Loading...
Logo TinLit
Read Story - Saksi Bisu
MENU
About Us  

Saksi Bisu




 

❤❤

 

Pria itu membuka lembaran kertas novel yang baru saja dia beli kemarin. Wangi khas yang paling dia suka langsung menyeruak memasuki rongga hidungnya . Wangi buku baru. Dibuka lembar demi lembar kertas putih gading dari novel dengan ketebalan kira-kira duaratus limapuluh halaman. Sepertinya akan sangat menyenangkan menghabiskan waktu dengan imajinasi.  Dia sandarkan punggungnya dan menghirup udara dalam-dalam. "Awas saja kalau novel ini lebih bagus dari punyaku." Gumamnya.

 

Pria itu mulai membaca dari bab awal novel itu, dia terlihat sangat menikmati alur cerita yang disuguhkan di awal cerita, dia mengangguk kecil seolah menyetujui kalimat yang terdapat di buku itu. Dia sangat menikmati novel itu hingga lupa waktu,

 

Huaaamm…

 

"Tak terasa hari sudah sore." Ucap pria itu sembari meregangkan tubuhnya yang sedikit kaku akibat terlalu lama duduk dengan posisi bersandar.

 

Pria itu berjalan menuju kamarnya dengan sedikit terhuyung karena terlalu lama membaca. Rupanya dia tengah membuka baju dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah seharian bekerja, mampir ke toko buku dan bersantai di rumah.

Pria itu merasakan pegal di tubuhnya akibat terlalu lama duduk.

 

"Mandi dengan air panas mungkin bisa menghilangkan pegal-pegal ini, sungguh hari yang cukup melelahkan." Ucapnya sembari menyalakan shower yang mengeluarkan air yang cukup panas untuknya mandi.

 

Air panas mengalir dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rasa hangat dari air itu membuat tubuhnya tenang dan kembali relax. Sungguh air panas bisa menghilangkan sedikit rasa lelah dan penat.


 

●●●●●●●


 

Pria itu selalu ada di toko buku mana pun. Aku yang susah payah berjalan ke kasir dengan tangan yang penuh buku. Pria itu tampaknya memperhatikanku seraya berpikir.

"Mengapa wanita cantik itu malah membeli buku dengan segel yang terbuka?. Bukankah itu merugikan dirinya sendiri?"

 

Matanya mengawasiku yang masih sibuk membawa buku tanpa segel. Dengan senyum yang mengembang aku menumpahkan kira-kira lima belas buku yang sedari tadi memenuhi tanganku.

 

"Wanita yang aneh".

 

Dari sampul buku yang aku bawa, rupanya pria itu tahu aku membeli buku karangan Agatha dan semua buku itu tanpa segel.

 

Dari kejauhan pria itu mengetahui aku membeli buku karangan Agatha dengan judul yang berbeda. Dari sampul hitam, dia tahu aku membeli “War”, lalu sampul yang hijau kumal itu (mungkin karena terlalu banyak tangan yang menyentuhnya) dia pun tahu judulnya “Drain You”, dan masih banyak lagi buku karya Agatha yang aku beli.

 

Pria itu  terus melihatku dengan tatapan aneh. "Ternyata ada orang yang membeli buku kumal seperti itu? Ya ampun, benar-benar tak habis pikir." Pikir pria itu.

 

Ketika pria itu tersenyum mengejek melihat kelakuanku, pandangan kami bertemu. Meskipun hanya beberapa detik, tapi itu berhasil membuatnya mati gaya.

 

"Dia memang wanita yang aneh, tapi ku akui dia cantik." Sebagai lelaki tulen sudah tentu dia terpesona melihatku.  

 

Pria itu menggigit bibir bawahnya dan mengalihkan pandangan pada rak penuh buku. Berusaha bersikap seolah-olah begitu sibuk memilah. Sementara tangan kanannya memegang buku karya Agatha yang segelnya sudah terbuka.

 

“Maaf,” aku menelengkan kepalaku dan kucoba menarik perhatiannya.

 

"Astaga, makhluk macam apa dia ini? Tadi aku masih melihatnya di kasir dan sekarang secara tiba-tiba dia ada dihadapanku." Pria itu kaget karena aku sudah berada tepat di depannya.

 

“Aku mau ngambil buku Agatha yang kamu pegang itu, boleh?”

 

"Benar-benar kelewatan. Apakah perlu aku menjulukinya wanita pecinta buku tanpa segel karya Agatha? Bahkan buku Agatha yang sebenarnya sedang aku baca pun, ingin dia kuasai? Apakah dia selalu membeli buku tanpa plastik dan cover yang kumel seperti ini?" Pikir pria itu heran.

 

“Maaf, tapi buku ini lagi aku baca,” ucapnya seadanya.

 

“Justru itu. Aku ingin buku itu,” aku berucap dengan nada memelas. Sebenarnya itu tidak terlalu berpengaruh untuknya. Tapi, ketika dia menatap mataku. Aku yang memiliki mata yang bening seperti kaca, seolah bisa menjebaknya dengan sekali tatapan.

 

Aku menyadari kedua sudut bibirku terangkat dan ya, aku tersenyum.

 

“Ini.” Tanpa paksaan tangannya menjulurkan buku kepadaku.

 

Setelah mengucapkan beberapa kali terimakasih, aku berjalan dengan semangat menuju kasir. Pria itu melihat punggungku yang semakin jauh dan dia pun tersenyum.

 

Akhirnya aku keluar dari toko buku tua itu, dan berjalan pulang dengan mengendarai sepeda milikku.

 

Pria itu rupanya masih memandangiku dari balik pintu kaca toko buku, buku yang tadi dia baca kini sudah menjadi milikku. Kini dia sedang mencari-cari buku yang lain di rak buku yang lain, mencari buku yang mungkin sama menariknya dengan buku karya Agatha.

 

Dan akhirnya pria itu tidak menemukan buku yang sama menariknya seperti karya Agatha, dia berjalan menuju kasir dengan membawa buku karya Alexavario.

 

Kini dia sedang bertatap muka dengan kasir penjaga toko buku, rupanya pria itu mencari tahu siapa aku.

 

"Pak, siapa wanita tadi?" Tanya pria itu.

 

"Oh, namanya April." Jawab kasir itu.

 

"Apa dia selalu membeli buku yang tak bersegel disini?"

 

"Seperti yang kau lihat tadi. Jadi Rp 89.000."

 

"Oh iya, sebentar. Ini pak uangnya."

 

"Ini kembaliannya, silahkan datang lagi di lain waktu. Terima kasih." Ucap kasir itu.


 

●●●●●●●


 

Beberapa hari sekali aku selalu memperhatikan toko buku yang biasa aku kunjungi dekat Cafe' Del Lacosta. Aku memperhatikan toko itu dari jendela ruangan kesukaanku di apartemen. Ruangan yang cukup luas dengan buku tertata rapi di rak-rak yang ditata sedemikian rupa.

 

Disana terdapat meja yang nyaman dengan komputer layar tipis dengan keyboard yang memudar warnanya. Disanalah aku selalu menghabiskan waktu untuk membaca dan melepaskan penatku.

 

Dan akhirnya, pria itu datang mengunjungi toko buku itu, dia masuk kedalam dengan segera. Namun segera lah dia keluar dari sana, rupanya dia sedang mencariku. Mungkin?.

 

Beberapa minggu ini memang aku jarang mengunjungi toko buku itu karena memang tidak ingin keluar. Dan aku tetap berada di rumah, hanya berada di tempat kegemaranku.

 

Setelah beberapa hari aku tidak toko buku itu, hari itu akhirnya aku mampir ke sana setelah membeli kopi kesukaanku. Caramel Frappuccino.

 

Aku masuk ke dalam toko buku itu seperti biasa, menyapa kasir yang sama setiap kali aku berkunjung, buku baru yang hampir setiap minggu datang. Banyak buku yang baru saja diterbitkan, namun hanya buku yang laku di suatu platform menulis.

 

Aku hanya sekadar melihat satu paragraf yang tercetak di sampul belakang buku, isinya kebanyakan mengenai kisah kasih remaja labil yang terkadang terlalu imajinatif dan bahkan seperti skenario dalam telenovela yang menurut aku agak membosankan.

 

Mungkin isi dari buku sangat menarik, tapi aku tidak ingin membacanya hanya sekedar melihat-lihat. Dan terkadang aku menemukan buku baru yang yang seharusnya lebih bagus dan lebih realistis malah tidak selaku buku baru yang laris karena adanya embel-embel "Telah dibaca 25 juta kali di ….. " mungkin angka itu memang benar, yang membaca itu bukan semua kalangan yang memang benar-benar mengerti makna yang tersirat di suatu buku itu, melainkan hanya sekelompok tertentu yang hanya suka dengan pemilihan tokoh yang saat ini sedang naik daun.


 

Aku datang ke toko buku itu hanya mencari buku karya Agatha yang tak bersampul akibat pembaca yang tidak menghargai karya terbaik penulisnya. Tanpa segel, lusuh, lipatan dimana-mana, dan terkadang aku menemukan buku yang sudah hampir rusak, karena memang dibaca namun mereka tidak menghargai penulisnya dengan membeli buku itu.


 

Kalian boleh berkata, aku ini aneh, bodoh, atau Apapun yang kalian akan katakan. Namun itu adalah kegemaranku, mencari buku tak bersegel dan hampir rusak atau lusuh.


 

Hingga aku menemukan buku yang sampul depannya ter robek dibagian bawahnya.

Buku itu rupanya buku karya Alexavario.

 

"Rupanya kau hari ini kesini?" Tanya pria yang belum aku ketahui namanya.

 

Aku hanya berpaling darinya, kali ini aku tidak ingin seagresif waktu itu.

 

"Maaf sebelumnya. Kenalkan aku Lexa." Ucap pria itu sambil mengulurkan tangannya.

 

"Aku April." Balasku menerima uluran tangannya.

 

Akhirnya aku tahu namanya, namanya bagus "Lexa" mudah diucapkan. Akhirnya kita berdua bisa saling kenal satu sama lain. Saat itu aku sangat bahagia sebenarnya, tapi tidak mungkin aku perlihatkan di depannya.


 

●●●●●●●



 

Waktu berlalu begitu cepat, kita berdua sering berkunjung ke toko buku tua itu. Menghabiskan waktu bersama di cafe, minum kopi, dan selalu menghabiskan Creme Brulee kesukaan kita berdua.

 

Sebetulnya aku yang gemar sekali makam Creme Brulee di cafe itu, karena aku suka sensasi manis dan wangi dari karamel yang dibakar di atas Creme nya. Begitu nikmat ketika memakan keduanya bersamaan, sensasi lembut dan kranci dari karamel yang dibakar, lalu dilengkapi dengan secangkir coffee latte tanpa gula. Sempurna.

 

"Kau cantik saat meminum kopi itu." Kata Lexa menggoda.

 

Aku tidak membalas ucapan Lexa, aku hanya tersenyum lugu dan melanjutkan minum kopi yang mulai dingin.

 

"Apa yang akan kita lakukan setelah ini?" Tanyanya seraya menghabiskan kopi hitam dingin di hadapannya.

 

Aku kembali tidak menjawab pertanyaannya. Aku hanya mengangkat kedua bahuku, sebenarnya aku hanya menggodanya sedikit. Seperti perempuan pada umumnya, yang terkadang berpura-pura agar selalu diperhatikan oleh lawan jenisnya.  

 

Akhirnya setelah beberapa saat, dia tidak melontarkan pertanyaan yang sudah pasti tidak akan aku jawab. Namun perhatiannya bukan tertuju padaku seperti yang aku inginkan, dia malah fokus membaca buku yang dia bawa saat itu. Kesal, tapi apa boleh buat. Dia tidak salah, aku saja yang terlalu kaku, dan sedikit Bitchy ( penggoda ).

 

Kadang dia melirik ke arahku, dan aku kembali lagi jual mahal dan buang muka. Agar aku seolah menjadi wanita mahal bukan wanita murah yang selalu mengejar pria yang mereka suka.

 

Keheningan mulai memudar setelah Lexa berucap. "Aku ingin tinggal bersamamu." Ucapnya lirih dengan tatapan halus.

 

Aku kembali terdiam namun bukan diam karena aku ingin menggoda melainkan tidak tahu harus berekspresi seperti apa yang harus aku perlihatkan. Hanya senyuman yang aku berikan.

 

"Itupun kalau kau sudi menerimaku. Namun tidak perlu kau jawab sekarang." Ucapnya sembari tersenyum dengan wajah merah muda merona. Malu.

 

Seiring berjalanya waktu, Lexa sering mendatangi apartemen ku. Ia tidak lupa selalu membawa bunga yang aku suka, bunga itu ia letakkan di atas meja makan dan ia langsung menghampiriku dan memelukku erat.

 

"Aku mencintaimu April." Kata itu yang selalu Lexa ucapkan saat memelukku. Sungguh indah bukan kisah ini. Aku tersenyum senang.

 

Lexa selalu membantuku masak masakan yang kita suka, yaitu Soup Ayam. Karena sebenarnya aku tidak begitu pandai memasak. Dia selalu membawa bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat Soup Ayam kita, yang sering dia bawa ada wortel, daun seledri, dan kentang. Sedangkan yang lain sudah tersedia di lemari es ku.

 

Begitulah kiranya keseharian kita, memasak makanan yang kita suka lalu menikmatinya selagi panas, cocok dengan cuaca dingin kota kecil ini. Tidak lupa kita pergi ke toko buku tua favorit kita, dan menghabiskan waktu di Cafe' Del Lacosta. Menikmati kopi dan Creme Brulee hingga senja hari.


 

●●●●●●●




 

“Kamu suka buku karya A.Vario juga?"

 

Lexa menoleh dan melihat, saat aku berkata sambil memotong wortel. Awalnya dia tidak menyangka bahwa pertemuan di toko buku membawanya ke tempat ini. Di mana sia dan aku bisa saling berbicara satu sama lain, berbagi tentang kisah hidup dan semacamnya dalam waktu yang relatif lama. Ini adalah apartemen mewah milikku, 'wanita penggemar buku tanpa segel’ yang sering dia temui di toko buku tua itu.

 

Sekarang aku akan membuatkannya semangkuk Soup Ayam. Sebenarnya ini adalah uji memasak bagiku karena beberapa hari ini dia telah mengajarkanku memasak. Dia memperhatikanku yang sedang serius memotong wortel. Seolah-olah tidak mau tangan berhargaku itu tergores pisau barang sedikit pun.

 

“Lexa, kamu suka buku karya A.Vario juga?" Ucapku, mungkin yang kedua kali.

 

“River! Aku suka buku dia yang judulnya River.”

 

“Ceritanya tentang apa?”

 

“Intinya, tentang sungai tempat orang-orang dihanyutkan.”

 

“Karya A.Vario emang keren-keren, ya,” ucapku tanpa sedikit pun berhenti mengiris wortel.

 

“Iya, tapi Agatha juga punya tulisan yang bagus. Karya A.Vario dan Agatha selalu jadi best seller. Dan menurutku mereka itu bersaing, mereka juga penulis paling populer di negara kita. Natania penulis yang hebat.”

 

“Aw,” Aku meringis. Jarinya teriris. Lexa tahu, orang-orang cenderung bergerak di luar kendali ketika mendapatkan sesuatu yang membuatnya senang. Aku mungkin terlalu antusias mendengar nama Agatha dia puji. Itu prediksinya karena dia tahu aku  adalah penggemar Agatha.

 

Darah merah mengalir dari jari telunjuk ku. Merah pekat, segar dan bergairah. Dengan segera dia menarik telunjuk ku dan menghisap darah di luka jemariku. Ah, ini tidak seburuk yang kalian pikirkan.

 

Ketika dia menghisap darahku, aku hanya mengangkat wajah dan membiarkan mata besarku menatapnya. Bibirku tertutup rapat, bahkan terkesan saling menekan antar bibir atas dan bawah sehingga dia dapat melihat guratan di sekitar daguku.

 

“Hati-hati, Pril.”

 

“Makasih, Lex.”

 

Meski pun yang diuntungkan di sini bukan hanya aku, tapi dia juga. Aku membuatnya kembali menenggak darah segar. Apa kalian pikir dia ini vampire?

 

Aku melanjutkan lagi memasak dan dia berkeliling melihat apartemenku. Alex memasuki sebuah ruangan. Di situ ada meja menghadap jendela kaca besar yang tirainya putih dan mudah terbang. Di atas meja itu berserakan kertas-kertas, pensil dan satu komputer berlayar tipis, sementara di dindingnya dipenuhi buku-buku. Ruangan itu cerah, cahaya dari jendela masuk begitu sempurna. Di dekat langit-langit ruangan ditempeli gambar sederhana dengan goresan krayon khas anak TK. Aroma ruangan itu membuatnya tenang seperti aku saat berada di sana. Sehingga dia melangkah semakin dalam. Dia melihat keyboard komputerku yang cat hurufnya mulai luntur. Pasti karena terlalu sering aku pakai.

 

“Lexa, soupnya sudah siap!”

 

"Baiklah." Ujarnya sembari keluar dari ruangan favoritku.

 

"Kamu mau minum apa?" Tanyaku, membuka pintu lemari es di depanku.

 

"Apapun yang akan kamu suguhkan akan aku makan, April." Ujarnya membuatku senang. Sebab hanya ada sebotol Orange Juice yang tersisa.

 

Aku mengambil dua gelas yang cukup besar dan mempunyai kuping, karena hanya gelas itulah yang berada didekatku dan paling mudah untuk aku ambil.

 

"Sudah kamu cicipi masakanku?" Tanyaku senang.

 

"Tunggulah sedikit hangat, ini masih sangat panas." Ucapnya yang kebetulan tepat. Rupanya aku terlalu bahagia karena berhasil memasak tanpa bantuannya. Semoga seenak saat masak berdua dengan Lexa.

 

Setelah Soup yang aku masak mulai menghangat dan tidak terlalu panas, dia mengambil sendok makan yang bulat dan cekung.

 

Sruuuup….

 

Suara seruputan yang dia buat membuatku penasaran, apakah enak? Atau malah tidak enak sama sekali?. Aku ragu.

 

"Bagaimana?" Tanyaku ragu.

 

Dengan anggukan kecil dia menjawab. "Enak. Namun ada sedikit yang kurang." Ujarnya sembari mengerutkan dahi seraya berfikir.

 

"Kurang apa?" Tanyaku.

 

"Merica."

 

"Ah, bahkan aku tidak tahu cara membedakan merica dengan ketumbar." Balasku bodoh.

 

Dia hanya menggaruk kepalanya yang seperyinya tidak gatal. Seolah berkata dalam benak nya. "Amat bodoh." Itu yang sekiranya aku tangkap dari ekspresi yang dia buat saat mengetahui aku tidak bisa membedakan ketumbar dan merica.


 

●●●●●●●


 

Beberapa hari setelah itu, aku membuat Soup lagi namun dengan resep yang benar. Aku terus berusaha agar bisa menyajikan makanan yang cukup layak dimakan oleh manusia, bukan membuat makanan yang tidak cocok di lidah manusia.

 

Sia menyeruput Soup hangat buatan ku. Raut wajah yang Lexa tunjukan padaku seolah berkata 'lumayan untuk seorang pemula seperti dia' mungkin itu yang ingin dia utarakan. Namun dengan penasaran aku bertanya padanya.

 

“Gimana? Enak?” tanyaku dengan siku bertumpu ke meja makan dan badan yang dicondongkan ke arahnya. Kami duduk berhadapan.

 

Dia hanya mengangguk dan mengacungkan jempol.

 

“Jadi, kamu juga penggemar Agatha, Lex?” tanyaku, seraya bertopang dagu.

 

Dia memang penggemarku. Dia membeli buku karya Agatha setiap dia punya kesempatan. Ah, bohong. Maksudnya, dia memang selalu meluangkan waktu untuk membaca setiap bukuku dan mengetahui sejauh mana perkembangan tulisanku. Menurutnya aku penulis yang misterius. Di setiap bukuku tak pernah dia temukan tulisan mengenai identitas diri Agatha. Aku selalu membuat pembaca ku hanyut dan sangat menikmati alur cerita, seperti yang dia alami. Sehingga terkadang dia merasa, iri.

 

“Iya, aku penggemarnya,” ujarnya, terdengar tak minat.

 

“Ah, iya. Besok aku ajarin kamu bikin Soup ceker, ya?” ucapnya, mengalihkan pembicaraan.

Keesokkan harinya dia datang ke apartemenku dan mengajariku memasak Soup ceker.

 

“Kita harus punya pisau yang tajam.”

 

“Iya! Kita harus punya pisau yang tajam, Lex,” kataku begitu semangat. Aku tersenyum dan beberapa kali melompat rendah. Begitulah aku, selalu antusias ketika dia akan mengajariku menu baru.

 

Dapurku sangat sibuk hari ini. Kami baru saja mengiris wortel, buncis, kol, dan daun bawang. Panci terbuka dengan air mendidih mengepulkan asap meskipun tidak terlalu tebal. Semuanya berlangsung cepat dan sesuai rencana. Dia berhasil mengajarkanku tentang memasak Soup crker yang baik. Dia juga tak henti-henti membisikkan, “Ini akan menjadi semangkuk Soup ceker paling nikmat sedunia."


 

●●●●●●●



 

Sudah satu tahun dia tak mengunjungi apartemenku. Kami tidak pernah berkomunikasi. Padahal dia baru saja menyadari bahwa dia menyukaiku atau lebih tepatnya mencintaiku. Aku pergi, sia tak pernah melihatku lagi di toko buku mana pun. Dia rindu mataku yang begitu bening dan menghanyutkan.  Lalu gayaku yang mengangkut buku-buku dan berjalan susah payah ke kasir.

 

Dia bersandar di sofa dan membaca novel karya Agatha berjudul “Free”. Novel ini menceritakan tentang seorang gadis yang menyukai seorang lelaki yang pandai memasak. Mereka bertemu di toko buku. Dia merasa, sudahlah. Buku ini hanya membuatnya merasa kisah cintanya jadi seperti novel saja! Menyedihkan!

 

Namun dia begitu penasaran sehingga kedua kakinya membawanya ke apartemenku. Di sana ada seorang wanita berumur kira-kira empat puluh tahun membukakan pintu untuknya. Dia tersenyum dan mengajaknya masuk kemudian duduk di sofa empuk berwarna coklat.

 

“April kemana, bu?” tanyanya tenang.

 

“Yang saya tahu adalah sebelum dia pergi dia selalu menulis cerita tentang kematian, seperti di buku ini,” katanya seraya menyodorkan buku dengan tebal kira-kira duaratus limapuluh halaman kepadanya. Sampulnya berwarna hitam, tertulis judul “Free” dengan nama penulis Agatha.

 

Astaga! Buku ini lagi! Dia tidak usah membaca novel itu sebenarnya, karena dia sudah membacanya berulang-ulang nyaris sepuluh kali. Tentu dia sudah sangat hafal alur cerita novel itu.

 

“Dia menulis buku ‘Free’ satu bulan sebelum kepergiannya. Iya, dialah Agatha. April adalah Agatha.”

Dia biasa-biasa saja mendengar semua perkataan ibu itu. Dia hanya bertingkah seolah dia peduli, padahal tidak sama sekali. Coba saja bayangkan rasanya jadi dia. Dia juga yakin kalian akan sangat merindukan April. Tapi tentu akan sangat membosankan mendengar omong kosong ibu itu.

 

“Bu, saya ingin ke ruangan spesial April itu. Boleh, bu?”

Ruangan yang dia maksud adalah ruangan dengan meja menghadap jendela kaca besar yang dulu sempat dia masuki.

 

“Silahkan,” balas ibu itu.

 

Dia melangkahkan kaki ke dalam ruangan itu. Membuka lembaran kertas dan menyalakan Komputer. 'Sial' kertas-kertas ini hanya berisi karya tulisnya yang salah-salah dan dipenuhi coretan. Namun, komputer itu penuh dengan file. Ketika dia mengklik folder ‘Aprilia Agatha’, akhirnya dia menemukan banyak file semacam buku harian.

 

3 Maret 2004

 

Dia punya kisah yang tak bisa dia ceritakan kepada orang lain secara gamblang. Dia hanya menceritakan itu pada pena, kertas, hm, oke, itu terdengar lawas. Sebenarnya dia menceritakan itu pada tombol keyboardku--yang cat hurufnya sudah hampir luntur—juga pada layar komputerku, hingga pada akhirnya entah mengapa orang-orang itu bisa mengetahuinya dari sebuah buku.

 

Buku dengan tebal paling sedikit duaratus limapuluh halaman sudah aku produksi lebih dari yang kau bayangkan. Tiap malam dan tiap aku mempunyai kesempatan aku pasti menulis. Walau sejujurnya aku lebih suka menulis di malam hari ditemani hawa dingin. Tapi apa mereka tahu bahwa semua yang aku tulis bukan dengan imajinasi aku mendapatkan nya? Melainkan melalui apa yang aku lihat di lingkungan sekitar, apa yang aku lihat, entah itu di masa depan atau apapun yang akan terjadi. Jujur, aku bosan mengaku pada mereka bahwa aku adalah seorang pemimpi yang punya imajinasi tinggi. Tidak sama sekali. Aku bukan tipe orang seperti itu. Aku bukanlah orang yang hebat berimajinasi. Aku tahu betul siapa aku ini, sungguh ….Tak lebih dari seorang wanita biasa yang menuliskan apa yang dilihat. Hanya itu.

 

Aku hanya menulisnya dan menulis apa yang aku lakukan. Begitulah, sangat sederhana. Seperti kali ini, aku melihat seorang lelaki yang sepertinya 5 tahun lebih muda dariku. Aku mengenalnya di toko buku. Ah, aku ini memang penulis yang kejam. Tiap pagi hari aku meluangkan waktu pergi ke toko buku dan mencari bukuku sendiri yang tak dibungkus plastik. Berapapun jumlahnya, buku itu harus aku beli. Dengan tujuan, tak ada yang bisa mengintipnya cuma-cuma di situ. Kadang aku merasa aneh, ketika novelku dipuji tapi mereka tak tahu bahwa sebenarnya akulah penulisnya. Namun inilah prinsipku, menulis buku dengan nama samaran “Agatha”. Karena aku tak mau orang-orang itu mengenalku atau semacamnya. Aku hanya ingin mereka membaca karyaku dan menikmatinya tanpa perlu tahu-menahu mengenai kehidupanku. Benar, tipe orang yang sangat tertutup.

 

7 maret 2004

 

Aku hanya ingin mereka mengenal karyaku, bukan aku. Biarlah mereka mengenal tulisanku. Tanpa perlu tahu siapa aku. Namun, akhir-akhir ini aku melihat bahwa penulis A.Xavario meroket dengan karya-karyanya yang berbau pembunuhan. Apa yang sebenarnya dia pikirkan, ya? Aku juga bingung dengan yang terjadi pada diriku. Akhir-akhir ini aku melihat sebuah kejadian tragis di masa depan. Aku akan menuliskannya. Mungkin akan menjadi petunjuk bagi orang-orang jika kejadian tragis itu benar-benar menimpaku dan aku mati.

 

Klik. Dia mematikan komputer dan berjalan keluar apartmentku seperti seorang bos. Dia berjalan di lorong-lorong yang sepi. 'Hahaha.' Baik, tidak akan ada lagi yang menjadi saingannya di dunia penulis. Saingan paling berat, si Agatha alias aku 'April' telah hilang bagai angin yang berlalu. Dia terus berjalan dengan menenteng karya terakhirku “Free”. Setelah itu aku tak akan mampu lagi menulis buku apa pun. Novel terbaru ku tak akan lagi terpajang di bagian best seller di toko-toko buku.

 

Dia menang! Dia, Lexa alias Alexavario alias Lexa no life telah berhasil mengalahkan saingan terberatnya.

 

Dia tidak begitu yakin apa kalian penasaran pada isi novel “Free” karya terakhir ku? Tapi, walau kalian tidak penasaran sekali pun, dia akan tetap memberitahu apa yang aku tulis di karya terakhirku itu. Begini inti ceritanya:  Setelah wanita itu begitu akrab dengan lelaki, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sampai pada suatu saat lelaki itu mengajarkannya memasak Soup ceker. Tapi ini bukan ceker biasa, ini soup tangan si wanita. Ya begitulah akhir dari novel “Free”. Bagaimana? Kalian mengerti kemana aku pergi? Baguslah kalau mengerti. Hahaha. Padahal sudah dia peringatkan beberapa kali, “Kita harus punya pisau yang tajam.” namun aku seperti tak mengerti bahwa pisau itu akan memotong tanganku 'bodohnya aku'. Iya, tanganku yang begitu berharga. Tangan yang membuat aku menjadi penulis dan menghasilkan banyak novel hebat! Tapi tangan itu tak akan mampu lagi menulis. Musnah! Sudah dia buat Soup!

 

Itu hanya sebagian kecil dari karyaku yang belum rampung seutuhnya, aku masih memiliki kelanjutan cerita itu. Maukah kalian mengetahuinya? Tanpa kalian minta akan aku bacakan.

 

Tepatnya setelah ceker ( tanganku ) dia jadikan Soup. Aku benar-benar tidak berdaya, darah mengalir deras dari kedua tanganku yang telah terpotong, darah segar terus keluar dari pergelangan tanganku yang terkoyak oleh tajamnya pisau.

 

Sakit…….!!!!!

Teriakku.

 

Namun tidak ada yang bisa mendengar jeritanku yang amat keras, karena kalian tahu, apartemen yang aku tinggali memang dirancang kedap suara. Betapa senangnya dia, tertawa melihatku yang sedang sekarat, berlumuran darah.

 

Rupanya selama ini dia tidak hanya mengamati sekitar apartemenku, tapi sampai detail mengenai bangunan yang aku singgahi saat itu. Bodohnya aku yang begitu percaya pada orang yang baru aku kenal.

 

Seraya ingin berdiri, namun aku tidak mampu karena aku telah banyak kehilangan darah. Andai aku mampu membalaskan dendamku, akan aku cabik-cabik perutnya hingga usus dan semua isi perutnya keluar dan aku jadikan tongseng. Namun itu tidak mungkin.

 

Aku hanya bisa menahan sakit yang tidak mungkin bisa kalian rasakan, sakitnya lebih sakit dari apa yang kalian bisa bayangkan. Tanganku terkoyak dan dijadikan Soup, apakah dia itu manusia? Sepertinya bukan!.

 

Dia adalah manusia yang tertutupi aura gelap, hati penuh dengan kedengkian, rasa iri yang teramat dalam. Sehingga hati, pikiran dan perbuatannya tidak waras. Kejam!.

 

Aku tidak kuat menahan rasa sakit ini. Aku berusaha bangkit untuk melawan, namun tidak bisa. Lagi-lagi aku ingat, darahku sudah membanjiri lantai apartemenku. Aku ingin berpegangan pada sesuatu agar bisa menopang tubuhku, namun lagi-lagi aku lupa. Tanganku kini sudah tiada, hanya air mata yang bisa aku keluarkan.

 

Melihat orang yang aku cintai selama ini, berani bertindak begitu kejam dan tidak manusiawi. "Kenapa tidak bunuh saja aku dalam sekali tebasan di leherku?" Teriakku bercucuran air mata.

 

Dia hanya menggelengkan kepala.

 

Aku terus berusaha tersadar, menahan sakit yang teramat. Namun, kini aku sudah tidak mampu lagi menahan lebih lama kesadaranku.

Dengan sisa tenaga yang aku punya, aku berdiri dan berlari ke arah laki-laki itu.

 

Namun dengan sisa tenaga  yang aku miliki rupanya tidak mampu melawan laki-laki normal, sehat, dan tubuh lebih besar dari seorang perempuan lemah sepertiku.

 

Aku melewatinya dan ke arah jendela yang terbuka lebar mengarah arah taman bawah apartemenku, aku kehilangan kendali akan tubuhku sendiri, seolah kematian memang sudah akan menjemputku.

 

Aku terjatuh dari lantai 14 apartemenku. Terjatuh bebas menuju taman yang sepi. Aku kini telah tiada. Mati dengan membawa kekecewaan yang teramat dalam, kebencian, dendam, dan cinta yang terkhianati.

 

Itulah akhir karyaku yang belum sempat aku tulis.

 

Kini dia berjalan dengan senangnya, memikirkan siapa lagi penulis yang kira-kira akan menjadi saingannya. Dia mengingat-ngingat buku-buku dan nama penulis lain yang sering dia lihat di toko buku. 'Hm, siapa lagi ya selanjutnya?' Pikirnya.

 

Tapi, tunggu! Kalian bukan penulis, kan? Karena siapa tahu tulisan yang sedang kamu baca adalah kisah nyata ….

 

“Yang saya tahu adalah sebelum dia pergi dia selalu menulis cerita tentang kematian,"

 

“Yang saya tahu adalah sebelum dia pergi dia selalu menulis cerita tentang kematian,"

 

“Yang saya tahu adalah sebelum dia pergi dia selalu menulis cerita tentang kematian,"

 

'Sial! kenapa kata-kata itu terus terngiang?' dia baru sadar bahwa dia sendiri juga baru saja menulis tentang kematian. itu berarti...

 

"Tanganku.... Tanganku...." teriaknya.

 

"PERGI SANA APRIL JELEK! KAU SUDAH MATI!" Teriak nya yang seperti orang gila.

 

Kini, aku bisa tidur tenang tanpa dendam.


 

Malam.



 

~Tamat~


 

Kala_Senja

How do you feel about this chapter?

0 2 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (6)
  • Kala_senja

    @atinnuratikah thanks kak

  • nuratikah

    keren kak

  • aiana

    mampir dari IG,
    saya cuma ngelu bacanya. I have no experience to write such a romace-trailler gini.
    Cuma saya juga agak bingung dengan monolog di awal cerita.
    boleh mampir juga di tempat saya ... :D

  • ShiYiCha

    Keyeeenn, ini. Slice of life bangett. Klo boleh krisar, beberapa monolog yang di awal-awal itu agak mubazir. Mending dimasukin narasi aja. Tapi, so far ini idenya seru

  • Kala_senja

    @Artesyerrent terimakasih 😊🙏 jangan lupa jempolnya ya.. 🤭

  • Artesyerrent

    KEeren ih, Lexa no Life 🤣 suka ama alurnya. Beda dari yang abang tulis di storial wkwkwk 🤣🤣 lebih enak, hidup, ama seru. Aku ss wkwk

Similar Tags
Si Pecandu Warna Biru
402      264     2     
Short Story
Niana, Mahasiswa semester 4 jurusan DKV atau Desain Komunikasi Visual, akhirnya sadar bahwa takdir yang bergulir, pertemuan yang singkat dan fantasi tak berujung itu memang ada. Pertemuan yang terjadi di tengah guyuran hujan deras dengan seorang lelaki tidak disangka akhirnya membuat Ryani percaya akan hal itu.
Lilian,Gelasmu Terisi Setengah
834      554     2     
Short Story
\"Aku bahkan tidak dikenali oleh beberapa guru. Sekolah ini tidak lain adalah tempat mereka bersinar dan aku adalah bagian dari figuran. Sesuatu yang tidak terlihat\"
25 September
385      259     2     
Short Story
Sekelumit cerita tentang seorang wanita yang merasa ada hal yang aneh dengan kekasihnya. Manisnya cerita mereka malah ditaburi peristiwa menyeramkan di luar nalar. Lalu apa yang terjadi di tanggal 25 September? Ikuti kisahnya dan temukan jawabannya !! Hati-hati dengan orang terdekatmu.
Get Your Dream !
180      139     0     
Short Story
It's my dream !! so, i should get it !!
Dua Puluh Dua
426      232     2     
Short Story
Kehidupan Rion berubah total di umurnya yang ke dua puluh dua. Dia mulai bisa melihat hal-hal yang mengerikan. Kehadiran Krea di hidupnya membuat Rion jauh lebih baik. Tapi Rion harus menyelesaikan misi agar dirinya selamat.
Misteri D
448      249     2     
Short Story
Martin kedatangan seorang teman baru yang merupakan seorang gadis cantik bernama Dina. Martin menyukai Dina tanpa mengetahui satu rahasia tersembunyi darinya.
Misteri Rumah Tua
493      275     2     
Short Story
Nata dan Farah mencoba menyelidiki kasus rumah tua penuh misteri yang membuat mereka berdua merencanakan penyelidikan. Tapi sebelum hal itu terjadi. Misteri lain datang menghampiri. Farah menghilang dan Nata harus menemukan Farah sebelum memecahkan misteri rumah tua itu. Apakah Nata berhasil menyelesaikan kedua kasus itu?
Yang Tak Kasat Mata
402      266     4     
Short Story
Kehidupan Lidia yang menjadi korban bullying disekolah berubah saat dipacari Kenzo yang ternyata hanyalah seorang playboy yang tidak berbeda jauh dengan teman-temanya yang lain. Sampai dia harus membuang perasaannya sendiri dan merelakan pacarnya itu bersama gadis lain. Meskipun sudah membenci Ken hal-hal aneh mulai terjadi saat Ken justru bertemu dengan orang baru yang justru hampir membuatnya m...
Aku serupa ilalang
250      210     0     
Short Story
Aku berlari melewati Ilalang yang terhampar di depanku, berlari sampai aku berada di tepi jurang. Aku menyebut namamu, aku menangis sekeras-kerasnya. Terserah bila Ilalang itu menertawakanku. Lalu tiba-tiba angin berhembus cepat dan menuntunku ke tengah padang ilalang. Mereka tersenyum padaku dan kemudian Ilalang-ilalang itu menari. Mereka menari Irish mereka berusaha menghiburku. Aku merentang...
Peneduh dan Penghujan
304      251     1     
Short Story
Bagaimana hujan memotivasi dusta