Namaku Muhammad Faiz Jaka. Teman sekampusku sering memanggilku dengan nama Jaka. Kami kuliah dizaman ketika rezim Orde Baru berkuasa. Berbagai kerusuhan mulai merajalela diseluruh tanah air, karena kekuasaan yang hampir tidak memiliki batas terus menekan kehidupan rakyat.
Dalam kemelut kekacauan itu, muncul sebuah isu tentang adanya gerakan bernama ARAK, yang merupakan kependekan dari Amuk Rakyat Anti Kampanye. Organisasi ini didirikan untuk melawan pemerintah yang otoriter. Mereka berjuang melalui gerakan bawah tanah.
Musuh besar mereka sekarang adalah Petrus, Penembak Misterius. Wajar saja, keberadaan mereka telah terendus oleh pemerintah. Orang-orang yang ada didalamnya pun menjadi buronan kelas atas. Namun, aku tidak akan membahas itu dahulu. Aku hanya akan membahas kehidupanku saja disini.
Hari ini adalah hari yang selalu aku lalui. Sekitar dua tahun kuliah di UJ (Universitas Jatayu), jabatanku tidaklah seberapa disini. Aku hanya seorang anggota pers di Lembaga Pers Mahasiswa UJ, atau disingkat LPM UJ. Sebagai anggota pers dimasa orde baru, menurutku itu cukup menyakitkan.
Disaat kau mencoba menyuarakan kebenaran, kau akan selalu dibungkam oleh pemerintah. Sedikit saja kau mencoba mengkritik, kau bisa saja dipenjarakan dan karyamu dilarang beredar. Seperti beberapa hari sebelumnya, salah satu seniorku tertangkap karena menulis artikel yang mengkritik pemerintah tentang kebijakan SIT atau Surat Izin Terbitan.
Hari ini, aku pergi bersama Zero, teman sekelasku yang saat itu dia sedang berada di warung.
“Oi, Zero! Bisa bantu aku?” kataku
“Yaelah, kau lagi, kau lagi. Aku lagi makan, nih.” sahutnya acuh sembari memakan bakso pedasnya.
“Tolonglah, Zero. Bantu aku, ya! Ada kasus yang menarik, nih!” seruku
“Kasus apa memangnya?” katanya sambil memancarkan rasa penasaran.
“Ini, aku dapat bocoran dari teman di Pasar Lama, dia itu orang blasteran Indo Jepang. Seingatku, namanya Yuki Akihiko. Dia dapat informasi tentang pembantaian rakyat disana.” kataku menjelaskan.
“Terus? Kenapa bisa begitu? Seram sekali, ya? Sambil menyapu keringat di dahinya.
“Nah, pembantaian itu pasti mencurigakan bukan? Apalagi beritanya tidak pernah muncul di koran. Aku mengajak kau buat lawan hukum dan menegakkan keadilan bagi Bangsa ini!!” Seruku dengan semangat berapi-api.
“Kau penuh semangat juga, ya. Mungkin kali ini kita bisa memberontak!” Jawabnya.
“Baiklah. Ayo kita pergi!” ajakku.
“Baik.” sahutnya.
Aku bersama Zero lalu pergi ketempat yang di ceritakan oleh informanku, daerah Pasar Lama. Melihat dari depannya, nampak pasar ini sudah ditinggalkan sejak 3 tahun lalu. Menurut orang yang tinggal disekitar sana, tempat itu sudah mulai menua karena dimakan usia dan tidak adanya upaya renovasi dari pihak pemerintah.
Tempat ini begitu suram dan sepi. Penuh dengan ruangan gelap dengan barang yang masih berserakan. Sudah dipenuhi debu dan sarang laba-laba yang menempel di atasnya. Bahkan lumutpun sudah mulai tumbuh di beberapa tempat. Bau anyir darah sesaat menusuk hidungku ini.
Mungkin memang ada sesuatu yang janggal di tempat sepi ini. Aku melangkah menyusuri jalan setapak di tempat ini bersama Zero. Dia terlihat agak ketakutan, entahlah. Mungkin itu hanya perasaanku saja. Didepan kami ada persimpangan jalan ke kanan dan ke kiri.
Bau anyir yang menyengat kembali tercium. Bau itu berasal dari arah kanan. Kami pun lalu memilih untuk ke arah kanan membawaku ke pojok dari persimpangan itu, yang mengarah ke kanan.
Perjalanan mengerikan ini bagaikan cerita horror berlapis rezim yang klasikal, dan juga mistis. Mungkin, ini sejalan dengan teori konspirasi yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang terkadang bertindak diluar nalar. Manusia memanglah makhluk yang berakal sehat, namun selalu ada kemungkinan yang tidak terduga dari akal budi manusia itu sendiri.
Kami pun sampai ke sumber bau anyir ini. Ya, disana ada sebuah lubang yang seukuran manusia dewasa. Baunya sangatlah kuat menusuk hidung kami.
“Lihat, ada lubang. Mirip seperti saluran pembuangan.” kataku
“Apakah kita harus memeriksanya? Ayolah, aku tidak mau mati gara-gara bau ini!” Keluh Zero kepadaku.
“Kau kira, investigasi kita akan terhenti disini? Tentu saja tidak, Zero! Untungnya, aku sudah membawa barang lengkap dalam tasku. Ada senter dan topeng gas untuk jaga-jaga.” Kataku sambil bersemangat
“Begini saja. Kau turun kebawah, aku yang berjaga diatas. Bagaimana?” tanya Zero
“Oh, tidak bisa begitu!. Kita sudah datang bersama. Turunnya juga harus bersama!. Nih, aku kasih kau topeng gas juga! Kataku sambil memberikannya pada Zero.
“Ya sudah, aku ikut kau. Jika terjadi yang macam-macam, awas saja kau!” Ancam Zero kepadaku.
“Tenang saja, aku ini ahli beladiri. Aku pasti bisa melindungi kau, Zero.” Jawabku dengan mudahnya.
“Baik, baik, aku percaya.” sahut Zero
Setelah kami berdebat selama beberapa menit, kami memutuskan untuk turun kebawah. Kulihat, dilubang hanya terlihat gelap. Kami berdua segera memasang masker gas dan menyiapkan senter. Disana, ada sebuah tangga yang terlihat hingga ke bawah, memudahkan kami untuk turun nantinya.
Setelah kami siap, Aku pun lebih dulu masuk kelubang itu dan memanjat turun, disusul oleh Zero setelahku. Tidak ada cahaya selain dari senter kami dan cahaya matahari diatas. Sepertinya, lubang ini cukup dalam. Mungkin sekitar 20 meteran hingga ke dasarnya. Aku pun berhasil sampai kedasar bersama Zero tanpa ada halangan yang serius.
“Sssst, Zero! Kita datang kesini untuk investigasi. Jadi, kita harus tetap waspada.” Kataku sambil memelankan suara ku
“Baik, Jak.” jawabnya.
Setelah sampai kedasar tempat ini, tanah yang kami pijak sekarang adalah batuan kerikil. Kami disini melihat sebuah terowongan panjang yang terbuat dari bata merah. Namun, yang membuat kami heran adalah banyaknya bercak darah yang berceceran di bebatuan tersebut. Jejak darah ini mengarah lurus ke depan terowongan.
Aku pun memantapkan hati untuk maju terus kedepan. Sinar matahari tidak mampu mencapai tempat ini. Kami terus melangkahkan kaki menyusuri terowongan berbekal senter yang cahayanya tidaklah seberapa. Tepat diujung lorong, kami melihat lampu yang berkelap-kelip. Lampu itu berganti warna dari hijau ke merah setiap beberapa detik, kemudian berganti lagi hingga seterusnya.
Mungkin, dugaan mengenai sebuah operasi yang cukup mengerikan dibalik tirani penguasa Indonesia di zaman ini memang benar. Entah datang dari mana, tiba-tiba kami mendengar suara samar dan lirih dari kejauhan, seakan-akan suara itu mencoba memanggil kami. Beberapa saat kemudian, suara itu menjadi sebuah jeritan yang menyakitkan telinga. Sesaat kemudian, suasana kembali hening dan sepi.
Kami begitu terkejut karenanya. Namun, kami sudah membulatkan tekad untuk terus melanjutkan perjalanan. Disini begitu lembap dan dingin. Lumut-lumut tebal nampak menempel di dindingnya. Sesekali, tetesan air menetes dari atas terowongan ini.
Tak terasa, kami sampai di ujungnya. Cahaya kelap-kelip itu berasal dari pintu tua ini. Tadinya, pintu ini ingin kami dobrak. Namun, ternyata pintunya tidak terkunci. Aku pun mencoba membukanya perlahan
Kreeettttt......
Pintu itu pun terbuka dengan perlahan. Kami pun melihat sebuah tempat eksperimen. Ada botol-botol infus terlihat diletakkan secara sembarangan. Ranjang-ranjang pasien memenuhi ruangan, tanpa ada satupun pasien diatasnya. Setiap kamar telah diterangi oleh obor disudut ruangannya.
Ketika aku membuka masker gasku, aku masih mencium bau anyir yang cukup pekat. Mungkin, bau ini berasal dari suatu tempat. Aku kembali memasang masker karena tidak kuat menghirup baunya. Kamipun masih melihat bercak-bercak darah berserakan dilantai.
Lalu, kami melihat dua pintu yang saling berseberangan. Sepertinya aku akan mencoba membuka pintu sebelah kiri. Zero akan membuka pintu yang sebelah kanan. Lampu warna-warni yang kelap-kelip menghiasi bagian atas kedua pintu ini
Aku mencoba membuka pintu itu. Ternyata, pintu itu tidak terkunci. Perlahan, sebuah hal yang mengejutkan sekaligus mengerikan muncul di depan mataku. Ruangan ini cukup besar dan luas. Ada sebuah tabung berisi cairan kehijauan yang dilapis kaca tebal. Cairan itu nampak berpendar dalam kegelapan ruangan ini.
Dipojok ruangan, nampak peralatan-peralatan yang sering digunakan dalam dunia kedokteran, seperti pisau bedah, infus, tabung oksigen, gunting bedah, dan beberapa peralatan lainnya.
Mungkin inilah eksperimen yang dimaksud itu. Tertulis kata “ARAK 0001” tepat di bawah tabung itu. Didalam tabung itu, ada sesosok makhluk yang sangat aneh. Kurasa ini jauh lebih mengerikan daripada hantu-hantu yang sering diceritakan di Indonesia.
Makhluk itu memiliki kaki seperti manusia, namun ukurannya jauh lebih besar. Tangannya berbentuk sangat aneh dan tidak sama bentuknya. Tangan kanannya ditumbuhi sisik seperti ular namun terbuat dari logam, sedangkan tangan kirinya hanya berupa kumpulan otot-otot yang tidak memiliki kulit.
Kepalanya sendiri ditumbuhi rambut hitam dan putih. Dari wajahnya, dia mirip sekali dengan manusia, namun dipenuhi dengan bekas-bekas jahitan. Mungkin, dia adalah manusia yang telah bermutasi dan dimodifikasi oleh seseorang.
Di atas meja nampak beberapa kertas dokumen yang berserakan. Aku lalu mencoba mengambil salah satunya. Betapa terkejutnya aku ketika membaca itu. Orang-orang disini ternyata adalah anggota organisasi ARAK! Mereka tidak dibunuh ditempat seperti yang biasa Petrus lakukan, namun diculik dan dibawa ke Bunker ini. Mereka lalu dijadikan sebagai kelinci percobaan ilegal milik pemerintah.
Yang membuatku menjadi marah besar adalah salah satu seniorku tercantum dalam dokumen itu. Seniorku ternyata menjadi salah satu korbannya. Dasar Tirani Bedebah! Hanya karena kami memberontak, rakyat biasa yang justru terkena getahnya.
Aku lalu mengambil dokumen itu sebagai barang bukti. Tentu saja ini akan menjadi berita besar, bukan saja hanya untuk kampus, namun juga untuk seluruh rakyat Indonesia. Bahwa pemerintah telah memperalat rakyat dengan kekuasaan yang mereka miliki. Pemerintah yang katanya menyuarakan penegakan Pancasila, namun justru tidak melaksanakannya pada diri mereka sendiri.
Srak...... Srak...... Srak......
Aku mendengar suara aneh dari dalam tabung itu. Tunggu? Apakah dia baru saja bergerak? Kuperhatikan lagi tabung itu dengan seksama. Tidak ada hal aneh yang terjadi. Harus kuakui, disini terlalu sepi. Aku lalu meneruskan mencari barang bukti lainnya.
Didalam rak meja itu, kutemukan sebuah kotak kecil dari kayu jati tua. Kotak itu diikat dengan tali tambang yang cukup kuat. Aku lalu memutuskan untuk membawa kotak itu, karena menurutku ini akan berguna nantinya.
Sebelum kusimpan, aku mencoba membuka kotak itu. Karena kotak ini diikat dengan simpul mati, maka cara termudah dan tercepat untuk membukanya adalah dengan memotong talinya. Untung saja, aku selalu membawa pisau lipat milikku. Pisau ini adalah pemberian almarhum ayahku. Kata beliau, suatu saat nanti pisau ini akan berguna bagiku.
Segera kupotong tali yang mengikatnya. Tidak butuh waktu lama bagiku, dengan mudah aku berhasil membuka tali itu. Perlahan, aku membuka kotak itu. Isinya ternyata suntikan yang berisi cairan aneh di tiap tabungnya. Entah apa maksudnya. Sepertinya ini juga termasuk hasil penelitian tadi.
Krrrrrkkkkkkk!
Tiba-tiba saja tabung kaca itu pecah. Pecahannya sempat mengenai tubuhku. Cairan didalamnya ikut tumpah dan membanjiri sekitar ruangan. Segera aku keluar dari ruangan itu, karena menurutku bahaya yang besar akan datang.
Aku segera pergi ke ruangan sebelah, tempat dimana Zero berada. Ketika aku membuka pintu itu, aku menemukan hal yang lebih mengejutkan. Aku melihat tabung kaca berisi makhluk yang sama, namun jumlahnya jauh lebih banyak.
Zero nampak memperhatikan layar komputer yang ada disana. Nampak beberapa dokumen milik negara di dalanmnya. Tentu saja, itu adalah file rahasia yang hanya boleh dibaca oleh orang-orang tertentu.
Zero menjelaskan kepadaku bahwa bunker ini adalah percobaan milik pemerintah. Orang-orang yang dinyatakan hilang, sebenarnya diculik oleh pemerintah dan dijadikan bahan percobaan. Mereka ingin mencari serum kekuatan. Serum itu konon mampu memberikan penggunanya kekuatan yang luar biasa. Sayangnya, karena dianggap terlalu berbahaya, akhirnya proyek ini ditutup setahun yang lalu. Namun, sepertinya ada yang tetap melanjutkan proyek ini secara ilegal.
Duaaaaaarrrrrrr!
Tiba-tiba saja semua tabung itu pecah. Cairan didalamnya ikut tumpah. Zero yang berdiri terlalu dekat dengan tabung terkena beberapa pecahan kaca itu. Yang paling parah berada diperut kanannya. Darah mulai mengucur deras dari kausnya.
"ZERO, LARI!"
Dengan tergesa-gesa dan tanpa memperdulikan apapun lagi, kami segera berlari menuju pintu masuk. Namun bahaya yang lebih besar telah menghadang kami. ARAK 0001, dia ternyata hidup! Sialan! Entah bagaimana caranya, makhluk itu tumbuh semakin besar. Zero kini berada disampingku, dengan luka parah dibagian perutnya. Dia menekan luka itu dengan tangannya, sambil meringis menahan rasa sakit.
Tunggu! Aku tadi membawa sesuatu. Sebuah kotak kecil yang berisi suntikan serum yang entah apa gunanya. Aku segera membukanya. Ada beberapa buah suntikan didalamnya. Aku harap salah satunya mampu menyembuhkan luka Zero.
“Zero! Ambil ini!”
Aku lalu melemparkan suntikan itu ke Zero. Dia segera menyambutnya dengan kedua tangan.
“Apa ini, Jak?”
“Sudah, tusukkan saja sekarang!”
Dia segera menusukkan serum itu ke bahunya. Perlahan, cairan berwarna kekuningan didalamnya mulai berkurang. Tubuhnya pun ikut bereaksi. Tangan dan kakinya tiba-tiba gemetar dengan hebat. Kulihat, bola matanya berubah warna menjadi kekuningan.
Tak lama kemudian, kejangnya berhenti. Dia segera bangun dan memasang ancang-ancang seperti hendak melakukan sprint. Kemudian, entah apa yang telah terjadi, dia berlari sangat kencang, melebihi kecepatan lari manusia normal. Aku bahkan tidak bisa melihat gerakannya karena terlalu cepat.
“Disini, monster jelek!”
Tiba-tiba saja dia sekarang berada tepat di belakang monster itu. Monster itu pun lalu memukulkan ekornya ke tubuh Zero. Namun, berkat kecepatan yang dia miliki sekarang, dengan mudahnya dia menghindari serangan itu.
Kembali, dia bergerak cepat menghindari setiap serangan yang datang berikutnya. Nampaknya, Zero berencana untuk membuat monster itu kelelahan. Aku harus segera membantunya!
“Cepat bantu aku, Jak! Waktunya tidak banyak!”
“Baiklah.”
Kulihat dalam kotak itu, tersisa 5 buah serum. Aku segera bertindak cepat dengan mengambil salah satunya yang berwarna merah. Aku tidak tahu kekuatan apa yang akan aku dapatkan nantinya. Namun, semoga ini bisa membantu Zero mengalahkan monster itu.
Aku lalu menusukkan suntikan itu ke bahuku. Perlahan, cairan didalam tabungnya berkurang. Tubuhku juga mengalami reaksi yang sama dengan Zero. Kejang sesaat dengan diiringi mati rasa diseluruh badan.
Tak lama kemudian, reaksi itu pun berhenti. Aku bisa merasakan sebuah energi yang begitu besar mengalir dalam darahku. Ini berbeda dengan aura ataupun tenaga dalam yang kupelajari dalam ilmu beladiri manapun. Seolah-olah, energi itu datang dengan sendirinya tanpa perlu melakukan apapun.
Aku juga ikut mengambil ancang-ancang. Hanya saja ancang-ancangku adalah berjalan mundur, sebelum berlari dengan kecepatan penuh. Setelahnya, aku berlari dengan kencang mengarah ke monster itu.
Tangan kanan kukepalkan kuat-kuat untuk memukulnya tepat di perutnya. Monster itu masih teralihkan oleh Zero. Sasaranku benar-benar tidak terlindungi sekarang.
“Baiklah! Ini saatnya! Hiiyaaahhhh.”
Buuuuukkkkkk!
Berhasil! Pukulanku telak mengenai perutnya. Yang mengejutkan, pukulanku bisa menembus perutnya dengan mudah. Darahnya yang berwarna kehijauan segera membanjiri tanganku. Aku langsung mencabutnya kembali sambil mengibas-ngibaskannya. Nampaknya, aku harus ekstra keras mencucinya nanti.
Monster itu pun ambruk ke tanah dan mati seketika. Cukup menjijikkan saat melihat darah yang disertai dengan belatung keluar dari lukanya yang menganga itu. Pertarungan ini sudah selesai, dengan kemenangan berada di pihak kami.
Zero nampak terkejut dengan kekuatan yang kami miliki sekarang. Dia lalu melangkah mendekatiku. Luka diperutnya ternyata telah sembuh berkat cairan itu. Dia menepuk bahuku.
“Yah, kita berhasil mengalahkannya, Jak. Sekarang, apa yang akan kita lakukan?”
“Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi kurasa, kita butuh istirahat sekarang.”
“Iya, kau benar.”
Nampaknya, kami bukan sekedar manusia biasa lagi.
XXX
Setelah kejadian itu, kami memutuskan untuk menghilang dari kehidupan normal. Zero yang mengusulkannya kepadaku. Katanya, kita butuh waktu untuk menyesuaikan kekuatan itu. Sekarang, aku menginap di rumah Zero.
Sesuatu yang mengherankan bagiku saat datang kerumahnya untuk pertama kali adalah, mengapa dia bisa mendapat rumah mewah berlantai dua. Padahal setahuku, dia adalah imigran dari luar negeri dan kedua orang tuanya sudah tidak ada sejak dia lahir.
Dia lalu bercerita bahwa rumah ini adalah milik seorang pengusaha yang dia tolong dulu ketika dia baru saja datang kesini. Si pengusaha tidak memiliki anak yang bisa mewarisi hartanya dan istrinya baru saja meninggal.
Akhirnya, ketika si pengusaha meninggal dua tahun lalu, seluruh hartanya menjadi milik Zero. Kini dia menggunakan harta itu sebagai modal untuk membuka toko kelontong sederhana di dekat kampus.
Di belakang rumah ini, terdapat sebuah lapangan Bulu Tangkis yang juga dapat difungsikan sebagai lapangan Futsal. Agar aman, untuk bagian belakang ini telah dipasang pagar besi dan kawat yang cukup tinggi. Setiap malam, kami berlatih menggunakan kekuatan kami disini.
Malam ini, kami kembali berlatih dengan menggunakan cara yang berbeda, yaitu permainan lempar tangkap.
“Zero, tangkap!”
Aku lalu melempar bola tenis yang telah kugenggam sejak tadi. Bola tenis dipilih karena lebih mudah untuk dilemparkan dan digenggam meskipun dalam keadaan basah. Ini karena permukaannya yang kasar, membuat gaya gesek dengan udara menjadi lebih kecil.
Wusssshhhh!
Bola itu melesat cepat di udara. Aku mengarahkannya lurus ke titik sasaran yang telah dipasang di pojok atas pagar belakang. Zero akan mencegah bola itu mengenai sasaran dengan kecepatannya.
Sssshhhhh!
Sesaat sebelum bola itu menyentuh target, Zero telah menggenggam kuat bola itu ditangan kanannya. Aku sudah bisa memprediksi hal itu. Biasanya dia bergerak secara acak untuk mengelabui musuh, namun karena targetnya telah ditentukan, secara spontan dia akan bergerak sesuai arah serangan yang menuju target.
“Bagus, sobat. Kau nampak lebih cepat hari ini.”
Aku lalu berjalan ke tengah lapangan. Secepat kilat, dia kini berada di hadapanku sekarang. Dia nampak memainkan bola itu dengan melemparnya dari tangan kanan ke tangan kiri secara berulang-ulang.
“Yah, entahlah. Mungkin karena, kita akan segera mengakhiri masa karantina ini.”
“Jadi menurutmu, sudah saatnya kita kembali ke kehidupan normal, ya?”
“Yah, aku rasa. Kau siap?
“Tentu saja. Kau tahu, setelah hampir sebulan berlalu, aku sangat merindukan Yuki.”
“Kau mencintainya, kan? Apakah kau sudah mengatakan perasaanmu?”
“Sayangnya, belum. Jujur, aku takut jika dia menolakku nantinya.”
“Ayolah, sobat. Kalau dia menolakmu, berarti dia yang rugi. Kau itu pria yang sempurna bagi seluruh wanita.”
“Kau yakin?”
“Ya, aku sangat yakin. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Kita harus istirahat. Aku tidur lebih dulu, ya!”
Dia lalu berlari meninggalkanku dengan menggunakan kekuatannya. Dia memang seperti itu dari dulu. Kami berdua pernah diasramakan bersama ketika awal masuk kuliah. Dulu, setiap mahasiswa baru diwajibkan untuk mengikuti asrama selama 3 bulan.
Sesuatu yang sering dia lakukan adalah selalu berjalan cepat bahkan lari, baik ketika tergesa-gesa maupun sedang santai. Katanya, dia ingin menghindari kebiasaan malas-malasan dengan cara itu.
Aku pun melangkahkan kakiku kembali ke dalam rumah. Suasana tetap dingin disini, meskipun aku sekarang sedang banjir keringat. Sepertinya, aku harus mandi dahulu, baru bisa tidur.
Ketika aku sedang mencuci muka dikamar mandi, lampu di dalamnya tiba-tiba berkedip, seperti ada yang mengganggu. Saat itulah, aku sempat melihat pantulan seseorang di cermin. Namun, ketika aku melihat ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Sosok itu hanya muncul di dalam cermin. Dia sangat mirip dengan Zero. Namun, yang membuatku terkejut adalah sayap hitam yang muncul dari belakang tubuhnya.
Dia berdiri di pojok ruangan, hanya diam dan tidak melakukan apapun. Melihatnya membuatku sangat tidak nyaman. Aku memang mendengar isu bahwa ada sesosok makhluk yang kerap muncul di tengah malam. Makhluk ini tidak mengganggu manusia, hanya saja bagi yang baru melihatnya akan merasa ketakutan. Mungkin, yang dimaksud cerita itu adalah sosok ini.
Aku segera keluar dari kamar mandi itu dan pergi ke lantai atas, tempatku tidur saat ini. Zero tidur di kamar lantai bawah. Seperti rumah mewah pada umumnya, rumah ini memiliki banyak kamar didalamnya. Kamar yang kosong itu digunakan oleh dia untuk meletakkan berbagai penghargaan dan barang-barang miliknya.
Semoga saja, besok harinya cerah, agar aku bisa pulang dan menemui ibuku dan juga Yuki. Mereka berdua pasti sangat khawatir karenanya. Aku memang sempat memberi kabar kepada ibuku sebelum masuk masa karantina ini. Namun, aku gagal mengabari Yuki karena tidak sempat tersambung.
Aku akan pulang besok............
XXX
Keesokan harinya......
Aku kembali mengikuti kuliah di kampus. Banyak yang bertanya, mengapa aku begitu lama menghilang. Aku menjawab dengan sederhana, sedang dalam masa karantina. Sekarang, aku dan Zero akan menggunakan kekuatan yang telah kami dapatkan untuk kebaikan.
Hal pertama yang aku lakukan saat itu adalah kembali ke rumah orang tuaku. Walaupun aku sudah mengatakan bahwa aku dalam masa karantina, ibuku tetap saja mengkhawatirkan aku.
Selanjutnya, aku menghubungi Yuki lewat wartel, mengabarinya bahwa aku baik-baik saja dan akan segera datang kembali. Kami terlibat pembicaraan panjang setelahnya. Aku sempat menceritakan tentang penemuanku di bunker itu. Namun, untuk serum dan kekuatan, aku sengaja tidak menceritakan itu kepadanya. Akhinya, semua hal itu berujung pada ucapanku bahwa aku menyukainya.
Cukup mengejutkan, dia ternyata menerimanya dan mau menjadi pacarku. Setelahnya, aku berterima kasih sebanyak-banyaknya kepadanya. Aku tutup telepon itu dan sujud syukur tanpa memperdulikan apapun lagi. Kami bertemu dan kembali terlibat pembicaraan panjang di kampus.
Suasana agak kurang kondusif disini, karena banyaknya kampanye yang dilakukan oleh partai politik. Mungkin aku belum bercerita kepada kalian. Lokasi kampus kami sekarang berada dekat dengan Kota Banjarmasin.
Namun sejauh ini, tidak ada kasus kejahatan yang terjadi. Tidak ada juga demonstrasi untuk memprotes pemerintah. Sepertinya semuanya masih aman. Walaupun, kekhawatiran akan kerusuhan dan teror terus mengintai, menunggu saat yang tepat untuk beraksi.
Kota ini memang dikenal dengan keadaannya yang cukup kondusif. Jika dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia, bisa dibilang kota ini cukup antusias dengan kampanye yang dilakukan partai, namun tetap mempertahankan suasana yang aman dan tenang.
Sekarang, kami berada di bulan Mei tahun 1997. Sebentar lagi, kami memasuki masa liburan. Aku, Zero dan Yuki berencana pergi ke tempat itu lagi. Siapa tahu, ada hal lain yang bisa kami temukan.
Namun, semua itu hanya tinggal rencana sekarang......
XXX
23 Mei 1997
Tragedi Jum'at Kelabu di Banjarmasin. Sesuatu yang tidak terduga oleh kami semua. Semua berawal dari kampanye Partai Golkar yang membuat jamaah Masjid Noor merasa terganggu. Padahal, Shalat Jum'at masih berlangsung saat itu.
Saat itu aku berada di masjid kampus. Aku baru tahu bahwa kerusuhan meluas setelah massa berhasil mencapai Lapangan Kamboja, tempat diselenggarakannya kampanye akbar Golkar yang akan menutup masa kampanye Pemilu 1997 di Banjarmasin.
Aku beserta para jamaah masjid diperintahkan untuk tetap berada di kampus. Kata mahasiswa lain yang baru saja datang, mereka dipaksa melepaskan atribut Golkar. Jika menolak, maka mereka akan dipukul. Bahkan ada yang diancam menggunakan celurit.
Gawat! Aku takut nyawa ibuku dan temanku terancam. Segera aku menuju ke wartel yang ada di kampus. Yang pertama aku hubungi adalah ibuku.
“Nak, kau dimana? Ibu khawatir, nak.”
“Aku masih di kampus, bu. Maaf bu, mungkin aku akan pulang terlambat. Ibu tunggu di rumah saja, jangan pergi kemana-mana.”
“Baik, nak. Hati-hati, disini masih belum aman, banyak perusuh.”
“Ya, Ibu, aku akan dengarkan. Assalamualaikum, bu.”
“Waalaikum salam, Nak.”
Kututup telepon itu dengan perlahan. Jujur, aku sangat mengkhawatirkan beliau. Rumah kami berada dekat dengan daerah awal kerusuhan. Semoga saja, beliau mau tetap tinggal di rumah untuk saat ini.
Aku lalu mencoba menghubungi Zero. Kutekan tombol telepon itu dengan cepat. Semoga saja aku masih sempat menghubunginya. Menurut perkiraan, massa akan bergerak menuju Kantor DPD Tk. I Golkar. Tentu saja, itu adalah bentuk balas dendam mereka terhadap kampanye tadi.
“Halo, Zero!”
“Ya, Jaka. Tenang saja, aku lagi di rumah. Tadinya, aku ingin keluar mencari makan siang. Tapi, ada kabar terjadi kerusuhan di kota, jadi aku batalkan. Kau sekarang dimana, Jak?”
“Aku masih di kampus. Massa tidak pergi kesini, jadi disini cukup aman.”
“Syukurlah kalau begitu. Aku menyusul kau, ya?”
“Jangan! Masih belum aman. Lebih baik kau pergi ke rumah Yuki. Aku mengkhawatirkannya sekarang.”
“Baiklah. Aku akan segera pergi kesana. Berhati-hatilah!”
“Baik, sobat. Kau juga hati-hati.”
Kembali aku tutup telepon itu. Zero lebih kuat dariku, dia pasti akan baik-baik saja. Aku segera menelpon Yuki setelahnya. Kuharap dia belum pergi kuliah hari ini. Tadi dia berkata bahwa masih ada mata kuliah setelah Shalat Jum’at ini.
Sial! Uang koinku habis. Segera aku mencari temanku yang masih berada di kampus untuk meminjam uang sebentar. Saat itu aku menemukan kabar terbaru lagi. Massa sekarang berada di Jalan Lambung Mangkurat dan Pasar Lima. Pertokoan milik Tionghoa telah dijarah oleh mereka. Setelahnya, mereka bergerak menuju komplek perbelanjaan Swalayan Lima Cahaya.
Gelombang massa juga turut menyebar ke beberapa gereja dan Klenteng untuk dihancurkan dan dijarah. Massa ini sekarang berada di gereja-gereja di Jalan Veteran. Kebanyakan isinya telah dijarah dan dirusak oleh mereka.
Itu artinya sudah sangat dekat sekali dengan rumah Yuki. Kalau aku menunggu disini, tidak akan sempat. Aku harus segera bertindak! Tidak ada cara lain, aku akan menggunakan kekuatanku.
Aku lalu berdiri di tengah jalan kampus yang sepi. Otot dikakiku nampak menggembung. Aku mengambil ancang-ancang untuk meloncat setinggi mungkin. Aku akan melontarkan diriku sendiri seperti sebuah ketapel. Aku menarik nafas dalam. Kekuatanku sekarang terpusat di kedua telapak kaki.
Wusssshhh
Tubuhku terlontar dengan sangat cepat ke udara. Aku bergerak menuju langsung ke rumah Yuki, dengan jalur yang melengkung seperti lengkungan pada pelangi. Kecepatan ini setara dengan 100 km/jam. Memang ini masih berada dibawah kecepatan Zero yang hampir mencapai 300 km/jam.
Kurang dari dua menit kemudian, aku mendarat dengan aman di halaman rumah Yuki. Sebuah hal yang mengejutkan aku temukan disini. Rumah ini telah dilalap api dan hampir musnah dibakar massa, bahkan api juga ikut membakar rumah lainnya. Massa telah menjauh ke arah Plasa Mitra, namun nampaknya penduduk sekitar masih belum berani untuk kembali kesini.
Aku berteriak sekencang-kencangnya, menyesali diriku sendiri yang gagal menyelamatkannya.
“YUKIIII!!!”
Aku terduduk lemas. Sial, sial, sial. Kenapa aku tidak melakukan hal ini sejak tadi? Kenapa aku sebodoh ini? Kepalaku tertelungkup. Air mataku tidak bisa ditahan lagi. Aku menangis. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan sekarang.
“Jaka! Sadar, Jak! Tenangkan dirimu!”
Aku mengangkat kepalaku dan mengusap air mata ynag mengaburkan pandanganku. Aku melihat seseorang telah berdiri dihadapanku. Ternyata dia adalah Zero.
“Zero? Zero! Katakan padaku, dimana Yuki? Dimana dia sekarang?!” tanyaku sambil mengguncang bahunya.
“Maafkan aku, Jak. Dia diculik oleh massa dan aku gagal menghentikannya.”
“Kemana mereka membawanya?”
“Sesuai dengan perkiraanmu sekarang.”
“Plasa Mitra? Kita harus segera kesana!”
Aku hendak mengambil ancang-ancang kembali untuk melompat kesana. Namun, Zero menahanku.
“Biar aku saja yang membawamu. Sayap Hitam!”
Sebuah sayap seperti burung elang muncul dari punggungnya. Sayap itu bisa dibilang 3 kali lipat lebih besar dari sayap elang yang asli. Sayapnya berwarna hitam pekat dengan bulu-bulu yang juga menghitam. Aku pun terkejut karenanya. Jadi, yang kulihat di pantulan cermin itu memang benar. Dialah makhluk yang sering membuat orang-orang ketakutan.
“Jadi, kau ini……”
“Nanti saja kita membahasnya. Kita harus menyelamatkan Yuki terlebih dahulu.”
“Baiklah!”
Aku pun berpegangan pada tangannya. Dengan sekali kibasan sayapnya, dia membawaku terbang tinggi ke atas langit. Ini bahkan jauh lebih cepat dari kekuatan yang dia miliki sebelumnya. Ternyata, masih banyak hal yang dia sembunyikan dariku.
Kami sampai sangat cepat kesana. Beruntung, massa dan pasukan keamanan belum mencapai tempat ini. Kemungkinan besar, massa akan datang ke tempat ini dan menjarah seluruh isinya. Kami mendarat di atas atap Plasa Mitra, agar lebih mudah memantau keadaan sekitar.
Tidak lama kemudian, pasukan keamanan datang dan memblokade Plasa Mitra agar tidak ada yang bisa masuk. Namun, bukanlah hal yang sulit untuk menembus pertahanan itu, jika mereka adalah massa yang jumlahnya mencapai ratusan bahkan ribuan.
Aparat keamanan tidak bisa berbuat banyak setelah blokade berhasil ditembus. Sementara itu, listrik telah dimatikan sejak generator disini diledakkan oleh seseorang, entah siapa dia. Dari sekian banyak massa yang telah berhasil menerobos masuk, aku mencoba mencari Yuki diantara mereka.
Berhasil! Aku menemukan Yuki dibawa oleh seorang pria dewasa dalam keadaan pingsan. Aku segera mengikuti pria itu dengan cepat. Dia ternyata pergi ke lantai II, tempat pertokoan pakaian. Sementara itu, orang-orang terus berlarian, baik untuk menjarah maupun hanya untuk mencari jalan keluar dari sini.
Disana, aku kemballi menemukan hal yang mengejutkan. Ada banyak orang yang pingsan maupun sudah mati disusun saling tindih-menindih. Asap semakin mengepul dari seluruh penjuru arah, membuatku terpaksa untuk tidak menolong mereka saat ini.
Aku tetap mengikuti pria itu. Dia lalu berhenti disalah satu tumpukan manusia. Disana, dia mengikat Yuki dengan sebuah senar ke salah satu benda yang ada disana, yaitu kipas angin. Kurang Ajar! Dia ingin meninggalkan Yuki disini agar dia mati terbakar. Dengan begitu, dia bisa menghilangkan jejak pembunuhannya. Tidak akan aku biarkan!
Aku segera menyergap orang itu dari belakang. Aku menggunakan kekuatan penuh agar dia tidak akan pernah bisa lari lagi. Lalu, amarahku ternyata masih memuncak. Aku segera memukul leher bagian belakangnya, membuat dia pingsan seketika. Bahkan aku rasa aku akan membuat dia mengalami kelumpuhan permanen karenanya.
Aku lalu melepaskan ikatan yang membelenggu Yuki dari kipas angin itu. Setelahnya, aku menggendongnya di punggungku dan kembali mengambil ancang-ancang untuk menembus dinding atap tempat ini. Sangat berbahaya memang, namun aku tidak punya waktu lagi.
Otot-otot dikakiku menggembung, bersiap untuk melakukan lompatan lagi. Kali ini, aku menarik nafas lebih dalam dari biasanya, mengingat bahwa aku juga harus menembus dinding atap tempat ini.
Wuussssshhh!
Batu bata dari bangunan ini lalu berjatuhan dan menimpa tubuhku. Namun, aku terus maju hingga menuju atap. Akhirnya, aku berhasil mencapai atap Plasa Mitra, dimana Zero masih berada disana. Aku kembali berpegangan pada Zero sambil tetap menggendong Yuki. Kami pergi ke tempat yang aman, kampus kami yang untungnya tidak menjadi sasaran dari perusuh itu.
Waktu kami sampai disana, hari sudah menjelang Maghrib. Kota ini nampak menjadi lebih gelap dan mencekam daripada biasanya. Suasana masih belum aman karena perusuh belum membubarkan diri dari Plasa Mitra. Tubuh Yuki lalu kami baringkan di atas tanah.
“Jaka, kau membawa serum itu?”
“Ya, aku selalu membawanya kemanapun aku pergi.”
Aku lalu mengambil serum itu di tas kecil yang selalu kuletakkan dipinggangku. Disanalah aku menyimpan serum itu, beserta dokumen yang kudapat dari bunker. Aku pun menyerahkan kotak serum itu kepadanya.
“Memangnya untuk apa serum itu?
“Untuk Yuki, Jaka. Aku tahu dia sedang sekarat dan kita butuh serum ini untuk membuatnya tetap hidup. Serum yang kau berikan padaku dulu, seharusnya kau berikan sekarang pada dia, karena itu adalah serum regenerasi.”
“Jadi, bagaimana sekarang?”
“Sekarang, kita hanya bisa berharap, dari 4 serum yang tersisa ini, ada satu yang bisa menyembuhkan dia juga.”
Dia lalu menusukkan salah satu serum yang berwarna biru ke bahu Yuki. Semoga saja, ini mampu menyembuhkan Yuki. Tuhan, tolonglah hambamu ini. Jangan biarkan dia meninggalkanku secepat ini.
Cairan didalamnya sudah berkurang setengah. Namun, detak jantung masih tetap lambat. Tubuhnya juga tidak bereaksi terhadap serum itu. Apa yang sebenarnya terjadi?
Deg, deg, deg.
“Huh! Ini berhasil! Detak jantungnya sudah kembali normal!”
“Syukurlah kalau begitu.”
Tubuhnya mengalami kejang, pertanda serum itu telah menyebar ke seluruh peredaran darahnya. Dia lalu membuka matanya perlahan. Bola matanya telah berubah menjadi warna biru terang, seperti mata orang Eropa. Dia nampak agak sedikit pusing saat tersadar.
“Jaka? Zero?”
“Ya, Yuki. Kami ada disini untuk melindungimu. Jangan khawatir lagi, ya?”
Dia lalu bangun dan memelukku begitu erat. Aku juga membalas pelukan itu. Sementara itu, Zero hanya melihat kemesraan kami dengan sedikit tersenyum.
“Baiklah. Tugasku disini sudah selesai. Sudah saatnya aku pergi.”
Aku terkejut mendengar perkataannya. Segera aku menjawab perkataannya itu.
“Tunggu, maksudmu apa? Kau bahkan belum menjelaskan semuanya, Zero!”
Dia terdiam. Membuatku kebingungan atas sikapnya itu. Aku menunggu jawaban darinya. Suasana semakin gelap. Malam telah tiba dan Azan Maghrib sudah terdengar dari masjid kampus. Aku mengambil kembali kotak serum itu. Sekarang, hanya tersisa 3 serum lagi. Kutemukan sesuatu yang baru didalamnya, yaitu sebuah kertas berisi tulisan yang cukup panjang.
“Kau akan tahu semuanya dari itu, Jaka. Selamat tinggal, sobat!”
Dia mengepakkan sayap hitamnya lagi. Dengan sekali kepakan, dia melesat jauh ke udara, menghilang di kegelapan malam. Jika sudah begini, maka aku tidak akan bisa mengejarnya. Kubuka surat itu dan membaca isinya perlahan.
Jaka sahabatku. Jika kau membaca surat ini, berarti aku telah meninggalkanmu karena suatu alasan. Ada banyak rahasia tentang diriku yang belum aku ceritakan padamu sebelumnya. Aku akan menceritakan semuanya disini.
Aku dilahirkan kedunia tanpa pernah mengetahui siapa kedua orang tuaku. Aku lalu diadopsi di panti asuhan dan diberi nama. Zero adalah tanda bahwa aku adalah orang pertama yang diasuh oleh panti itu.
Kemudian, aku menyadari bahwa aku memiliki kekuatan khusus di dalam diriku. Aku punya kepribadian ganda, dan sisi kedua milikku memiliki kekuatan super. Sayap Hitam, itulah julukan orang yang pernah bertemu dengannya.
Aku mencoba mengendalikan kekuatan itu. Dia nampak bertindak diluar kendaliku. Dia membunuh semua orang yang melakukan kejahatan dikota. Walaupun yang dia lakukan itu benar, namun caranya tetap salah.
Aku terus menemui kegagalan saat mencoba mengendalikannya. Oleh karena itu, aku pergi sejauh mungkin dari kota itu, agar tidak ada korban yang berjatuhan lagi. Aku terus mengembara dan akhirnya sampai ke negara ini, Indonesia.
Aku lalu menemukan kau, Jaka. Kaulah satu-satunya sahabatku dari dulu hingga sekarang. Kau tidak pernah memandang seseorang dari penampilannya. Bagimu, yang penting adalah sikapnya pada orang lain. Kau berhasil meyakinkanku untuk kembali mengendalikan Sayap Hitam.
Serum yang kau berikan padaku, itu bukan hanya memberikan regenerasi padaku. Namun, dia juga membantuku untuk mengalahkan sisi keduaku. Sehingga kini, aku bisa mengendalikan kekuatan itu dalam keadaan sadar.
Aku telah berjanji bahwa siapapun yang telah berhasil menyembuhkanku, maka aku akan selalu membantunya hingga kapanpun. Sekarang, janji itu telah terpenuhi. Aku sudah membantumu dengan menolong Yuki.
Kini, aku akan kembali ke tempat asalku. Ada tugas yang harus aku selesaikan disana. Jangan khawatir, kita akan bertemu kembali suatu hari nanti. Aku yakin hari itu akan datang.
Sampai jumpa lagi, saudaraku.......
Aku terdiam sekaligus terharu membaca isi surat itu. Ternyata, Zero telah menganggapku sebagai saudaranya, bukan hanya sekedar teman biasa. Dia pasti kesepian dan sendirian hampir seumur hidupnya. Hanya aku yang bisa dipercaya olehnya saat ini. Tanpa sadar, aku bergumam
“Terima kasih, sobat.”
XXX
Operasi ARAK, selesai.
Banjarmasin, 10 Juni 2019