Read More >>"> Aldi. Tujuh Belas. Sasha.
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Aldi. Tujuh Belas. Sasha.
MENU
About Us  

“Kau pasti bercanda, Arifa. Mana ada buku kuno yang mampu menghadirkan gadis cantik seusia kita? Itu jelas cuma dongeng saja. Aku tidak percaya hal-hal mistis semacam itu, maaf ya.” Aldi menolak percaya dengan cerita yang disampaikan Arifa seraya menyunggingkan senyum angkuh

“Kalau begitu, kau bisa langsung mencobanya. Jika kau berani, akan kuantar nanti malam ke perpustakaan sekolah. Tepat pukul dua belas malam, buku itu akan bekerja. Bagaimana?” Arifa menantang Aldi dengan memicingkan matanya.

“Ini bukan soal berani atau tidak, Arifa. Jelas-jelas ini hal yang bodoh. Hahaha kau ini.” Aldi menepuk keningnya dengan sedikit mengejek.

“Bilang saja takut. Iya kan Aldi? Kau ini kan penakut. Hahaha…” Timpal Fanya mendukung Arifa.

“Hey! Siapa bilang aku penakut?” Aldi menelan ludah. Jika aku tidak menerima tantangannya, mereka pasti akan mengejekku habis-habisan, apalagi Fanya si tukang kompor, batinnya.

Suasana lengang menyergap mereka selama hampir satu menit. Mata Arifa dan Fanya tertuju tajam pada Aldi yang mulai berkeringat. Mereka tahu Aldi sedang menimbang-nimbang pilihan apa yang harus diputuskannya. Sekarang mereka yang balas menyunggingkan senyum sinis.

“Baiklah jika kalian tetap bersikeras. Aku akan mencobanya malam ini. Tunjukkan di mana buku itu, dan aku akan membuktikannya kalau kalian hanya membual!” Aldi pergi meninggalkan Arifa dan Fanya sambil bersungut-sungut.

Arifa dan Fanya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap Aldi menghilang ditelan keramaian para siswa yang tengah menikmati jam istirahat. Lantas, keduanya saling pandang dan mengangkat bahu. Siapa juga yang bersikeras memaksanya untuk percaya.

“Kau pernah mencobanya memang, Arifa?” Fanya bertanya memastikan.

“Ya, aku pernah mencobanya.” Jawab Arifa santai.

“Lalu, kau bertemu dengan sosok gadis itu?” Fanya bertanya menyelidik.

“Ehm, aku benar-benar bertemu dengan sosok gadis yang sebaya denganku. Konon gadis yang muncul akan menyesuaikan usianya dengan si pemegang buku.” Arifa menjelaskan singkat.

“Lalu, setelah itu apa yang kau lakukan?”

“Entahlah, aku hanya mencobanya sekali. Buku itu sangat membuatku bingung. Sama sekali tidak ada tulisan di dalamnya, tapi…” Arifa menundukkan kepalanya.

Mata Fanya terbelalak melihat mimik wajah Arifa. “Apa jangan-jangan…”

---

Aldi memesan semangkuk bakso di kantin sendirian. Tantangan mistis Arifa masih mengganggu kepalanya. Kini menyesal pun sudah terlambat. Padahal tidak masalah jika mengakui kalau dirinya memang penakut, toh semua teman-temannya pun sudah tahu kalau Aldi adalah seorang penakut. Ya, penakut yang keras kepala dan tidak pernah mau mengalah.

Pikirannya melayang ke mana-mana. Rasa bakso Mas Paiman yang biasanya enak, kini hambar seperti tak diberi micin sama sekali. Pikirannya penuh dengan bayangan bahwa nanti malam dia harus bertemu sesosok setan perempuan seusia dengannya. Mending kalau dia cantik, kalau buruk rupa? Akan sulit bagi Aldi mengatasi ketakutannya sendirian.

“Aldi!” Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Aldi terperanjat kaget. Hampir saja mangkuk baksonya tumpah.

“Ah, Ferdi. Aku kira siapa tadi…” Aldi mengelus dadanya.

“Kamu kenapa Di? Seperti yang baru dikejar setan, haha.” Ferdi menertawakan Aldi dengan gelak, tangannya meraih kursi plastik, lantas duduk di sebelah Aldi.

“Bukan ‘baru’, tapi ‘mau’.” Aldi membanting sendoknya ke dalam mangkuk.

“Lah, kok bisa? Ada-ada saja kau ini,” Ferdi masih tak bisa menahan tawanya, teringat ekspresi wajah Aldi yang sangat lucu tadi.

“Bisa lah, kalau kau berurusan dengan si Anak Mistis di kelas kita itu,”

Ferdi mengangguk mengerti. Sebutan itu memang hanya berlaku untuk Arifa. Seorang Youtuber kanal mistis paling sukses di Indonesia. Dalam setiap videonya, dia selalu bisa mendapatkan rekaman-rekaman mistis asli tanpa editan. Cara apa pun akan ditempuhnya, seperti mencari buku-buku kuno, bertapa di gunung angker, bahkan sampai puasa sebulan penuh tanpa makan sama sekali.

“Jangan bilang kau akan bertemu seorang gadis dari buku kuno perpustakaan…” Wajah Ferdi berkeringat sambil mengatakannya.

“Kau tahu sesuatu tentang buku kuno itu Ferdi?” Aldi menggeser kursi, membuatnya lebih dekat dengan Ferdi.

“Eh, sebenarnya tidak, aku hanya…” Ferdi memalingkan wajahnya, menunduk kebingungan.

“Kau pasti menyembunyikan sesuatu. Ah. Aku tahu, kau pasti ingin membuatku terkejut dengan bertemu sosok gadis itu, iya kan? Atau kau sudah bekerja sama dengan Arifa untuk menyamar menjadi hantu perempuan dan menakut-nakutiku kan? Ayolah, mengaku saja Ferdi. Kau tahu, aku ini ketua klub misteri yang paling hebat.” Aldi tersenyum bangga sambil mengelus hidungnya dengan jempol.

“Ah, i-iya. Hahaha. Kau benar. Tadinya aku ingin menyamar untuk membuatmu ketakutan. Mau bagaimana lagi, aku sudah ketahuan. Sebaiknya kau tidak pergi malam ini, Aldi.” Ferdi tertawa ragu.

“Tidak. Aku akan tetap pergi. Akan kubuktikan pada si Anak Mistis itu, kalau aku bukan penakut.” Aldi berdiri dari kursinya.

“Tapi i-ini…”

“Kau juga akan melihatku saat menerima tantangan itu kan, Ferdi?” Aldi menyela ucapan Ferdi.

“Ah, iya. Semoga berhasil.” Ferdi menghela napas dalam.

---

Angin bertiup kencang. Langit gelap menyelimuti bumi dengan keheningan. Awan mendung mulai bergerak dari arah timur menuju barat. Bukan hanya awan yang terbawa angin, dedaunan yang gugur dan debu halus pun ikut terbang menuju barat. Entah ada apa di sana, semuanya mengikuti arah angin tanpa ada satu pun yang berontak. Mungkin, jika massa tubuh Aldi, Arifa, dan Ferdi yang tengah menatap pintu perpustakaan sama dengan dedaunan pun, mereka akan terbawa arus angin.

Sudah pukul sebelas malam tepat, sejak mereka berkumpul sejam sebelumnya. Bukan sulit memasuki area sekolah dan mengelabui para penjaganya, Arifa sudah terbiasa melakukan hal ini. Jangankan penjaga sekolah, penjagaan ketat museum besar pun pernah dibobolnya demi mendapatkan sebuah video mistis.

“Kamu sudah siap kan Al?” Wajah Arifa terlihat sangat serius dan menyeramkan.

“Aku sudah sangat siap sejak siang tadi.” Jawab Aldi menantang.

Ferdi hanya bisa menelan ludah. Dia khawatir dengan apa yang akan terjadi pada temannya itu. Bukan tanpa alasan, Ferdi juga pernah mencoba hal ini jauh sebelum Arifa menemukan buku kuno itu di perpustakaan sekolah.

“Kau serius akan melanjutkannya?” Ferdi memegang bahu kanan Aldi.

“Hey, ayolah. Ini hanya permainan. Aku cuma perlu membuktikannya pada Arifa kalau semua ini hanyalah bualan. Itu saja!”

“Tidak Aldi. Ini sama sekali bukan bualan. Kau harus percaya padaku. Kalau kau benar-benar tidak siap, lebih baik kau menyerah saja sekarang. Aku tidak akan menertawakanmu sebagai penakut seperti Fanya!” Ferdi terlihat sangat cemas. Namun Aldi sama sekali tidak memedulikannya.

“Bagaimana Aldi? Kau yakin? Aku tidak akan bertanya lagi setelah ini.” Arifa menyela pembicaraan keduanya.

“Tentu saja! Aku tidak akan lari!” Sama sekali tidak ada keraguan dalam mimik wajahnya.

“Baguslah kalau begitu. Kita bisa memulainya lebih cepat,” ucap Arifa sambil memberikan tas kecil berisi perlengkapan yang diperlukan Aldi. “Di dalam tas ini ada semua barang yang mungkin kau perlukan. Tidak ada benda-benda khusus, semuanya hanya kebutuhan normal manusia ketika sendirian dalam gelap.”

“A-apa!? Sendirian? Aku harus berada di dalam perpustakaan sendirian?” Aldi kaget bukan main. Wajahnya kini kuyup dengan keringat dingin.

“Kau kira apa? Kita melakukannya bersama-sama? Kalau begitu sejak tadi aku tidak akan menanyakan kesiapanmu. Bodoh.” Tatap Arifa dingin. “Tenang saja, kami akan tetap mengawasimu dari sistem kamera CCTV sekolah. Aku sudah meretasnya sejak pagi.”

Ferdi menepuk keningnya.

---

Udara dingin malam hari tidak hanya berembus di perpustakaan sekolah. Selimut tebal dengan bahan yang sangat lembut pun tengah membalut tubuh Fanya yang masih terjaga. Obrolannya dengan Arifa tadi siang masih mengganggunya. Dia menyesal telah membuat Aldi menerima tantangan mistis dari Arifa. Yang bahkan Arifa sendiri untuk pertama kali dibuat ketakutan oleh hobinya.

Gadis itu sangat cantik. Tidak ada yang secantik dia di dunia ini, setahuku. Dan kau tahu apa alasan Ferdi sampai saat ini tidak mau pacaran? Dia masih merindukan sosok gadis yang ditemuinya dari buku kuno itu. Sayang, waktu untuk terus bersama di antara mereka terbatas. Hingga pada saatnya tiba, Ferdi dihadapkan pada dua pilihan. Mati untuk masuk ke dalam buku itu dan akan selalu bersama, atau kembali dengan kepedihan atas semua kenangan yang telah tercipta di antara mereka.

Aku sengaja tidak memberitahukan hal ini pada Aldi. Sebab percuma. Semua informasi yang kau ketahui tentang buku itu akan hilang setelah kau membukanya langsung. Banyak perkara magis yang tidak bisa kauhindari dan belum terungkap sampai sekarang. Kalimat-kalimat Arifa ini kembali terngiang, membuatnya khawatir dengan Aldi yang selalu mempertahankan ego agar terlihat berani. Walaupun sebenarnya Fanya sendiri sudah tahu. Dia pun diam-diam pernah mencobanya sendirian.

“Aku takut, Aldi mengalami hal yang sama dengan Ferdi,” ujarnya sambil menerawang ke luar jendela.

---

Arifa mengeluarkan laptop dari tasnya. Semua sistem CCTV dan penyadap yang ada di sekolah kini sudah tersambung. Mereka bisa melihat Aldi dari setiap sisi. Wajahnya yang ketakutan pun tertangkap jelas oleh kamera tambahan yang dipasang Arifa diam-diam. Suara-suara hewan malam menambah suasana seram di dalam perpustakaan, membuat Aldi semakin ketakutan.

“Kau yakin ini akan baik-baik saja, Arifa?” Ferdi masih terlihat cemas.

“Semoga saja.” Arifa kembali fokus dengan laptopnya.

“Apa gadis itu bisa tertangkap kamera? Bukankah hanya si pembuka buku saja yang dapat melihatnya?” Ferdi kembali memastikan.

“Itu benar. Tapi kita bisa melihat kehadirannya melalui software ini.” Arifa menunjukan sebuah software dengan ragam warna memenuhi layar, membentuk benda yang ditangkap kamera. “Kita bisa melihatnya dengan sistem buatanku ini. Software ini dapat mendeteksi hantu berdasarkan energi yang dipancarkan oleh tubuh terlihat maupun tak terlihat. Semakin negatif energi yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa ada hantu di sana.”

“Aku hanya khawatir, Arifa…”

“Iya, aku mengerti apa yang kaurasakan. Mungkin jika aku laki-laki, aku juga akan melakukan hal yang sama denganmu.”

“Berapa kali pun kau membuka ulang buku itu, kau tidak akan mampu menemukan sosok gadis yang sama. Semuanya cantik. Tapi apa gunanya kalau ingatan yang dia bawa berbeda? Bahkan tak satu pun dari mereka ingat siapa aku. Selalu berbeda.” Ferdi meneteskan air mata.

“Sudah berapa kali kau mencobanya?” Arifa menyelidik.

“Dua puluh kali…”

---

Perpustakaan tengah malam benar-benar gelap. Semua cahaya yang berusaha masuk dari luar terhalang dengan rak-rak buku. Semua lampu yang ada di dalam ruangan sengaja dilepas Arifa. Dia tidak ingin Aldi menyalakannya. Arifa terpaksa melakukannya karena dia sendiri masih membutuhkan aliran listrik agar kamera CCTV tetap bekerja.

Lilin di depannya mulai meredup, buku kuno yang harus dibuka Aldi masih tertutup rapat. Nyalinya hilang seketika saat melihat betapa menyeramkannya jilid buku itu. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya. Walaupun dia tahu ada Arifa dan Ferdi yang menjaganya dari jauh, ketakutannya tak dapat dibawa kompromi begitu saja.

Ini benar-benar gila, batinnya mengeluh.

Dengan menarik napas dalam-dalam, dia mulai memberanikan diri, Aldi segera membuka bukunya. Kosong. Halaman pertama tak berisi apa pun. Dia merasa lega karena tak menemukan sesuatu yang membuatnya kaget. Di halaman kedua, Aldi menemukan gambar sebuah garis lurus berwarna hitam. Dahinya mengernyit, sama sekali tak mengerti dengan apa yang ingin disampaikan si pemilik buku ini.

“Hey,” seseorang menepuk pundak Aldi dari belakang.

“Ka-kamu…” Mata Aldi terbelalak melihat sesosok perempuan muda di belakangnya.

---

“Kita harus bergegas ke sana Ferdi. Aku takut kalau dia berbahaya. Tidak kusangka gambarnya bisa ditangkap kamera biasa.” Arifa berdiri dari kursinya.

“Tunggu!” Ferdi mencengkram lengan Arifa dengan kuat, matanya menatap layar monitor.

Aldi sama sekali tidak ketakutan dengan sosok perempuan di belakangnya. Mereka terlihat tertawa bersama sekarang. Hantu itu ramah sekali. Tampilannya benar-benar rapi dengan rambut lurus panjang yang terurai. Poninya amat manis membingkai wajahnya yang cantik. Dari sisi mana pun perempuan itu tidak layak disebut sebagai hantu.

“Aku takut itu hanya tipuannya saja, Ferdi!” Arifa berusaha melepaskan cengkraman tangan Ferdi.

“Tidak, Arifa. Dia akan aman bersama perempuan itu.” Air matanya jatuh tiba-tiba.

Arifa tertegun melihat ekspresi wajah Ferdi yang tengah berusaha menahan tangisannya. “Jangan bilang kalau perempuan itu…”

Ferdi mengangguk, apa yang dipikirkan Arifa sama persis dengan yang dipikirkannya.

“Aku akan segera menghubungi Aldi. Ini harus cepat diselesaikan sekarang juga!” Arifa mengambil ponselnya.

“Tapi, Arifa!” Ferdi berusaha menghalangi Arifa.

“Sudahlah. Aku tahu apa yang kulakukan,” jawab Arifa dengan tegas.

---

Bel masuk berbunyi nyaring seperti biasanya. Semua siswa bergegas masuk kelas. Mereka yang terlambat mau tidak mau harus kembali pulang. Gerbang setinggi tiga meter itu tak mungkin dipanjat dengan mudah, apalagi di atasnya diberi ujung yang runcing. Namun Aldi dan Ferdi berbeda. Mereka memilih memutar, memasuki area sekolah dari belakang, memanjat tembok setinggi dua meter dan masuk ke kelas dengan melewati jendela.

“Kalian ini tidak ada kapok-kapoknya ya, hmm.” Fanya menyambut mereka dengan omelan cerewetnya.

“Bukannya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali? Sepertinya penjaga sekolah tidak tahu dengan kalimat itu,” ucap Aldi menyeringai.

“Aku setuju untuk itu. Tapi untuk memanjat tembok dan jendela aku tidak setuju!” Fanya mencubit lengan Aldi.

Aldi mengaduh kesakitan. Fanya tertawa puas melihatnya.

“Eh iya, semalam kau…”

“Aman! Hahaha, aku bukan penakut. Iya kan, Fer?” Aldi menoleh pada Ferdi.

“E-eh iya. Semalam dia malah tertawa dengan sosok hantu itu. Hahaha,” jawab Ferdi tergagap.

“Hm, begitu ya,” sahut Fanya.

Fanya sendiri mengerti ke mana arah pembicaraan Ferdi. Dia menekuk wajahnya, berusaha tersenyum untuk membuat Aldi tak curiga. Dalam hatinya, ingin sekali dia mengingatkan Aldi akan bahaya buku kuno itu. Tapi percuma, seseorang yang menegur pemegang buku malah akan mati. Kecuali kalau si pemegang buku itu telah benar-benar melepaskannya.

“Aldi,” panggil Arifa dingin. “Kau masih menyimpan buku itu kan?”

“Iya, aku malah merobek halamannya,” jawab Aldi sambil memperlihatkan robekan kertas kuning dari sakunya.

Semuanya terperanjat kaget. Ferdi dan Fanya mengerti, Arifa seakan ingin mengatakan pada mereka berdua, jangan gegabah, Aldi masih menjadi pemegang buku kuno itu.

“Bagus. Jaga baik-baik, atau kau akan menyesal.” Arifa segera duduk di kursinya.

Bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi, semuanya duduk di kursi masing-masing dengan rapi. Ferdi, Fanya, dan Arifa masih menatap Aldi penuh cemas. Hanya Aldi sendiri yang terlihat santai, bahkan lebih ceria dari biasanya.

---

“Kau tidak ikut teman-temanmu ke kantin?” tanya Sasha.

“Tidak. Aku lebih senang menghabiskan waktu bersamamu, hahaha.” Aldi menanggapinya dengan santai.

“Tapi bisa saja mereka sedang mencarimu bukan?”

“Tidak masalah kalau mereka. Aku sudah biasa menghilang tiba-tiba.”

“Sepertiku?” Sasha tersenyum manis, lantas duduk agak bersandar pada bahu Aldi.

“Ya beda lah. Hahaha.”

­­­---

“Ke mana Aldi?” Ferdi melihat sekeliling.

“Bukankah kau sendiri yang duduk semeja dengannya?” Fanya menepuk dahi.

“Biarlah. Kita bisa membicarakan semuanya kalau tidak ada Aldi. Aku tahu, ada yang ingin kau bicarakan bukan, Ferdi?” Arifa menoleh.

Suasana meja kantin lengang. Ferdi masih belum yakin dengan apa yang ingin dikatakannya. Fanya malah mengacungkan tangannya, memanggil Mas Paiman, lantas memesan tiga mangkuk bakso untuk menemani pembicaraan mereka.

“Kau lihat sendiri bukan? Sosok perempuan itulah yang dulu aku temui. Dan dia juga pasti yang pertama kau temui,” ucap Ferdi gugup.

Arifa mengangguk mengiyakan. “Jadi, kau menyimpulkan kalau seseorang pertama kali membuka buku itu akan selalu bertemu dengan perempuan yang sama dan mereka memiliki urutan muncul? Dengan kata lain, jika Aldi memulainya kembali dari awal, dia tidak mungkin akan bertemu dengan sosok yang sama?”

“Kemungkinannya masih ada walau sangat kecil. Aku tidak tahu ada berapa gadis dalam buku itu. Intinya misteri dalam buku itu mirip dengan konsep permainan catur, dan kita adalah bidaknya. Kita hanya bisa terus maju tanpa bisa bergerak mundur. Kecuali kalau kita sampai di pertahanan musuh yang paling dalam, dan berubah setidaknya menjadi benteng agar bisa melangkah mundur dan kembali ke kotak pertahanan sendiri untuk memulai dari awal,” jelas Ferdi sambil menekuk wajahnya.

“Jadi kita hanya perlu membuat Aldi mencobanya lebih dari dua puluh kali untuk bisa bertemu dengan sosok yang sama setelah dia kehilangan Sasha?” Tanya Fanya.

“Iya. Tapi kau tidak menjamin kalau ingatan gadis itu akan sama dengan saat pertama kali dia bertemu Aldi,” kata Arifa menyela, matanya menoleh pada Ferdi.

Ferdi mengangguk pelan.

Mas Paiman datang setelah hampir sepuluh menit, membawa tiga mangkuk bakso dalam nampan oval lengkap beserta saus dan kecapnya, lantas membagikannya pada Ferdi, Arifa, dan Fanya. Ketiganya dengan cepat meraih mangkuk mereka masing-masing. Semua permasalahan ini membuat perut mereka lapar.

---

Hari-hari setelah tantangan mistis Arifa, kehidupan Aldi malah menjadi lebih bahagia. Dia sering menghindar dari teman-temannya. Diam di perpustakaan lebih disukainya daripada makan bakso bersama Ferdi dan yang lain. Semua pengisi kantin bisa heboh jika melihat Sasha, sesosok gadis hantu dengan pakaian serba putih dan kotor di bagian bawah yang ditemuinya semalam.

“Kamu bisa jalan normal seperti manusia gak?” tanya Aldi.

Sasha hanya menggeleng. Dia jarang sekali berbicara. Tapi, sekalinya mood bicara, dia bisa lebih bawel dari siapa pun. Tidak ada satu hal pun yang menakutkan dari penampilan Sasha, kecuali cara jalannya yang melayang.

“Oh iya, aku kira hanya aku saja yang mampu melihatmu. Kenapa orang lain juga bisa melihatmu?” tanya Aldi.

“Tidak juga,” jawab Sasha singkat.

“Maksudmu?”

“Maksudku, mereka bisa melihatku karena semuanya pernah bertemu denganku.” Sasha mulai mood bicara.

“Berarti sebelum aku, mereka…”

“Iya. Semuanya pernah membuka buku kuno. Tapi ingatanku tentang mereka memudar. Bisa saja mereka masih mengingatku sampai saat ini.” Sasha tersenyum simpul.

“Kau tidak keberatan jika aku ajak main bersama mereka?” Aldi menatap mata Sasha yang amat cantik dalam-dalam.

“Boleh. Aku ingin memiliki banyak teman manusia!” Sasha mendadak bersemangat.

---

Hari ke lima belas sejak dibukanya buku kuno. Aldi dan Sasha semakin akrab. Bukan hanya itu, Sasha sekarang berteman dengan para manusia yang dulu pernah mengenalinya. Namun ini bukan perkara bagus bagi Ferdi. Semua kenangan-kenangan indah ketika bersama Sasha bermunculan, membuatnya cemburu pada Aldi. Cuma Arifa dan Fanya yang menyadarinya. Ferdi sendiri tidak mau berterus terang tentang perasaannya. Percuma, Sasha sendiri sudah lupa dengan namanya, apalagi semua kenangan yang pernah dia lalui bersama Ferdi. Suasana ini amat sulit. Untungnya, Aldi yang tidak pernah terlihat peka dengan keadaan di sekitarnya selalu merasa ceria. Dia mengira murungnya Ferdi selama lima belas hari ini hanya karena sakit. Tidak lebih.

“Wah cantiknya! Kamu terlihat seperti manusia biasa Sasha…” Fanya mengelus rambut lurus Sasha dengan poni yang disibak jepit rambut berwarna merah.

Aldi dan Ferdi tak bisa berkata-kata. Kecantikan Sasha semakin bertambah setelah Arifa mendandaninya. Baju yang dipinjamkan Arifa sangat pas dipakai Sasha. Dia bukan lagi hantu sekarang. Apalagi lima belas hari ini Arifa selalu mengajarinya berjalan dengan kaki. Berkomunikasi dengan hantu sudah menjadi keahliannya.

Semuanya sudah siap. Hari minggu yang telah lama ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Situ Patengan yang terletak di ujung Kabupaten Bandung menjadi tujuan mereka bertamasya hari minggu ini. Situ sendiri artinya danau dalam bahasa Sunda kuno. Danau yang terbentuk dengan sendirinya oleh peristiwa alami.

Ada banyak legenda dan mitos yang berkembang di masyarakat tentang Situ Patengan. Legendanya, danau ini terbentuk atas permintaan Dewi Rengganis kepada sang kekasih, Ki Santang untuk membuat sebuah danau lengkap dengan perahunya agar bisa berlayar berdua, menikmati semilir angin sejuk danau yang dipagari perkebunan teh di sekelilingnya. Mereka sempat singgah di sebuah batu yang hingga kini masih ada dan dinamai batu cinta. Namun legenda yang begitu manis malah bertolak belakang dengan mitos yang berkembang saat ini. Warga lebih percaya kalau sepasang kekasih bermain ke danau ini, mereka akan putus.

Aldi dan yang lain pergi menggunakan sepeda motor. Arifa dengan Aldi, Fanya dengan Ferdi. Tentu saja laki-laki yang menyetir. Sasha sendiri, dia terbang mengikuti mereka dengan kecepatan yang sama. Tenang saja, tidak akan ada yang bisa melihat Sasha jika mereka belum pernah membuka buku kuno.

Sepanjang perjalanan, mereka langsung disuguhi indahnya barisan perkebunan teh sejauh mata memandang. Jika dipandang dari kejauhan, sekilas perkebunan ini nampak seperti lapangan sepak bola yang ditata dengan rapi. Sekat jalan para pemetik teh layaknya garis lapangan yang sengaja dibuat untuk memperkuat ilusi optik bahwa yang terlihat itu adalah lapangan sepak bola.

Dua jam berlalu, mereka telah sampai di gerbang masuk danau yang dijaga dua orang lelaki dewasa dengan jaket tebal membalut tubuh mereka. Maklum, udara di daerah ini selalu dingin. Matahari seakan terlalu malu untuk terbit di atas dataran Kecamatan Rancabali, hingga hampir setiap waktu dia bersembunyi dibalik awan yang tebal dan kabut pegunungan.

“Untungnya kita bawa jaket ya,” ujar Fanya sambil membuka helmnya.

“Iya. Kukira tidak akan sedingin ini udaranya,” timpal Aldi yang menggigil kedinginan.

“Sasha, kamu gak bawa jaket?” Aldi menepuk pundak Sasha.

Sasha hanya menggeleng. Dia tidak terlihat menggigil sama sekali. Semuanya lupa kalau dia bukan manusia.

“Walaupun kau bukan manusia, tetaplah terlihat seperti manusia,” Aldi mengalungkan sebuah syal bergaris putih-biru di leher Sasha.

“Tapi, apakah baju yang kaukenakan tidak akan terlihat melayang sendiri?” Fanya memastikan.

“Tenang saja. Semua yang kukenakan akan bersatu dengan tubuhku dan menghilang dari pandangan orang biasa,” jawab Sasha yang mulai mau bicara.

“Baguslah kalau begitu…” Arifa menghela napas dalam.

---

Ada banyak wahana permainan yang bisa dilakukan di danau. Perahu kayuh, sepeda air, perahu dayung, dan rakit yang bisa menampung sepuluh orang untuk menyusuri danau selama satu jam. Aldi dan Sasha memilih wahana perahu kayuh. Perahu kecil ini cukup untuk dinaiki berdua.  Mereka amat ceria sejak pertama sampai di tepi danau. Pemandangan indah Situ Patengan tidak hanya sampai dengan danau dan perkebunan tehnya saja, ada juga hutan di tepi danau sebelah timur yang menambah kesan alami tempat ini.

“Aku membuat diriku terlihat oleh semua orang tadi.” Sasha memulai pembicaraan sambil terus mengayuh perahunya.

“Benarkah? Pantas saja si tukang perahu tidak curiga. Tadinya aku takut kalau dia tidak akan menyewakan perahunya karena sendirian.” Aldi tersenyum kecil.

“Tapi aku hanya mengaktifkannya tadi, sekarang hanya kalian lagi yang bisa melihatku.”

Aldi hanya mengangguk. Pikirannya mulai terganggu dengan misteri buku yang dia temukan semalam. Gambar garis inti yang dia temui di halaman kedua dengan panjang tujuh belas sentimeter selalu berkurang satu sentimeter di halaman selanjutnya. Hingga hari ini, hanya tersisa dua sentimeter lagi. Dia memiliki kesimpulan, kalau semua garis itu mulai menghilang, Sasha pun akan menghilang.

“Hey, apa benar di hari ketujuh belas setelah pertemuan kita kau akan menghilang?”

Sasha terdiam seribu kata. Kepalanya menunduk tanda sebuah kesedihan besar menjadi beban dalam kepalanya. Sasha sendiri sudah lama menyembunyikan semua ini dari Aldi. Aturan buku kuno itu memang sangat rumit. Sasha tidak memiliki wewenang memberi petunjuk sedikit pun kepada pemegangnya. Atau, dia akan hilang saat itu juga.

“Kau menyadari teka-teki itu dari siapa?” Sasha masih menundukkan kepalanya.

“Semuanya juga tahu bukan, aku ketua klub misteri. Teka-teki semacam ini sudah sangat kuno dalam buku panduan kami.” Kakinya berhenti mengayuh, begitu juga dengan Sasha.

Perahu mereka berhenti di tengah danau, di antara lalu-lalang para pengunjung yang  juga sedang berlayar. Sesekali ombak kecil dari perahu lain membuat mereka oleng sedikit. Walau begitu, tak sedikit pun dari keduanya merasa takut. Rasa cemas akan datangnya hari perpisahan lebih menakutkan buat mereka, baik Aldi maupun Sasha.

Ferdi, Arifa, dan Fanya masih tetap mengawasi mereka dari tepi danau. Fanya menangis tersedu-sedu menyadari dekatnya hari perpisahan antara mereka dengan Sasha. Sudah menjadi garis kehidupan, setelah pertemuan, akan lahir perpisahan. Tidak ada yang salah, hanya saja pertemuan yang terlalu sebentar inilah yang menjadi masalah.

“Kau tahu? Sebenarnya hari ini adalah hari terakhirku menemanimu.” Sasha mengangkat kepalanya, menatap mata Aldi dengan senyum yang mengguratkan kesedihannya.

“Apa!? Bukankah setiap pertemuanmu dengan pemegang buku itu adalah tujuh belas hari?” Aldi terbelalak kaget.

“Tidak. Tidak selalu seperti itu. Aku bisa menghilang kapan saja ketika si pemegang buku menyadari misteri di dalamnya. Jika tidak, maka aku akan hilang di hari ketujuh belas.” Kali ini Sasha benar-benar meneteskan air matanya.

Sudah hampir setengah jam mereka mematung mengawasi Aldi dan Sasha dari kejauhan. Arifa tak sedikit pun meloloskan pandangannya dari mereka berdua. Dia terdiam tanpa sepatah kata terucap dari bibirnya. Sedangkan otaknya tak berhenti berpikir sejak tadi. Dia tahu, ada sebuah misteri lain yang belum mereka ketahui.

“Dia akan menghilang hari ini,” ujar Arifa seraya meneteskan air mata tanpa disadarinya.

“Apa? Bukankah setelah tujuh belas hari dia…”

“Tidak. Kaukira kenapa aku bisa melepaskannya walau hanya bertemu sekali? Dan kenapa kau bisa mencobanya dalam dua puluh kali percobaan dengan cepat? Kau tidak akan bisa melepaskan buku kuno itu tanpa tahu misterinya,” sergah Arifa memotong ucapan Ferdi.

“Lalu kenapa kau tidak memberitahukannya padaku!?” sentak Ferdi.

“Aku tidak bisa melakukannya… si pemegang buku itu sendiri yang harus menyadari kebenarannya. Aldi bisa mati kalau ada orang lain selain dia yang tahu lebih dulu akan hal ini. Tapi sepertinya Aldi sudah tahu, jadi dia tidak mati.” Arifa mulai menenangkan dirinya.

Fanya tak bisa berkata-kata melihat kedua temannya yang saling bertentangan. Dia kembali mengawasi Aldi dan Sasha yang tengah larut dalam tangis haru merayakan hari terakhir mereka bersama.

---

“Kau akan pulang dan menungguku kembali membuka buku itu kan, Sasha?” Aldi memegang tangan kanan Sasha.

“Tidak, Aldi. Aku akan hilang bersama lenyapnya buku itu. Kau orang pertama yang telah membuatku bahagia dan menyadari perpisahan ini lebih awal,” terang Sasha dengan berusaha terlihat senyum.

“Lalu, bukankah Arifa juga menyadarinya lebih awal?” Aldi bertanya menyelidik.

“Ya. Tapi dia tidak membuatku bahagia seperti yang telah kau lakukan.”

“Bagaimana dengan Ferdi? Bukankah dia pernah membuatmu bahagia?” Aldi kembali mencari celah.

“Ferdi tidak pernah mengungkapkan cintanya padaku. Dia juga tidak menyadari perpisahan ini sebelum menginjak hari ketujuh belas,” jelas Sasha.

“Kumohon Sasha, jika ada cara untuk membuatku selalu berada di sisimu katakanlah, aku akan melakukannya!” Air matanya semakin deras mengarungi pipi.

Sasha berpikir sejenak. Sebenarnya ada satu cara agar mereka selalu bersama. Kematian Aldi adalah harganya. Tapi Sasha sama sekali tak berniat untuk memberitahukan cara ini padanya. “Tidak ada Aldi. Ini yang terakhir untukmu, dan untukku selamanya.” Sasha tersenyum simpul, namun matanya yang terus mengalirkan air mata tak bisa berbohong kalau dia sedang bersedih. “Sebentar lagi matahari terbenam, aku akan menghilang dari dunia ini. Ikhlaskan aku, Aldi…”

“Mana mungkin, mana mungkin aku bisa mengikhlaskanmu, Sasha!”

Dengan cepat Aldi memeluk tubuh Sasha yang sudah sedari tadi memadat dan mampu dilihat orang biasa. Di waktu-waktu terakhirnya Sasha sengaja melakukan ini agar dapat memeluk Aldi. Padahal energi yang diperlukan sesosok hantu agar terlihat di mata orang biasa sangatlah besar dan melelahkan. Namun tidak begitu jika faktor pemicunya adalah cinta. Dia bisa menahan kelelahannya lebih lama lagi demi cintanya: Aldi.

“Aku mencintaimu, Aldi…”

“Aku juga. Aku sangat mencintaimu, Sasha…”

Perlahan pelukan erat Aldi terasa hampa. Tubuh Sasha yang beberapa menit memadat dan terasa ketika dipeluk, kini hilang. Sasha sudah tidak di sana lagi. Dia menghilang lebih cepat daripada matahari terbenam. Tinggal Aldi sendirian di atas perahu kayuh. Sobekan kertas dari buku kuno itu juga lenyap dari sakunya. Yang tinggal dari Sasha kini hanya kenangan-kenangan indah dalam pikirannya.

Dengan berusaha menenangkan diri, Aldi terus mengayuh perahunya tanpa sedikit pun melihat ke depan. Kepalanya masih menunduk memendam kepedihan. Tanpa sadar, perahunya terus memutar di situ-situ saja karena pengemudinya tidak seimbang. Melihat perahu Aldi yang tidak bisa pulang ke tepi danau, ketiganya berinisiatif menghampiri Aldi menggunakan perahu kayuh. Lantas Ferdi pindah ke perahu Aldi, membantu menyeimbangkan perahunya agar bisa kembali pulang.

“Kau pasti tidak baik-baik saja, aku…”

“Aku baik-baik saja, Ferdi. Ayo kita pulang!” Aldi berpura-pura terlihat riang.

“Mitos danau ini ternyata lebih kuat dibandingkan dengan legendanya,” keluh Aldi sambil tersenyum getir.

Sepertinya Sasha tidak memberi pilihan kematian pada Aldi, batin Ferdi.

---

Bel tanda masuk sudah berbunyi. Pelajaran yang sangat memuakkan akan segera dimulai. Semuanya mengeluh, tidak ada yang menyukai Fisika di kelas ini. Apalagi gurunya yang kuno itu, semakin menambah kebencian mereka pada Fisika.

“Ada anak baru! Perempuan! Pak Latif sedang membawanya kemari!” Salah seorang anak berteriak memecah keheningan kelas.

“Apa dia cantik?”

“Dia pindah ke kelas ini kan?”

Semuanya bertanya pada anak yang tak memiliki informasi cukup itu. Dia kewalahan sendiri menjawab semua pertanyaan yang ditujukan padanya. Namun keriuhan kelas ini tetap tak mampu membuat Aldi terbangun dari lamunannya. Dia masih tenggelam dalam kerinduannya pada Sasha. Wajah cantik yang dibingkai poni manisnya selalu membayangi Aldi setiap waktu. Tak pernah Aldi menemui seorang gadis secantik dia.

Selang sepuluh detik, Pak Latif muncul membawa seorang gadis cantik dengan rambut panjang terurai dan poni tersingkap jepit rambut berwarna merah. Gadis itu mengenakan syal putih-biru di lehernya. Fanya terpana melihatnya. Dia segera menoleh pada Arifa dan Ferdi. Keduanya mengangguk. Gadis itu mirip sekali dengan Sasha. Tak ada segurat pun dari penampilannya yang membuat dia terlihat berbeda dari Sasha. Kecuali cara jalannya yang normal.

“Perkenalkan dirimu,” ucap Pak Latif seraya menoleh pada anak baru itu.

Dia mengangguk, manis sekali. “Perkenalkan, nama saya Sasha Alifia, murid pindahan dari Jakarta.”

“Sasha!” Aldi berdiri dari kursinya, menatap tajam anak baru itu dengan mata yang berkaca-kaca.

“Kenapa, Aldi?” sahut si anak baru sambil tersenyum pada Aldi yang menatapnya tak biasa.

Sasha…

*****

How do you feel about this chapter?

0 0 2 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Jeritan Suara
1390      515     0     
Horror
Menjadikan pendakian sebagai hobi walaupun dia seorang gadis dengan kukuatan fisik yang tidak sebanding dengan teman-temannya yang lain. Tetapi seperti dirinya, teman-temannya tau jika Pai lebih kuat dari apa yang orang lain bisa lihat. Setelah beberapa kali membuat kegaduhan saat pulang mendaki selalu membawa 'oleh-oleh', kali ini bukan hanya itu saja. Lebih besar pengaruhnya saat ia membawa ...
One hour with Nana
318      216     3     
Short Story
Perkelahiannya dengan Mandala sore itu, membuat Egi dalam masalah. Mandala tewas setelahnya dengan tubuh penuh luka tusukan. Semua orang, pasti akan menuduh Egi sebagai pelaku. Tapi tidak bagi seorang Nana. Bagaimana Gadis berwajah pucat itu menangkap pelaku sebenarnya? Bisakah Egi selamat dari semua kejadian ini?
An Angel of Death
315      192     1     
Short Story
Apa kau pernah merasa terjebak dalam mimpi? Aku pernah. Dan jika kau membaca ini, itu artinya kau ikut terjebak bersamaku.
Peneduh dan Penghujan
270      221     1     
Short Story
Bagaimana hujan memotivasi dusta
Creepy Rainy
393      259     1     
Short Story
Ada yang ganjil ketika Arry mengenal Raina di kampus. Fobia hujan dan bayangan berambut panjang. Sosok berwajah seperti Raina selalu menghantui Arry. Apakah lelaki itu jatuh cinta atau arwah mengikutinya?
Desa Idaman
403      216     2     
Short Story
Simon pemuda riang gembira karena dimabuk cinta oleh Ika perempuan misterius teman sekampusnya. Pada suatu waktu simon berani menembaknya, tapi Ika diam tak memberi jawaban, maka dia menantang dirinya melamar Ika dan akan mendatangi rumahnya di desa terpelosok. Mampukah ia?
Mysterious Call
433      277     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Bloody Autumn: Genocide in Thames
8149      1894     54     
Mystery
London, sebuah kota yang indah dan dikagumi banyak orang. Tempat persembunyian para pembunuh yang suci. Pertemuan seorang pemuda asal Korea dengan Pelindung Big Ben seakan takdir yang menyeret keduanya pada pertempuran. Nyawa jutaan pendosa terancam dan tragedi yang mengerikan akan terjadi.
Nawala
425      233     3     
Short Story
Namanya Nawala, ia ditemukan meninggal di tepi sungai dekat gedung utama kampus. Semua orang tidak akan menyangka bahwa hidupnya berakhir begitu tragis, termasuk Walgita. Walgita sangat terpukul akan kematian sahabatnya itu, terlebih lagi orang-orang menyangka bahwa Nawala bunuh diri. Pasalnya, dia tahu betul bahwa sahabatnya ini bukan orang yang memikirkan untuk mengakhiri hidup dengan mudah. Se...
PENGAGUM RAHASIA DARI KAMAR 111
398      288     3     
Short Story
Vayla tiba-tiba mendapat kiriman buket bunga dan cokelat dari seorang pengagum rahasia. Rupanya dia bukan sekedar pengagum rahasia biasa. Sebab dia mampu menuntun Vayla untuk melihat rahasia terbesar hidupnya. Rahasia tentang kisah hidupnya yang berakhir mengenaskan.