Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Cukup banyak yang terjadi selepas pertarungan. Singkat ceritanya, Gawain dan sisanya diselamatkan oleh regu cadangan dan segera dibawa kembali menuju Antarie. Saat bangun, Gawain sudah berada di bangsal pengobatan lengkap dengan perban di luka-lukanya. Tidak lama setelahnya, ia bangun dan membuka perban-perban di tubuhnya.

   Luka-luka itu sudah kering; cukup memberi alasan bagi Gawain untuk melepas bebat berbau balsam herbal itu dan membuangnya. Baju petualang yang terkoyak lengkap dengan jubah abu-abu gelap tertambat di dinding. Di sebelah ranjang, terdapat meja kecil tempat kantong, sabuk, dan perlengkapannya terletak. Ia cepat-cepat memeriksa kantong dan semua permata serta surat berharga sebesar seratus ribu koin masih tersimpan dengan aman di saku rahasia, juga memeriksa buku jurnal milik ayahnya yang separuh kuyup.

   Seorang perawat yang menyadari Gawain bangun segera mendatanginya. Gawain lekas mengenakan kembali perban dan berpura-pura duduk. Perawat muda itu memeriksa Gawain mulai dari luka, suhu tubuh, frekuensi denyut nadi. Setelah selesai, perawat itu pergi dan kembali membawa makanan berupa bubur dan beberapa buah-buahan serta segelas susu. Melihat makanan sederhana itu membuat liur Gawain menetes; perutnya amat kosong dan ia keroncongan. Dari perutnya yang keroncongan, ia bertanya-tanya sejak kapan ia terbaring di bangsal perawatan.

   “Empat hari tiga malam,” jawab gadis elf yang menjadi perawatnya itu. “Cukup cepat untuk luka tebas semacam itu. Awalnya, kami mengira tak dapat menyelamatkan nyawa Anda; sempat setidaknya kami kehilangan detak jantung Anda tiga kali. Berkat sihir penyembuh tingkat tinggi, Anda mampu bernapas saat ini.”

   Gawain membalasnya dengan senyuman sebagai tanda terima kasih. Setelah menghabiskan porsi makanan itu, Gawain meraih baju petualang dan jubah abu-abu yang terkoyak itu dan mengenakannya. Barang-barang pribadinya tersimpan rapi di laci meja sebelah ranjang. Sepasang belati, buku jurnal, puluhan pisau lempar, puluhan bom asap, dan satu set kail-senar berjajar rapi menunggu pemiliknya. Gawain menyarungkan belati, menyelipkan jurnal dan pisau lempar di kantong tersembunyi, dan memasukkan bom asap dan kail-senar di kantong lain.

   Sebelah kanan-kiri ranjangnya terdapat petualang-petualang lain yang masih berbaring. Beberapa tersadar, beberapa berbaring menahan sakit. Di antara mereka ada yang disambangi sanak saudara dan kerabat terdekat, yang langsung menyapa Gawain dan mengucap rasa terima kasih dari hati terdalam mereka. Beberapa orang juga menawarkan Gawain untuk makan malam di tempat mereka sebagai tanda terima kasih, namun Gawain menolaknya dengan sopan.

   Tidak ada sanak saudara yang menolongnya ketika pemuda itu terjatuh, ia juga menolak semua nasib baik yang diberi padanya dan berkata bahwa ia tak cukup pantas untuk menerima nasib baik itu. Karena perilakunya ini, Si Pengembara Kesepian menjadi julukan yang amat melekat.

   Saat sampai di meja reservasi, ia membayar biaya pengobatannya namun ditolak dengan sopan oleh petugas. “Anda tak perlu membayar. Guild menanggung semua biaya untuk petualang dalam tugas ini. Lagipula, Anda pahlawannya dalam tugas ini, Pengembara Kesepian.” Senyum pria berusia tiga puluhan itu menghangatkan Gawain, “cepat pemuda, kurasa Guild sedang menunggu kedatanganmu.”

   Gawain menunduk sebagai tanda terima kasih lalu berpaling dari hadapan pria itu. Saat keluar, Gawain tahu bahwa hari masih saja dimulai; ia tahu dari lonceng kuil yang baru saja berdenting juga jam di Palaza Antaries yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Dengan langkah cepat, ia membaur bersama kerumunan dan masuk menuju gedung Guild yang baru saja buka. Karyawan dan karyawati yang mengetahui kedatangan Gawain langsung menyambutnya, juga beberapa petualang yang sedang duduk-duduk di meja Guild.

   Gawain tak berkata; senyumnya cukup mewakilkan kalimat yang ada di hatinya. Namun kerumunan petualang tak menghentikan ucapan mereka, hingga Gawain berkata datar: “maaf, aku harus segera pergi karena punya urusan di kota lain.”

   Kerumunan itu surut dan kembali ke tempat masing-masing. Mereka tahu Gawain adalah tipe petualang yang tak ingin diganggu, apalagi dengan reputasi dan cerita pertarungannya membuat dirinya tak tersentuh oleh siapapun.

   Gawain sendiri harus segera bertolak menuju Hyulida secepat mungkin. Ia sudah menunda-nunda selama tiga bulan lebih—dari musim dingin hingga musim semi. Ia mulai cemas dengan kabar Florence yang tak pernah ia dengar dari petualang manapun. Kabar burung dan angin rumor tak pernah terendus hidungnya sekalipun, seolah-olah dunia sengaja menutup keberadaannya. Ia tak bisa menunda lebih lama lagi dan berencana nekat menembus hutan penuh Tyran demi mencapai Hyulida.

   Selepas pertarungan, sebuah penangkal khusus dirapal di sekitar Antarie untuk melindungi kota ini dari serangan Tyran. Sekarang, Antarie sama seperti Junier, terisolasi dari dunia. Berkat jatuhnya kawasan Hutan Magis Nexie di timur dan Hutan Magis Larista di perbatasan selatan, kawasan ini menjadi tempat antah tak berantah lainnya. Antarie kini sepi, hanya tersisa ratusan orang dari puluhan ribu orang yang mengungsi melalui konvoi besar-besaran dua hari yang lalu, meninggalkan kota yang dulunya makmur dan sebagai simbolik damainya Laitan dan Miriadin.

   Tidak akan ada konvoi hingga satu bulan lagi. Semua yang tertinggal di Antarie hanya petualang pemberani yang setia menjaga Antarie dengan segenap jiwa. Beberapa petualang sempat bertolak menuju kota terdekat kemarin demi mendapati jasad mereka kembali ke Antarie pagi tadi. Gawain tetap berpikir tenang; terburu-buru dalam mengambil keputusan dapat mencabut nyawanya. Sayang, kali ini waktu mengusiknya untuk segera beranjak dari Antarie menuju Hyulida.

   Beberapa petualang yang mendengar rencana kepergian Gawain langsung melarangnya. Urs adalah orang pertama yang melarang keras kepergian Gawain dan membujuknya dengan terang-terangan bahwa Gawain tak mungkin hidup untuk esok bila ia mengangkat kakinya dari Antarie. Gawain terdiam, fakta bahwa lukanya masih belum sembuh semakin mencicutkan nyalinya untuk pergi. Pagi itu, untuk pertama kalinya Si Pengembara Kesepian menyerah dengan tekadnya sendiri.

   Itu wajar, semua orang jika disuruh untuk pergi pasti akan menolak dan bahkan takut-takut untuk berjalan lima kaki dari gerbang Antarie. Sayangnya, pendapat Urs disela oleh petualang lain yang seumuran. “Hyulida...tak kusangka...rupanya kau cari maut...?” ujarnya sambil berdiri dari tempat duduknya.

   Ruang tunggu Guild tampak lenggang begitu petualang muda itu berbicara. Suaranya yang dingin dan tajam juga nada bicara yang aneh itu menggambarkan ciri khasnya yang bengis. Banyak orang tidak mengetahui latar belakangnya, membuat mereka juga takut-takut untuk bicara dengannya. Urs mundur selangkah, namun Gawain cukup berani untuk tetap berdiri di tempatnya.

   “Sudah...sembuh?” ucap petualang muda berjubah putih itu. Mata Gawain berusaha menerobos wajah yang tertutup penutup kepala, namun tak mendapati apapun selain wajah yang tertutup bayangan. Dilihat dari postur tubuh yang cukup kecil, petualang itu sosok yang lincah dan tangkas. “Cukup tangguh... kau... baju pelindung... seperti itu!”

   Gawain mengingat petualang muda itu; ia adalah pemimpin regu pemanah di tugas sebelumnya. “Kalau tak salah namamu....”

   “Lentera...Pembawa Lentera,” ujarnya sembari menyodorkan tangan. Senyum tampak merekah di balik bayangan tudung Si Pembawa Lentera. Gawain membalas senyum itu dengan seringai dan menyodorkan tangan sebagai jawaban.

   “Si Pengembara Kesepian. Begitulah mereka memanggilku.”

   Si Pembawa Lentera mengangguk pelan, tahu betul tabiat pengembara yang tak mau menunjukkan nama asli mereka. “Hyulida...ke sana bersama? Kebetulan...bukan?”

   Gawain mengernyitkan dahinya. Jarang sekali ada orang yang mau bicara dengannya saat ia mengenakan jubah abu-abu ini. Namun ia senang ada orang yang berani bicara dan berani menawarkan hal yang mungkin hanya satu kali seumur hidup meskipun dengan nada bicara yang cukup aneh dan patah-patah. Gawain hanya diam mengangguk menanggapi tawaran Si Pembawa Lentera. Sebagai seseama ketua regu, ia percaya betul dengan Si Pembawa Lentera meskipun tak pernah berbicara sebelumnya.

   Lagipula, Lucas Han’s sudah pergi dari kuil di Antarie karena perintah dari atasannya di Hyulida, membuat Gawain tak dapat berkompromi lagi dengan pendeta lain di kuil. Napas kesal keluar dari dadanya, tak mengira rencananya melenceng jauh dari harapan. Namun seulas senyum bercampur seringai tetap tersampir rapi di wajahnya, ia jauh lebih tenang bila rencana yang ia bangun gagal daripada berjalan terlalu mulus—prinsip kedua dari semua petualang: kemujuran membawa kelengahan dan kelengahan membawa pada kesialan.

   “Kutunggu...gerbang timur...pagi buta,” ujar Si Pembawa Lentera sembari berbalik pergi, meninggalkan bayaran berupa beberapa koin di sebelah gelas yang tadinya berisi tadinya berisi anggur. Gawain tak sempat berkata hingga figur pemanah andal itu hilang di balik pintu masuk Guild.

   Urs yang sedari tadi di belakang punggung Gawain akhirnya memilih muncul dengan wajah yang memucat. Sekejap, tangannya menarik lengan Gawain dan mengajaknya duduk berhadapan di meja terdekat. Gawain menyapu pandangannya di sekitar, mendapati suasana ruuangan itu menjadi runyam. Keraguan dan rasa takut tercium di udara sekitar, membuat Gawain berpikir-pikir apakah keputusannya tadi membawanya ke harta atau malah ke bencana.

   “Apakah dia seburuk itu?” tanya Gawain kepada Urs yang langsung terperanjat ketika ditanya. “Maaf, aku bukan dari daerah sini, jadi aku tak tahu reputasi Si Pembawa Lentera; meskipun sejatinya sempat kucuri dengar kabar saat perjalanan ke sini.” Dari yang Gawain dengar, ada seorang pengembara yang sering mengarungi gelapnya malam dengan membawa lentera kecil berwarna biru di tangannya. Hanya itu yang sempat ia dengar.

   “Kabarnya,” jawab Urs gugup, “dia adalah seorang arwah gentayangan! Temanku pernah melihatnya berjalan tanpa kaki! Matanya memancarkan sinar putih serupa Reaper si penyusul maut!”

   “Kau melebih-lebihkan, Urs.” Jawaban Gawain membuat Urs semakin bergidik ngeri. “Lagipula, kau lihat sendiri bukan? Aku rasa dia hanya seorang petualang yang suka menyendiri sepertiku, kawan.”

   “Anda tak tahu rumor itu?” bisik Urs sembari menundukkan kepalanya dalam-dalam. Gawain ikut menunduk sembari menoleh sesaat, memastikan tidak ada yang mendengar mereka. “Sebelum aku bercerita, Anda tahu Larista di selatan—hutan magis yang tiba-tiba jatuh dalam ke tangan Tyran beberapa bulan lalu?”

   Gawain hanya mengangguk kecil, menunggu jawaban. “Si Pembawa Lentera berasal dari tanah itu.”

   “Bagaimana kau yakin?”

   “Aku dan beberapa petualang lain lah yang melakukan ekspedisi itu sebagai pengintai. Saat sampai di tanah Larista, kami diserang oleh Mantikora. Aku yang memang lincah memilih melarikan diri ketika Mantikora itu mengganas. Dan di saat itulah, secercah sinar datang dari balik semak-semak juga diikuti dengan kilatan-kilatan lain. Kilatan itu cepat hingga mataku tak dapat mengikuti. Sekonyong-konyong Mantikora itu sudah jatuh lumpuh tak berdaya. Itu pertemuan pertamaku dengan Si Pembawa Lentera.

   “Beberapa hari setelahnya, tim ekspedisi lain juga melaporkan hal yang serupa denganku; mereka diserang Tyran dan Si Pembawa Lentera menolong mereka. Komandan Gali meminta kerja sama antara Antarie dengan Si Pembawa Lentera. Si Pembawa Lentera setuju, asalkan orang-orang di Antarie tak diperbolehkan mengusiknya. Namun tentu saja, Komandan Gali tidak langsung percaya dengan Si Pembawa Lentera dan menyuruh beberapa pengintai ahli untuk mengawasi gerak-geriknya juga latar belakang dan kaitannya dengan jatuhnya Larista.” Urs menghela napas putus-putus, ia memberanikan diri untuk melanjutkan ceritanya, “hasilnya, kami tak menemukan rekam jejak apapun yang terkait dengan orang itu. Tidak ada berkas apapun yang terkait dengan kelahirannya, nama asli, keluarga, atau yang lain di bekas desa dan kota di Larista! Seolah-olah ia tidak pernah ada sama sekali!”

   “Mungkin saja dokumen itu hancur, Urs. Kau melebih-lebihkan hal sepele macam itu,” timpal Gawain sembari menepuk-nepuk pundak Urs.

   Urs menatap kembali Gawain dengan mata ikannya, “saat itu, kami memang berpikir sedemikian, Ketua. Tapi, pikiran itu berubah ketika rumor tentang dirinya tersebar. Tidak hanya satu-dua mulut, tapi semua petualang membicarakannya. Rumor itu menguat juga karena tingkah laku dan aura yang ia pancarkan saat ia di Antarie. Tanyalah ibu-ibu di jalanan Antarie; pasti semua dari mereka mengaku bayi mereka menangis ketika Si Pembawa Lentera berjalan di depan rumah mereka, juga anjing-anjing menyalak panik ketika ia berlalu-lalang. Kemampuannya membuat kami hormat padanya, namun tingkah lakunya mengubah hormat kami menjadi ketakutan.”

   Jika Gawain ingat-ingat, Urs berwajah pucat seketikanya kembali mengirim pesan ke regu pemanah. Gawain sedikit ragu, namun ia menggelengkan kepalanya tegas. “Maaf kawan, aku tak akan percaya sebelum kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Terima kasih sudah memberi saran itu kawan. Tapi kutegaskan sekali lagi: aku tak percaya sebelum menyaksikannya sendiri. Lagipula, akan bagus bagi diriku memiliki kawan yang tak suka berbicara dan kuat sepertinya di perjalanan ke Hyulida.”

   Dengan itu, Gawain beranjak bangun dan pergi untuk membeli perlengkapan demi perjalanannya besok. Tangan Urs menahannya, membuat Gawain terhenti sejenak demi mendapati wajah pucat Urs. “Hati-hati, Ketua. Dari yang kudengar, dia memiliki kemampuan untuk menghapus keberadaannya secara sempurna; kemampuan yang bahkan pembunuh terhebat pun belum tentu menguasainya.”

   Gawain menenggak ludahnya sendiri, kali ini ia betul-betul menelan bulat-bulat omongan Urs. Tangan dingin juga sorot mata Urs itu memaksa emosinya untuk percaya. Telapak tangan Gawain mengelus pundak Urs, “tak apa kawan, aku berhati-hati. Sampaikan salamku pada kawan dan keluargamu.” Kali ini, tangan Urs tak kuasa menahan Gawain, membiarkan pengembara itu mengarungi dunianya sekali lagi.

   Siang hingga sore dihabiskan Gawain untuk membeli satu set baju pelindung baru dan beberapa bom serta perangkap guna berburu. Di kota sepi itu, kalimat tersebar cepat seperti unggun yang disiram anggur, kabar bahwa Gawain akan bertolak ke Hyulida dengan Si Pembawa Lentera. Beberapa petualang membujuknya untuk menunggu konvoi satu bulan lagi, juga bercerita rumor yang sama. Sayang, semua ucapan mereka tak mengubah tekad bulat Gawain. Di akhir pertemuan, mereka berdoa demi keselamatan Gawain melintasi bekas Hutan Magis Nixie.

   Malam berlalu lama bagi Gawain. Alih-alih tidur, ia menyibukkan dirinya dengan mengasah kembali belatinya, menghitung-hitung pisau lempar dan perangkap berburu, serta memoles baju pelindung dari kulit agar tampak mengilap. Temaram lampu minyak yang tertambat di dinding cukup memandu tangannya bekerja dengan telaten hingga ia selesai.

   Benda terakhir yang tersisa adalah buku jurnal ayahnya. Buku jurnal itu masih separuh kuyup. Tadi ia lupa menjemurnya, sekarang sudah terlambat untuk menyuruh mentari guna mengeringkannya. Beberapa tinta luntur berkat air hingga tulisan itu tak bisa dibaca, namun Gawain sudah menghafal kata demi kata yang tertaut di lembaran kertas menguning itu. Ia tersenyum, tak menyangka jalan hidupnya lebih berat daripada yang ia kira.

   Hatinya sempat jatuh kedalam dendam, menghitam dalam kubangan dan kebencian. Namun Dewa dan Dewi mengampuninya dan menyuruhnya untuk membayar kebajikan-kebajikan orang-orang yang menolong keluarganya. Rasa syukur terucap dari hatinya yang kelabu itu. Perlahan, dalam perjalanannya bertemu dengan ratus hingga ribuan orang, ia menyadari bahwa takdir tak selalu berbuat kejam padanya, melainkan juga memberi rasa manis berupa harapan dan cinta; meskipun Gawain tahu bahwa hatinya sudah tak mampu menerima hal semacam itu.

   Ingatannya tentang cinta pertamanya pada gadis Half-Elf adalah sebagai contoh perbuatan manis takdir. Pada dasarnya, ia benar-benar lupa semua kejadian sebelum ia bertemu, namun hatinya tak pernah lupa akan kebencian yang ia sumpahkan pada Dewa dan Dewi. Dengan menghabiskan masa-masanya di desa Half-Elf Grende itu, ia menyadari bahwa sehina-hinanya makhluk hidup masih ada segelintir orang yang mau menerima sosok hina itu di ruang hati mereka, juga mengabaikan keburukan masa lalu demi kebaikan di hari esok.

   Kita tidak bisa menyelamatkan semua orang, itulah pelajaran berharga yang Gawain dapat dari kematian ibu dan cinta pertamanya. Dari kematian ibunya, ia setidaknya berhasil menyelamatkan Florence juga dari kematian Sarah si gadis Half-Elf itu, ia membayar ganjaran pada dua orang kenalan lama yang mati-matian membela keluarganya. Kesimpulannya, di balik keselamatan ada kesialan, juga sebaliknya; begitulah cara kerja dunia.

   Nah sekarang, sebuah pertanyaan tersirat di kepalanya: Apakah Junier dan Antarie termasuk subjek yang dikorbankan? Jika iya, untuk apa dan demi kebaikan siapa?

   Hanya Dewa dan Dewi sendirilah yang tahu jawabannya. Gawain menghela nafas memecah keheningan dari lamunannya sendiri. Ia bangkit, meraih lampu minyak di dinding dan menaruhnya di meja. Kerangka berkarat yang telah rapuh dan coklat tampak membentuk miniatur gubuk beratap dengan genangan minyak serta lilin kecil berada tepat di tengah. Salah satu sisi kaca lengkap dengan selot kayu kecil bertindak sebagai pintu antara ruang miniatur dengan dunia luar. Begitu Gawain membuka selot, api di sumbu lilin menari-nari berkat aliran udara lalu mati menyisakan aroma gosong, asap, dan kegelapan.

  Gawain mendesah, di saat ia ingin mengeringkan buku dengan nyala lilin, semilir angin menghalaunya. Saat ia merogoh kantong, ia tak menemukan batu gosok di tempat biasanya; seolah-olah ada kekuatan khusus yang mencegahnya untuk terjaga di malam dan menyuruhnya terlelap.

   Karena tidak ada kegiatan lain, pemuda itu memilih berbaring setelah memasukkan kembali semua peralatan di tempatnya. Pagi esok, ia harus segera berangkat dan sesegera mungkin mencari tempat aman sebelum matahari terbenam. Perkiraan perjalanan dari Antarie ke Hyulida akan memakan waktu setidaknya seminggu lebih. Dengan doa penuh harap, Gawain menutup mata demi jalan yang akan ia arungi.

   Pagi buta, Gawain pergi dari kamarnya melalui jendela yang tersambung ke atap bangunan lain, tak lupa ia merapikan ruangan itu dan meninggalkan bayaran di sebelah lampu minyak. Saat Gawain di atap, rasa dingin menyerang langsung ke tulang-tulangnya. Tubuhnya gemetar, nafasnya mengepul. Angin pagi dan kabut belum naik sepenuhnya. Dari atap, Antarie tampak seperti kota yang tenggelam di genangan kabut ringan.

   Tidak ada orang di jalanan selain penjaga yang lalu-lalang demi mengemban tugasnya. Sayup-sayup suara langkah kaki hilang di balik kabut, juga suara perbincangan beberapa penjaga, meninggalkan Gawain yang masih terdiam di tempat sembari menghangatkan tubuhnya. Lepas beberapa menit, Gawain berlarian dari atap ke atap dengan langkah senyap menuju timur.

   Lima menit berlari dan gerbang timur terlihat remang-remang dari atap. Dengan kelincahan seekor musang, ia turun dari pijakan demi pijakan hingga tanah menopang kakinya sendiri. Sejenak, mata Gawain mengedarkan pandangan. Seseorang mendekat dan dari tingginya Gawain tahu orang yang dimaksud.

   “Aku kira kau masih bermalas-malasan di ranjang rumahmu, Urs.” Gawain bersandar di tembok tempatnya tadi turun dan bersekedap tangan. Ia masih terlalu pagi, namun Urs ternyata bangun lebih pagi dan sengaja menunggunya. “Jadi apa maumu, Urs?”

   Urs duduk di salah satu peti kayu berisi perkakas tua jika dilihat dari label yang tertulis di sana. Dengan menarik nafas, ia menyilangkan kakinya lalu mengeluarkan sebuah benda dari tasnya. Gawain tersenyum ketika mengenali botol tersebut berisi anggur. Hanya satu, namun cukup untuk berbagi dan menghabiskan waktu. “Aku belum pernah minum karena umurku masih muda, ketua. Rencananya, aku ingin menghabiskan botol pertama dengan sahabatku atau keluargaku, sayang semua dari mereka sudah terpanggil.” Senyum Urs merekah di wajahnya yang berkulit krem. Senyum itu manis untuk ukuran pemuda yang dikenal bertabiat serius itu.

   Gawain mengangguk lalu membuka tutup botol itu dengan pisau lipat dan meneguknya. Anggur itu berbau menyengat, berasa asam separuh pahit, juga sedingin embun dan kabut pagi itu, tetapi anggur itu tetap sehangat mentari hati yang tercermin di wajah Urs. “Kenapa Anda terburu-buru?” tanya Urs selagi Gawain meneguk anggur masam itu.

   Gawain tersenyum sembari memberi sisa anggur di botol seraya berkata, “ada seseorang yang menungguku di sana. Mungkin sudah terhitung dua tahun kami tidak bertemu. Aku merindukannya sama juga dia merindukan diriku, kawan. Dan alasan utama aku terburu-buru dikarenakan jadwal yang terus menerus kutunda.”

   Urs tidak meminum anggur itu. Ia hanya menunduk dengan seringai, “bahkan Si Pengembara Kesepian memiliki orang di luar sana yang menunggunya. Aku iri dengan Anda, Ketua. Anda kuat, cepat, karismatik, baik hati, dan yang terpenting Anda mampu berdiri lagi setelah apa yang terjadi dengan keluarga Anda.”

   “Dari mana kau dengar itu?”

   Urs meneguk habis sisa anggur di botol. Pusing di kepalanya memuncak, namun ia mampu menyelesaikan kalimatnya. “Aku kenal seorang pembaca bintang membaca masa lalu Anda. Saat itu, aku menolaknya karena itu privasi Anda, bukan saya. Tapi gadis itu tertarik dengan Anda dan nekat menggunakan kemampuannya untuk mencari latar belakang Anda.” Urs berhenti berkata, mulutnya kering karena anggur buruk itu. Butuh beberapa saat dirinya untuk menelan ludah membasahi tenggorokannya. “Dan kami mengetahui beberapa potong masa lalu Anda...”

   “Sejauh mana kau tahu?” mata Gawain awas-awas dan mulai memicing tajam. Beruntungnya, Urs muda terlalu mabuk untuk menanggapi pandangan itu.

   “Tidak semua, tapi aku paham garis besarnya. Jika aku boleh bilang, Anda dulu punya keluarga lalu dikhianati hingga Anda sendiri yang tersisa. Aku juga tahu Anda kehilangan orang yang Anda cintai di depan mata Anda sendiri—di rengkuhan tangan Anda sendiri...” Urs rubuh dari tempat duduknya lalu jatuh ke tanah. Gawain mengulurkan tangannya, namun Urs menolak dan mencoba bangun dengan kakinya, “yang kuiri dari Anda, Anda mampu berdiri dan bersinar... Anda tak bergantung pada orang lain. Sementara Aku? Aku tidak bernasib seburuk Anda tapi aku menyia-nyiakan masa hidupku dengan mencuri dan berlari. Tak ada keluarga di gubukku; aku tidak punya tempat untuk dipanggil ‘rumah’ juga tak punya tujuan dan arah yang jelas...”

   Gawain termenung. Jika ia pikir-pikir, selama ini ia merasa tak melakukan hal yang spesial. Namun di mata orang lain perbuatannya itu amatlah berharga hingga terukir di hati mereka. Bagaimana ia bisa lupa? Sudah puluhan dan mungkin ratusan petualang yang pernah ia tolong. Meskipun hanya dengan sesuap sup daging atau seteguk anggur, perbuatan sesederhana itu dapat menolong nyawa. Semua perbuatan itu hanya ia lakukan sebagai tebusan dosa kepada orang-orang yang tak bisa selamatkan dulunya juga mengobati hati yang penuh dengan kebencian dan dendam.

   “Kau tak punya tempat untuk kembali dan tujuan untuk pergi, Urs?” Urs mengangguk menanggapi pertanyaan itu. Gawain berdiri lalu mengangkat kerah baju Urs dan menampar pipi Urs keras-keras. “Sadarlah! Urs yang kukenal bukanlah seorang pemurung! Urs yang kukenal adalah seorang pemuda periang dan humoris! Jangan bilang seolah-olah langit akan runtuh!” Gawain membanting tubuh pemuda itu ke peti tempat mereka duduk semula. “Kutanya satu hal kawan, ke mana angin berhembus?”

   Tamparan Gawain menyadarkan Urs dari mabuknya. Rona di wajahnya akibat anggur memudar juga kepalanya menjadi lebih berisi daripada tadi. Urs pemuda yang cerdik, ada maksud terselip di pertanyaan sederhana itu. Maka dengan keyakinan hati yang terpancar di mata oranye yang berbinar, ia menjawab, “tidak tahu, ketua! Aku tidak sebijak Anda sehingga tak tahu segorespun jawaban yang Anda maksudkan!”

   Kabut mulai menguap. Aroma embun juga memudar. Semburat merah telah terlihat di ujung timur, menyinari sebuah sosok yang baru saja datang di gerbang timur. Itu Si Pembawa Lentera. Gawain yang tahu akhirnya melonggarkan cengkraman di kerah Urs, membiarkan pemuda itu melorot hingga terduduk di tanah. “Kau tak tahu jawabannya? Lihatlah ke timur kawan!”

   Begitu Urs menengok, sinar mentari terpantul di matanya yang membuncah. Ia menengok ke Gawain dan mendapati raut wajah yang terang, seterang mentari dari timur.

   “Ke arah hari esok yang lebih cerah, kawan. Aku adalah petualang. Aku mengisi harapan dan mimpiku di malam hari demi mengais kejayaan di esoknya. Jika aku lelah, aku akan beristirahat dan mengisi mimpiku lagi hingga terbangun dan mengais kejayaan lagi. Aku adalah pengembara. Aku tidak punya tempat yang kau sebut rumah atau tempat untuk kembali, tapi ketahuilah suatu hal, kawan: seseorang sepertiku tidak perlu rumah untuk mengejar mimpinya. Aku akan mengembara demi mimpiku yang sederhana ini. Bilamana mimpiku sudah terkabul, maka kubuat mimpi lain dan kukan mengembara lagi, menghabiskan sisa hidupku di petualangan yang penuh kejutan dan tantangan.”

    Gawain menoleh dan mengulurkan tangannya. Dengan senyum ramah, ia bertanya, “kau juga seorang petualang, bukan?”

   Air muka Urs berubah. Sulit dijelaskan dengan kata, namun Gawain tahu arti air muka itu: keteguhan hati. Urs menggeleng, ia mencoba bangun dengan kakinya sendiri lalu memeluk Gawain beberapa saat. “Hati-hati, Ketua. Terima kasih Anda telah membimbingku meskipun sebentar.”

   Gawain membalas pelukan itu. Lalu bertanya sejenak, “tolong sampaikan kabarku pada teman gadismu itu.”

   “Terbalik, Ketua. Akulah yang seharusnya menitip salam ke gadis itu. Canise sudah bertolak menuju Desa Tulious tempatnya lahir bersama konvoi besar beberapa hari lalu. Jika Anda singgah di sana, sampaikan salamku pada gadis itu.”

   Pelukan dua pemuda itu terhenti. Gawain berjalan menuju gerbang timur. Di sana, Si Pembawa Lentera sudah sembari memeriksa persediaan panahnya. Ketika menyadari, Si Pembawa Lentera langsung merapikan kembali kotak panah dan memanggul di pundak bersamaan dengan panah peraknya.

   Beberapa penjaga memberi mereka salam hormat. Tidak dari keduanya membalas dengan kata namun hanya dengan anggukan dan senyuman tulus. Setelah di luar, Gawain berhenti dan menengok kembali Antarie untuk yang terakhir kalinya. “Selamat tinggal,” gumamnya sembari melanjutkan perjalanan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
The Dark Woods
1001      526     2     
Fantasy
Ini adalah kisah tentang pertempuran antara kaum PENYIHIR dan kaum KESATRIA yang selalu menjadi musuh bebuyutan. Sesibuk itukah kaum Penyihir dan kaum Kesatria untuk saling memerangi sehingga tidak menyadari kembalinya kekuatan jahat yang sudah lama hilang ?
gilanya diriku
716      436     4     
Short Story
Perjalanan anak gila yang memperjuangkan keluarganya
Kota Alkroma: Tempat Ternyaman
320      155     1     
Fantasy
Kina tidak pernah menyukai kota kecil tempat tinggalnya. Impiannya dari kecil adalah untuk meninggalkan kota itu dan bahagia di kota besar dengan pekerjaan yang bagus. Dia pun setuju untuk menjual rumah tempat tinggalnya. Rumah kecil dan jelek itu memang seharusnya sudah lama ditinggalkan tetapi seluruh keluarganya tidak setuju. Mereka menyembunyikan sesuatu. Kemudian semuanya berubah ketika Kina...
I N E O
6545      1383     5     
Fantasy
❝Jadi, yang nyuri first kiss gue itu... merman?❞
The Skylarked Fate
7073      2082     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.
Nightmare
440      303     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
Nyanyian Laut Biru
2242      824     9     
Fantasy
Sulit dipercaya, dongeng masa kecil dan mitos dimasyarakat semua menjadi kenyataan dihadapannya. Lonato ingin mengingkarinya tapi ia jelas melihatnya. Ya… mahluk itu, mahluk laut yang terlihat berbeda wujudnya, tidak sama dengan yang ia dengar selama ini. Mahluk yang hampir membunuh harapannya untuk hidup namun hanya ia satu-satunya yang bisa menyelamatkan mahluk penghuni laut. Pertentangan ...
Dream of Being a Villainess
1391      796     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Evolvera Life
12713      3551     28     
Fantasy
Setiap orang berhak bermimpi berharap pada keajaiban bukan Namun kadang kenyataan yang datang membawa kehancuran yang tak terduga Siapa yang akan menyangka bahwa mitos kuno tentang permintaan pada bintang jatuh akan menjadi kenyataan Dan sayangnya kenyataan pahit itu membawa bencana yang mengancam populasi global Aku Rika gadis SMA kelas 3 yang hidup dalam keluarga Cemara yang harmonis du...
MERAH
473      334     0     
Short Story
Seluruh warna tertuang di dunia, dan tidak bisa untuk menghindarinya