Read More >>"> HOS (Pejalan Kehidupan)
Loading...
Logo TinLit
Read Story - HOS (Pejalan Kehidupan)
MENU
About Us  

 

Seorang lelaki tua, HOS namanya. berjalan-jalan menelusuri arah yang penuh rambu. Di setiap tikungan ia berhenti untuk membuat pilihan, terkadang ia memilih kiri, kanan, ataupun terus lurus. Yang tidak pernah ia inginkan adalah berjalan kembali kebelakang. Arah yang ia pilih selalu menyajikan beragam peristiwa, dengan manusia lain yang beramai-ramai saling bergilir melakonkan pilihannya.


. . . . 


    “Kalian sedang apa? Apa yang sedang kalian lakukan? Bukankah ini pakaian kalian? Kenapa tidak kalian pakai?” Sambil merebut baju seragam, ia bertanya kepada sekumpulan pelajar di warung pinggir jalan,

Para pelajar itu diam saja, bahkan cenderung mengacuhkan. Namun HOS, Si lelaki tua itu malah menganggukkan kepala, seolah yang ditanyai memberikan jawaban, kemudian tersenyum dan berujar lagi,


“Hmm, kalian tidak mau memakai seragam? apa kepribadian kalian tidak mau diseragamkan? Lho, ini kan hanya pakaian!”


Suara HOS yang lantang berhasil menarik wajah-wajah itu menemui maksudnya,


“Ada apa pak? Anda Gila?” Jawab salah satu dari mereka, mengundang tawa teman-temannya.


HOS melotot, kemudian tersenyum dan ikut tertawa terbahak-bahak,


“Ha ha ha! Ya, ya, memang benar, kalian selalu benar, bukankah kalian lahir dengan kebenarannya masing-masing? dan itu jelas berbeda, jangan mau disamakan! Paham?” Mulut HOS terkatup dengan ekperesi wajah serius.

 
 Lelaku Si tua mulai membuat jengkel, merasa terganggu mereka berpindah tempat meninggalkan mata HOS yang memandang tajam,


“Ya? Kalian masih sangat kecil untuk diimpikan, bermimpilah sesuka kalian dulu, habisi semua tingkah yang belum kalian mainkan,  pergi sana! Bersenang-senanglah!”
    HOS melambaikan tangan kearah mereka, seperti melepas anak-anaknya pergi. Matanya menjadi berkaca-kaca, penuh harapan ia berbisik pelan,
    “Temui aku kembali dengan wajah riang tanpa tekanan, persis seperti sekarang ini. Aku senang melihatmu seperti ini, aku seperti ditemani.”                    
. . . .


Sembari terus berjalan, HOS mengamati keadaan di tengah geliat aktivitas para pedagang kaki lima. Hasil dari pengamatannya kemudian ia tanggapi sendiri dengan anggukan dan sesekali ia menggeleng-gelengkan kepala, lalu berkata-kata sendiri,


 “Lihat, kita sama-sama diguyur terik matahari, disesaki polusi, diumpati nyanyian kesejahteraan, kita dibisukan oleh nasib kita sendiri. Namun, aku dan engkau berani bersikap mandiri, kita berani mengongkosi hidup sendiri,  aku bergerak aktif dan kau terus menerus bekerja tanpa amat berharap sepenuhnya pada negara!”


Selesai dengan perkataanya, HOS memulai tawanya lagi. Kemudian tiba-tiba saja bersedih dan sedikit menitikkan air mata, ia menangis. Sedemikian rupa ia sampai menggeletakkan tubuhnya di trotor jalan, di bawah terik matahari. Sambil terengah-engah mengambil posisi duduk di dingklik depan bapak penyedia jasa semir sepatu, ia berkata pelan,


“Engkau tidak mendapati rupiah hari ini? Lantas bagaimana dengan nasib perutmu? Istri dan anak-anakmu?” Tanya HOS, sok tahu seperti memang kebiasaannya.


Si bapak diam saja, senyum-senyum kecil, mungkin sudah terbiasa ia menghadapi tingkah yang seperti itu, tanpa perlu bertanya sudah dapat membulatkan persepsi bahwa: “Dia gila!”.


Namun HOS malah cekikikan lagi, kali ini sembari terus menggeleng-gelengkan kepala, melanjutkan kesok tahuannya,


“Benar! Bapak-bapak berseragam yang berkumpul di sana memang begitu! Mereka bekerja hanya atas dasar kepentingan, orang-orang yang tidak berkepentingan seperti sampeyan ini ya pantas untuk tak diperhitungkan. Kalaupun mereka menghitung, itu hanya untuk urusan nominal saja, gaji mereka misalnya. Atau bahkan yang dihitung dari kita hanya kuantitas perkepala, bukan benar nasib manusianya secara utuh.”


Si Bapak penyemir sepatu terbahak-bahak, tak kuasa menahan geli. Baginya, HOS hanya sedang berkata-kata, dan dirinya hanya cukup mendengarkan saja.  
“Sekarang jelas ya, siapa jiwa-jiwa patriotik sebenarnya, mereka dengan cek dari negara setiap bulannya, atau sampeyan yang bersusah payah sendiri mengongkosi hidup, tanpa perlindungan dari negara? Mulai sekarang pak, bermartabatlah!” pungkas HOS semangat dan sangat sarkastik.


. . . .


    Aku berceloteh tanpa henti, meludahkan tangisan putus asa. Aku seolah sedang mengusir buih agar kembali ke tengah lautan, melarutkan angan sendiri, tentang pelepasan luka, tanpa pertarungan. Aku mengutuk sedemikian rupa sikap seseorang, bahkan sikap kebanyakan orang, yang tak mampu berpikir tajam, keras, sangar. Aku menghardik mereka semua dalam alunan nada-nada balerina. Mereka semua payah, lemah! Satu kepalan adalah sikap menahan gempuran, bukan melepaskan harga diri seiring ruas jari yang terbuka, memberikan apapun yang kalian punya, tanpa sisa.
“Biarkan aku terus melawan, aku tak ingin dikalahkan!”


Menuju senja, di tengah kota. HOS menikmati hilir-mudik manusia yang selesai bekerja. Sangat beragam tingkah mereka. Tiba-tiba pandanganya tertarik pada sesosok pria berkewarganegaraan asing, memakai jas dan berdasi, tanpa pikir panjang ia berjalan menemuinya, berhadapanlah kaki telanjang dan bersepatu kulit, 


“Anda menghuni negeriku yang kaya raya ini, tinggal di perkotaan, sementara penduduk asli tersisih ke pinggiran, bahkan memperbudak diri di negeri-negeri lain. Anda menikmati kekayaan negeri ini, sementara pribumi menjadi gelandangan di tanah tumpah darahnya sendiri!”  


    Yang ditegur kaget, wajah kebingungan sesosok asing itu malah mengelitik tawanya,


    “Anda itu lucu, membangun standarisasi kok di negeri orang? Toh kami punya aturan dan batasan sendiri, kenapa sih tidak berkonsentrasi saja menghias langitmu sendiri?”


     Telunjuk HOS menuding tepat di depan jidat si asing,
    “Kalau berani, ayo kita berperang saja, bermain fisik tanpa senjata. Berani? Ohohoo, tentu tidak! Bangsa Anda hanya berani menyerang dengan metode iblis! Masuk melalui pikiran!” Semakin berbahaya tingkah HOS, si asing kabur terbirit-birit.
. . . .


    HOS memandang lurus kedepan, disangsikannya segala arah, ia hanya ingin fokus kepada satu arah tuju, hanya kedepan. Sejenak beristirahat, di bawah pohon ia bernyanyi-nyanyi kecil,


    “Sesumpah sampah, setan pohon kalian semua! Belum melakukan apa-apa sudah merasa diri paling peduli, aku sulit mencerna segala ungkapan, hanya mampu menilai raut wajah kalian yang teramat sangat menyebalkan!”


    HOS tertawa berkepanjangan, seperti ia ingin tertawa selama-lamanya, 


    “Gedung-gedung yang menjulang menohok langit itu, saat malam hari penuh dengan gemerlap lampu. Aku ingin berdiri gagah diatasnya, memberiku terang dan keluar dari keremangan di sini, sebelum kegelapan benar-benar datang.”


    Matanya lelah dihujani jutaan huruf pada reklame, koran, televisi, bahkan buku-buku.


“Wahai kalian semua, sesungguhnya bukan aku jika menjadi objek, aku adalah subyek. Telah ku tepis semua informasi yang datang dari ragam moncong para pewarta, aku yang seharusnya memberitahu kalian semua, aku pemilik segala kualitas, dan sudah sepatutnya kalian mulai merembukkan harga yang pantas untuk itu, jangan berani menawar, andai kalian tahu, sudah berpuluh-puluh tahun aku mengongkosi hidup dengan kepahitan, maka sekali saja aku mengecap rasa manis: selesailah hidupku!” 


. . . .


    HOS berdiri, melanjutkan perjalanan, kembali kejalur pembelajaran, memutuskan untuk berani menempuh kerumitan dengan bermain arah, karena HOS sadar, ia hanya sedang berkeliling, untuk pada akhirnya menuju satu titik tujuan; ia mendongak ke atas!

(Selesai)

 

Biodata penulis    : Muzani Ahmad
Pegiat di Senja Sastra (Sentra) Cirebon, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Diksatrasia) Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati) Cirebon.

Tags: Social

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
27th Woman's Syndrome
10121      1884     18     
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya, Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya. Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun. Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu Aku 27 tahun, dan aku single... Single? Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan