Read More >>"> IKRAR (BAB 1: Keputusasaan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - IKRAR
MENU
About Us  

Selamat membaca :)

--------------------

“Hidup itu seperti air. Kadang di awan, kadang di lautan, artinya kadang di atas kadang di bawah. Tetapi jangan pernah hidup seperti air, sebab air akan mengalir ke tempat yang lebih rendah,” ucap Moira yang mengutip kalimat tersebut dari buku yang sedang ia pegang. “Jadi, Ayah ngerti ‘kan maksudnya apa?”

Ayah Moira menggeleng seraya tersenyum, “Ayah mengerti. Ayah tentu tak akan jadi air, sebab Ayah terbuat dari tanah,” seloroh Ayah yang disambut tawa putri semata wayangnya.

“Walau kita terbuat dari tanah, jangan mau, Yah, hidup kayak tanah diinjak-injak,” balas Moira yang kali ini bukan mengutip dari buku yang ia pegang.

“Justru kita bisa belajar dari tanah,” sanggah Ayah. “Tanah walau diinjak-injak tapi bisa memberi manfaat, kita bisa memakan sayuran dan buah-buahan yang ditanam di tanah, tanah juga bisa menutupi jenazah manusia sebagai peristirahatan terkahir. Serta….” Ayah menjeda ucapannya sebentar seraya menatap Moira dengan sendu. “sebentar lagi giliran tubuh ayah akan tertutup oleh tanah itu.”

“Astaghfirullah! Ngomong apa sih, Ayah!” omel Moira yang tak suka mendengar keputusasaan Ayah.

“Kamu ‘kan tahu, Nak−”

“Udah, deh, lagian umur itu yang tahu bukan dokter, tapi Allah. Jangan takabur nasib, Moira gak suka!” ucap Moira ngambek memotong kalimat Ayah. Moira tahu apa yang akan ayahnya ucapkan.

Sebulan yang lalu, ayah Moira terbaring di rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan ternyata Ayah mengidap penyakit kanker paru-paru stadium akhir. Selama sebulan Ayah dirawat di rumah sakit karena kondisinya yang terus menurun dan menjalani operasi, kata dokter kemungkinan hidup Ayah hanya 2%. Tetapi alhamdulillah kemarin Ayah bisa pulang dengan kondisi yang mulai membaik. Ke depannya Ayah akan menjalani kemoterapi untuk membunuh sel-sel kanker yang masih tersisa.

“Moira Azkadina binti Abu Bakar…”

“Iya, Ayah,” jawab Moira.

“Tidak, Ayah tidak memanggilmu,” jelas Ayah. “Ayah ingin sekali kalimat tadi itu diucapkan dalam akad pernikahanmu oleh seorang pria yang Ayah kenal diawali dengan ucapan ‘saya terima nikahnya’.”

Kening Moira berkerut dan sedikit terkejut, “pernikahan?”

Ayah yang berbaring di tempat tidur beranjak untuk terduduk dan bersandar pada senderan tempat tidur. “Nak, usiamu sudah 20 tahun, Ayah ingin menyerahkan tanggungjawab Ayah pada seorang pria,” jelas Ayah pelan dengan suara lembut mendayu. “Pria itu anak kawan Ayah.”

“Jadi, maksudnya Ayah mau jodohin Moira?” tebak Moira dengan suara tinggi setelah mencerna maksud dari ucapan Ayah.

“Pelankan suaramu, Nak. Tengok ke luar jendela, adakah tetangga yang berdemo mendengar suara cempreng putri Ayah?” seloroh Ayah untuk mencairkan suasana. Ayah memang begitu, senda gurau memang perangainya.

“Ayah, Moira kan masih semester 5, tanggung. Nunggu Moira lulus aja, ya?”

“Seperti yang kamu bilang, umur hanya Allah yang tahu. Ayah enggak tahu umurnya sampai atau tidak pada saat Moira lulus. Ayah ingin sekali jadi wali nikah anak Ayah satu-satunya.”

“Tapi, ‘kan−“

Ayah tiba-tiba terbatuk-batuk hingga membuat Moira khawatir, ia segera menyodorkan gelas berisi air putih hangat kepada ayahnya. Setelah batuknya reda, Ayah kembali berkata, “Anggap ini adalah permintaan terakhir Ayah. Jika Moira menyetujui, Ayah anggap ini adalah baktimu sebagai anak.”

Bila diingat-ingat, selama hidup Ayah tidak pernah meminta sesuatu yang memberatkan Moira. Malah Moira-lah yang selalu meminta-minta kepada Ayah. Satu tetes air mata tak terasa jatuh ke pipinya. Dengan membaca basmalah dalam hati Moira mengangguk pelan, tanda ia setuju. Seulas senyum tercetak dibibir Ayah.

***

“Assalamu’alaikum,” salam seseorang dari luar seraya mengetuk pintu.

 “Wa’alaikumsalam,” jawab Ayah seraya membuka pintu.

“Wah, Abu!” seru kawan Ayah yang langsung memeluk dengan semangat.

“Adam, kamu masih keker ya!” balas Ayah. “Eh, Lita kamu masih cantik seperti dulu, dan ini?” tanya Ayah seraya menunjuk seorang pria yang berada di belakang Lita.

“Ibram, Om.” Pria itu langsung melangkahkan kakinya untuk mendekat pada Ayah dan menjabat tangannya.

“Maaf, ya, Om lupa. Baru bertemu lagi jadi pangling lihatnya,” ucap Ayah seraya mengelus lengan Ibram. “Ayo, masuk-masuk, sampai lupa.”

Ayah dan keluarga Adam masuk ke dalam rumah sederhana milik Abu Bakar. Nuanasa rumah sederhana itu berwarna biru yang merupakan warna kesukaan Moira. Ngomong-ngomong tentang Moira gadis itu saat ini masih di kampus dan mungkin sedang di perjalanan ketika satu jam yang lalu Ayah menghubunginya untuk segera pulang setelah perkuliahan selesai.

Bi Idah −asisten rumah tangga− menyuguhkan minuman beserta makanan ke atas meja di ruang tamu.

“Terima kasih, Bi,” ucap Ayah seraya tersenyum yang dibalas anggukan oleh perempuan paruh baya yang sudah mengabdi padanya selama umur Moira.

“Mana anak gadismu?” tanya Adam.

“Iya, tidak kelihatan,” ucap Lita. “Enggak sabar pengin lihat gimana cantiknya anak itu sekarang.”

“Tidak kalah cantik darimu,” kelakar Ayah. “Dia masih dalam perjalanan pulang dari kampus−“

“Assalamu’alaikum.” Tiba-tiba suara yang tak asing terdengar dari luar.

“Nah, itu dia Panjang umurnya.”

“Eh, ada tamu.” Moira langsung menyalami Adam dan Lita, serta Ibram tetapi urung ia lakukan ketika mengingat perkataan ustazahnya bahwa seorang pria dan wanita tidak boleh bersentuhan jika bukan mahromnya.  Ibram yang juga menyodorkan tangannya jadi salah tingkah dibuat Moira.

“Moira sekarang pakai kerudung, jadi tambah cantik,” puji Lita yang disambut senyum Moira yang menampilkan deretan gigi mungilnya.

“Alhamdulillah, masih belajar Tante.”

“Lekas bersih-bersih lalu kembali kemari,” suruh Ayah pada Moira yang langsung mendapatkan anggukan dari putrinya itu.

Selama menunggu Moira, kawan lama yang baru bertemu tersebut saling bertukar cerita, lalu mengenang kisah mereka saat di sekolah dulu. Abu Bakar dan Adam adalah teman ketika SMA. Saking akrabnya mereka sampai-sampai berani mengadu nasib ke ibu kota untuk mencari pekerjaan. Dalam pencariannya itu Abu Bakar menjadi seorang polisi karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan dan sekarang sudah pensiun, sedang Adam memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi mengambil jurusan hukum hingga membuatnya menjadi pengacara sukses seperti sekarang.

Merasa sudah seperti keluarga mereka dulu pernah berikrar akan menikahkan anak-anak mereka agar hubungan mereka semakin kuat, dan sekarang ternyata ikrar mereka akan segera terlaksana. Memang betul ucapan adalah doa. Jadi memang sepatutnya kita harus mengucapkan yang baik-baik saja.

Tak lama obrolan mengenang masa lalu mereka terhenti tatkala Moira hadir. Gadis itu kini menggunakan gamis berwarna coklat susu dengan kerudung segi empat berwarna navy.

“Kalau mandinya lama berarti anak perawan, ya?!” canda Ayah yang disambut dengan tawa Adam dan Lita, sementara Ibram hanya tersenyum sedikit. Sedang Moira tersenyum malu dengan pipinya yang merona. “Sini duduk,” pinta Ayah pada Moira seraya menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.

“Ibram,” ucap Adam kepada anaknya. “Inilah Moira anak kawan Abi yang Abi ceritakan dulu, calon istrimu.”

Seketika Ibram membulatkan matanya, keningnya berkerut mengingat-ingat cerita Abi-nya mengenai Moira. Saat ini otaknya seperti tidak bekerja, tak ia temukan sedikit pun cerita tentang Moira dalam isi kepalanya.

Sementara Moira menunduk, sesekali ekor matanya melirik Ibram untuk sekadar memastikan bagaimana air muka pria yang akan menjadi suaminya itu. Dilihatnya Ibram yang kebingungan di sana. Hati Moira gelisah, diremas-remasnya baju gamis yang ia kenakan.

“Kalian pasti berpikir kami ini orangtua yang kolot.” Ayah membuka suara memecah keheningan. “Ayah memaklumi keterkejutan kalian,” ucap ayah melihat Ibram dan Moira. “Tapi percayalah tidak ada orangtua yang bakal menjerumuskan anaknya sendiri pada hal yang tidak baik. Pernikahan adalah hal yang baik.”

***

“Abi dan Bunda apa-apan sih, memangnya Ibram ini anak kecil!” sungut Ibram marah sesampainya di rumah. Sebenarnya ingin sekali ia meluapkan emosinya sedari tadi di rumah Abu Bakar, tapi tak mungkin ia lakukan sebab akan mempermalukan dirinya dan keluargnya.

“Abi dan Bunda hanya ingin yang terbaik buat kamu,” balas Abi dengan suara tak kalah tinggi dengan Ibram.

“Terbaik? Apa Anindira kurang baik? Dia itu dokter, kurang hebat apa?” kesal Ibram karena Abinya tidak menganggap Anindira kekasihnya.

“Untuk apa jabatan hebat kalau tidak mau menyempurnakan setengah agamanya?!” sanggah Abi telak. Ibram tak dapat membalasnya lagi, pria itu mengatupkan kedua rahangnya dengan keras.

“Sudah. Sudah. Janganlah kalian bertengkar,” ucap Lita akhirnya setelah tadi berusaha diam tak mau masuk ke dalam keributan Abi dan Ibram. “Ibram, coba kamu pikirkan baik-baik, usiamu sudah matang untuk menikah. Jangan mau menunggu suatu hal yang tidak pasti.”

“Ibram tidak akan menikah dengan gadis bau kencur itu, Ibram akan menikah dengan Anindira,” kekeh Ibram yang yakin akan menikahi kekasihnya itu walau beberpa kali mendapatkan penolakan darinya. “Ibram akan melamar Anindira lagi, dan pasti dia akan menerimanya.”

“Ibram−“

“Baik,” ucap Lita memotong Adam. “Bunda ijinkan kamu untuk melamar Anindira sekali lagi, tapi kalau wanita itu menolakmu lagi, berjanjilah kamu mau menuruti kemauan kami yaitu menikah dengan Moira.”

“Iya, Ibram janji.”

“Ingat Ibram janji adalah hutang, dan hutang harus dibayar. Kamu akan mempertanggungjawabkannya.” Ucapan Lita barusan terdengar seperti ancaman bagi Ibram. dalam hatinya ada sedikit keraguan, kepercayaan dirinya mengenai Anindira bakal menerima pinangannya mulai goyah.

***

Malam di hari yang sama juga, Ibram pergi untuk menemui kekasihnya di rumah sakit tempat kekasihnya itu bekerja.

Anindira Kala merupakan seorang dokter bedah berusia 28 tahun. Ia dan Ibram menjalin hubungan ketika kedunya duduk dibangku kelas 3 SMA, artinya terhitung hubungan mereka kurang lebih sudah 10 tahun. Sungguh bukan waktu yang sebentar.

Wanita yang Ibram tunggu-tunggu akhirnya muncul dengan jas putih khas dokter yang menempel di badannya. Sebelum benar-benar menghampiri Ibram, wanita itu mampir ke koperasi kantin untuk membeli dua buah minuman kemasan, untuknya dan Ibram.

“Maaf membuatmu menunggu,” ucapnya seraya menyodorkan botol minuman pada Ibram, lalu duduk di hadapan pria itu.

“Gapapa, udah biasa,” jawab Ibram santai membuat wanita di depannya tersenyum dengan wajah bersalah. Artinya wanita itu sudah terlalu sering membuat Ibram menunggu hingga menjadi kebiasaan untuk kekasihnya itu.

“Ada apa? Tumben kamu ngajak ketemuan saat aku kerja begini. Waktuku gak banyak, hanya lima belas menit kayaknya,” jelas Anindira seraya melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

“Baiklah kalau begitu langsung saja.” Ibram tampak berusaha mengeluarkan sesuatu dari kantong celana jeansnya. “Will you marry me?” ucapnya kemudian to the point seraya menyodorkan sebuah cincin berwarna perak.

Bukannya terkejut seperti wanita kebanyakan diluar sana, Anindira malah mengusap wajahnya frustasi. “Ibram kita pernah membicarakan tentang ini.”

“Anindira, please… aku mohon kali ini kamu terima lamaranku,” pinta Ibram tak kalah frustasi.

“A-Aku gak bisa, Ibram!” seru Anindira. “Harus berapa kali aku bilang alasanku ke kamu?”

Memang bukan tanpa alasan Anindira menolak pinangan Ibram. Bukan wanita itu tidak mencintainya akan tetapi pikirannya mengenai pernikahan tidak semudah itu. Trauma akan perselingkuhan ayahnya masih membekas dalam benaknya, keluarganya hancur berantakan. Bukan bermaksud menyamakan Ibram dengan ayahnya, Ibram pria yang baik, bahkan paling baik yang pernah Anindira kenal. Tetapi, bukankah tidak ada yang tidak mungkin? Karena pada dasarnya pria itu sama saja.

 “Tapi sampai kapan Anindira?” tuntut Ibram. “Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar!”

“A-Aku gak tahu sampai kapan,” jawab Anindira bergetar menahan tangis. “Aku juga menginginkanmu, tapi ini bukanlah waktu yang tepat.” Hati Anindira masih penuh keraguan, traumanya masih lebih besar dibandingkan dengan keinginannya untuk menikah.

“Aku tidak punya waktu lagi untuk menunggumu setelah malam ini, Anindira,” tegas Ibram seraya menatap netra Anindira dengan tajam.

Amat frustasi oleh Ibram sampai-sampai Anindira kebingungan terhadap sikap kekasihnya itu, ia memilih untuk meninggalkannya. Anindira tidak habis pikir kepada Ibram, bagaimana bisa Ibram terlalu memaksa seperti itu padahal pria itu tahu bagaimana traumanya terhadap pernikahan. Ibram salah satu saksi hidupnya.

Mengenai ucapan terakhir Ibram, Anindira tidak menggubrisnya sebab beberapa kali sudah Ibram mengancamnya seperti itu tapi toh pada akhirnya pria itu berusaha untuk melamarnya lagi. Jadi kali ini pun Anindira yakin bahwa ucapan Ibram hanya geretak sambal baginya. Walau pada kenyataannya ucapan itu memang sungguh-sungguh, kedepannya Ibram takkan melamarnya lagi sebab ia akan menikahi gadis lain bulan depan sesuai kesepakatan yang direncanakan kedua keluarga tadi siang di rumah calon mertuanya.

***

 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (5)
  • yurriansan

    @itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • itsarney

    @yurriansan akunku ini kak https://www.wattpad.com/user/itsarney
    ayo kak dengan senang hati ^_^

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • yurriansan

    @itsarney wattpad? Akunnya apa?
    Kbtulan critaku yg rahasia Toni aku publish d wattpad juga. Nnti bisa saling kunjung xD

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • itsarney

    @yurriansan Masya Allah Kak terima kasih sudah berkenan membaca cerita ini. Aamiin semoga Allah kabul, makasih doanya^_^
    Ah, ya. Cerita ini juga bisa dibaca di Wattpad^^

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • yurriansan

    Tulisanmu bagus ,😄.
    Smoga ramai like ya

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
Similar Tags
Sisi Lain Tentang Cinta
714      385     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
Farewell Melody
215      144     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...
Wannable's Dream
33913      4897     42     
Fan Fiction
Steffania Chriestina Riccy atau biasa dipanggil Cicy, seorang gadis beruntung yang sangat menyukai K-Pop dan segala hal tentang Wanna One. Dia mencintai 2 orang pria sekaligus selama hidup nya. Yang satu adalah cinta masa depan nya sedangkan yang satunya adalah cinta masa lalu yang menjadi kenangan sampai saat ini. Chanu (Macan Unyu) adalah panggilan untuk Cinta masa lalu nya, seorang laki-laki b...
Temu Yang Di Tunggu (up)
15133      2413     12     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...
Mendadak Halal
5666      1798     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...
Return my time
244      208     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
Crystal Dimension
276      184     1     
Short Story
Aku pertama bertemu dengannya saat salju datang. Aku berpisah dengannya sebelum salju pergi. Wajahnya samar saat aku mencoba mengingatnya. Namun tatapannya berbeda dengan manusia biasa pada umumnya. Mungkinkah ia malaikat surga? Atau mungkin sebaliknya? Alam semesta, pertemukan lagi aku dengannya. Maka akan aku berikan hal yang paling berharga untuk menahannya disini.
Ending
4511      1180     9     
Romance
Adrian dan Jeana adalah sepasang kekasih yang sering kali membuat banyak orang merasa iri karena kebersamaan dan kemanisan kedua pasangan itu. Namun tak selamanya hubungan mereka akan baik-baik saja karena pastinya akan ada masalah yang menghampiri. Setiap masalah yang datang dan mencoba membuat hubungan mereka tak lagi erat Jeana selalu berusaha menanamkan rasa percayanya untuk Adrian tanpa a...
Bersua di Ayat 30 An-Nur
744      336     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang wanita muslimah yang penuh liku-liku tantangan hidup yang tidak tahu kapan berakhir. Beberapa kali keimanannya di uji ketaqwaannya berdiri diantara kedengkian. Angin panas yang memaksa membuka kain cadarnya. Bagaimana jika seorang muslimah seperti Hawna yang sangat menjaga kehormatanya bertemu dengan pria seperti David yang notabenenya nakal, pemabuk, pezina, dan jauh...
Sugar On Top
17      16     1     
Romance
Hazel Elodie adalah gadis manis berambut pirang dengan hati yang keras seperti baja. Bertahun-tahun setelah ia dan kakaknya, Sabina, 'dibuang' ke London, Hazel kembali ke kota kelahirannya dengan tekad untuk merebut kembali apa yang menjadi haknya—warisan keluarga yang dirampas secara licik. Namun, kepulangannya tak semudah yang ia bayangkan. Tanpa Sabina, si perisai emosinya, Hazel harus be...