Desau angin Shubuh menggiringku pergi dari tanah kelahiranku. Mataku masih condong menatap temaram jingga di ufuk timur. Langkah kakiku gontai hendak melangkah pergi semakin menjauh ke dalam bandara.
“Please, just waiting for me”
“Sudah, Kay”
Kutariku koper warna biru langit itu memasuki bnadara lebih dalam. Aku lagi-lagi menoleh entah apa yang hendak kulihat dibelakang. Kepergianku bukan tanpa alasan yang jelas. Melainkan sebuah perjalanan mimpi-mimpiku semasa kecil. Menjadi seorang jurnalis dan fotografer.
Pukul 7 a.m. pesawatku akan segera take off. Kira-kira 15 menit dari waktuku sekarang berdiri diambang pintu pesawat. Aku mengelum senyu dalam memberikan sebuah tanda perpisahan. Detik berjalan begitu cepat membuatku harus segera masuk kedalam pesawat. Sembari merapal doa aku ikuti saja alur cerita kehidupan ini. Aku enggan menjadi air yang terus mengalir sebab pada hakikatnya ia tidak bisa menentu akan pada titik yang seperti apa ia akan berhenti. Aku ingin menjadi angin yang membawa. Membawa sebuah kebaikan dan kebermafaatan dimanapun aku dihembuskan.
Seorang pramugrari membimbingku untuk segra duduk. Senyumnya ebgitu manis batinku. Mungkin umurnya tidak jauh beda dengan diriku. Hanya saja aku yang lebih memilih untuk menetap dan hendak melanjutkan sebuah perajutan sebuah mimpi dengan belajar ke sebuah negeri nun jauh disana. Benua Biru. Eropa. Aku tidak terlalu tertarik dengan kemajuan yang ada dinegara-negra Eropa. Melainkan aku hendak mencari secercah cahaya-cahaya cinta di Benua Biru itu. Cahaya-cahaya cinta Islam.
Sebelum diberikan instruksi untuk mematikkan ponsel kuambil benda kotak berwarna putih dari tas untuk sekedar memastikan tidak ada pesan yang masuk. Sengaja aku tidak memberi tahu banyak orang perihal kepergianku yang cukup mendadak ini.
“Kayla, matikan ponselmu”
“Iya, Mi”
Segera aku simpan ponselku di dalam tas. Kucoba menutup rapat kelopak mata. Mencoba terhubung dengan dunia bawah. Berkai-kali kucoba namun akhirnya nihil saja. Mataku beralih menatap panorama bawah sana yang begitu menakjubkan. Rumah-rumah terlihat laksana bintang-bintang yang berkerling manis dari arah sini. Matahari masih bersinar hangat belum terlalu terik. Sesekali pesawat yang aku tumpangi menerobos diantara gumpalan-gumpalan awan. Hingga terasa sedikit goncangan. Ekor mataku menyelidik semua orang sudah tertidur pulas kecuali diriku dan beberapa pramugari dan pramugara yang berdiri tegak sedari tadi.
Buk..Aku terkejut. Mataku segera beralih mencari sumber suara.
MUHAMMAD
Mataku teralihkan dan menjadi terfokus pada sebuah buku berukuran sedang dengan ketebalan yang bisa dikatakan cukup lumayan bagiku yang tidak terlalu gemar membaca. Saat aku hendak memungut buku itu. Ada sebuah suara yang membuatku mengurungkan niat.
“Afwan, telah membuat anti terkejut”
Sontak aku hanya mengangguk seperti tidak ku kendalikan sendiri. Dia melemparkan senyum kearahku. Sungguh begitu menenangkan. Hingga aku teringat ada panah-panah setan yang diletakkan ketika mataku dan matanya saling bertemu. Pria ramah itu berusaha menjangkau bukunya. Sepertinya tidak bisa.
“Ini,”ujarku kalem
“Syukron katsiro”
Aku hanya manggut-manggut saja. Aku mengerti bagaimana harus menjawab perkataannya itu. Aku tidak terlalu mengerti bahasa Arab. Ada yang berdesir di dalam tubuhku. Seperti otot jantungku menegang. Aliran darah terus terpompa melalui ventrikel sinister hingga keseluruh tubuh membawa pasokan oksigen. Sepertinya aku membutuhkan banyak oksigen menghadapi pria manis dan ramah ini. Aku segera tenggelam memalingkan muka setelah urusanku dan dia selesai. Kupeluk bantal berbentuk love yang ada disampingku. Astaga kurasa diriku sedang tidak waras.
***
Kedatanganku telah disambut oleh sekawanan angin sepoi Benua Biru. Senyum dari sudut bibirku terus merekah membentuk bulan sabit. Kedua adikku yang masih kecil menghambur menuju kawanan burung merpati yang tengah berkumpul menghabiskan makan. Abi dan umi hanya geleng-geleng kepala lemah. Sudah lima belas menit kami menunggu taksi melintas didepan kami. Aku sudah cukup lelah dengan perjalanan yang cukup menghabiskan waktu lama. Kuambil kamera dan kucoba pasang lensanya. Aku mencoba mengambil gambar kedua adik kecilku yang sedang berlarian mengejar burung-burung merpati jinak didekat air mancur.
Sebuah kota yang menakjubkan menurutku. Namun sayang Islam masih menjadi agama minoritas disini. Tidak kudapati banyak masjid berdiri kokoh layaknya di Jakarta –kota kelahiranku. Mungkin gereja-gereja dengan hiasan dinding yang mewah lebih banyak dijumpai oleh ekor mataku. Aku mengambil beberapa foto. Aku ingin segera menulis. Rasanya sudah lebih dari 3 bulan tanganku tidak membuka notebook berwarna merah jambu hadiah abi ketika aku berhasil menjadi juara 1 lomba jurnalistik se-SMA tingakt nasional. Sungguh aku bangga. Meskipun tulisanku masih awut-awutan.
Setelah beberapa menit menunggu. Ada sebuah taksi melintas didepan kami. Dengan ramah sopir taksi itu menyapa kami. Umi menyuruhku untuk mengajak adik-adikku kembali. Ingin rasanya segera membaringkan badan diatas kasur yang empuk. Sudah pegal-pegal semua rasanya badanku. Sopir taksi itu memasukkan barang-barang kami kebagian bagasi. Aku masih ribut membujuk Kley dan Fiy. Kedua adik kembarku yang masih berumur 5 tahun.
“Dear, come on”
Oh astaga. Aku belum bisa membujuk kedua adik kembarku ini. Aku tidak terlalu berbakat menenangkan anak kecil. Aku pandai dalam mengolah kata dan memainkan kamera. Hingga akhirnya aku punya trik jitu untuk membujuk mereka agar mau.
“Kley, Fiy, kakak punya cokelat untuk kalian”
Mata bulat mereka segera fokus kepadaku. Beruntung aku membawa dua batang cokelat itupun pemberian nenek sebelum aku berangkat ke London. Bocah kembar itu segera menghambur kepadaku saat aku mengangkat cokelat tinggi-tinggi. Aku lalu berlari menuju taksi yang berjarak cukup jauh dari koordinatku tadi berdiri. Si kembar juga mengikutiku hingga sampai di taksi. Si kembar segera dimasukkan kedalam taksi. Mereka terus menerus menangis karena cokelat yang telah aku janjikan kepada mereka lupa aku berikan.
“Kayla..,”tegur Umi
Aku menepuk jidatku merasa bodoh. Diumurku yang sudah 19 tahun ini aku merasa masih seperti anak kecil yang manja. Bahkan lebih sering lupa dengan hal-hal dewasa yang harus aku kerjakan. Sungguh malu aku ini.
Diperjalanan menuju ke rumah lama abi di London aku tertidur. Kley dan Fiy juga tertidur disampingku. Kami semua kelelahan. Abi sudah menetap di London kurang lebih 5 tahun setelah lulus S3 dengan kata lain sebelum bertemu dengan umi. Aku merasa tertarik dengan masa lalu abi di Benua Biru ini. Aku juga ingin banyak menggali sesuatu dari kota crowded yang tidak pernah mati 24 jam. Apakah kota ini akan baik-baik saja tanpa kehadiran agama ditengah-tengahnya. Aku juga ingin menuntut ilmu di kota ini. Entah dengan dinamika dan lika-liku seperti apa nantinya.
Badanku digoyang-goyangkan menandakan taksi sudah sampai di depan rumah. Fiy dan Kley digendong umi dan abi. Sopir menurunkan barang-barang kami yang cukup banyak. Abi memberikan beberapa uang mata uang Inggris kepada sopir taksi itu.
“Thanks, Sir”
“You are welcome”
***
Tanganku meraba kaca jendela yang seakan mulai beku. Winter in London. Mataku mennagkap segumpalan putih terus menerus turun hingga membuat jalan tidak lagi terlihat. Satu bulan aku lalui di kota ini. Aku harus menunggu dua bulan lagi untuk benar-benar bisa berkuliah di universitas cita-citaku dimasa lalu. Ibarat mimpi. Oxford University.
“Kay, beliin umi dua batang cokelat di toko depan sana”
“Baik, Umi”
“Be careful, dear”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
Aku akan bertarung dengan hawa dingin kota London. Kedatanganku sudah disapa oleh bulir-bulir salju berwarna putih sedingin inikah negara 4 musim. Kueratkan syal yang membalut leherku. Kukenakan semua perlengkapan musim dingin dengan lengkap namun sayang tubuh tropisku seakan masih saja koyak oleh hawa dingin ini. Aku segera mempercepat langkah. Ada rasa cemas yang menghantui diriku. Semua kehidupan di kota ini seakan mati. Khimarku mulai koyak oleh angin musim dingin yang menusuk. Kebenarkan khimarku yang sedikit miring.
Dalam benakku justru aku berpikiran yang tidak-tidak. Kisah dari sebuah film favoritku semasa liburan panjang Home Alone. Aku hanya terus menerus merapal doa. Hingga terdengar suara dari belakangku. Tanganku semakin menggigil kedinginan. Payung yang kukenakan seakan sudah tidak kuasa menopang bulir-bulir salju yang sudah banyak. Terlebih seperti ada seorang misterius dari arah belakangku.
Nafasku semakin berat. Toko yang biasanya terlihat dengan jarak yang dekat kini seperti menjadi dua kali jarak biasanya. Karena pikiranku yang semakin semrawut aku tidak sadar aku terperosok hingga terjatuh. Payungku tergeletak. Kepalaku sedikit terbentur. Suara kaki mendadak membesar kearahku. Aku semakin kedinginan dan menggigil. Aku hanya bisa berdoa semoga dia bukan penjahat.
“Can I help you?”
“No, I’ll be okay. Thank you”
Aku merasa akan bisa berdiri dengan baik. Tapi sepertinya ada yang salah dengan kakiku. Apa mungkin terkilir. Aku mengerutuki diriku sendiri karena menolak bantuan pria itu. Dia sudah berlalu pergi. Aku menahan sakit sambil memijit-mijit pergelangan kakiku. Tanganku semakin mati rasa terterpa hawa dingin.
“Come on, I’ll help you”
Dia kembali. Dia mengulurkan tangannya yang sudah lengkap dengan sarung tangan yang membelebat telapak tangannya. Aku ingat sebuah hadist Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya. Aku kepayahan harus bagaimana.
“Jangan pegang tanganku. Genggamlah lenganku”
Aku terkaget-kaget mendengar pria itu berbahasa Indonesia dengan fasih. Aku menurutinya. Sembari terus beristighfar.
“Terima kasih”
“Lain kali hati-hati”
“Kamu lupa ya dengan saya?”ujar pria didepanku ini
“MUHAMMAD”
Tiba-tiba kuuapkan kata Muhammad alias pria pemilik buku Muhammad. Aku baru saja mengingatkan. Garis takdir apa yang telah Allah lukiskan hingga aku dapat bertemu dengan dirinya lagi. Kudengar dia sedikit tersenyum. Aku sudah tidak berani mengarahkan pandang kearahnya. Gugup. Detak jantungku seakan abnormal. Ada desiran aneh yang mengaliri seluruh pembuluh darahku.
“Namaku Saka”
“Kayla”
Aku juga ikut memperkenalkan namaku tanpa aku sadari. Semua seakan keluar begitu saja dari mulutku. Selepas perkenalan singkat dia memberikan payungku kepadaku. Dia berucap untuk pergi lebih dahulu karena ada urusan.
“Terima kasih sekali lagi”
“Jangan banyak berterima kasih”ujarnya dari jauh
Hatiku seakan dibawa terbang. Astaga hingga kau lupa aku harus pergi ke toko untuk membeli batangan cokelat. Aku bisa kena marah umi jika terlalu lama. Kakiku masih sedikit sakit. Meskipun sudah lumayan mendingan. Aku harus berhati-hati. Mungkinkah jatuh tergelincir diantara salju lebih baik dibandingkan harus menjatuhkan hati pada seorang Adam. Kurasa ini ujian. Segera kupercepat langkah. Aku tidak ingin membeku jika terlalu lama berada di luar rumah.
Dua puluh batang cokelat sudah aku beli. Sekarang saatnya pulang. Kurasakan nyeri itu terus menjalari seluruh tubuhku. Kubuka knop pintu rumah. Umi sudah menunggu didalam begitupun abi yang sedang menegak kopi hangat.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam. Kay kenapa kamu?”
“Tadi tergelincir, Bi”
“Astaga, ambilkan minyak, Mi”
Aku segera duduk di sofa menanti pijatan dari abi yang akan sangat menyakitkan. Tapi ampuh menyembuhkan. Aku berdoa dan terus berdoa. Bayangan pria tadi masih mengusik pikiranku. Kubiarkan saja hingga biarkan menguap sendiri pergi. Hanya perlu banyak istighfar.