Read More >>"> Gadis dalam Mimpi
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Gadis dalam Mimpi
MENU 0
About Us  

Kegaduhan, serta kebisingan kelas tak sedikitpun mengusikku. Aku memang sering menyendiri, duduk diam sambil menatap langit dari balik jendela kelas di bangku paling belakang. Sejak awal masuk kelas satu, aku memang sengaja memutuskan duduk sendirian setelah mengetahui jumlah siswa dalam kelasku ganjil. Awalnya karena aku memang malas berkenalan atau menyapa teman baru, namun entah mengapa selanjutnya aku merasa begitu menyukai tempatku. Alasannya, hampir setiap pagi, aku sengaja membiarkan sinar matahari pagi menerobos kaca bening yang berhasil membuatku sedikit menyipitkan mata akibat paparan cahayanya yang menyilaukan. Sekedar menikmati langit pagi yang membelai hangat, menyandarkan kepala diatas meja, dan mengerjapkan mata untuk beberapa kali. Sesekali aku juga memandangi pepohonan yang berjajar rapi di pinggir kolam ikan dengan warna air kehijauannya.

 Sekolahku memiliki 2 kolam ikan. Satu berada di sebelah kelasku, dan satu lagi berada di taman sekolah. Tentunya, kolam yang berada di taman sekolah lebih beruntung daripada kolam yang berada di sebelah kelasku. Kolam di sana lebih terawat, sementara kolam di sebelah kelasku gelap dan hanya ditumbuhi pohon-pohon rindang di sekitanya. Bahkan sinar matahari yang dapat menerobos hanya sedikit. Itulah salah satu alasan aku memilih tempat paling belakang kelas untuk tetap bisa menikmati sinar matahari. Karena hanya di tempat itulah sinar matahari berhasil menerobos, sekaligus, yah, aku suka tempat yang tidak terlalu menjadi pusat perhatian.

Sambil menikmati hangatnya sinar matahari dibalik jendela dan menebar pandangan ke arah kolam, mataku terasa tertarik pada pohon yang paling besar. Tiba-tiba seorang gadis mengenakan seragam SMA yang sama denganku sedang berdiri disana. Dia seakan melihatku dari kejauhan setelah mungkin menyadari aku melihatnya. Karena sepertinya gadis itu tersenyum padaku, aku mencoba memastikan apakah aku mengenalnya. Cepat-cepat kugunakan kacamata minus tiga yang tadinya aku lepas saat kepalaku bersandar di atas meja. Saat aku sudah mengenakan kacamata, gadis itu sudah menghilang.

Kepalaku terasa pening luar biasa. Mataku mulai terasa berkunang-kunang. Aku melepas kacamataku kembali dan mulai mengusap kedua mataku yang terasa berkunang-kunang menggunakan punggung jari telunjukku.

1 detik. 2 detik. 3 detik

"Sandra.."

Reflek. Aku menoleh saat mendengar seseorang memanggil namaku. Jujur, aku memang mudah kaget. Jantungku berdebar lebih kencang hingga sedikit membuatku gemetar. Kuedarkan pandanganku keseluruh isi kelas.

Deg.

Tak ada seorangpun. Kelas kosong. "Siapa?" batinku. Angin dingin berhembus dari arah jendela.

Wusshhhh.... Kugunakan kacamataku lagi dan lekas berdiri meninggalkan tempat.

"San.. udah waktunya pelajaran olahraga!” seseorang menepuk pundakku hingga membuatku terbangun dengan kepala terasa berat. Kubuka mataku perlahan. Samar-samar mataku berhasil menemukan sensor cahaya. Kesadaranku mulai kembali.

"Duhh..," desahku pelan sambil memegang kepalaku yang terasa pening.

Seseorang mencoba menopang tubuhku dari belakang bertanya padaku dengan nada panik. “San, kamu kenapa? Mukamu pucet banget! Kamu sakit?”

“Pusing banget.”

"Eh.. tolong anterin Sandra ke UKS, ntar biar aku yang ijinin dia ke Pak Syaiful."

Laras dan Bella yang duduk di depan bangkuku membantuku berdiri. Di situlah aku mendapatkan kesadaranku secara sempurna meskipun kepalaku terasa sangat sakit. Aku bisa merasakan lagi suasana kelas seperti sebelumnya. Bukan seperti yang baru saja kualami.

Belum sempat aku berfikir tentang apa yang baru saja kualami, tiba-tiba Laras memegang keningku dan tertegun. "San, kamu kenapa?"

Pertanyaan Laras membuatku bingung untuk menjawabnya. Sebagian besar pikiranku masih tertuju pada hal yang baru saja kualami. Aku hanya meresponnya dengan wajah bingung. Tentu saja, memang ada yang salah, namun tak semudah itu menceritakan hal yang baru saja kualami itu pada Laras. Sambil berjalan keluar kelas, Laras berkali-kali memastikan apakah aku masih kuat untuk berjalan.

Sesampainya di depan ruang UKS yang jaraknya sekitar 4 ruang kelas ke arah barat dari kelasku, Bella berlari kembali menghampiriku dan Laras yang masih berjalan dengan perlahan. "Ras, UKSnya masih dikunci. Gimana nih??" ucap Bella dengan nada panik.

"Duhh Bell, kamu cari aja petugas UKS di ruang guru. Kan deket. Aku di sini jagain Sandra yaa."

“Oke.” kemudian Bella berjalan meninggalkanku dan Laras.

Aku masih terdiam tanpa mengucapkan satu patah katapun sambil mengedarkan pandangan ke sisi timur koridor paling ujung yang dekat dengan bangunan sekolah jarang terpakai. Di ujung koridor, tepat di depan ruang perpustakaan yang jaraknya sekitar 17 meter dari tempatku berdiri, aku melihat seseorang berambut sangat panjang berpakaian serba putih sedang berdiri membelakangiku.

Deg!

Jantungku seperti dihempaskan. Tubuhku kaku seketika.

"San, Kamu masih kuat kan?" Saat itu juga aku merasa sangat lega dan berterimakasih pada Laras yang reflek memegangi lenganku. Jika Laras tidak segera memegang lenganku, mungkin aku sudah terjatuh karena lututku yang lemas.

"Eh? Iya," jawabku sambil membenarkan letak kacamataku yang sedikit melorot.

“Aduh, lama banget si Bella,” keluh Laras yang terdengar sangat gelisah. Aku sudah sama sekali tidak berani melihat ke arah koridor saking takutnya. Namun di ujung mataku, aku masih bisa menangkap seseorang berambut panjang tersebut yang seakan hendak membalikkan badan. Jantungku berdebar lebih kencang. Sekujur tubuhku merinding. Sekuat hati aku memberanikan diri melihat siapa orang tersebut untuk memastikan apa yang kutangkap dari ujung mataku. Dan..... Aku melihatnya. Sungguh demi apapun wajahnya buruk sekali. Kulit wajah hancur berlumuran darah. Mata kosongnya terasa menatapku. Andai aku bisa menjerit. Andai aku bisa berlari. Maka aku akan menjerit dan berlari sekencang-kencangnya. Namun rasanya saat ini aku tak dapat berbuat apa-apa selain berpegangan pada Laras yang masih berusaha menopang tubuhku. Tanganku bergetar hebat. Hembusan angin yang entah dari mana datangnya terasa dingin ngilu sampai ketulang. Bibirku terasa terkunci ketika aku hendak memanggil Laras yang hampir seperti kupeluk.

"Siapa yang sakit?" tanya penjaga UKS akhirnya datang sambil membawa sebuah tas coklat berbahan kulit. Sebuah senyuman menghiasi wajahnya yang segar dan masih terlihat muda. Dengan gerak santai namun pasti ia mendekat kearahku. Perlahan aku melepas pelukanku pada Laras.

"Ini Bu. Sandra. Tangannya tadi sampai gemetaran. Wajahnya pucat. Hampir pingsan juga." Laras masih memegang tanganku. “Saya khawatir banget,” imbuhnya.

"Ayo masuk dulu kalo gitu. Ibu carikan obat dulu." penjaga UKS mempersilahkanku masuk dan duduk di atas ranjang putih yang disediakan.

“Kami permisi dulu, Bu. Sandra, kita pergi dulu ya. Waktu istirahat kita ke sini lagi,” ucap Laras. Aku mengangguk pelan dan tersenyum pada Bella juga.

Setelah memeriksaku dengan teliti dan memberikanku obat, Ibu penjaga UKS juga berpamitan pergi dan menyuruhku agar berbaring di tempat tidur yang telah disediakan. Ia bilang, hanya akan pergi sekitar lima menit untuk membuatkanku teh hangat dan roti. Aku hanya menuruti perkataannya dengan anggukan sekali.

Sesungguhnya aku sangat ketakutan. Tetapi menceritakan apa yang aku alami juga bukanlah hal yang bisa kulakukan. Sambil menenangkan diri sendiri, aku pikir memejamkan mata hingga penjaga UKS kembali adalah cara paling tepat.

***

Setelah sekitar tiga menit memejamkan mata, aku mendengar langkah seseorang memasuki ruang UKS. Kupikir Ibu penjaga UKS kembali lebih cepat dari perkiraan. Aku yang penasaran menoleh pada sisi pintu masuk UKS. Ternyata pintu UKS masih tertutup seperti saat penjaga UKS meninggalkan ruangan ini. Aku hanya dapat menengangkan diri sambil berbaring menatap ke langit-langit ruang UKS yang luasnya hanya sekitar 4x4 m. Hening dan Hening. Kekosongan mulai merayapi pikiranku. Detik dan menit mulai terlewati hanya dengan diam dan kekosongan. Tubuhku merasakan hawa panas. Perutku terasa kaku. Sebuah cairan hangat perlahan keluar dari sebelah ujung kanan mataku. Setelah itu keduanya, mengalir dengan deras. Aku pikir aku menangis. Aku merasa sedih. Dadaku terasa sesak. Sesak yang amat nyata hingga aku dapat mendengar deru napasku sendiri. Tapi, untuk apa aku menangis. Dan kenapa tiba-tiba seperti ini? Semakin aku tidak mengerti, tangisku semakin menjadi.

Kubangunkan tubuhku. Aku ingin segera menghentikan ini, namun kedua tanganku malah menjambak keras rambutku. Berteriak seperti orang kesakitan. Tubuku serasa menyeretku turun dari atas ranjang. Segala benda yang berada diatas meja segera kuraih dan kulempar begitu saja hingga jatuh diatas lantai. Lalu........

Krakk. Kretekk.

Hancur. Kacamataku patah tidak karuan setelah kuinjak sendiri. Aku menangis lagi. Dadaku semakin terasa sesak saat aku mencoba mengontrol diri. Belum bisa kupercaya apa yang terjadi saat ini. Aku sadar melakukannya, tetapi sungguh aku merasa bukan ini kemauanku. Aku sangat panik dan ketakutan dengan apa yang kulakukan sendiri.

 “Gunting. Dimana gunting?” itulah yang keluar dari mulutku. Aku mengobrak-abrik laci meja seakan sedang mencari sesuatu. Tidak ada gunting atau benda tajam lainnya seperti yang kucari. Hanya ada satu box plester, dua botol alkohol aktiseptik, beberapa bungkus kapas dan kain kasa.

Setelah putus asa mengeluarkan dan membuang seluruh isi laci di lantai, aku menemukan sebuah jarum suntik di dalam etalase kaca. Dengan susah payah aku membuka etalase tersebut.

Sreeekkk..

Berhasil.

Jarum suntik berhasil kukeluarkan. Aku merasa sangat puas saat berhasil meraihnya.

Brrakkkk....

Suara pintu dibanting dengan keras.

"Sandra? Ada apa? Kenapa kamu teriak?" penjaga UKS datang. Ia membelalakkan matanya ketika melihatku memegang sebuah jarum suntik yang siap kutancapkan ketubuhku sendiri.

"Astaga! Sandra kamu kenapa?" teriaknya segera berhambur mendekat kearahku dan segera mengambil suntikan yang berada di tanganku dengan ketakutan karena justru dapat membahayakanku.

“Aggggghh.” Aku kembali mengerang kesakitan.

Tubuhku terasa ringan seketika. Keadaan sekitar menjadi sangat hening. Bahkan aku hanya bisa melihat wajah buram penjaga UKS yang berteriak-teriak panik tanpa bisa mendengar suaranya.

Plukk. Jarum suntik yang kugenggam terlepas jatuh. Tubuhku juga ikut terhempas. Aku merasa sangat lemas. Gelap.

***

Perlahan, kubuka mataku. Putih. Warna putih adalah yang pertama kali kulihat. Bibirku terasa sedikit perih akibat kering dan pecah-pecah. Kerongkonganku juga terasa kering mencekat. Aroma khas obat tercium menusuk-nusuk hidungku. Tulang-tulang dan otot-otot di seluruh tubuhku rasanya sulit digerakan. Sakit bukan main.

"San, sudah bangun?" Ayah bangkit dari sofa coklat yang berada di ujung ruangan bernuansa putih ini. Ia mendekat dan mengulas senyum, walaupun di wajahnya masih terlihat guratan kecemasan.

"Haus, Yah," ucapku pelan. Bergegas Ayah meraih segelas air putih yang berada di atas meja kecil sebelah kanan tempatku berbaring.

Ayah membantuku minum sambil mengamatiku sejenak. Ia bertanya, "Kamu lagi ada masalah?"

Aku menggeleng pelan setelah usai membasahi kerongkonganku yang kembali merasa segar.

"Kamu tau, berapa lama kamu pingsan?"

Aku hanya diam, menunggu Ayah melanjutkan kata-katanya. Ayah menghela napas pelan, lalu melanjutkan, "Kamu lagi kangen ibu ya? Tapi kenapa kamu nggak cerita ke Ayah kalau ada masalah?"

Dari reaksi ayah menanyakan itu, aku menduga dokter mendiagnosaku lagi dengan masalah psikologis. Ayah memang pernah sempat membawaku ke psikiater karena syok ibuku meninggal dunai. Aku menatap mata Ayah dalam. Menerawang makna dari kilatan matanya. "Bukan Yah. Bukan karena itu". Memang bukan karena itu. Tapi, bukan berarti aku tak merindukan ibuku. Aku selalu merindukannya.

"Lalu?" tanya Ayah heran.

Aku berfikir sesaat untuk menentukkan dari mana aku mulai cerita ke Ayah. Aku tidak mau dianggap mengalami penyakit mental atau gila. "Sandra ngerasa ada yang aneh.” Aku terdiam sesaat sambil mengalihkan pandanganku ke arah jendela kaca yang sudah ditutupi tirai sebagian. Menatap langit yang sudah mulai gelap. "Sebenarnya Sandra belum tau alasannya. Tapi," aku memberi jeda lagi sambil kembali menatap mata Ayah. “...sejak 2 hari ini sering bermimpi aneh. Kejadian yang Sandra alami akhir-akhir ini juga sangat aneh. Perasaan Sandra sering tidak enak. Sandra takut Yah ."

"Mimpi? Mimpi seperti apa?" Ayah mengerutkan dahi

"Susah mengingatnya. Intinya Sandra sering ngelihat sesuatu juga akhir-akhir ini. Semacam dihantui. Sandara beberapa kali lihat hantu, Yah." aku menjelaskan pada Ayah sembari mencoba mengingat-ingat apa yang kualami. Air mataku mulai berjatuhan karena merasa ketakutan. Seseorang rasanya sedang mengawasiku. Dan aku tahu tidak ada orang lain selain aku dan ayahku di ruangan ini.

Ayah memegang tanganku untuk menenangkanku. “Kalau begitu, kamu tenang aja. Ayah akan selalu melindungi Sandra. Kapan pun Ayah akan berusaha ada buat Sandra. Sekarang Sandra perbanyaklah berdoa. Mohonlah perlindungan pada Tuhan."

Aku mengangguk pelan sambil tersenyum kecil. Bagaimana pun, perkataan Ayah membuatku lebih tenang. Ayah membalas senyumku, kemudian menundukan kepalanya. Sepertinya ada hal lain yang sedang dipikirkannya karena aku sempat membaca sedikit kegelisahan dari sorot matanya.

***

Setelah 4 jam sejak siuman dan melakukan beberapa rangkaian pemeriksaan, pihak rumah sakit sudah memperbolehkanku meninggalkan tempat yang sarat akan obat-obatan dan medis tersebut. Menurut dokter kondisiku sekarang sudah sehat. Malam ini aku bisa melanjutkan istirahat di rumah.

Saat langit membiarkan matahari memulai jam kerjanya, menggantikan bulan dan bintang bekerja di waktu malam, aku terbangun. Seperti biasa, aku kehausan. Kerongkonganku setiap kali terbangun selalu terasa kering mencekik. Lalu, dengan sengaja aku keluar dari kamar untuk membasuh kerongkongan, dan.. aku teringat sesuatu. Ya. Mimpi semalam.

"Sandra, Ayah berangkat dulu. Tadi Ayah udah suruh sopir buat antar kamu ke sekolah." suara Ayah tiba-tiba mengagetkanku. Aku hampir saja terlonjak. "Sandra, kamu udah benar-benar sehat kan? Apa mau libur aja dulu?", tanya Ayah memastikan.

"Euh, Sandra udah sehat kok," jawabku sejujurnya seperti apa yang kurasakan sambil meraih gelas yang ada di atas meja dapur.

"Baiklah. Kalau ada apa-apa cerita sama Ayah.” Ayah mengulas senyum. “Oya, kemarin mimpi lagi?" Ayah berjalan mendekat kearahku. Tepat sekali. Aku ingin menceritakan hal ini pada Ayah. Kuletakan kembali gelas yang sudah kuraih tadinya.

"Tunggu sebentar!" belum sempat aku menjawabnya, handphone Ayah berbunyi. Aku merasa sedikit kecewa karena aku berharap bisa bercerita secepatnya. Sambil menunggu Ayah, aku meraih gelas dan mengisinya dengan air.

Setelah mengangkat teleponnya, Ayah kembali menghampiriku. Sekarang langkahnya terlihat tergesa-gesa. "Sandra, Ayah berangkat dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya," kata Ayah berpamitan. Dan sebuah kejutan, ia mengecup keningku. Ini jarang terjadi. Hatiku terasa hangat, bahagia. Aku rasa sebenarnya Ayah menghawatirkanku.

"Iya Ayah. Hati-hati."

"Anak ayah yang baik." Ayah memegang pipiku lembut, kemudian memutar tubuhnya melangkah pergi. Aku yakin, Ayah adalah pria yang sungguh hebat. Persis seperti yang pernah Ibu katakan.

***

Harumnya udara pagi baru aku cicipi ketika aku menginjakan kaki keluar dari rumah. Aku menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, menikmati aroma udara pagi. Hangatnya sinar matahari pagi juga menambah nikmatnya. Aku sangat menyukai sinar matahari pagi. Bahkan, dulu aku sering membandingkan hangatnya sinar matahari pagi setara dengan pelukan Ibu. Namun sekarang bagiku sinar matahari pagi sudah tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kerinduanku akan pelukan Ibu.

Perasaanku hari ini sangatlah baik. Ya, itu benar. Apalagi jika mimpi-mimpiku itu tak terbayang-bayang di dalam pikiranku. "benar-benar." keluhku dalam hati saat kembali memikirkan mimpi tersebut.

Selama perjalanan dari rumah ke sekolah perasaanku yang begitu baik tiba-tiba berubah. Tepatnya setelah aku memasuki gerbang sekolah, ada hal aneh yang kurasakan. Semakin aku dekat dengan kelas, jantungku tiba-tiba berdebar. Perasaanku sungguh tidak bisa kumengerti. Aku takut akan sesuatu yang tidak wajar terjadi padaku lagi hari ini. Segera aku menepis perasaanku dan kembali teringat pesan Ayah untuk banyak berdoa.

Deg.

Tibalah aku di depan pintu kelas yang terbuka lebar. Secara otomatis teman-temanku bisa melihat kedatanganku. Aku menghentikan langkahku. Menunggu sesuatu terjadi.

"San. Udah sehat ya?" suara seseorang tiba-tiba mengagetkanku. Sang ketua kelas–Tian, kini ia sudah berdiri disampingku. Ia tersenyum lembut padaku.

"Iya," jawabku singkat sambil melanjutkan langkah untuk duduk di bangkuku sendiri saat teman-temanku lainnya sudah tidak ada yang memperhatikanku. Kupikir Tian tidak akan bertanya padaku lagi setelah mendengar jawabanku. Terlebih, aku dan dia memang jarang sekali mengobrol. Anehnya entah mengapa setelah itu ia mengikutiku dan duduk disebelahku.

"Kenapa?" tanyaku tanpa berani menatap matanya dan masih sibuk mengambil posisi duduk paling nyaman. Aku sungguh tidak menduga sepertinya ketua kelasku mulai penasaran dengan apa yang terjadi padaku.

Tanpa menjawab, ia seakan menatapku penuh tanya.

"Ada yang salah ya?" tanyaku lagi, mulai risih. Aku berusaha menduga beberapa alasan ketua kelasku terlihat sedikit mengkhawatirkanku. Siapa tau, wali kelasku menyuruhnya menanyakan kondisiku, atau bahkan seisi kelas mendesaknya menanyakan keadaanku. Aku yakin berita tentang aku yang dilarikan di rumah sakit sudah menyebar di seluruh kelas.

"Hari ini, kamu nggak pake kacamata," ucapnya sambil tersenyum lagi. Sebuah kalimat yang sangat tidak kuduga.

Apa? Kenapa dia malah menanyakan hal ini? Sejak kapan ada yang peduli dengan penampilanku? Apa lagi sampai menghampiriku seperti ini.

"Oh, Itu. Kacamataku rusak. Aku pakai kontak lens." kali ini kucoba menjawab dengan melihat matanya sambil tersenyum tipis berusaha menutupi kebingunganku.

"Ternyata... tambah cantik."

Senyum tipisku seketika pudar. “Apa?” Kurasa wajahku memerah. Kupikir seseorang jarang sekali memuji penampilanku.

“Ke.. kemarin kamu pingsan ya, sampai dibawa ke rumah sakit?” tanyanya seperti mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Iya gitu deh..”

“Hehe, aku kemarin sempat bantu nganterin kamu ke rumah sakit lho. Maaf ya nggak sempat jenguk,” ungkap Tian tampak lebih kikuk dari sebelumnya. Tangan kanannya seperti tanpa sadar menggaruk belakang kepalanya.

“Ohh.. gitu ya? Nggak masalah kok. Makasih ya.”

Tepat di saat aku sudah tidak bisa menduga kalimat apa lagi yang akan keluar dari ketua kelasku, Bella dan Laras yang bangkunya berada di depan bangkuku datang dan menanyakan mengenai apa yang terjadi padaku kemarin. Aku menjelaskan beberapa kejadian yang kemungkinan sudah mereka dengar dari penjaga UKS atau guru-guru lain. Tentu saja aku masih merahasiakan tentang kejadian aneh yang kulihat dan kualami. Sepertinya kehadiran mereka berhasil membuatku mengusir pikiran-pikiran tentang mimpi-mimpi buruk semalam.

"Pagi..... Kembali ke tempat masing-masing!" sapa Bu Tika dengan suara nyaringnya sembari berjalan dengan suara sepatu berhak tinggi yang mengetok-ngetok lantai. Seisi kelas berhamburan kembali ke bangku mereka masing-masing. Tampang serius bu Tika tak pernah berubah. Selalu menakutkan.

Dari depan kelas, Bu Tika mengacungkan jari telunjuknya kedepan sambil digerakan untuk menghitung siswa dikelas satu persatu. Ia tak pernah melewatkan untuk mengabsen siswa yang hadir. Ia paling disiplin masalah kehadiran. Mengetahui satu siswa saja tidak hadir di kelas saat jam pelajarannya kecuali sakit, ia tidak akan segan-segan memberi nilai dibawah KKM.

"Satu kelas ada 34 siswa ya?" tanya Bu Tika memastikan setelah menghitungnya.

"Loh? Cuma 33, Bu." jawab beberapa temanku hampir bersamaan

Bu Tika kembali menghitung untuk memastikannya lagi. Digerakannya lagi jari telunjuknya kedepan utuk menghitung. Dahinya berkerut setelah selesai menghitung untuk ke dua kalinya. "Kenapa 34 lagi ya?" ungkapnya heran, lalu kembali menghitung untuk ke 3 kalinya dengan ekspresi semakin heran. Semua terdiam, menunggu Bu Tika selesai menghitung. Teman-temanku mulai ribut membicarakan berbagai prasangka mereka. Aku sempat mendengar saat Laras dan Bella membahas tentang mitos murid bayangan di sekolah. Tentang hantu siswa perempuan yang masih sering mengikuti kelas. Jujur aku mulai bergidik. Aku teringat mimpiku. Di mimpiku ada seorang siswi yang tak kukenal duduk di bangku kosong sebelahku. Yang lebih menyeramkan lagi, siswi yang tak kukenal itu memiliki kulit yang sangat pucat, aroma sedikit menyengat dan juntaian rambutnya yang hitam legam terurai tak beraturan sampai ke pinggulnya.

"Ya sudah. Ibu akan memanggil nama kalian satu-persatu." suara Bu Tika segera membuyarkan ingatakanku tentang mimpiki semalam.

Pelajaran berlangsung seperti biasanya hingga waktu pulang hampir tiba. Walaupun berulang kali aku memaksa menjauhkan perasaan tidak enak dalam benakku. Di akhir jam pelajaran, kakiku merasa kedinginan hingga membuatku tak tahan ingin pergi ke toilet. Aku pun bergegas meminta izin ke guru yang sedang mengajar.

Koridor-koridor sekolah terasa sangat sepi. Kecuali saat dua orang anggota OSIS yang kebetulan kukenal sejak tadi memang sedang merapikan mading sekolah. "Loh San, temen kamu yang tadi mana?" tanya salah satu dari mereka saat mengetahui aku berjalan melewati.

"Temen?? Temen yang mana?" aku berbalik bertanya padanya. Aku tak tau siapa yang mereka maksud dengan temanku.

"Yang tadi jalan sama kamu. Kamu juga lihat kan, Deb?” Satunya mengiyakan dengan anggukan.

Dalam pikiranku bermunculan berbagai pikiran-pikiran negatif, namun aku tetap bersikukuh. "Aku tadi sendirian kok. Beneran. Sumpah!"

Mereka berdua saling berpandangan tidak percaya dengan jawabanku.

Oh Tuhan. Jantungku berpacu. Pikiranku mulai bermunculan berbagai tanda tanya. Dan lagi, aku teringat kejadian di depan ruang UKS. Bulu kuduku kembali meremang. Tepat saat itu, bel pulang berbunyi. Aku segera berpamitan pergi meninggalkan kedua temanku dan bergegas kembali ke kelas saat teringat tugas yang belum selesai kucatat di layar LCD proyektor. Tentu saja aku akan ketinggalan mencatat jika guru telah keluar meninggalkan kelas.

Setibanya dikelas, teman-temanku sudah banyak yang meninggalkan kelas, termasuk guru yang baru saja mengajar. Aku tidak sempat selesai mencatat, padahal dalam hal mencatat apalagi tugas penting seperti ini, aku selalu berusaha tidak pernah ketinggalan sebab aku tau, tidak mungkin jika aku meminjamnya dari temanku yang lain. Aku tidak tau bagaimana caranya untuk mengatakan aku ingin meminjam sesuatu dari mereka. Maka dari itu, aku membenci saat aku membutuhkan orang lain.

"San, udah selesai nyalin tugasnya?"

Aku menghembuskan nafas yang masih tersenggal akibat berlari. "Hahh.. Ya ampun, tega banget.. Belum nih," jawabku lesu sambil membereskan buku di atas meja dan memasukkanya satu persatu kedalam tas.

“Siapa yang tega?”

“Eh. Maaf bukan kamu yang aku maksud”, aku masih sibuk dengan buku-buku dan tasku tanpa menyadari siapa yang sedang berbicara denganku

"Ohh... Nih, aku pinjemin catatanku.” Aku segera melihat ke arah lawan bicaraku. Bastian, alias Tian, alias ketua kelasku yang pagi ini menjadi satu-satunya orang yang tanpa kuduga menanyakan keadaanku. Tian menyodorkan buku yang ia bawa. “Tinggal dikit kan tadi? Aku tunggu kamu nyalin, abis itu aku antar kamu pulang sekalian. Boleh?”

Aku membulatkan mata tak percaya mendengar pertanyaan Tian kali ini. Masalah catatan, baiklah dia hanya teman sekelas yang baik hati. Tapi diantar pulang? Kurasa dia kelewat baik. “Serius?”

“Iya serius. Rumah kamu nggak jauh dari rumahku kok.”

Aku masih terdiam sambil perlahan mengambil buku yang disodorkannya.

“Emm.. catatan dari bukumu aku foto aja ya..” ucapku ragu.

 “Udah sekalian disalin aja. Aku tungguin kok. Beneran..” Tian tersenyum sambil tiba-tiba memegang kepalaku. Aku segera menepis tangannya.

"Eh, Sorry sorry.. San. Aku nggak sengaja.” Tian terlihat sangat kaget dengan reaksiku. “Em, aku beli minuman dulu ya. Kamu tunggu sebentar di sini..”

Saat Tian pergi, aku membuka buku catatannya dan duduk di bangkuku. Sebuah kertas terlipat terjatuh dari dalam buku Tian. Aku memungutnya. Tiba-tiba saja hujan turun dengan deras disertai hembusan angin dari arah jendela yang cukup membuat tubuh menggigil kedinginan. "Ahh.. Apa lagi ini? Hujan di siang bolong," keluhku sambil memandang keluar jendela. Langit tampak berwarna kehitaman akibat mendung. "Cepet banget ada mendung? Perasaan tadi masih cerah?" aku menghela nafas panjang.

Aku terlonjak kaget hingga membentur bangku saat mengetahui tiba-tiba seseorang sudah berdiri disampingku. Sekujur tubuhku serasa kaku. Jantungku berpacu cepat, tidak karuan. Aku mundur, menjauh darinya sambil menutup kedua mataku, mengambil nafas dengan susah payah. Aku sama sekali tidak berani membuka mataku. Tetapi saat menutup mataku, aku justru lebih ketakutan. Takut sewaktu-waktu dia akan mendekat untuk mencekik leherku atau hal yang tidak bisa kuduga lainnya. Terpaksa aku membuka mataku perlahan. "K...kamu..  siapa?" tanyaku terbata-bata.

Ia mendekat. "Maaf sudah hampir membahayakanmu waktu itu. Tapi memang bukan aku yang melakukannya," ucapnya sambil menundukan wajahnya. “Aku sedang membuka dimensi untuk kugunakan masuk ke mimpimu. Tetapi arwah lain yang lebih hebat dengan sengaja memasuki tubuhmu terlebih dahulu. Dan juga, gara-gara itu kamu sering melihat wujud mereka,” jelasnya

Deg! Aku hanya terdiam. Aku masih sedikit tak percaya dengan apa yang kudengar dan apa yang ada di depan mataku ini. Jantungku berdetak cepat seakan-akan dengan jelas aku bisa mendengarnya tanpa mendekatkan telingaku di dada.

"Aku sudah berusaha mengusirnya agar tak mengikutimu lagi. Hanya saja kamu sering sendirian. Semua mahluk halus dan roh akan mudah memasukimu, mereka akan mengambil alih jiwamu saat dimensi ke tubuhmu sedang terbuka. Aku tak ingin membuatmu mengalami ini semua karenaku. Dan... sejujurnya tujuanku hanya ingin minta bantuanmu," ungkapnya.

"M..maksudnya?" dengan susah payah aku membuka mulut. Suaraku bergetar.

 “Intinya aku butuh bantuanmu untuk mencari seseorang. Aku harap kamu dapat membantuku mencarinya.”

Aku mengernyitkan dahi dan menelan ludah dengan susah payah. Kuhembuskan nafas berat setelah nafasku tersendat-sendat dan hampir hilang saat kupaksakan berbicara dengannya. Perlahan, kuatur kembali nafasku.

“Aku akan memberitahumu kemana kamu akan pergi.”

Settttt..

Terlihat sebuah kilatan dengan durasi 1 detik. Kilatan tersebut sangat cepat, namun mampu membuat mataku tidak kuat menahan cahayanya yang sangat menyilaukan. Dan kemudian ia menghilang.

Aku terbangun saat Tian sudah berada di depanku dengan wajahnya yang khawatir. Selain Tian, aku menyadari bahwa ternyata langit sedang tidak turun hujan. Aku bergidik ketakutan dan memegang lengan Tian yang sedang berdiri di sampingku.

“Sandra, kamu sakit lagi? Aku antar pulang sekarang ya..” Tian berusaha membujukku. Sadar hampir memeluk lengannya, aku hanya terdiam sambil melepaskan perlahan. Tian yang benar-benar khawatir padaku membantuku berdiri dan memasukkan buku catatannya ke dalam tasku.

***

Matahari mulai bersembunyi. Pernak-pernik langit kini mulai dihiasi dengan bulan dan bintang yang membentuk susunan indah. Aku membaringkan tubuh di atas kasurku yang diselimuti sprei biru muda dengan gambar anak ayam berwarna kuning, bersama sebuah boneka lumba-lumba biru muda di sisi tempat tidurku. Tubuhku merasa lelah. Kurentangkan kedua tanganku dan menghirup udara dalam-dalam sambil menerawang lurus ke arah langit. Memandangi bulan dan bintang yang sangat indah dari arah jendela yang berada di sisi kiri tempat tidurku.

"Sandra." suara seseorang menghancurkan lamunanku.

Degg..

Seseorang yang pernah kulihat, kini telah tersenyum padaku. Ia berdiri di ujung kamarku. "Ternyata kamu masih sering kaget dan takut dengan kedatanganku," ucapnya dengan suara tenang seperti biasanya.

Aku mencoba memberanikan diri mengintip wajahnya dibalik juntaian rambut yang hampir emnutupi seluruh wajah. Wajahnya terlihat masih muda, kira-kira seusia denganku, manis dan sama sekali tak menyeramkan. Dan kenyataannya memang ia sama sekali tak pernah menampakan wajah seram di depanku. Tetapi tetap saja, hatiku selalu merasa berdebar saat berhadapan dengannya. Ia mendekat. Jantungku semakin berdebar tidak karuan. Oh Tuhan.. apa yang akan dilakukannya?

"Tenang saja, aku hanya akan muncul dan berbicara di dalam mimpimu. Aku belum cukup mampu ada di dunia nyata." ia mencoba menjelaskan padaku, tetapi sama sekali tak pernah benar-benar menatapku. Tatapan matanya terlihat kosong. Wajah pucatnya pun selalu condong menghadap kebawah.

"Oh ya.. Laki-laki tadi siapa? Temanmu?" tanyanya.

Aku terdiam sejenak. Aku terdiam bukan karena aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Tentu saja aku tau siapa yang dia maksud. Siapa lagi kalau bukan Tian. Namun, aku justru penasaran apakah hal ini cukup penting untuk diketahui olehnya?

"Namanya Bastian. Kenapa?"

Ia tersenyum sekilas. “Seperti yang aku katakan sebelumnya, kamu mau bantu aku mencari seseorang kan Sandra?” ungkapnya. Aku masih terdiam tidak tahu harus mengiyakan atau menolak permintaannya. “Aku merasa Bastian tertarik padamu. Jadi tolong, melaluimu, kuharap kamu bisa menemukan orang yang aku cari.”

“Maksudnya? Apa hubungannya aku, orang yang kamu cari, dan Tian?”

“Apa kamu sempat menemukan kertas di buku catatannya Bastian?”

Aku mencoba mengingatnya. Saat menyalin catatan dari Tian dua jam lalu, aku menemukan lagi kertas yang sempat terjatuh dari buku catatan Tian saat di kelas. “Iya ada. Tapi aku nggak sempet lihat apa isinya. Emang kenapa kertas itu?” tanyaku mulai penasaran.

“Bastian menemukan kertas itu sekitar tiga bulan lalu, tapi dia lupa menaruhnya dan tidak tau apa maksud kertas itu. Sebenarnya kertas itu berisi sebuah alamat. Pergilah kesana. Kumohon.. aku sama sekali tidak bisa pergi ke sana. Sangat sulit menjelaskan alasanku. Tapi kuharap setelah kamu dan Bastian pergi ke sana, aku bisa menemukan orang yang kucari.”

***

Keesokan harinya aku mengembalikan buku catatan Tian dan memberitahunya perihal kertas itu. Tian terlihat sangat terkejut ternyata kertas yang telah dicari-carinya selama ini terselip di buku catatannya.

                “Tian, aku ada permintaan..” Ia memandangku antusias. “Maaf aku lancang buka isi kertas itu semalam. Kamu mau pergi ke alamat di kertas itu, sama aku?”

Saat pelajaran usai, Tian menyuruhku agar menunggunya di depan sekolah saat ia hendak mengambil motornya. Aku menunggunya beberapa saat hingga ia datang dengan menggunakan jaket biru.

“Apa bener ini rumah yang ada di alamat? Kok kayak rumah kosong ya,” ungkap Tian sambil melepas helmnya. Setelah selama satu jam perjalanan, aku dan Tian tiba di sebuah alamat yang ada pada kertas. Jarak antara sekolah dan alamat yang dituju sekitar 22 kilometer.

“Entahlah. Aku juga nggak terlalu yakin. Tapi sepertinya memang rumah ini,” jawabku sambil turun dari atas motor, kemudian mencoba mendekat ke arah pagar kayu yang tertutup rapat dari dalam.

“San, kayaknya aku nggak asing deh sama simbol itu,” tunjuk Tian pada sebuah simbol 勇di papan kayu yang digambar dengan tinta hitam pada samping kanan gerbang. Papan kayu itu sangat kusam meskipun warna tintanya masih terlihat samar.

“Hei.. kalian cari siapa? Rumah itu nggak ada orangnya,” teriak seorang kakek-kakek yang sedang duduk di teras rumah seberang jalan. Aku dan Tian sama-sama terkejutnya karena sangat serius mengamati simbol pada papan kayu. Jalan untuk kendaraan memang tidak terlalu lebar. Kira-kira hanya bisa dilewati dua motor atau satu mobil.

“Permisi Kek, saya numpang tanya. Memangnya rumah itu tidak ada penghuninya?” tanyaku sambil menunjuk rumah yang kumaksud dan berusaha berbicara sesopan mungkin dengannya.

Kakek tersebut menghisap cerutunya lebih dalam, lalu menyembulkan asapnya ke udara sambil memulai berbicara. “Orangnya meninggal setahun lalu. Rumahnya sudah kosong,” ia menghisap cerutunya lagi dan menyembulkannya.

                Tanpa kusadari, Tian yang sejak tadi berdiri di sampingku, tiba-tiba sudah berjongkok sambil mengusap matanya. Aku sangat terkejut sampai tidak berani menanyakan apapun padanya.

                “Oh, kamu cucunya Kuroda kan?” Kakek yang tadinya sibuk dengan cerutunya itu seketika berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati Tian. Kakek itu memeluk menyuruh Tian berdiri dan menepuk-nepuk punggungnya. Aku sendiri hanya terdiam dan berusaha tidak melihat apa yang sedang terjadi. Bahkan setelah Tian mengantarkanku kembali ke rumah, aku sama sekali tidak membahas kejadian itu atau menanyakan apapun meskipun tentu saja aku sangat penasaran. Yang aku tahu, suasana hati Tian setelah kejadian itu terlihat sangat buruk.

                Malam harinya, Tian mengirimiku dua buah file foto. Satu foto berisi kertas dengan tulisan Jepang sebanyak satu lembar penuh. Tian mengatakan itu surat milik Kakeknya. Dan satu foto lainnya adalah foto seorang laki-laki dan perempuan. Perempuan dalam foto tersebut tentu saja aku mengenalnya.

“Terima kasih.” ia tersenyum sangat manis dalam mimpiku semalam. Tubuhnya sangat bersih dan cantik. Kecantikannya sama persis seperti yang ada dalam foto.

Keesokan harinya, di kelas Tian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi walaupun aku tidak memintanya. Setidaknya dari nada bicaranya, aku tahu dia baik-baik saja. Tian mengatakan bahwa ia menemukan foto, kertas yang berisi alamat rumah kakeknya dan surat itu diantara koleksi piringan hitam almarhum kakeknya di rumah Tian tinggal. Kakeknya yang mulai sakit parah sejak setahun lalu memang diajak tinggal bersama oleh ayahnya di rumah sambil membawa koleksi piringan hitam. Selama kakeknya dirawat di rumah, Tian sangat dekat dengan kakeknya karena Tian tertarik dengan koleksi piringan hitam lawas. Yang Tian tau, ada yang menjadi favorit kakeknya, yaitu piringan hitam dari cinta pertamanya yang meninggal karena kecelakaan. Sementara surat dalam bahasa jepang tersebut adalah surat cinta pertama dan terakhir yang kakeknya terima dari cinta pertamanya. Hingga akhirnya aku tahu, siapa gadis dalam mimpiku.

Tags: tlwc19

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
What If I Die Tomorrow?
372      234     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
Cat in the Rain
2000      949     33     
Short Story
My Halloween Girl
1015      546     4     
Short Story
Tubuh Kevan bergetar hebat. Ia frustasi dan menangis sejadi-jadinya. Ia ingat akan semalam. Mimpi gila itu membuatnya menggila. Mimpi itu yang mengantarkan Kevan pada penyesalan. Ia bertemu dengan Keisya dimimpi itu. “Kev, kau tahu? Cintaku sama besarnya denganmu. Dan aku tak akan membencimu,”. Itu adalah kata-kata terakhir Keisya dimimpinya. Keisya tak marah dengannya. Tak membencinya. Da...
Rumah Tua Daerah Duren Sawit
344      239     1     
Short Story
Seorang gadis remaja bernama Molly selalu dihantui mimpi sebuah rumah tua.Awalnya dia mengira kalau itu hanya sebuah bunga tidur semata,tetapi lama-lama mimpi itu semakin nyata,saking penasarannya akhirnya Molly mencari tau soal rumah tua itu.Bagaimana kisah Molly selanjutnya.
THE STORY OF THE RAIN, IT’S YOU
822      481     7     
Short Story
Setelah sepuluh tahun Mia pulang ke kampung halamannya untuk mengunjungi makam neneknya yang tidak dia hadiri beberapa waktu yang lalu, namun saat dia datang ke kampung halamannya beberapa kejadian aneh membuatnya bernostalgia dan menyadari bahwa dia mempunyai kelebihan untuk melihat kematian orang-orang.
BROWNIES PEMBAWA BENCANA
438      282     3     
Short Story
Sejak pindah, Bela bertemu dan mulai bersahabat dengan tetangga rumahnya, Dika. Di suatu kesempatan, Bela mencoba membuat brownies untuk Dika dan akhirnya juga membuat Dika pergi meninggalkan tanda tanya dengan memberi sebuah surat bersambung untuknya. Akankah, brownies buatan Bela mendatangkan bencana?
Desa Idaman
428      237     2     
Short Story
Simon pemuda riang gembira karena dimabuk cinta oleh Ika perempuan misterius teman sekampusnya. Pada suatu waktu simon berani menembaknya, tapi Ika diam tak memberi jawaban, maka dia menantang dirinya melamar Ika dan akan mendatangi rumahnya di desa terpelosok. Mampukah ia?
Yang Terlupa
427      235     4     
Short Story
Saat terbangun dari lelap, yang aku tahu selanjutnya adalah aku telah mati.
Good Art of Playing Feeling
362      272     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
Abnormal Metamorfosa
2084      742     2     
Romance
Rosaline tidak pernah menyangka, setelah sembilan tahun lamanya berpisah, dia bertemu kembali dengan Grey sahabat masa kecilnya. Tapi Rosaline akhirnya menyadari kalau Grey yang sekarang ternyata bukan lagi Grey yang dulu, Grey sudah berubah...Selang sembilan tahun ternyata banyak cerita kelam yang dilalui Grey sehingga pemuda itu jatuh ke jurang Bipolar Disorder.... Rosaline jatuh simpati...