“Tolong jaga Sharita ya, Nak.”
Raden Ajeng Ardiani memandangi foto Kanjeng Ibu yang anggun di ruang keluarga. Pandangannya seketika bersirobok dengan sosok boneka sebesar lengannya yang tegak di meja buffet, persis di bawah foto Ibu dipajang.
Boneka itu adalah boneka dari Rusia yang dimiliki ibunya, Sundari, sejak kecil. Bentuknya menyerupai kacang dan berlapis-lapis seperti bawang. Apabila boneka tersebut dibuka pada belahan tengah tubuhnya, maka di dalamnya akan ditemukan boneka serupa. Begitu terus-menerus hingga boneka terkecil. Nama boneka tersebut Matryoshka, yang dalam Bahasa Rusia berarti wanita.
Ardiani tahu bahwa Ibu menyimpan cincin delima pusaka keluarganya di dalam tubuh matryoshka tersebut. Ibu juga menamainya Sharita, seperti kakak perempuannya yang meninggal sejak kecil. Adriani pun memaklumi pesan terakhir Ibu untuk menjaga Sharita. Satu-satunya yang mengusik pikirannya adalah usikan para abdi dalem dan keluarganya untuk menyertakan boneka tersebut dalam kubur Ibu.
“Tidak Ngayul Dalem, Ibu menyuruh saya menyimpan boneka ini.” tolak Ardiani tegas ketika salah satu abdi dalem kembali menanyakan.
“Maafkan saya Ndoro Putri, itu sudah tradisi. Benda kesayangan akan ikut dengan pemiliknya sampai mati,” bantah Ngayul Dalem pelan. Ia sebenarnya segan melawan junjungan mudanya ini.
Ardiani menggeleng. Keluarga dan para abdi dalemnya pun mengeluh resah. Mereka percaya bahwa setiap keturunan keluarga dijaga oleh ‘panglima-panglima’ tak kasat mata yang berada di dalam benda-benda kesayangan atau pusaka keluarga. Saat sang junjungan pergi ke akhirat, ke sana jugalah para penjaganya harus ikut serta.
“Sudahlah. Benda-benda kesayangan dan pusaka boleh memilih. Kesetiaannya hanya pada pemilik yang asli. Raden Ajeng dan keluarga tidak usah khawatir.”
Ardiani menatap penuh terima kasih pada Ganjar Dalem, abdi dalemnya yang tertua. Ia dihormati oleh seluruh abdi, bahkan anggota keluarga junjungannya, karena konon sakti, dan ahli benda-benda pusaka.
“Lebih baik Ndoro Putri istirahat. Sudah lama kurang tidur ngurus Ibu,” imbuh pria tua itu lagi lembut. Ardiani meringis, bagaimana ia berani tidur sejak kemarin? Bisa-bisa pemakaman Ibu terbengkalai. Ibunya sering bilang, tidur Ardiani seperti mati, tidak akan bangun meski diteriaki berkali-kali sekalipun.
Ardiani bertahan dengan omongan orang-orang di sekitarnya. Para saudaranya bahkan mulai menjauhinya karena menganggapnya “mencuri” penjaga-penjaga Ibu Sundari.
“Ndak tau opo sing mau dijaga. Hartanya ngkali,” cela Bulik Mira judes. Ia tahu sekali perihal cincin delima di dalam boneka tersebut. Ia juga sangat tahu jumlah perhiasan dan emas yang diwariskan Sundari kepada keponakan perempuannya ini.
“Nduk, jangan serakah. Kembalikan ke ibumu toh, biar Ndari bisa tenang di sana,” bujuk saudara lain.
“Maaf Bude. Dini cuma menuruti pesan Ibu,” jawab Ardiani halus. Ia hanya bisa tersenyum sedih menanggapi cibiran keluarganya.
Suatu hari, Sharita menghilang dari tempatnya. Ardiani panik bukan buatan. Ia takut Ibu kecewa karena ia lalai melaksanakan pesan terakhirnya. Malam itu, Adriani pergi tidur dengan perasaan sendu. Seluruh penghuni rumah tak berhasil menemukan boneka tersebut.
Tidur Ardiani terganggu oleh panggilan berulang-ulang suara wanita yang seperti berasal dari belakang rumahnya. Hal itu mestinya aneh, karena tembok kamarnya sangat tebal, dan bagian belakang rumahnya hanya berupa sebidang tanah kosong. Tiga kali ia terbangun, hingga akhirnya terlelap sampai pagi karena letih dan sedih.
Esoknya, Ardiani dikejutkan oleh suara tangisan di ruang tamu. Di sana tampak Darmi, abdi dalem kecilnya, sedang menangis sesenggukan dikelilingi oleh para abdi dalem lain.
“Ada apa toh? Kenapa ini?” tanya Ardiani dengan suara berwibawa.
Terseok, Darmi beringsut memegang ujung baju Ardiani. “Maafkan saya, Ndoro Putri. Saya benar-benar minta ampun. Sayalah yang telah mencuri boneka Kanjeng Ibu Sundari. Saya menyesal,” tangisnya.
Dengan terbata-bata Darmi menjelaskan. Rupanya, salah seorang saudara Ardiani membujuknya untuk mencuri boneka Sharita. Tujuannya adalah mengambil cincin delima pusaka keluarga yang ada di dalamnya. Darmi disuruh menyembunyikan Sharita di belakang rumah sampai peringatan tujuh hari kepergian Ibu. Saat itu, semua keluarga akan berkumpul, dan barulah Sharita akan diambil dari tempat persembunyiannya. Namun, Darmi yang masih kecil tak tahan oleh rasa takut. Ia tak tenang karena mencuri dari orang yang sudah mati.
Ardiani pun menunggu hingga acara peringatan Ibu dilaksanakan. Malam itu juga, Bulik Mira menjerit-jerit histeris dari kamar tamu, membangunkan seluruh keluarga.
“Aku b-belum menemukannya, d-dia tidak ada habisnya…” rintih wanita itu ketakutan. Menurut ceritanya, ia mencari cincin tersebut dengan membuka Sharita lapisan demi lapisan. Namun seiring berjalannya waktu, cincin itu tidak muncul-muncul dan ia tersadar bahwa lapisan boneka Sharita tak kunjung habis. Ia mulai ketakutan dan merasa dihukum.
“Benda-benda kesayangan dan pusaka boleh memilih. Kesetiaannya hanya pada pemilik yang asli.”
“Sudah ngikut Kanjeng Ibu,” jawab Ganjar Dalem lunak saat Ardiani bertanya.
Ardiani sendiri juga tak pernah lagi menemukan cincin delima Ibu. Tetapi, Sharita tetap tegak di bawah foto Ibu. Mungkin Ibu tidak mengajaknya karena ia harus menjaga Ardiani. Siapa lagi yang mampu membangunkan Ardiani dengan sekali panggil?
TAMAT