Read More >>"> Dissociative Identity Disorder
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dissociative Identity Disorder
MENU 0
About Us  

Namaku Melanie.

Aku baru saja pindah ke kota ini karena harus melanjutkan studiku di sini. Sebuah kota yang berbanding terbalik dengan kota tempat tinggalku sebelumnya, yang sangat padat penduduk dan hiruk pikuk suara penduduk yang terdengar setiap harinya.

Sepertinya aku bakal betah di sini..

Pagi yang sejuk ini sangat pas ditemani dengan segelas milo hangat. Beberapa ekor burung sedang asyik bertenger dan berkicau di pohon depan jendela kamarku.

Eh? Siapa ya laki-laki itu? Apa tetangga sini? Aku baru pertama kali melihatnya. Seorang laki-laki jangkung berkaca mata yang kuperkirakan sepantaranku. Dengan sigap, aku berlari turun dan keluar menemuinya.

“Hai!” aku mencoba menyapanya.

Laki-laki itu sepertinya kaget kemudian dia menoleh, “Oh hai..”

“Kamu baru pindah ke sini?” dia melanjutkan, sambil masih memegang kantong sampah yang sempat tertunda untuk dibuang.

Aku mengangguk, “Iya. Salam kenal, saya Melanie.”

Dia membalas menjabat tanganku, “Nama saya Ken. Salam kenal juga.”

“Ke mana ya para tetangga di sini? Saya ingin coba berkenalan dengan kalian agar saya tidak kesepian dan lagipula saya masih baru di sini jadi belum tahu banyak.”

Ken menanggapiku dengan senyum kemudian berkata, “Ya begitulah keadaan di sini. Setiap hari sepi begini. Mungkin para tetangga punya kesibukan tersendiri.”

“Hmm.. Mungkin juga.. Bersyukur juga setidaknya saya bisa berkenalan dengan salah seorang tetangga di sini.”

Ken membuang beberapa kantong sampah dan kembali menatapku, “Yuk mari duduk-duduk di rumah saya. Kita bisa mengobrol dengan santai,” ajak Ken.

“Wah sorry banget, Ken. Saya baru ingat ada beberapa urusan yang musti saya selesaikan terlebih dahulu.”

Oh no problem.. Maybe next time ya..” kata Ken sambil tersenyum.

Gila! Gila! Makin manis aja senyumnya!

“Ngg.. Yah I hope so.. Kalau begitu saya pamit dulu ya, Ken,” aku melambai pada Ken.

Okay, Melanie.. See you..

Aku tidak bisa berhenti memikirkan wajah dan senyuman Ken. Semakin memikirkannya, aku semakin penasaran. Entah mengapa aku tertarik untuk mencari tahu mengenai dirinya..

Kulanjutkan menyeruput segelas milo tadi. Ugh.. Udah dingin.. Kulirik jam beker di mejaku, sudah menunjukkan pukul 10. Aku harus bergegas pergi untuk mengurus beberapa dokumen kepindahanku.

Urusan ini sangat menguras tenaga dan waktuku, sehingga aku belum sempat berkenalan lagi dengan para tetangga selain Ken. Beberapa hari berlalu dengan tenang seperti biasa, hingga suatu hari…

Prang! Bruak!

Siapa nih pagi buta begini udah banting-banting perabotan?

Aku meletakkan kembali sebungkus spaghetti yang hendak kumasak. Saat aku berjalan keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi, suara itu semakin keras terdengar.

Aneh.. Tidak ada satu orang tetangga pun yang keluar rumah untuk melihat keributan apa ini. Tidak ada yang peduli..

Aku menoleh kiri kanan mencari sumber suara tersebut. Kulangkahkan kaki ke rumah tepat di sebelah rumahku. Aku menguping dari balik pintu, sepertinya semakin banyak perabotan yang dibanting.

“Arghhhh!!”

Aku buru-buru mendorong pintu untuk melihat mengapa Ken berteriak sehisteris itu. Dua detik aku melihatnya sedang mengangkat kursi, kemudian Ken memandangku balik dengan tatapan seakan-akan ingin menerkamku.

“Ng.. Sorry, Ken. Saya tahu saya tidak sopan masuk tanpa izin.”

“Siapa kamu??” Ken bertanya dengan nada tinggi.

“Hah? Saya Melanie, tetangga baru yang tempo hari berkenalan denganmu.”

Pasti Ken sedang emosi banget sehingga lupa sama aku.

“Pergi kamu!”

“Maaf, Ken. Sebenarnya ada apa ya?”

Ken sudah bersiap hendak melempar kursi ke arahku. Namun, aku dengan sigap menghindar dan segera keluar dari rumahnya.

Ada apa dengan Ken ya? Aku bergidik memikirkannya. Kuakui aku memang salah karena berperilaku tidak sopan. Seharusnya aku bisa lebih mengontrol sifat kepoku ini. Mungkin Ken sedang mengalami masalah besar dan depresi sehingga tidak ingin diganggu oleh orang lain. Akan kutanyakan lagi padanya saat emosinya sudah stabil nanti.

Kupeluk bantal sofa sambil memikirkan kejadian tadi berulang kali. Ah! Aku lupa mempersiapkan kebutuhan kampusku! Beberapa bulan lagi aku akan memulai semester baru, sebaiknya aku segera membereskan semua keperluanku. Aku mulai menyibukkan diri untuk melupakan kejadian tadi.

Aku sebenarnya masih takut jika bertemu dengan Ken. Bagaimana jika Ken masih marah? Tanyaku dalam hati sambil berjalan keluar rumah sambil menenteng beberapa kantong sampah yang hendak kubuang. Aku melihat Ken sedang berjongkok di halaman rumahnya.

Ah! Ken! Sapa tidak ya? Ken menoleh dan melihatku sedang diam memperhatikannya dari tembok pembatas rumah. “Hai! Baru pindah ke sini ya?” Ken menyapaku.

“Hah?” Bukannya beberapa hari yang lalu sudah berkenalan ya? Ah, mungkin Ken lupa karena kemarin sedang mengalami masalah. Buktinya kemarin saat aku bertemu dengannya, dia malah bertanya siapa aku.

“Iya, saya baru pindah ke sini.”

Ken berdiri. “Salam kenal ya, saya Steven. Namamu siapa?”

Hah? Steven? Ah, barangkali Ken hanyalah nama panggilannya. Aku berusaha tidak berpikir negatif. “Nama saya Melanie.”

Ken kembali jongkok. “Lihat anjing ini, lucu ya!”

“Ah.. Iya.. Ngg.. Ken.. Eh, Steven..”

“Ya?” Ken menjawabku tanpa mengalihkan pandangannya dari anjing lucu itu.

“Ngg.. Saya pamit dulu ya, soalnya saya masih ada urusan,” aku mengurungkan niatku untuk menginterogasinya mengenai kejadian sebelumnya. Bagaimana jika Ken marah lagi jika aku mengungkitnya?

“Oh ya silakan, Melanie,” Ken tersenyum.

Hari-hari berlalu tanpa sedikitpun kecurigaan dari dalam diriku. Suatu sore aku sedang duduk santai di teras rumah sambil menikmati beberapa bungkus snack. Ken muncul di perbatasan tembok rumah.

“Kakak.. Kakak.. Bolehkah saya meminta snacknya?” Ken memohon dengan mata berbinar-binar seperti anak kecil yang senang ketika melihat cemilan-cemilan.

“Ken, kenapa kamu memanggilku kakak? Hahaha..” ternyata Ken jago bercanda juga.

“Kakak, nama saya bukan Ken.”

“Ah iya. Namu kamu Steven, kan?”

“Bukan, Kak. Nama saya Roy.”

Aku ketawa, “Ah, Ken. Kamu jangan bercanda terus.”

Ken kebingungan, “Saya serius, Kak. Nama saya Roy, bukan Ken ataupun Steven seperti yang Kakak sebut.”

“Hah? Bukannya nama panggilanmu Ken dan nama lengkapmu adalah Steven?”

Ken ikutan bingung dan menggeleng. Sepertinya ada yang tidak beres dengan Ken..

Perlahan aku juga mulai menyadari bahwa tidak ada seorang tetangga pun yang berkomunikasi dengan Ken atau Steven ataupun Roy. Aku jadi kesulitan untuk bertanya atau mencari tahu mengenai Ken. Aku yakin ada sesuatu dalam diri Ken yang tidak kuketahui.

Suatu hari, aku sedang berjalan pulang ke rumah. Di tengah jalan, aku bertemu dengan Ken.

“Hai, Ken. Hendak ke mana nih kamu?” aku mencoba menyapanya dengan nama Ken lagi. Kira-kira kali ini dia berganti nama apa lagi ya?

“Oh hai, Melanie. Saya mau belanja sebentar ke warung depan.” Kali ini dia tidak menyangkal bahwa namanya adalah Ken. “Kamu beli apa, Mel?” Ken bertanya.

“Oh ini. Beberapa snack yang enak banget! Kemarin kamu juga minta sama saya. Apakah enak, Ken?”

Ken kelihatan bingung, “Saya tidak pernah meminta apapun dari kamu, Mel.”

Bukan hanya nama yang berbeda-beda, namun apa yang dialami pun juga dilupakan. Ada apa ya sebenarnya?

Aku harus segera mencari tahu apa yang terjadi. Suatu sore kuputuskan untuk mencoba berkunjung ke rumah Ken dengan membawa beberapa cemilan.

Tok.. Tok.. Tok…

“Halo, Ken,” sapaku saat Ken membuka pintu.

Kon’nichiwa! Watashi wa anata o tasukeru koto ga dekimasu ka?

“Wah, Ken. Kamu pandai berbahasa Jepang juga toh!”

Ken kebingungan dengan ucapanku. Aku melongok ke dalam rumah, ternyata Ken sedang menggambar. Membuat komik lebih tepatnya.

“Ternyata kamu komikus ya, Ken!”

Sorry?

“Ah ini ada beberapa cemilan buatmu,” kataku sambil menyerahkan beberapa kantong cemilan.

Walaupun Ken tampak bingung, namun dia tetap menerimanya dengan senang hati, “Arigatou gozaimasu!” ucapnya sambil membungkukkan badan.

Aku membungkukkan badan sembari berjalan balik pulang ke rumah.

Semakin Ken bertingkah aneh, semakin yakin aku bahwa ada yang tidak beres dengannya.. Aku harus mencari informasi mengenainya.

Aku berjalan kembali ke rumahku sambil memikirkan beberapa kemungkinan yang terjadi. Eh? Itu kan Ibu tetangga depan rumahku yang belum sempat kuajak berkenalan. Samperin ah..

Kututup kembali pintu pagar yang kubuka dan melangkahkan kaki menyusul si Ibu yang hendak masuk ke dalam rumahnya.

“Selamat sore, Bu!”

Si Ibu memutar balik badan melihat siapa yang menyapanya, “Selamat sore, Nak. Ada yang bisa Ibu bantu?”

Aku mengulurkan tangan, “Perkenalkan saya Melanie, Bu. Saya baru pindah ke sini beberapa hari yang lalu.”

Si Ibu menyambut tanganku, “Oh salam kenal, Nak Melanie. Saya Bu Grace.”

“Saya belum sempat berkenalan dengan semua tetangga di sini, Bu. Apa para tetangga di sini jarang keluar rumah ya, Bu?”

“Ah.. Iya, Nak. Mungkin pada sibuk ya. Nak Melanie sudah berkenalan dengan siapa saja?”

“Saya baru sempat berkenalan dengan Ken dan Bu Grace.”

Seketika raut wajah Bu Grace berubah menjadi pucat.

“Oh ya, Bu. Saya cukup penasaran dengan Ken. Apa Ibu mengenalnya? Entah hanya perasaan saya saja atau bagaimana, namun saya merasa sepertinya ada yang aneh dengan dirinya.”

Bu Grace menepuk pundakku, “Sebaiknya jangan terlibat terlalu dalam dengan si Ken, Nak.”

“Memangnya ada apa ya, Bu?” rasa penasaranku semakin bertambah saat mendengar saran dari Bu Grace.

Bu Grace menarikku agar mengikutinya masuk ke dalam rumahnya.

“Nama aslinya adalah Albert. Dia merupakan penderita DID (Dissociative Identity Disorder) atau biasa disebut berkepribadian ganda dan dia memiliki 10 kepribadian berbeda dalam satu tubuhnya.”

Seketika kurasakan bulu kudukku berdiri. Ternyata cerita orang berkepribadian ganda ada juga di dunia nyata. Selama ini aku hanya menontonnya dari televisi atau sekedar membaca ceritanya.

“Apakah seluruh tetangga di sini takut padanya sehingga jarang keluar rumah, Bu? Apa Albert berbahaya, Bu?”

“Tentu saja, Nak! Harus kamu ketahui bahwa Albert pernah terlibat dalam beberapa kasus pembunuhan beberapa tahun yang lalu. Namun, dia dibebaskan oleh pihak kepolisian karena dianggap mengalami gangguan jiwa.”

Aku terdiam sambil mencerna penjelasan Bu Grace.

“Tapi bukan Albert yang melakukan aksi pembunuhan itu, melainkan pribadi lainnya yang bernama Frederick.”

Apa Frederick adalah pribadi yang kulihat saat Albert membanting perabotan rumah beberapa hari yang lalu itu?

“Bu, bolehkah Ibu memberitahu saya mengenai 10 kepribadian Albert?”

Bu Grace menarik napas panjang, “Albert adalah pribadi asli, Ken seorang ahli sastra, Sinjiro seorang komikus Jepang, Roy seorang anak kecil berusia 5 tahun, Lucy seorang wanita penjahit, Michael seorang penyanyi, Frederick seorang pembunuh, Steven seorang pecinta binatang, Cecillia seorang wanita remaja berusia 18 tahun, dan James adalah seorang penjudi dan pemabuk.”

Banyak sekali kepribadian Albert. Pasti sulit sekali baginya untuk menghadapi dirinya yang seperti ini. Alih-alih merasa takut, aku justru malah merasa prihatin pada Albert. Aku akan mencari tahu lebih banyak lagi mengenai hal ini.

***

Siang ini cuaca tidak sepanas biasanya. Mulutku mengunyah snack tanpa henti. Sama halnya dengan pikiranku yang memikirkan kejadian Albert tanpa henti.

“Mel, saya minta lagi ya snacknya. Enak banget!”

Ya.. Kuberanikan diri mengajak Albert duduk santai di rumahku. Banyak hal yang ingin kutanyakan.

“Iya makan saja, Bert.”

Sebelumnya, aku sudah berkenalan dengan Albert. Di luar dugaan, ternyata Albert tipe orang yang cepat akrab dengan orang lain.

“Bert, saya mau tanya nih. Boleh?”

“Yha, Mel. Thenthuu shaja boweh,” Albert menjawabku dengan mulutnya yang penuh cemilan.

Pertama yang harus kulakukan adalah memancingnya bercerita.

“Hmm maaf sebelumnya ya, Bert. Setiap kali saya bertemu denganmu, kenapa ya kamu selalu lupa pada saya dan kamu selalu berganti nama?”

Albert berhenti mengunyah kemudian menatapku.

“Mel, maaf ya saya tidak menjelaskan padamu perihal penyakit saya ini. Saya takut kamu tidak nyaman berteman dengan saya. Sebenarnya saya mengidap penyakit kepribadian ganda sehingga apa yang dilakukan setiap pribadi dalam diri saya tidak bisa diingat sama sekali oleh pribadi yang lain.”

Benar apa yang diceritakan Bu Grace.

“Berapa kepribadian yang terdapat dalam dirimu, Bert?”

“Sepuluh, Mel. Kamu sudah mengenal berapa kepribadian saya?”

“Ngg..” aku berhitung dalam hati. “Enam, Bert.”

“Saya juga tidak ingin hidup dalam kondisi seperti ini, Mel. Saya ingin hidup normal seperti kalian,” Albert menundukkan kepala lemas.

“Kamu tidak memeriksakan diri ke dokter, Bert? Atau menjalani terapi misalnya?”

Albert menggeleng.

“Jika kamu mau, saya bisa temani kamu berkonsultasi.”

“Maaf, Mel. Tapi saya lebih percaya dengan apa yang sedang saya usahakan sekarang. Saya yakin saya akan sembuh. Terima kasih ya, Mel.”

“Kalau boleh tahu, upaya penyembuhan apa yang sedang kamu jalani saat ini?”

Albert terdiam dan menatapku tajam seolah-olah memperingatiku agar tidak banyak bertanya.

“Sesuatu yang tidak boleh orang lain ketahui, Mel,” tiba-tiba suara Albert berubah menjadi agak kasar.

“Ah maaf, Bert. Saya bukan bermaksud untuk ikut campur. Saya.. Saya hanya berniat membantu.”

Ekspresi Albert berubah lagi seperti biasa, “Tidak apa-apa, Mel.” Suaranya pun kembali normal.

“Apa kamu tidak takut pada saya, Mel? Seperti para tetangga yang takut pada saya, saya tahu itu.”

Aku menggeleng kuat-kuat, “Tidak, Bert. Tidak sama sekali. Saya turut prihatin dengan kondisimu saat ini. Seharusnya mereka tidak menjauhimu karena yang kamu butuhkan saat ini adalah support.”

Senyum terukir di bibir Albert, “Benar, Mel. Seharusnya mereka bisa berpikiran yang sama denganmu.”

Sambil menikmati snack, Albert bercerita panjang lebar. Dari ceritanya aku akhirnya tahu bahwa penyebab dari penyakit yang dideritanya adalah trauma masa lalu. Albert mengalami siksaan luar biasa semasa kecilnya. Tidak sanggup menanggung beban seberat itu akhirnya diri Albert membelah kepribadiannya menjadi beberapa bagian.

Perlahan rasa prihatinku berubah menjadi rasa tertarik. Kenapa aku bisa tertarik pada Albert? Di saat orang lain justru berusaha menghindarinya, aku semakin peduli padanya..

***

“La.. La.. La…”

Aku bertepuk tangan karena nada tinggi Albert sangat bagus, tanpa fals sedikit pun.

Albert membungkukkan badan seolah-olah sedang bernyanyi di depan ratusan penonton.

“Suaramu bagus banget, Michael!” aku memujinya.

“Terima kasih, Mel!”

Tak kusangka rumah Albert sebesar ini. Ada ruang karaoke pula!

Aku dan Albert semakin sering berkomunikasi. Aku sudah mengenal semua kepribadiannya. Namun, aku harus agak menjaga jarak saat Albert berganti kepribadian menjadi Frederick dan James karena aku belum tahu bagaimana cara menghadapi pribadi mereka yang keras.

“Argh!!” tiba-tiba Albert berteriak dan memegang kepalanya. Seperti sedang kesurupan, begitulah kata yang tepat untuk menggambarkan proses pergantian pribadi Albert. Awal melihat proses itu, aku ketakutan dan panik luar biasa. Namun, lama-kelamaan aku sudah terbiasa karena ternyata proses ini cuma sebentar dan tidak membahayakan siapa pun. Seketika Albert pingsan. Aku mengelus kepalanya. Semoga upaya apa pun yang dilakukan Albert bisa berhasil membebaskan Albert dari penyakit yang diidapnya ini.

“Melanie?” Albert membuka matanya perlahan-lahan.

“Kamu sudah sadar, Albert?”

“Iya, Melanie.”

Sedikit demi sedikit aku sudah bisa membedakan setiap kepribadian Albert dari cara berbicaranya. Aku membantu Albert berdiri dan menuntunnya duduk di sofa. Aku segera menyiapkan segelas air hangat untuk Albert.

“Terima kasih, Mel.”

“Sama-sama, Bert. Kamu baik-baik saja?”

“Ya, aku baik-baik saja.”

Sungguh malang nasib Albert yang harus menanggung trauma yang membekas dalam hidupnya. Siapa sangka Albert yang kelihatan begitu sempurna ternyata berkepribadian ganda?

“Mel?” Albert melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.

“Ah maaf, Bert. Ada apa?”

“Kamu ngelamunin apa, Mel?”

“Tidak ada kok, Bert. Apa yang kamu bicarakan, Bert?”

“Begini, Mel.. Aku bingung harus mulai dari mana..” Albert menggaruk wajahnya. Kebiasaannya saat kebingungan.

“Memangnya mau ngomong apa, Bert?”

“Ngg.. Selama ini tidak ada yang pernah peduli padaku. Aku benar-benar terharu kamu hadir dan begitu memperhatikanku, Mel.”

Kurasakan wajahku memanas. Pasti sudah semerah tomat. “Seperti yang pernah kubilang, Bert. Orang sepertimu itu bukannya diacuhkan, melainkan harus disupport.”

“Sungguh terima kasih, Mel. Aku tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikanmu.”

“Aku ikhlas kok, Bert. Tidak usah sungkan begitu.”

“Mel..”

“Ya?”

“Maukah kamu.. Mendampingiku selamanya? Aku butuh seseorang sepertimu, yang menerimaku apa adanya.”

“Hah?”

“Ah.. Maaf, Mel. Jika kamu tidak bersedia juga tidak apa-apa. Aku ini tidak pantas untukmu,” Albert salah mengartikan responku.

“Maaf, Bert. Aku.. Cuma terkejut dengan pernyataanmu.”

“Iya, Mel. Aku serius. Tapi, harusnya aku sadar bahwa aku ini bukanlah orang yang sempurna.”

“Bert, aku bersedia.”

Giliran Albert yang terkejut dengan jawabanku, “Serius, Mel?”

Aku mengangguk yakin, “Aku berjanji akan mendampingimu dan membantumu hingga sembuh.”

Albert memelukku, “Terima kasih, Mel. Terima kasih.”

Mungkin orang lain akan menganggapku gila. Seperti tidak ada pria lain saja! Pasti orang lain akan berkata begitu. Apalagi jika aku mengingat peringatan Bu Grace. Sebaiknya jangan terlibat terlalu dalam dengan si Ken, Nak. Namun, sejauh ini aku merasa Albert bukan orang yang berbahaya. Aku yakin bahwa para tetangga di sini hanyalah salah paham terhadap Albert karena mereka belum mengenal Albert lebih dalam sepertiku.

***

Ke mana nih si Albert? Apa lagi tidur ya?

Aku sudah mengetuk pintu rumahnya berkali-kali, namun tidak ada jawaban dari sang pemilik rumah. Aku putuskan untuk membuka pintunya sendiri. Tidak dikunci.

“Permisi. Bert?”

Hening.

Aku coba berjalan masuk mencarinya. Pintu kamarnya terbuka setengah. Iseng-iseng aku melirik ke dalam. Ah itu dia Albert. Kejutin ah..

“Sudah berhasil. Hanya perlu menunggu waktu yang tepat.”

Samar-samar aku mendengar Albert sedang berbicara.

Albert sedang ngomong sama siapa ya? Aku mencari-cari. Tidak ada siapa pun.

“Melanie?”

“Ah! Albert!”

Albert berdiri dan berjalan ke hadapanku, “Sejak kapan kamu di sini, Mel?”

“Baru saja, Bert. Maaf aku langsung masuk rumahmu. Aku sudah mengetuk pintu berkali-kali namun kamu tidak mendengarnya. Kebetulan pintu tidak dikunci jadi aku masuk sekalian mau kejutin kamu.”

Albert kelihatan pucat.

“Kamu sakit ya, Bert? Kok wajahmu pucat pasi begitu?”

“Ah tidak kok, Mel.”

“Oh iya, Bert. Barusan aku tidak sengaja mendengarmu berbicara. Kamu bicara sama siapa, Bert?” Aku masih berusaha menoleh kiri kanan mencari dengan siapa gerangan Albert berbicara.

“Apa saja yang sudah kamu dengar, Mel?”

Aku menelan ludah. Sepertinya Albert marah.

“A.. Aku.. Cuma mendengar kamu berkata bahwa berhasil. Hanya perlu menunggu waktu yang tepat.”

Albert menghembuskan napas panjang.

“Maafkan aku, Bert. Aku tidak sengaja mendengarnya.”

“Ah sudah lupakan saja, Mel. Bukan hal yang penting.”

Aku mengangguk lalu mengikuti Albert berjalan ke ruang tamu. Albert menghempaskan diri ke sofa.

“Bert, bagaimana kondisimu saat ini? Apa ada kemajuan?”

“Ya begitulah, Mel. Belum benar-benar ada kemajuan yang berarti.”

“Begitu ya..”

“Namun proses penyembuhannya sudah hampir 100% kok, Mel,” kata Albert sambil tersenyum. Entah mengapa aku merasa senyuman Albert kali ini tampaknya aneh. Seakan-akan Albert menyimpan sesuatu dariku.

Aku menggeleng menyingkirkan pikiran burukku. Tidak, ini semua hanya perasaanku saja. Semua baik-baik saja.

“Baguslah, Bert. Aku turut senang.”

“Mel, apakah besok kamu ada waktu luang sebentar?”

“Hmm..” Aku memikirkan jadwal besok. “Ya aku punya banyak waktu luang, Bert.”

“Sip. Besok aku akan membawamu ke suatu tempat.”

“Kita akan ke mana nih, Bert?”

“Oh.. Itu rahasia dong!”

“Wah sekarang main rahasia-rahasiaan nih?”

“Kalau kuberitahu, tidak surprise lagi dong?”

Surprise? Wanita mana yang tidak senang jika diberi surprise? Ternyata Albert tipe pria yang romantis juga. Aku kegirangan dalam hati.

“Baiklah jika begitu,” aku berkata pada Albert.

Albert cuma terdiam menatapku sambil tersenyum. Andai aku memiliki kemampuan untuk membaca pikiran, apa yang sedang dipikirkan Albert saat ini ya? Aku menghabiskan sore hari di rumah Albert sambil bercengkerama dengannya. Aku sungguh tidak sabar menunggu hari esok tiba.

***

Pagi-pagi aku sudah sibuk memilih pakaian yang akan kukenakan nanti sore. Baru pertama kali aku pergi berkencan. Seperti apakah rasanya? Akankah semua berjalan dengan lancar? Aku sungguh tidak sabar menantikannya! Berjam-jam aku berkutat dengan berbagai pakaian yang aku bongkar dari dalam lemariku. Akhirnya aku berhasil memilih pakaian terbaik versiku. Aku harus tampil semaksimal mungkin dan tak ingin merusak momen pertamaku bersama Albert.

Tring.. Tring.. Tring..

Ya ampun! Sudah sore saja!

“Ya halo, Bert. Ah tunggu sebentar ya! Aku segera turun!”

Untung saja aku sudah siap berdandan. Aku segera menyusul Albert yang sudah datang menjemputku.

“Maaf, Bert. Aku sibuk menyiapkan diri sampai lupa waktu,” aku menyengir.

“Tidak apa-apa, Mel..”

Albert memandangku dari atas hingga bawah, “Kamu kelihatan sempurna hari ini, Mel.”

“Ah, Albert. Bisa saja kamu. Terima kasih. Kamu juga kelihatan tampan hari ini,” aku memujinya sambil memalingkan muka. Aku malu jika Albert melihat muka merah meronaku.

Albert tersenyum. “Yuk kita berangkat,” ajaknya sambil mengandeng tanganku dan masuk ke dalam mobilnya.

“Kita mau ke mana nih, Bert?”

“Hmm.. Kita makan dulu gimana, Mel?”

“Boleh, Bert. Kebetulan aku juga lagi lapar. Hehe..”

Albert tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan saking fokusnya menyetir. Dalam perjalanan, aku dan Albert mengobrol banyak hal sambil bercanda. Tak terasa waktu telah berlalu hampir sejam dan kami tiba di suatu tempat.

“Bert.. Kamu…”

Albert tersenyum. “Ya. Cafe yang sudah lama ingin kamu kunjungi, bukan?”

“Albert!” aku langsung memeluk Albert.

Aku sangat terharu ternyata Albert masih mengingat keinginanku yang kupikir tidak penting untuk diingat. Aku segera menarik tangan Albert dan mengajaknya masuk.

Aku sangat terpukau dengan desainnya. Cafe ini memang dirancang khusus dengan tema Hello Kitty, karakterku favoritku.

“Ehem..”

Aku baru tersadar setelah Albert bersuara.

“Wah mentang-mentang terlalu senang karena banyak Hello Kitty di sini, aku ditelantarkan,” Albert pura-pura memasang tampang sedih.

“Ya ampun, Albert! Maafkan aku! Duh aku terlalu heboh sampai melupakanmu! Hahaha!”

Albert ikutan tertawa, “Bercanda kok, Mel. Yuk duduk dulu, kita pesan makanan.”

Ah iya, saking senangnya aku dari tadi hanya berdiri dan berjalan ke sana kemari melihat-lihat isi cafe ini.

Kami segera duduk dan memesan makanan serta minuman. Untuk desain ruangan ini, patut diacungin jempol. Kemudian, untuk makanan dan minuman juga tidak kalah enak dengan di cafe lain. Harganya juga terjangkau. Lain kali aku akan sering-sering ke sini bersama Albert. Hihi..

Aku melirik Albert. Albert sedang merenung sambil memandang makanan di hadapannya.

“Lho Albert, kenapa tidak makan? Apa tidak enak?”

Albert tersadar dari lamunannya, “Ah tidak, Mel. Aku.. Hanya tidak pandai makan makanan beginian.”

“Oh begitu. Kamu pesan makanan lain lagi gih,” aku hendak memanggil pelayan namun Albert mencegahku.

“Ah tidak usah, Mel. Semua menu yang kulihat tadi agak asing bagiku, aku jadi bingung mau memesan makanan apa sehingga aku pesan yang ini,” kata Albert sambil menunjuk sepiring steak di depannya.

“Wah maaf, Bert. Aku tidak tahu bahwa kamu tidak terbiasa makan makanan beginian.”

“Tidak apa-apa, Mel.”

“Atau kita pindah ke tempat makan lain, Bert?”

“Ah tidak usah, Mel. Aku juga masih kenyang kok. Tidak apa-apa. Ayuk dimakan. Nah, ini punyaku buatmu saja ya.”

“Bert, kalau kamu begini terus bisa-bisa aku tidak dikenali lagi saat pulang ke keluargaku nanti.”

“Hah? Memangnya kenapa, Mel?”

“Aku menghabiskan porsi sebanyak ini dan badanku bakal membengkak, Bert!” aku memanyunkan bibir.

“Hahahaha!! Ada-ada saja kamu, Mel. Tidak apa-apa. Lagian kalau kamu gendutan, kan jadinya chubby!” Albert mencubit pipiku.

Kami tertawa sepanjang waktu di cafe.

“Apa kamu sudah kenyang, Mel?”

“Kenyang banget, Bert. Kamu tidak lapar?”

Albert menggeleng.

“Yah.. Macet panjang, Mel.”

“Iya nih, Bert.”

Saat ini kami sudah berada di dalam mobil dan sedang dalam perjalanan ke suatu tempat.

“Bert, sebenarnya kita mau ke mana?”

“Rahasia dong…”

Aku sudah tidak sabar ingin sampai di tempat tujuan. Pasti tempat yang sangat indah. Aku tersenyum memikirkannya.

“Mikir apa senyam senyum sendiri, Mel?”

“Ah tidak ada apa-apa, Bert.”

“Yuk, Mel. Kita sudah sampai nih!”

“Hah? Sudah sampai toh?” keasyikan melamun aku sampai tidak sadar bahwa kami sudah tiba di tempat tujuan. Aku menoleh ke sana kemari, tapi tidak menemukan tempat yang spesial.

“Tapi sebelum kita masuk ke dalam, kamu harus tutup mata dulu ya!”

“Ada apa, Bert?” aku semakin penasaran.

“Sudah, ikuti saja apa yang kubilang,” Albert tersenyum dan menutup mataku dengan kain.

Albert menuntunku berjalan. Jantungku berdebar dengan sangat keras. Sebenarnya Albert membawaku ke mana ya? Seketika Albert menghentikan langkahnya. Aku pun ikut berhenti.

“Sudah sampaikah, Bert?”

“Iya, Mel,” Albert membuka kain penutup mataku.

Aku mengedipkan mataku. Gelap. Di manakah ini?

“Bert, ini di mana ya?”

Tidak ada jawaban. Aku menoleh ke belakangku, Albert menghilang.

“Bert?”

Aku mengedarkan pandanganku mencari keberadaan Albert. Rupanya Albert berdiri di sudut tembok.

“Bert, sedang apa kamu di sana?”

“Mel, sebelumnya aku ingin minta maaf padamu terlebih dahulu.”

“Ada apa, Bert?” aku merasakan keanehan dengan semua ini.

“Mel.. Aku..”

Selamat datang, pasien dan calon korban!

Tiba-tiba terdengar suara entah dari mana.

“Apa maksudnya pasien dan calon korban?” aku bertanya pada Albert. Aku merasakan suaraku yang bergetar.

Albert berjalan ke arahku dan menepuk pundakku. “Mel, kamu ingin aku sembuh kan?”

“Tentu saja, Bert. Tapi, apa maksud semua ini?”

Apa kalian sudah siap?

Suara itu terdengar lagi. Aku mulai merasakan aura kejahatan di sini. Aku harus segera melarikan diri. Seolah-olah dapat membaca pikiranku, Albert langsung mencengkeram kuat lenganku.

“Mel, dengarin penjelasanku terlebih dahulu.”

Aku terdiam sebentar menunggu penjelasan Albert.

“Mel, ini terakhir kalinya aku diwajibkan menyerahkan seorang korban agar penyakitku sembuh total.”

Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang kudengar. “Jadi… Aku adalah korban terakhir?”

Albert mengangguk.

“Bert, tidak kusangka kamu tega padaku setelah apa yang telah kulakukan padamu!”

“Mel..”

“Bert, kamu bisa sembuh tapi tidak dengan cara begini! Apa kamu percaya dengan hal-hal berbau mistis begini?”

Albert terdiam sebentar. “Ya aku percaya, Mel. Demi kesembuhanku, aku akan melakukan apapun.”

“Bert! Sadarlah! Kamu sudah diperdaya!”

Tiba-tiba muncul kilat di hadapanku dan sesuatu menyerangku. Aku terdampar kuat. Tamat sudah riwayatku. Jika memang ini jalan yang tepat, aku harap Albert bisa sembuh total. Aku pikir nyawaku sudah tidak terselamatkan lagi, namun kenyataannya aku masih hidup. Aku bangun dan bangkit berdiri, aku mencari Albert.

“Albert!” aku berlari melihat Albert yang terkapar tak berdaya.

“Melanie.. Ma.. Maafkan.. Aku..”

Aku baru tersadar mengapa aku masih hidup. Rupanya Albert yang menghadang serangan tadi.

“Bert! Jangan tinggalkan aku!” aku menangis.

“Maafkan aku.. Yang sudah.. Uhuk.. Melibatkanmu dalam masalah.. Ini.. Uhuk uhuk.. Kamu benar, Mel.. Aku sudah sadar, bahwa aku telah diperdaya. Uhuk.. Berapa kalipun aku menyerahkan korban, aku tidak akan sembuh. Uhuk uhuk.. Aku terus ditipu bahwa korban yang kuserahkan adalah yang terakhir, namun.. Uhuk.. Seterusnya begitu.. Tidak ada yang terakhir..”

Aku menggeleng. “Bert! Bertahanlah! Aku akan memanggil bantuan!”

“Tidak usah, Mel. Ini sudah waktunya. Aku sudah tidak menderita lagi. Uhuk.. Kamu jaga diri baik-baik ya, Mel. Terima kasih, Melanie.”

Aku menangis sejadi-jadinya.

Tags: tlwc19

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • Diana

    @ikasitirahayu1 iya, Kak. Malah ada yg lebih dari 20an kepribadian lho di dunia nyata. Btw thanks udah baca serta like dan komennya, Kak! :)

  • ikasitirahayu1

    10? Banyak amat ya.
    Tapi, keren sih. Sad ending :(

Similar Tags
Judgement Day
289      184     0     
Short Story
Telepon itu berdering di waktu dan nama yang salah. Jessi tak kuasa, meringkuk ketakutan di sudut kamarnya. Adalah Nino Herdian yang menghubunginya namun Jessi nyaris kehilangan akal sehatnya. "Aku membunuhnya dua tahun yang lalu," Jessi berbisik lirih. "Aku membunuh Nino dua tahun yang lalu!"
Mentari dan Purnama
478      312     1     
Short Story
Mentari adalah gadis yang dikenal ceria di kalangan teman-temannya. Tanpa semua orang ketahui, ia menyimpan rahasia yang teramat besar. Mentari berteman dengan seorang hantu Belanda yang berkeliaran di sekolah! Rahasia Mentari terancam ketika seorang murid baru blasteran Belanda bernama Purnama datang ke sekolah. Apakah kedatangan Purnama ada hubungannya dengen rahasia Mentari?
Story of Rein
294      192     1     
Short Story
#31 in abg (07 Mei 2019) #60 in lifestory (07 Mei 2019) Mengisahkan sosok anak perempuan yang kehilangan arah hidupnya. Setelah ia kehilangan ayah dan hartanya, gadis bernama Reinar Lani ini mengalkulasikan arti namanya dengan hidup yang sedang ia jalani sekarang. Bunda adalah sosok paling berharga baginya. Rein menjadi anak yang pendiam bahkan ia selalu di sebut 'si anak Bisu' karena ia me...
Klub Misteri
304      213     1     
Short Story
Bob, Vino, Mayang, Devina dan Vanda masih membutuhkan tambahan anggota baru agar Klub Misteri mereka disahkan oleh pihak sekolah. Dan seorang cewek misterius yang baru saja pindah ke sekolah mereka, setuju untuk bergabung.
BROWNIES PEMBAWA BENCANA
437      281     3     
Short Story
Sejak pindah, Bela bertemu dan mulai bersahabat dengan tetangga rumahnya, Dika. Di suatu kesempatan, Bela mencoba membuat brownies untuk Dika dan akhirnya juga membuat Dika pergi meninggalkan tanda tanya dengan memberi sebuah surat bersambung untuknya. Akankah, brownies buatan Bela mendatangkan bencana?
Noterratus
376      254     2     
Short Story
Azalea menemukan seluruh warga sekolahnya membeku di acara pesta. Semua orang tidak bergerak di tempatnya, kecuali satu sosok berwarna hitam di tengah-tengah pesta. Azalea menyimpulkan bahwa sosok itu adalah penyebabnya. Sebelum Azalea terlihat oleh sosok itu, dia lebih dulu ditarik oleh temannya. Krissan adalah orang yang sama seperti Azalea. Mereka sama-sama tidak berada pada pesta itu. Berbeka...
The Last Guardian
700      380     2     
Short Story
Cahaya telah lama kehilangan jati dirinya. Ia tinggal jauh dari tanah kelahirannya. Namun janji masa lalu itu perlahan menghampirinya, membuatnya untuk menerima kenyataan bahwa dirinya berbeda. Masa lalu itu datang dengan nyata, senyata dirinya yang bisa berbicara dengan alam. Siapakah Cahaya sebenarnya? Siapa laki-laki yang datang menjemput janjinya itu? Mungkin kisah ini merupakan pertarungan t...
Rumah Arwah
1007      541     5     
Short Story
Sejak pulang dari rumah sakit akibat kecelakaan, aku merasa rumah ini penuh teror. Kecelakaan mobil yang aku alami sepertinya tidak beres dan menyisakan misteri. Apalagi, luka-luka di tubuhku bertambah setiap bangun tidur. Lalu, siapa sosok perempuan mengerikan di kamarku?
Ilusi
474      271     3     
Short Story
Fifi, gadis yang tidak pernah membayangkan akan mengalami kejadian diluar nalar. Dia yang baru saja pindah dari kota harus dihadapi oleh hal-hal aneh, semua teman barunya pun tidak ada yang berani mendekati, bahkan dia bisa melihat apa yang seharusnya tidak terlihat. Hanya Aldi yang mau berteman dengan Fifii, hal aneh makin terlihat saat Aldi meminta tolong padanya. Kejadian yang Fifi alami seak...
Kejutan
420      224     3     
Short Story
Cerita ini didedikasikan untuk lomba tinlit x loka media