan lo sama si Roy? Roy Atmaja, anak Fakultas Ilmu Komunikasi itu.”

Levinka memutar bola matanya, jengah. Di mana pun ia berada, pasti isu hubungannya dengan Roy selalu jadi topik yang panas. Yang mengundang para kepo-kepo squad mendekat.

“Yah, gitu deh. Gue sih sebenernya oke sama dia. Ya, juma masak gue sih yang harus nembak duluan. Gengsi lah.”

Fitri yang sedari tadi sibuk upload foto di sosmednya perlahan tertarik untuk ikut nimbrung, “Lo kasih kode dong. Biar si Roy itu berani nembak lo.”

Levinka menyisir rambutnya ke belakang, “Kalo itu mah udah. Tinggal tunggu tanggal mainnya aja.”

Mereka bertiga tertawa, lalu melanjutkan perbincangan mereka. Mulai dari Fitri yang pengin jadi hijabers model, guru akuntansi mereka yang galak, sampai mamang tukang kebun yang kumisnya tebel. Design arsitektur kafe yang nyaman, membuat mereka betah berlama-lama.

~15:09~

Levinka menengok jam tangannya, “Guys. Gue pamit dulu, ya. Udah mau sore nih. Gue kan harus persiapan buat penampilan gue di lomba balet besok buat ngrayain ultah Jakarta.”

Rena dan Fitri mengangguk, “Iya, kita juga mau pulang nih. Gak enak juga sih, nongkrongnya lama tapi masa juman pesen dikit. Tuh, baristanya udah ngeliatin mulu. Kan jadi salting aku,” oceh Fitri.

Mereka berdua beranjak pergi dan saling pamit saat mereka berpisah di parkiran.

Levinka mengemudikan sedannya perlahan, menyusuri Jalan Teluk Betung lalu belok tajam ke kiri menuju Jalan Jendral Sudirman. Ia membuka Gmaps dan menyalakan GPS. Banyak jalan satu arah di sini. Karena terkadang ia sendiri tak hafal. Google benar-benar sangat membantunya.

Untung saja, jalanan agak lenggang. Jadi, ia hanya membutuhkan waktu 8 menit untuk sampai di apartemennya. Sedan yang dikendarainya masuk parkiran yang ada di basement. Tempat parkir miliknya sudah ditentukan. So, Levinka tidak bisa parkir sembarangan. Sayangnya, tempatnya itu ada di pojokan.

“Huft...” ia mendengus. Lalu dengan segera menuju lift, melihat tombol lift yang sampai angka 28. Lalu memencet angka 5. Lift berjalan dengan laju sedang. Tak ada satu menit, Levinka sampai di lantai kamarnya.

Dengan segera dipencetnya password kamarnya yang bernomor 56. Begitu ia masuk, ia langsung merebahkan diri. Mengambil ponsel dan memeriksa foto yang dikirimkan Fitri untuk mereka bertiga posting.

Levinka berguling, telungkup.

“Wah, bagus juga nih angle-nya. Gue jadi kelihatan lebih kurus.” Ia mengotak-atik ponselnya dan, “Yups, selesai. Ntar tuh anak ngomel lagi kalo gue nggak bikin instastory. Mandi dulu ah.”

Ia membuka lemari, mengambil bathrobe dan menuju salah satu kamar mandi di apartemennya. Ia tak pernah mengunci pintu bathroom-nya. Yah, lagi pula nggak akan ada orang juga selain dirinya sendiri.

Kedua orang tuanya tengah menjalankan bisnis di Korea. Sementara, kakek dan neneknya tinggal di Bandung. Ia tinggal sendiri di Jakarta. Terkadang, ayah atau ibunya akan pulang beberapa bulan sekali secara bergantian untuk menengok putri semata wayangnya itu.

Dan terakhir kali mereka pulang adalah saat ulang tahun Levinka kemarin.

Levinka berendam, rasanya sangat menyenangkan. Seluruh kuman dan bau lepek di tubuhnya menghilang. “Huft, capek banget lagi. Mana besok gue harus tampil buat lomba balet. Tapi, nggak apa-apa. Gue harus semangat, pasti bisa.” Ia mengepalkan kedua tangannya.

Genap 30 menit ia berendam. Akhirnya ia bosan dan membilas tubuhnya. Hal pertama yang Levinka lakukan adalah memutar speakernya dengan keras. Toh, kamar-kamar di sampingnya ini kosong. Jadi, tak akan ada tetangga berisik yang akan mengomelinya.

Alunan musik metallica mengobarkan semangatnya. Tak jarang, ia mengikuti beberapa liriknya. Ia membuka kulkas, mengambil beberapa sosis, mie dan telur lalu menyalakan kompor.

~17:56~

Levinka dengan tergesa-gesa segera menggucir rambutnya tinggi-tinggi. Lalu menyambar tas selempangnya. “Aduh, gue telat nih.”

Ia memencet tombol lift ke lantai 1. Lalu berjalan menyeberangi Jalan Kawi Raya di samping apartemennya. Ia mengambil kurus balet di Namarina Jazz and Fitness yang letaknya memang hanya 280 meter dari tempat tinggalnya.

Menggeluarkan mobil dari parkiran dan menyetir memutar itu terlalu lama. Naik ojol tentu juga tak akan efisien. Jadi, ia memutuskan untuk jalan kaki.

Bangunan bercat krem itu berdiri di hadapan Levinka. Ia buru-buru masuk, “Aduh, untung juma telat 2 menit. Bisa ngomel ntar Bu Diana.”

Bintik-bintik keringat muncul di dahinya. Ia segera menuju lantai 2 tempat dirinya biasa berkumpul untuk latihan.

Seorang wanita berusia akhir 30-an, berkacak pinggang begitu melihat Levinka masuk, “Aduh, Levinka. Kamu telat lagi. Awas kalau besok kamu juga terlambat.”

Levinka hanya bisa nyengir, “Aduh, Bu Diana. Maaf ya. Levi janji besok nggak akan telat lagi.”

Wanita yang dipanggil Bu Diana itu hanya menggeleng perlahan. Levinka adalah salah satu muridnya yang berbakat dan ia juga adalah murid telatan.

“Ya sudah. Joy, Diska, Levinka besok adalah hari yang kalian tunggu-tunggu. Pastikan kalian menampilkan yang terbaik agar kita bisa menjuarai lomba balet kali ini. Semangat!”

Semangat!!!

Levinka segera berganti kostum bersama kedua temannya yang tak kalah cantik darinya. Joy, wanita blasteran Belanda-Indonesia dan Diska cewek manis berlesung pipi yang begitu ramah padanya.

~22:07~

Levinka sampai di depan apartemennya. “Lho?” ia terkejut setengah mati. “Tadi perasaan gue, kamarnya udah terkunci. Kok sekarang bisa gini sih. Apa mungkin gue lupa, ya? ya udah deh, gue malah gak usah masukin password lagi.”

Levinka meyalakan lampu, aman tak ada siapa pun. “Aduh, capek banget lagi. Pokoknya malam ini, gue harus tidur senyenyak mungkin.” Ia membuka lemari, mengecek perlengkapannya untuk besok.

“Eh, kok perasaan stocking gue ada yang ilang lagi, ya?” ia menghitung ulang. “Eh, bener. Kok dari bulan lalu, stocking gue udah ilang 5 sih. Nah, ini yang giliran hitam lagi. Untung bukan yang krem, itu kan mau gue pake besok. Aduh, jangan-jangan ada maling lagi?”

Ia mengecek perhiasannya, aman. Surat-surat berharga, aman. Uang, aman juga. “Masak juma stocking gue aja sih yang ilang. Apa gue lupa naruh.” Kulit di sekujur tubuh Levinka meremang. “Duh, kok gue merinding ya.”

Ia menuju pintu, memastikan kalau ia sudah mengunci pintu dengan benar. “Huft, aman.”

~ Plaza Indonesia, 25 Juni 2019 09:20 ~

Tepukan meriah menggema. Levinka, Joy dan Deska membungkukkan badan mereka sebagai ucapan terimakasih. Mereka berdua menuruni panggung beriringan.

“Aduh, gue tadi deg-degan tau. Untung aja semua lancar.” Levinka tersenyum, “Ya, untung aja semuanya lancar. Gue tadi juga gugup, Joy.”

Deska ikut tersenyum, lesung pipinya muncul lagi, “Semoga aja kita menang, ya?” dengan serempak, Joy dan Levinka mengangguk.

“Eh, Levinka. Tuh, ada yang udah nungguin lo pake bawa bunga segala lagi.” Deska menunjuk seorang pria yang nampaknya tengah memerhatikan temannya itu sejak tadi.

“Roy? Ah, guys. Gue ke sana dulu, ya.”

Levinka menghampiri pria yang dipanggilnya Roy itu. Pria yang beriris mata cokelat, dengan rambut senada dan tubuh yang jangkung. “Hai,” pria itu menyapa dengan suara baritonnya yang khas.

“Hai, juga.”

Roy memberikan bunga yang ada di tangannya. Dengan malu-malu kucing, Levinka mulai meyambut bunga itu.

“Kamu cantik banget tadi.” Levinka menyembunyikan wajahnya di balik buket bunga. “Makasih ya.” mereka berdua saling pandang, sama-sama salting kemudian.

~15:45~

“Juara Pertama Lomba Balet Se Provinsi DKI Jakarta dalam rangka memeriahkan HUT yang ke 491 adalah ... Tim balet dari Namarina.”

Kyaa!

Levinka dan dua orang temannya bersorak girang. Mereka bertiga maju ke panggung dan menerima penghargaan.

“Hei, selamat ya.” Roy mengucapkan selamat pada Levinka, begitu gadis itu turun dari panggung. “Ya, makasih. Btw, gue pengin adain perayaan kecil-kecilan di sebuah kafe sih sama Fitri dan Rena. Lo mau ikut nggak?”

Roy mengangguk. “Oke, jadi ntar jam 2 siang kita kumpul ya. Biar bisa jalan bareng. Ntar gue hubungin.” Roy mengelus rambut Levinka. “Oke. Btw, kamu mau aku anterin pulang?”

Levinka menggeleng, “Nggak usah deh. Gue bawa mobil sendiri kok.”

Di tengah keramaian, sepasang mata yang dihiasi lingkaran hitam menatap geram akan kedekatan mereka berdua. Pria itu memakai hoodie hitam tebal yang menutupi sebagian wajahnya, “Sayang, tunggu aku. Aku pasti akan segera membuatmu berada di dekatku selamanya. Kekeke...”

~16:05~

Levinka sampai di basement apartemennya untuk parkir. Suasana sepi, sebagian orang nampaknya sedang berada di luar karena ada festival.

Ia sudah mengganti pakaian baletnya, terutama rok tutu-nya dengan pakaian casual yang sengaja ia siapkan. “Duh, tas gue ketinggalan di mobil lagi.” Ia memutar langkahnya, membuka pintu mobil.

Tanpa diduganya, ada seseorang yang mendekap mulutnya menggunakan sapu tangan. Ia berusaha menghindar, tapi kepalanya terasa berat. Lalu ia pingsan seketika.

~18:18~

Levinka membuka matanya perlahan. Sebagian rambutnya yang terurai menutupi wajah. Saat ia sepenuhnya tersadar, rasa panik menderanya. Ia duduk di sebuah kursi kayu dengan kondisi terikat.

“Hah? Di mana aku?”

Pandangannya memutari sekeliling ruangan yang temaram. Beberapa lilin menyala, hanya benda itu yang jadi penerang. Ruangan itu mungkin hanya berukuran 5 X 5 meter, penuh sesak dengan berbagai barang yang berserakan di lantai.

Levinka memicingkan matanya, berusaha melihat lebih jauh, ia terperanjat begitu melihat tempelan-tempelan kertas di dinding yang semula ia kira tak berguna. Foto-foto dirinya di berbagai moment. Saat ia ulang tahun kemarin, saat selfi, jalan-jalan keluar dengan temannya bahkan ada foto kamarnya.

Foto-foto itu menempel erat memenuhi seluruh sisi dinding. Ada coretan tinta merah tebal yang bertuliskan namanya, “Levinka Maharani” Seperangkat komputer beserta printer memenuhi meja di bawahnya. Dan apa itu? Oh My God. Tak jauh dari Levinka berada, beberapa buah stocking bertebaran di lantai.

Bukankah itu miliknya? Ia mengenali salah satunya. Stocking hitam kesayangannya. Bagaimana mungkin benda itu ada di sini?

Jangan-jangan, kemarin!

Ya, ada seseorang yang menyusup ke apartemennya. Apa-apaan ini. Stalker? Orang ini bisa membahayakan nyawanya.

Pintu berderak, sesosok pria masuk langsung menghampiri Levinka dan duduk berjongkok di hadapannya. “Halo, cantik! Kamu sudah sadar! Kekeke...”

Pria itu merapikan rambut Levinka, dengan geram gadis itu berusaha menghindar. Tangan pria itu terkepal. Levinka sama sekali tak tahu apa yang ada di benak pria itu, ketika dia menyeret kursi kayu lain dengan kasar.

“Kya!!”

“Kekeke...tenang saja, sayang. Aku tidak akan menyakitimu.” Ia duduk di kursi yang ia letakkan di hadapan Levinka lalu menyibak hoodie hitamnya dan memperlihatkan wajahnya.

Pria itu kurus, wajahnya pun tirus dengan kantung mata yang terlihat jelas. Rambut hitamnya berantakan dan kumal, hidung dan mulutnya terlihat lebih besar dari perbandingan proporsi wajah yang seimbang.

Dia nampak seperti seorang otaku yang selalu memburu anime terbaru dan menontonnya marathon dalam semalam. Pria itu mencondongkan badannya, “Sayang, aku akan memperkenalkan diriku. Kau harus mengingat semuanya dengan baik, karena aku juga mengingat setiap hal  tentangmu.”

Ia menyeringai, Levinka semakin gugup. “Kau bisa memanggilku Robert. Aku memang lebih tua 2 tahun darimu. Tapi, aku masih tetap tampan.”

Levinka tertawa dalam hati, “Tampan? Dari mananya?”

Robert membelai wajah Levinka dengan tangannya yang terasa kasar di permukaan halus wajah gadis itu. “Kau tahu. Aku sangat menyayangimu. Setiap malam aku bahkan hampir gila karena memikirkan segala hal tentangmu. Kekeke...tapi, sekarang kau sudah ada di sini. Pria jelek itu tak akan bisa mendekatimu lagi.”

Levinka tersadar akan sesuatu, “Pria Jelek? Apa pria yang dimaksud adalah Roy? Berarti pria ini selalu membuntuti gue. Pentesan aja, selama ini gue ngerasa aneh.” Batin Levinka berperang dengan kenyataan baru ini.

Ia memberanikan diri untuk membuka mulut. Walau ia tahu suaranya terdengar parau, “Ini di mana?”

Ekpresi pria itu berubah, “Kenapa?”

Suaranya yang terkesan dingin serasa menembus tulang Levinka sampai ke dalam. Ia menggeleng perlahan.

“Heya! sayang kau tak perlu khawatir. Tempat ini aman. Hanya ada kita berdua di sini, tak akan ada orang yang bisa menganggu moment indah kita berdua. Kekeke...”

Seluruh bulu kuduk Levinka berdiri. Tawa pria ini begitu menakutkan. Ia harus hati-hati. Siapa yang bisa menebak pikiran pria psiko yang satu ini.

“Oh, iya. Sayang. Kamu suka balet, kan? Aku udah pelajarin semua gerakan balet hlo. Kamu mau lihat?”
Levinka tak menjawabnya. Balet? Oh, ia tak bisa membayangkan pria itu menari dengan lemah-gemulai.

Robert berdiri, antusiasme-nya yang berlebih hampir membuat kursi yang didudukinya roboh. Ia melepaskan hoodie-nya lalu menari. Tarian yang menggerikan bagi Levinka. Tulang-tulang rusuknya menonjol, menembus kaos abu-abu polosnya yang terlampau tipis.

“Bagaimana, sayang? Tarianku bagus, kan? Kau pasti sangat bangga padaku?”

Dada Levinka berdegup lebih kencang saat pria itu menghampirinya, lalu duduk di hadapannya kembali. “Hei, kenapa kamu tak tersenyum? Ayo, Tersenyum!” ia memukulkan kedua tangannya yang terkepal ke lututnya.

Dengan terpaksa, Levinka tersenyum.

“Bagus, itu senyum yang manis. Kekeke...kau mau makan apa malam ini? biar kekasihmu ini yang akan menyiapkannya.” Mata kelam Robert mengintimidasi Levinka. Mau tak mau gadis itu menjawab sekenanya.

“Ayam.”

“Ayam?”

Levinka mengangguk. “Baiklah, kamu tunggu di sini dulu, ya sayang.” Pria itu meninggalkannya sendiri.

“Dasar psiko. Aduh gue harus gimana coba?”

Ia meronta, berharap ikatan itu menggendur sedikit. “Aduh, talinya kok kuat banget, sih.” Tapi, nyatanya tali itu tak mempermudah situasinya.

Mata gadis itu menangkap sesuatu, benda yang mungkin bisa menolongnya. Pisau? Bukan. Tapi. Tas selempangnya. Pria itu nampaknya turut membawa tas selempang Levinka saat menculiknya.

Tas itu berisi dompet mau pun ponselnya. “Kalo gue bisa ambil tas itu. Gue pasti selamet, gue bisa hubungin temen-temen gue.”

Levinka mencoba menggerakkan kursinya maju, begitu dekat. Ia menyambar tas itu dengan kakinya lalu meletakkannya di bawah kursi karena pria itu telah kembali.

Robert membawa beberapa bungkus plastik, duduk di hadapan Levinka kembali. Ia membuka bungkusan itu. Ayam? Pria itu benar-benar membelikan Levinka ayam?

“Kau tahu, sayang. Apa pun yang kau mau, pasti akan kuberikan.” Ia mengambil satu potong kecil dan memakannya terlebih dahulu. “Kekeke...rasanya enak. Aku yakin kau pasti suka. Kau mau makan ini?”

Sebuah ide terbesit di benak Levinka, “Iya, aku mau makan. Lepaskan tanganku...”

Pria itu diam sejenak lalu, “Kekeke...biar kekasihmu ini yang menyuapimu.” Ia mengambil satu potong kecil lagi dan menyodorkannya ke mulut Levinka.

Gadis itu membuang muka, ia tak sudi makan dari suapan pria itu. “Heya! Aku sudah mencarikannya susah payah untukmu! Makan! Makan!”

Pria itu melotot, mau tak mau Levinka memakannya. Ayam itu terasa hambar di lidahnya. Gadis itu hampir memuntahkan makanan itu keluar.

“Kekeke...enak, kan?” Ia makan lalu menyuapi Levinka secara bergantian.

~ Rabu, 26 Juni 2019, 14:24 ~

“Eh, penyakit si Levinka itu kayaknya mulai kumat lagi, deh.” Fitri yang menggenakan setelan hijab dan outfit yang casual mulai menggerutu.

Roy bersandar pada dinding, pria itu nampaknya cukup sabar menunggu. Sebenarnya, karena Levinka tak kunjung menghubungi. Akhirnya Fitri dan Rena mengambil inisiatif untuk menghubungi Roy terlebih dahulu. Mereka bertiga berjanji akan bertemu di Lobi kampus untuk hangout bareng.

Tapi mana? Si empunya acara mendadak menghilang.

“Ren,  gimana Levinka bisa dihubungi nggak?”

Rena menggeleng, “Telfon gue nggak diangkat nih, Roy. Ke mana sih tu anak? jangan-jangan masih molor lagi.”

Fitri menyilangkan kedua tanganyya di depan dada, “Pasti dia lupa. Mentang-mentang kuliah libur terus ngebo di rumah tuh anak.”

Rena memencet ponselnya lagi, “Gue coba hubungin lagi ya. Untuk yang terakhir kali, kalau dia nggak angkat. Udah deh, kita jalan bertiga aja. Nanggung tau nggak udah sampe sini trus pulang lagi.”

***

Robert masih tidur telungkup di ranjangnya, setelah semalam suntuk bercerita panjang lebar mengenai dirinya dan impian konyolnya di masa depan. Sementara, Levinka sama sekali tak bisa memejamkan matanya.

Hello?

Bagaimana ia bisa tidur saat ia sedang diculik dengan posisi terikat di kursi dan tak tahu apa yang akan pria itu lakukan saat ia sedang terlelap.

Kaki Levinka berusaha meraih tas selempang yang ia sembunyikan di bawah kursinya semenjak kemarin. Ini kesempatan yang bagus baginya untuk kabur.

Tunggu!

Ponselnya bergetar.

Jam berapa ini? ini pasti sudah siang. Teman-temannya mungkin menelponnya mengingat ia ingin mengadakan sedikit perayaan.

Levinka susah payah membuka releting tasnya. Mengaduk isi tas menggunakan jari-jari kakinya, lalu mengeluarkan ponselnya. Benar saja, ada panggilan masuk dari Rena.

Dengan jempol kanannya, ia menerima panggilan itu.

Di lain tempat yang saling terhubung...

“Eh, guys. Diangkat! Ni anak pasti baru bangun. Halo...”

Tak terdengar, suara Rena terlampau kecil. Levinka menoleh ke ranjang. Pria itu masih terlelap dalam tidur. Ia memutuskan untuk me-loudspeaker panggilannya.

“Halo...halo...” Rena nampak gusar.

“Ren, ini lo? Ren, tolong gue.”

“Hah? Maksud lo apa? Tolong gimana?”

Roy yang berada tak jauh dari Rena, mendekat. Ia merasa ada suatu hal buruk yang menimpa Levinka. Anak itu memang suka telat, tapi selalu bisa dihubungi. “Ren, coba lo loudspeaker!”

Rena menurut, “Halo? Lev?”

“Ren, tolong gue. Gue lagi diculik! Gue nggak tahu harus gimana?”

Roy mengambil alih ponsel Rena, “Kamu sekarang di mana?”

Levinka menggeleng, meski ia tahu teman-temannya tak dapat melihatnya. “Gue nggak tahu. Tolong gue. Please!”

Sebuah suara mengejutkan Levinka. Rasanya lebih baik ia melihat mobilnya baret dibanding mendengar suara pria itu lagi.

“Heya!”

Robert, pria itu bangun. Levinka menoleh dengan takut, tenggorokannya seperti tercekat. Otaknya mendadak buntu, tak dapat memikirkan lagi, apa yang harus ia lakukan.

Mata pria itu masih merah, air liurnya masih membekas di sela-sela bibirnya. Jujur! Itu membuat Levinka mual. Pria itu bangun, langsung memutuskan panggilan. Dan melempar ponsel Levinka ke dinding hingga layarnya retak.

“Dasar perempuan sialan! Kau tak tahu terimakasih, ya? aku memperlakukanmu dengan begitu baik! Sekarang, kamu mau kabur?” ia melotot lalu menendang kursi di sampingnya.

Badan Levinka bergetar, pupil matanya membesar. Ia tak dapat menyembunyikan rasa takutnya. Pria ini benar-benar gila!

“Heya! Sayang, kau tidak bisa lari dariku. Aku adalah jodohmu! Aku pria yang kau cintai!” teriakan Robert semakin keras.

Levinka menundukkan kepalanya. Tapi, keberaniannya seolah berontak. Rasa marahnya menggoyak tubuhnya, minta dilepaskan.

“Hey! Robert atau entah siapa nama lo. Gue sama sekali nggak cinta sama lo. Yang lo lakuin ini suatu tindak kejahatan. Gue bisa tuntut lo ke polisi!”

“Polisi?” ulang Robert.

“Kekeke....” ia tertawa keras-keras, “Polisi?”

Tak lama kemudian, ia memasang raut wajah serius. Tangan kanannya melayang, menampar pipi Levinka dengan keras. Gadis itu terisak.

“Sayang? Maafkan aku, aku tak ingin melukaimu.” Pria itu panik, seolah ia peduli dengan Levinka dan berperan sebagai pelindung. Tapi bagi Levi, Robert pria itu adalah stalker yang gila.

Robert mengulurkan tangannya berusaha menghapus jejak air mata Levinka, gadis itu menggelak. Elakannya menyulut emosi Robert yang tak stabil.

Ia mencengkeram dagu Levinka dengan kasar, “Heya! Jangan pernah berusaha kabur dariku! Kekeke...”

Ia bangkit, menuju lemari. Satu tangannya sibuk mengaduk laci, mengambil suatu benda. Pisau! Pria itu berjalan mendekat.

Perasaan Levinka sudah tak karuan. Pikirannya melayang ke mana-mana. Bagaimana jika stalker-nya itu mau membunuhnya?

“Jangan! Kau mau apa?”

Robert menimang-nimang pisau itu, “Kekeke...kau tidak bisa lari dariku. Aku akan membuat kita bersatu.” Tanpa ekspresi atau rasa takut, Robert mengiris telapak tangannya. Darah berlelehan membasahi lantai.

Pria itu melepas ikatan Levi, meraih tangan kiri gadis itu dan melakukan hal serupa. “Argh!” Levinka meringis kesakitan.

Darahnya membasahi bajunya. Entah apa yang dipikirkan pria itu. Ia menggenggam tangan Levinka yang terluka, lalu menempelkannya dengan tangannya yang teriris.

Menekannya kuat-kuat. Darah keluar semakin banyak, saling tercampur dan merembes lewat sela-sela jari mereka berdua.

“Lepaskan! Kau gila ya?”

“Kekeke...sayang sekarang kau jadi milikku. Kita telah bersatu. Kekeke...”

~ Universitas Sahid Jakarta, 15:00 ~

“Argh!”

Roy terus memencet ponsel Rena, tapi nomor yang dihubunginya tak kunjung menjawab.

“Silakan tinggalkan pesan...”

Tut! Tut!

Fitri mondar-mandir dengan gelisah, “Gimana? Bisa nggak?” Roy menggeleng. Rena mendesah frustasi, “Kita harus lapor polisi!”

“Aduh, Ren. Itu kelamaan, kita cari aja dulu si Levinka. Lo tau kan? Kalau Levinka belum bisa dibilang ilang sebelum 2 X 24 jam.” Fitri menghentikan langkahnya.

Rena mengangguk, “Jangan-jangan tuh anak lagi nge-prank kita lagi!” Fitri menepuk jidatnya, “Aduh, Ren. Kita kan udah hampir 4 taun temenan sama si Levinka! Masak lo nggak hapal sifatnya sih?”

Roy menyerah, ia mengembalikan ponsel Rena. “Levinka bukan anak yang bakal bikin orang lain khawatir.” Ia menyilangkan kedua lengannya.

Fitri mengangguk setuju.

“Terus gimana dong?”

Fitri dan Roy saling pandang, “Kita harus cari Levinka!”

Sebuah ide terbesit di benak Roy, “Kita bisa lacak keberadaan Levinka dari lokasi ponselnya.” Fitri menjentikkan jarinya, “Bener banget tuh, gue setuju. Anak itu kan suka lupa jalan. Makanya, dia selalu aktifin GPS-nya. Kita bisa lacak tuh!”

Rena angkat bicara, “Nah, gue punya temen. Namanya Robi, anak IT semester 6. Dia tuh jago banget kalo masalah nglacak-nglacak gitu.”

Fitri dan Roy mengangguk mantap. Mereka sepakat menemui Robi. “Kita satu mobil aja, biar gue yang nyetir. Mobil kalian tinggalin aja di parkiran kampus. Aman kok.”

Fitri dan Rena setuju. Toh, usulan ini memang bagus. Mereka memasuki mobil Toyota hitam milik Roy.

~15:56~

Rena mencondongkan badannya ke depan, “Gimana Rob, ketemu nggak?”

Pria gempal berkacamata yang dipanggilnya hanya mangut-mangut. Matanya masih terfokus pada layar komputer yang dihiasi titik merah berkedip-kedip.

Ia menepukkan tangannya, “Nah, ketemu nih guys.”

Roy mendekat, “Di mana?”

Robi menunjuk layar, “Kalau dari titiknya sih. Ponsel cewek yang lagi kalian cari tuh ada di Kawasan Rusun deket Puri Imperium sih. Lebih tepatnya, ada di belakangnya.”

Mereka bertiga saling pandang, “Puri Imperium? Itu kan apartemen milik Levinka. Tuh, anak beneran diculik ngak sih? Bingung gue...”

Rena teringat sesuatu, “Eh, Fit. Lo inget nggak Si Levi tuh kan pernah cerita sama kita.”

“Cerita apaan?”

Ihh, masak lo lupa. Dia tuh pernah bilang kalau dia ngerasa lagi diikutin belakangan ini.”

Mata Fitri membelalak lebar, “Iya, gue inget. Jangan-jangan stalker lagi.”

Stalker?” ulang Roy. Fitri mengangguk, “Iya, tuh anak. Pernah ngeluh sama kita, barangnya banyak yang ilang, terus pintu apartemennya kaya kebuka sendiri. Padahal udah dikunci...”

Roy menggepalkan tangannya, “Hal kaya gini kok kalian baru bilang sih. Itu bahaya tau nggak!”

“Ya, sorry. Kita mana tau, kalau bakal ada kejadian kayak begini.” Fitri dan Rena menunduk. Robi nampak berpikir, “Stalker? Berarti dia harusnya selalu ngikutin si Levinka dong.”

“Hah? Maksudnya?” Fitri merasa tidak paham dengan ucapan Robi.

Robi menggeram, “Ihh, kalian itu lemot banget ya. Yang namanya penguntit itu selalu ngikutin orang yang dia suka ke mana-mana. Kalian suka foto-foto, nggak? Coba aja kalian cari di antara kumpulan foto kalian. Kalian pasti nggak merhatiin deh. Stalker itu pasti selalu ada dis setiap foto kalian sama si Levinka.”

“Oh, iya bener.” Fitri membuka ponselnya dan memberikan memory card-nya pada Robi, “Kita cek bareng aja di komputer lo, siapa tau gambarnya lebih jelas.”

Robi memasukkan memory card itu ke card reader pink miliknya dan menancapkannya pada salah satu port di CPU-nya yang masih kosong.

Ia menggeser foto itu satu per satu.

Roy mencondongkan badannya ke depan, “Eh, tunggu! Kalian perhatiin nggak? Cowok yang pake Hoodie hitam itu selalu nongol di foto.”

Rena dan Fitri merasa bergidik ngeri melihatnya. Di kafe, di parkiran sekolah, di mall, di Markezee tempo hari lalu. Pria itu selalu terlihat di foto. Mengamati dari jauh.

“Aduh, serem banget sih. Gue jadi takut nih. Aduh, lapor polisi aja, ya,” rengek Fitri. Robi menggembalikan memory card itu ke pemiliknya.

“Saran gue, kalian cepet ke alamat ini deh. Biar temen kalian cepet ketemu.” Ia menyerahkan secarik kertas kecil.

“Iya, thanks ya.”

~16:45~

Roy menyetir dengan cepat, menuju Rusun yang tertera di alamat yang diberikan Robi. “Kita hubungin polisi biar dateng ke tempat ini.”

Rena mengangguk dan mengotak-atik ponselnya. “Terus kita gimana?”

“Kita masuk duluan, Fit.”

Mereka bertiga masuk ke dalam rusun. Ada 5 lantai, tempatnya nampak terlalu ramai dengan baju yang dijemur di berbagai tempat, mulai dari pagar balkon hingga tiang jemuran kecil yang ada di depan setiap kamar.

“Nggak salah nih? Rame banget,” keluh Fitri.

“Ya, walau pun rame. Kita nggak boleh ketipu. Bangunan ini tampak suram dan terlalu padat. Pasti nggak ada yang bakal nyangka kalau ada seorang penculik.” Naluri detektif Rena nampak mulai keluar.

Mereka bertiga menanyai setiap penghuni dengan menunjukkan gambar Levinka beserta pria misterius ber-hoodie itu. Dari lantai 1 hingga 5 jawabannya nihil. Peluh bercucuran melintasi dahi mereka bertiga. Mereka hampir menyerah sampai, “Kalo cewek ini sih nggak kenal. Tapi, cowok ini mirip kaya pria yang tinggal di kamar pojok itu tuh.” Seorang ibu-ibu paruh baya menunjuk kamar suram di pojokan lantai 5.

“Dia tinggal di sana?” ulang Roy.

“Iya, tapi tuh anak nolep banget. Jarang keluar, kalau di sapa diam mulu,” tambah ibu itu. Fitri menahan tawanya, “Ibu-ibu jaman now bahasanya kaya anak muda, ya,” bisiknya pada Rena yang ada di sampingnya.

Mereka bertiga menuju kamar itu. Tumpukan sampah nampak berserakan dan menerbarkan bau busuk. Kamar ini terletak di pojokan. Ada sebuah tangga ke bawah di sampingnya. Jalan yang tepat, agar aksinya tak ketahuan penghuni sekitarnya saat membawa Levinka masuk. Setidaknya itulah yang dipikirkan Roy.

Ia mengetuk pintu, “Kalian tetep di belakang!”

Fitri dan Rena mundur sedikit.

“Permisi!”

Hening, tak ada jawaban.

Levinka terperanjat, nampaknya itu suara Roy. Iya, Levinka kenal betul suara bariton yang khas itu milik Roy. Robert, pria itu terdiam. Siaga.

“Roy! Tolong! Gue ada di sini!” Levinka menjerit sekuat tenaga. Mungkin, hanya inilah kesempatannya. Ia harus berusaha berteriak sekuat mungkin.

Roy, Fitri dan Rena saling pandang. “Itu suara Levinka.” Dengan kuat, Roy berusaha mendobrak pintu. Pintu terbuka dengan suara keras. Fitri dan Rena memekik melihat Levinka yang terikat pada sebuah kursi.

Robert, pria itu memukul Roy saat pria itu lengah. Roy terjatuh ke depan. Memegangi bahunya yang sakit. Ia melawan, memukul Robert hingga pria itu menabrak ranjangnya. Roy memukulnya lagi berulang.

“Kamu! Bre*g*e*!”

“Kekeke...dasar pria jelek!”

“Apa?” pria di hadapannya itu gila.

Keributan yang timbul, memancing penghuni sekitar mendekat. Sirene mobil polisi terdengar, “Kamu tidak bisa memisahkanku dari Levinka.”

Robi lari ke luar, Rena dan Fitri memekik. Penghuni sekitar menjauh dengan ngeri. Robert berdiri di ujung balkon pembatas. Polisi mendekat.

“Kalian semua jangan mendekat! Kalau tidak, aku akan lompat.” Semua orang terdiam, “Levinka itu milikku! Tidak ada yang boleh merebutnya dariku! Levinka milikku, kami telah bersatu! Dia milik- aaa....”

Pria itu jatuh, terjun bebas. Menghantam aspal keras di bawahnya.

Kya!!

Pria itu bersimbah darah.

~ Halimun Medikal Centre, 18:09 ~

“Lev, syukurlah kalau lo nggak papa. Kita khawatir banget.” Levinka mengangguk. Telapak tangannya yang terluka sudah diobati.

“Levinka, aku minta maaf. Harusnya waktu itu aku anterin kamu pulang,” sesal Roy. “Roy, kamu nggak usah minta maaf. Aku justru makasih banget. Kalian semua udah nyelametin aku.”

Roy mengenggam tangan Levinka, “Kalau begitu. Ijinkan aku untuk selalu menjagamu.” Levinka mengangguk. “Cie...yang jadian ini,” ucap Rena dan Fitri serentak.

Semenjak saat itu, Levinka dan Roy menjadi sepasang kekasih. Karena trauma, Levinka memutuskan untuk menempati apartemennya bersama Rena yang juga anak perantauan. Yah, setidaknya ia tidak sendiri lagi. Ada dua kamar di apartemen Levinka. Dan Rena tidak perlu menyewa kos lagi.

Dan sejak itu, orang tua Levinka pulang lebih sering untuk memantau anak mereka. Levinka juga bisa bernafas lebih lega, karena Robert telah tewas saat terjatuh dari balkon.

Robert, apa yang pria itu lakukan bukan cara yang tepat untuk mencintai seseorang.

 

*Selesai*

 

 

 

Kalau kalian suka dengan cerita ini, silakan like dan Review.

Kalau kalian merasa cerita ini perlu dibenahi, silakan tinggalkan komentar.

Terimakasih...

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 1 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
For One More Day
473      328     0     
Short Story
Tentang pertemuan dua orang yang telah lama berpisah, entah pertemuan itu akan menyembuhkan luka, atau malah memperdalam luka yang telah ada.
Love 90 Days
2702      1259     2     
Romance
Hidup Ara baikbaik saja Dia memiliki dua orangtua dua kakak dan dua sahabat yang selalu ada untuknya Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan bila ada harga yang harus dibayar atas semua yang telah dia terima yaitu kematian Untuk membelokkan takdir Ara diharuskan untuk jatuh cinta pada orang yang kekurangan cinta Dalam pencariannya Ara malah direcoki oleh Iago yang tibatiba meminta Ara untu...
Pesona Hujan
1039      563     2     
Romance
Tes, tes, tes . Rintik hujan kala senja, menuntun langkah menuju takdir yang sesungguhnya. Rintik hujan yang menjadi saksi, aku, kamu, cinta, dan luka, saling bersinggungan dibawah naungan langit kelabu. Kamu dan aku, Pluviophile dalam belenggu pesona hujan, membawa takdir dalam kisah cinta yang tak pernah terduga.
Dosa Pelangi
618      361     1     
Short Story
"Kita bisa menjadi pelangi di jalan-jalan sempit dan terpencil. Tetapi rumah, sekolah, kantor, dan tempat ibadah hanya mengerti dua warna dan kita telah ditakdirkan untuk menjadi salah satunya."
Warisan Kekasih
882      601     0     
Romance
Tiga hari sebelum pertunangannya berlangsung, kekasih Aurora memutuskan membatalkan karena tidak bisa mengikuti keyakinan Aurora. Naufal kekasih sahabat Aurora mewariskan kekasihnya kepadanya karena hubungan mereka tidak direstui sebab Naufal bukan seorang Abdinegara atau PNS. Apakah pertunangan Aurora dan Naufal berakhir pada pernikahan atau seperti banyak dicerita fiksi berakhir menjadi pertu...
DEWS OF MOCCACINO ICE
584      404     0     
Short Story
Rain Murder
1452      641     7     
Mystery
Sebuah pembunuhan yang acak setiap hujan datang. Apakah misteri ini bisa diungkapkan? Apa sebabnya ia melakukannya?
REGAN
8976      2785     4     
Romance
"Ketika Cinta Mengubah Segalanya." Tampan, kaya, adalah hal yang menarik dari seorang Regan dan menjadikannya seorang playboy. Selama bersekolah di Ganesha High School semuanya terkendali dengan baik, hingga akhirnya datang seorang gadis berwajah pucat, bak seorang mayat hidup, mengalihkan dunianya. Berniat ingin mempermalukan gadis itu, lama kelamaan Regan malah semakin penasaran. Hingga s...
Altitude : 2.958 AMSL
707      482     0     
Short Story
Seseorang pernah berkata padanya bahwa ketinggian adalah tempat terbaik untuk jatuh cinta. Namun, berhati-hatilah. Ketinggian juga suka bercanda.
RAIN
597      412     2     
Short Story
Hati memilih caranya sendiri untuk memaknai hujan dan aku memilih untuk mencintai hujan. -Adriana Larasati-