Di sebuah ruangan ber-Ac—kita sedikit bercerita mengenai Sersan Basyir. Beberapa orang mengenakan kemeja putih berdasi, terlihat serius di depan tiga buah monitor berukuran besar yang menempel di dinding. Tampak beberapa program sedang mereka teliti, dan salah satunya sebuah data tentang diriku juga Panji. Rupanya ruangan tersebut merupakan sebuah markas rahasia, suatu agen intelijen yang pernah diceritakan Pak Agus tempo hari.
Serda Amir. Salah satu rekan dari Sersan Basyir, yang tempo hari ikut menemuiku di kampus. Tampak fokus dengan data berisi tentang diriku, seraya menikmati segelas kopi yang tidak jauh dari tempatnya duduk. Sementara, dua rekan lain yang salah satunya seorang wanita dengan rambut dikepang kuda. Terlihat meneliti sebuah monitor trafick light, program jalur peta perjalanan yang menunjukkan sebuah titik berkedip di layar. Berupa tanda alat penyadap.
“Apa yang kau dapatkan, Serda Amir? Apakah data tentang Satria dan Panji, sudah lengkap?” Tiba-tiba dari arah pintu masuk, Sersan Basyir dengan mengenakan jaket hitam yang terbuka bagian depan, sehingga terlihat sebuah pistol otomatis terselip di bawah ketiak dari sabuk penyangga yang melingkari badannya. Dengan menggenggam segelas kopi, ia masuk seraya bertanya kepada salah satu anak buahnya itu.
“Mmm ... semua data tentang Satria dan Panji sudah kita kantongi, Pak. Termasuk sebuah program, yang sedang mereka kerjakan selama ini bersama beberapa dosen pembimbingnya,” jelas Serda Amir, bergeming.
“Hmm ... program apa namanya, Serda? Apakah kau tahu?” tanya Sersan Basyir, mendekatkan wajahnya ke sebuah layar yang menampilkan data tentang diriku.
“Kalau tidak salah ... program yang kutemukan itu bernama, ‘My Bank, Pak.” ungkap Serda Amir.
“Hmm ... My Bank,” gumam Sersan Basyir, penuh selidik.
“Saya masih mencoba untuk mengetahui lebih jelas, isi dari program tersebut. Hanya ....”
“Hanya apa, Serda?” potong Sersan Basyir, penasaran.
“Hanya kayaknya susah untuk diunduh, Pak. Sangat terkunci dan rahasia.”
“Sial! Sudah kuduga, enggak mudah untuk menyelidiki orang-orang ini!” geram Sersan Basyir, seraya memukul meja yang berada di depannya. “Serda Linda, apa yang kau temukan tentang buruan kita ini? Berada di mana, posisi mereka sekarang?” sergahnya, menoleh ke arah wanita bernama Serda Linda yang sedari tadi sibuk dengan tugasnya.
“Mmm ... menurut pantauan dari alat penyadap yang dipasang di motor mereka, sekarang sedang berada di daerah Margonda, Pak. Tepatnya ... sebuah kafe bernama, Delysh Coffee Shop,” balas Serda Linda, sedikit menoleh ke arah Sersan Basyir berdiri.
Rupanya selama ini, salah satu anak buah Sersan Basyir pernah menempelkan sebuah alat penyadap di motor Panji. Entah kapan dipasang, mungkin saat aku dan Panji lengah.
“Bagus! Kamu pantau terus keberadaan mereka, ya? Saya akan ke sana sekarang, menyelidikinya. Saya rasa, mereka sedang bersama sang dosen itu!” sergah Sersan Basyir, menutup kancing jaketnya dan bersiap pergi.
“Perlu saya temani, Pak?” Serda Amir menawarkan diri, seraya berdiri dan mengenakan jaket yang sedari tadi disimpan dikursi.
“Boleh, Serda Amir. Biar ada alasan, kalau kita ingin ngopi bareng di sana. Saya harap, kita dapat mengorek langkah mereka selanjutnya.” Sersan Basyir kemudian melangkah menuju pintu, seraya berseru kepada Serda Linda, “Kasih info terus selama kami dalam perjalanan, Serda Linda. Agar enggak kehilangan jejak mereka!”
“Siap, Pak!” seru anak buah Sersan Basyir, melihat atasannya keluar ruangang disertai Serda Amir—itulah sedikit kisah Sersan Basyir.
*****
Kembali ke sebuah kafe di daerah depok, tepatnya Margonda. Kawasan yang selalu ramai oleh anak muda, dan terlihat sedang menikmati berbagai seduhan kopi klasik aroma capuccino, menu khas dari kafe Delysh.
Aku, Panji dan Pak Agus, yang sedari tadi asyik berdiskusi merencanakan keberangkatan kami ke Malaysia. Dikejutkan dengan datangnya dua agen, yang tidak asing lagi. Mereka adalah Sersan Basyir dan rekannya, Serda Amir. Mataku yang pertama melihat mereka masuk, langsung berkata ke pada Pak Agus, “Sepertinya, kita kedatangan tamu, Pak.”
Tanpa menoleh ke arah datangnya dua agen yang kumaksud tadi, Pak Agus hanya berlirih, “Sudah kuduga, mereka akan datang ke sini.”
“Kayaknya, mereka masih penasaran dengan kami, Pak? Apa mereka juga, mencari tahu tentang data pribadi kami selama ini?” tanya Panji, tetap asyik menikmati kopi sambil berpura-pura tidak melihat kedatangan dua agen yang tampak sedang mencari keberadaan kami.
“Yah ... begitulah mereka dilatih, Panji. Jika sudah dapat tugas, sampai ke mana pun kau pergi, pasti akan terus diburu. Itulah alasan perkataanku tadi siang, tentang pemburu nyawa kalian. Sekarang kalian paham, kan?” Pak Agus, mengerlingkan matanya ke arahku dan Panji, seraya menyeruput kopi di depannya.
“Ouh ... seperti itu, Pak? Ane paham sekarang!” seru Panji, seraya menyeruput kopi yang ada di hadapannya, sedangkan aku hanya menyimak setiap obrolan mereka.
Obrolan pun terhenti sejenak, ketika dua agen bernama Sersan Basyir dan Serda Amir datang menemui meja kami seraya berkata, “Wah ... kebetulan sekali. Ternyata kita bertemu di sini, Satria dan kamu, Panji. Halo, Pak Agus. Bagaimana kabarnya?” sapa Sersan Basyir, diselingi sebuah senyuman misterius.
“Suatu kebetulan yang memang disengaja kan, Sersan Basyir? Hahaha ... sepertinya, kalian masih penasaran dengan anak didikku ini.” Pak Agus hanya tertawa, saat menyindir maksud kedatangan Sersan Basyir dan anak buahnya itu.
“Anda punya feeling yang tajam juga, Pak Agus. Tapi sayang ... kami ke sini bermaksud menikmati seduhan capuccino, kopi khas di kafe ini. Apa ... kedatangan kami mengganggu diskusi kalian?” ungkap Sersan Basyir, terlihat santai. “Boleh ikut gabung bersama? Itu pun kalau tidak keberatan, Pak.”
“Ouh ... tidak—tidak, sama sekali kedatangan kalian tidak mengganggu obrolan kami. Silakan duduk, Sersan. Mau sekalian saya pesankan kopinya?” Pak Agus semringah, menerima permintaan dari Sersan Basyir tadi.
“Anda baik sekali, Pak Agus. Terima kasih, sudah mau menerima kedatangan kami ini. Maaf jika mengganggu acara diskusi kalian, enggak ada maksud untuk mencampuri urusan. Tapi karena memang, kebetulan sekali kami sedang berada di wilayah ini.” Basa basi Sersan Basyir, seraya duduk di antara aku dan Panji.
“Jangan sungkan untuk berincang, Sersan. Enggak ada yang perlu dicurigai dari anak didikku ini. Mereka hanya dua anak muda yang sedang mendalami ilmu tekhnologi, sebagai bahan skripsi di akhir wisuda nanti.” Pak Agus mencoba mencairkan suasana yang sempat tegang.
“Hahaha ... santai saja, Pak. Lagi pula, kami juga penat dengan kerjaan. Butuh refreshing sedikit, biar enggak stres!”
Sebelum obrolan berlanjut. Seorang pelayan terlihat membawa pesanan Pak Agus tadi kemudian disuguhkan ke hadapan dua agen yang terlihat lain dari biasanya. Setelah hidangan tersedia, kami pun terlibat obrolan santai hingga pukul setengah sepuluh malam.
*****
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU