Episode 4
Di sebuah jalur cepat, Lembah Klang—Kuala Lumpur-Malaysia. Sebuah mobil bermerk Mercedes warna violet, terlihat menerobos keramaian setelah keluar dari kawasan elit bukit Damansara jalan Duta Baru-Kuala Lumpur arah Banting-Selangor—kita bercerita sedikit tentang Nouna si gadis imut itu.
Dengan mengenakan kacamata hitam, biar tidak silau oleh cahaya matahari. Nouna Maharani, wanita berkulit putih berhidung lancip, wajah tirus ciri khas wanita asal negeri Jiran. Terlihat menikmati panorama pagi pesisir pantai, diiringi alunan musik lagu-lagu Siti Nurhaliza yang menemaninya selama dalam perjalanan. Bibirnya yang mungil, tampak mengikuti setiap alunan lirik dari lagu yang ia dengar pagi itu.
Kuyakinkan diri demi rinduku
Penawar hanya dari wajah kekasih
Walaupun rintangan datang menduga
Kutempuhinya kerna cinta membara
Ooo ... mimpi yang terindah
Jelmalah dalam nyata
Wajah-wajah kekasih
Kumengharapkan ikatan kemesraan
Antara kita akan terlaksana jua
Walaupun impian dalam kekaburan
Kuyakin pada-Mu ... ouh, Tuhan
Gedung bertingkat khas melayu yang dimodifikasi ala modern, berderet kios dan pertokoan. Seakan mewarnai perjalanan Nouna pagi itu, menuju persimpangan dan menelusuri pinggiran pantai. Hingga akhirnya, tiba di sebuah bangunan berwarna putih dipadu biru yang tampak bersih dan asri. Ia memarkirkan mobilnya, tidak jauh dari pintu masuk sebuah hotel bernama Merrida Hotel.
Sebuah hotel yang Nouna pikir, cocok untuk dijadikan tempat menginapku saat berkunjung nanti. Setidaknya itu yang ada dalam pikirannya—tentu setelah mendapat persetujuan dariku juga.
Dengan penampilan cukup anggun. Wanita yang berusia sekitar dua puluh tiga tahunan, sebaya denganku. Mengenakan celana panjang flanel warna abu-abu, blus berwarna biru, dan kerudung melingkari kepala serta leher sebatas dada yang sepadan dengan blus-nya, sebuah tas putih mini di pundak sebatas pinggang, serta sepatu gaya klasik dengan hak datar. Pembawaannya tegak dengan dagu terangkat sedikit sehingga tidak mengesankan kesombongan, hanya keteguhan pendirian.
Perlahan Nouna menelusuri sebuah lobi. Di mana seorang karyawan pria berdiri menyambut kedatangannya, di balik sebuah meja panjang sebatas dada pagi itu. Wajah ramah dari pelayan tersebut, seakan menyiratkan sebuah antusiasme untuk melayaninya.
“Selamat pagi, Akak. Ada yang bisa dibantu?” sapa petugas hotel, yang mengenakan seragam berwarna putih dengan senyum ramah.
“Pagi juga. Mmm ... kemarin saye [1]talipon kemari, guna pesan [2]bilik untuk seorang kawan dari Indonesia. Apa sekarang bisa nak kasih DP, keh?” balas Nouna ramah, tersenyum seraya mengambil sesuatu dari dalam tas mininya.
“Sebentar, Akak. Saye nak cuba chek pesanan awak kemarin, ya?” Petugas tersebut kemudian terlihat mengutak-atik sebuah komputer, yang tidak jauh dari tempatnya berdiri, seraya mencari deretan nama pemesan. “Mmm ... satu bilik dengan fasiliti televisi, Wi-Fi, restoran, serta kolam renang outdoor, atas nama Tuan Satria? Seperti itu keh pesanannya, Akak?” lanjutnya menerangkan pesanan Nouna kemarin.
“Ya, betul. Berapakah bajed yang mesti saye bayar?” ungkap Nouna, seraya memegang beberapa lembar uang dengan pecahan Ringgit.
“Bukankah Akak ini, merupakan pemilik salah satu hotel di dekat daerah sini juga, keh? Kenape, tak menyewa di hotel milik Akak sendiri, pun?” ungkap pelayan tersebut, tanpa menoleh ke arah Nouna berdiri, yang mengetahui sedikit pribadinya selama ini.
Nouna memang salah satu pemilik hotel di daerah Selangor, hanya ia tidak terlalu menunjukkan siapa dirinya ke hadapan publik. Sebab menurutnya, kekayaan yang selama ini ia nikmati bukan milik pribadinya, melainkan milik sang ayah yang terkenal sebagai seorang bankir terkemuka di kawasan Bukit Damansara.
Pernyataan si pelayan sempat membuat hati Nouna dongkol. Sebab dalam pikirannya, Apa salahnya kalau menyewa hotel yang bukan milik sendiri? Bukankah itu hak dirinya juga, mau menyewa di mana pun yang ia suka.
“Sudahlah, tak perlu awak tanya bagaimana saye nak tinggal. Lagi pula, ini bukan untuk diri saye, pun. Ini keinginan kawan saye dari negeri sebrang. Ia nak kunjung ke negara kita, guna keperluan ilmiah!” sergah Nouna, seraya mengerutkan dahi, “dia tuh seorang agen internasional, dari badan intelejen negare. Bagaimana awak tak suke, ada kunjungan dari seorang pejabat penting, hah?!” tegasnya kembali dengan tatapan tajam, ke arah si pelayan yang sedikit terkejut dengan ungkapan Nouna barusan yang sengaja berbohong.
“Ouh cam tuh, keh? Baiklah, Akak. Maaf atas ketidak sopanan saye, nak tanye macam hal privasi Akak, tuh.” Wajah si pelayan berubah memerah, mendadakan rasa malu atas pertanyaan bodohnya tadi.
Sebenarnya ada hak juga bagi si pelayan, untuk bertanya lebih detail mengenai tujuan para penginap di hotelnya. Hanya dianggap tidak sopan, terlalu mencampuri urusan pribadi para tamunya.
“Tak apalah, itu hak awak juga untuk bertanya agar setidaknya tahu tujuan para tamu di hotel ini. Tapi ... menurut saye, itu sudah terlalu jauh awak urusi seperti ape privasi tamu. Sudahlah, berapa bajed yang mesti saye bayar? Agar saye lekas selesai dengan urusan saye ini. Masih banyak kerja yang harus saye lakukan. Lagi pula, saye paling tak suke jika ada nepotisme macam hal kecil ini. Bise saja pakai hotel saye buat tamu nih. Tapi itu bukan sifat saye, paham?” Nouna mencoba memberi pengertian kepada si pelayan, tentang salah satu sifatnya itu yang membuat si pelayan salah tingkah.
Di balik keanggunan pribadi Nouna, terselip sifat yang sedikit keras kepala juga. Jika menurutnya bagus, ya baguslah untuk dilakukan. Jika tidak, dengan tegas ia akan mengatakan alasannya.
Sebuah pemikiran rasional menurutnya, yang ia pahami selama merasakan hidup jauh dari kasih sayang orang tua. Meski keluarganya masih utuh, tapi mereka jarang bertemu oleh karena kesibukan masing-masing.
Ayah seorang bankir, selalu sibuk dengan urusan uang. Sedangkan ibunya seorang desainer dan pengusaha karet terkemuka di daerah Kuala Lumpur, dan jarang menemaninya saat kesepian setiap pulang kuliah.
“Bagaimana kalian tahu keseharian saye? Jika selalu sibuk dengan kerja dan kerja! Saye juga seorang anak, yang merindu sapaan kasih sayang kalian! Apa kalian paham, tuh?! Hiks ...,” rajuk Nouna tempo hari, di saat mendapat sedikit masalah di kampus.
“Bukan begitu, Na. Ayah kerja juga demi kamu dan cite-citemu! Ibumu saja yang jarang membagi waktu untuk urus keluarga. Sibuk di kebunlah, pertemuan dengan para desainer luar negerilah.” Ayahnya sempat membantah rajukan Nouna tersebut.
“Kenapa mesti salahkan saye, Pak Cik?! Kau pun same, sibuk urus keuangan negare ....”
“Sudah ... sudah! Saye bosan jike mesti dengar pertikaian kalian! Cukup saye dan hidup saye, kalian dengan cara hidup kalian. Jangan [3]korang nak sibuk uruskan kehidupan saye! I sudah paham dengan kehidupan I pribadi, dan tak nak rasai hidup macam nih bersama korang!” seru Nouna.
Jika Nouna sudah merajuk seperti itu, barulah salah satu keluarganya ada yang mengalah. Sang ibu yang akhirnya harus merayu, dan meredakan keinginan anak semata wayangnya itu. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian, kembali rasa kesepian menghinggapi kehidupan Nouna. Karena sang ibu kembali dengan kesibukkannya.
Di sela obrolan Nouna dengan pelayan hotel, aku menghubungi lewat aplikasi WA. Menegaskan rencana untuk berlibur ke negerinya itu. Tanpa pikir panjang, ia pun menyetujui maksudku. Dua hari ke depan, aku bersama Panji segera menemuinya di bandara KLIA. Sebuah bandar udara terbesar di Malaysia.
Setelah transaksi dengan pelayan selesai, Nouna pun segera keluar dan bergegas menuju kampus dengan mobil mercy-nya yang ia parkir tadi. Aktivitasnya hari itu, sungguh padat. Selain kuliah, ada jadwal latihan biola untuk persiapan konsernya di atrium KLCC minggu depan.
Yah ... kegiatan dari anak seorang bandar perbankan, juga pemilik beberapa hotel mewah di negeri Petronas, yang terkadang membuatnya bosan dengan rutinitas tersebut. Harus mengecek beberapa keuangan hotel milik sang ayah, terkadang mengaudit laporan perbankan saat sang ayah sedang ke luar negeri. Seoalah terkekang dari waktu ke waktu. Sehingga kerinduan akan sebuah kebebasan, sering ia utarakan saat berbincang denganku.
Bersamaku, Nouna seolah mendapat peluang untuk menikmati sebuah impian yang ia pendam selama ini. Memiliki rumah kecil di dekat pesisir pantai, gemericik ombak yang mengalunkan nada alam, membuatnya seakan terbang bersama kepakkan burung laut. Keinginan sederhana dari seorang wanita kota, yang telah penat dengan segala rutinitas penyita waktu. Setidaknya, itu salah satu impian kecilnya—itulah sedikit kisah tentang Nouna.
*****
[1] Talipon: Telepon.
[2] Bilik: Kamar.
[3] Korang: Kamu orang / kalian.
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU