Profesor Rettler Clark, direktur klinik Psikosomatik Berlin-Wedding, berdiri di panggung auditorium dengan penuh percaya diri. Dua orang lelaki yang mengenakan kacamata berbingkai tebal duduk berhadapan dengannya di tengah-tengah barisan depan, di kelilingi kursi-kursi yang kosong. Mereka adalah dua dari pengacara-pengacara terbaik yang ada di Berlin.
“Saya ucapkan terima kasih kepada Anda berdua atas kesediaannya meluangkan sedikit waktu,” Profesor Rettler membuka kuliahnya. “Seperti yang telah saya katakan di telepon, bahwa saya mempunyai informasi sensitif yang perlu Anda berdua ketahui.” Pria berambut seputih kapas itu meraih remote control dan mengarahkannya pada proyektor. Potret dokter muda yang tampak cerdas muncul.
“Ini adalah gambar Dokter John Cutter—atau dalam hal ini kita sebut sebagai klien Anda—beberapa tahun sebelum malapetaka itu terjadi. Sebelum gangguan jiwanya muncul, Dokter John adalah seorang psikoanalisis terkenal dengan klinik yang sukses di Berlin. Dia memiliki seorang adik bernama Martin Cutter yang juga seorang dokter. Usia mereka hanya terpaut dua tahun, dan keduanya sama-sama sukses di usia muda.”
Slide berikutnya muncul. Masih mudah dikenali sebagai Dokter John Cutter, tetapi dalam kondisi yang sangat lain sama sekali. Dia bergelung telanjang dengan posisi layaknya janin di sebuah tempat tidur di rumah sakit.
“Dokter John menderita gangguan saraf setelah meningganya Elizabeth Walsh Sinskey, tunangannya. Dia dimasukan ke klinik psikosomatik ini untuk perawatan sementara, tetapi kondisinya justru semakin memburuk, dan dia tidak pernah cukup sembuh untuk dipindahkan.”
Kedua pengacara pembela yang duduk mendengarkan saling melempar pandangan. “Apakah kondisi Dokter John seburuk itu, Profesor?” tanya salah satu dari mereka.
Profesor Rettler menggeleng lemah. “Jauh lebih buruk dari itu, Mr. Parker—dapat saya katakan keadaan Dokter John benar-benar mengkhawatirkan. Selama lima tahun, Dokter John tidak sadar akan sekitarnya. Dia hidup di dunia imajinasinya sendiri yang sama sekali tidak terhubung dengan realita. Dia hidup layaknya pengidap autistik.”
“Dengan segala hormat, Profesor Rettler. Saya dan kolega saya berharap akan mendengarkan sesuatu yang baru. Kami kehabisan waktu.” Parker Deere menyela.
“Terima kasih Mr. Parker. Saya sadar jika Anda dan Mr. Slevin memiliki jadwal yang sangat sibuk.”
“Bagus. Dalam kasus Dokter John Anda tentu mengerti pusat perhatian kami. Klien kami dijadwalkan untuk pemindahan ke klinik psikiatrik di Mobiat Penitentiary dalam waktu tepat empat puluh menit. Persiapan pemeriksaannya akan dilakukan besok pagi, yang berarti kami perlu berkonsultasi dengan klien kami hari ini.”
“Memang,” sergah Rettler, kesal karena disela di auditoriumnya sendiri oleh seseorang tanpa gelar di bidang medis. “Tetapi, izinkan saya melanjutkan penjelasaan ini dengan singkat, dan kalian saya pastikan akan mempelajari sesuatu dari relevansi ke pembelaan terhadap Dokter John Cutter.”
Parker mengerutkan bibirnya dan mengangguk dengan enggan.
“Hal pertama yang harus kita semua mengerti adalah bahwa Dokter John menderita dua kondisi yang berbeda: sindrom Munchausen sebagai dasarnya, dan skizofernia. Sindrom Munchausen adalah prilaku suka berpura-pura sakit dengan tujuan mendapatkan perhatian ahli medis, keluarga, atau teman mereka sendiri. Contohnya, mereka berusaha meyakinkan para dokter untuk melakukan pembedahan usus buntu padahal pencernaan mereka baik-baik saja.”
“Itu gila!” Parker beseru. Di sampingnya, koleganya tampak sama-sama terkejut seperti dirinya.
“Well, pasien-pasien pengidap sindrom itu memang secara mental tidak sehat. Masalahnya adalah, sindrom ini lebih umum daripada yang disadari kebanyakan orang dan diagnosisnya sangat sulit. Dokter John menderita Munchausen yang mendasari penyakitnya, yang juga dikenal sebagai Fabricated or Induced Illnes, atau FII, yang berarti dia membebankan gejala-gejala dari orang lain—yakni, Elizabeth. Tunangannya sendiri.” Profsor Rettler mengklik sebuah slide yang lain. Slide itu adalah sebuah headline koran.
TUNANGAN DOKTER JOHN CUTTER MERAIH PENGHARGAAN TOP MODEL BERLIN
“Kita semua tahu siapa Elizabeth sebelum dan sesudah bertunangan dengan Dokter John. Kesibukan Elizabeth sebagai top model membuat Dokter John hancur. Hubungan mereka yang semula sangat romantis merenggang akibat kesibukan Elizabeth bekerja. Dokter John tidak bisa menerima kenyataan jika kekasihnya menjadi bintang terkenal. Dia takut Elizabeth tidak lagi mempedulikan dirinya dan meninggalkannya. Itu menjelaskan tingkah laku posesif Dokter John terhadap Elizabeth, yang kemudian menyulut pertngkaran demi pertengkaran di antara mereka. Sampai kemudian, Elizabeth menderita sakit dengan gejala-gejala yang tidak dapat dijelaskan dan terpaksa mengundurkan diri dari dunia modeling.”
Parker berdehem untuk menyela. “Profesor, dapatkah kita—”
“Tentu saja, Mr. Parker. Sakit yang diderita Elizabeth, sebenarnya hanya gangguan sistim imunitas biasa. Tetapi, Dokter John enggunakan kesempatan itu untuk mendapatkan kembali Elizabeth sepenuhnya. Dengan pengetahuan medisnya ia menimbulkan efek ketergantungan yang kejam. Karena dia tahu persis Elizabeth tidak mempunyai cukup waktu untuk pergi ke dokter. Elizabeth memiliki hipersensitif pada acetaminophen dan penisilin, di mana kedua obat itu adalah yang Dokter John berikan kepadanya dalam kuantitas yang semakin meningkat. Ibu Elizabeth telah meninggal dunia akibat kanker yang di deritanya, sehingga tidak ada yang menaruh curiga terhadapnya. Demikian juga dengan Dokter John, keluarga dan teman-temannya tidak tahu apa-apa tentang alergi Elizabeth. Jadi perwatan dengan obat-obatan itu terdengar medis.”
“Sangat mengesankan, Profesor Rettler,” kata Slevin menggunakan kesempatannya. “Mungkin kita bisa fokus pada aspek legal. Menurut pendapat Anda, apakah Dokter John bertanggungjawab atas segala tindakannya? Dia meracuni tunangannya hampir selama enam bulan.”
“Bukan begitu, Mr. Slevin. Dokter John adalah seorang pembohong patologis. Dia menderita FII dan dia berbohong tentang penyakit kekasihnya. Tetapi, ini lebih rumit daripada itu. Karena Dokter John mempercayai kebohongannya sendiri. Dia delusional. Dengan begitu, kita sampai pada gangguan mentalnya yang kedua, skizofernia.”
*****
Pintu-pintu menuju ke auditorium terkunci, jadi lelaki berambut pirang itu diharuskan mengintai melalui jendela luar. Beberapa menit sebelumnya, dia mendapat informasi adanya pertemuan tertutup antara Profesor Rettler dengan kedua pengacara Dokter Cutter, dan dia pun bergegas mencari tahu di mana pertemuan itu berlangsung. Cahaya lampu di auditorium masih redup, dan Profesor Rettler masih sangat bersemangat untuk berceramah. Melihat jumlah slide yang tersisa, ada cukup banyak waktu baginya untuk menyelesaikan apa yang harus dilakukannya.
*****
Profesor Rettler berdehem, dan kembali melanjutkan pidatonya yang bertele-tele dan sangat membosankan. “Well, saya rasa Anda berdua telah umum dengan penyakit skizofernia. Karena itu, saya tidak perlu menjelaskannya secara terperinci lagi. Seperti pada penderita skizofernia umumnya, skizofernia yang diderita Dokter John membuat dirinya mendiami sebuah realita yang berbeda. Pada tahapan awal, Dokter John berlabuh dalam dunia normal, tetapi setelah beberapa waktu, semua halusinasi itu menjadi kehidupannya. Karena skizofernianya itu, Dokter John sama sekali tidak menyadari apa yang dilakukannya terhadap Elizabeth. Delusi-delusi itu memberinya alasan untuk melanjutkan pemberian acetaminophen dan penisilin dengan kepercayaan Elizabeth membutuhkan obat-obatan itu.
“Dokter John tidak perlu berpura-pura menjadi kekasih yang cinta dan sayang pada kekasihnya—dia benar-benar percaya jika dia memang kekasih yang seperti itu—dan semua yang dia lakukan bermaksud untuk membuat Elizabeth menjadi lebih baik. Bahkan dia rela menutup prakteknya demi menjaga dan merawat tunangannya. Seiring dengan kondisi Elizabeth yang bertambah buruk, begitu juga delusi Dokter John. Hubungannya dengan dokter yang menangani Elizabeth, yang tak lain adalah adik kandungnya sendiri pun ikut memburuk. Dokter John meyakinkan dirinya sendiri jika Dokter Martin yang merawat Elizabeth pada saat-saat terakhir adalah orang yang perlu disalahkan atas kesehatan Elizabeth. Bahwa dokter itu bermaksud ingin mencelakakan Elizabeth dengan memberinya racun. Padahal, dia sendiri yang melakukan kejahatan itu, meski tanpa mengetahui kebenarannya.”
“Dengan kata lain, pembunuhan tidak terencana?” tanya Parker.
“Saya tidak dapat berkomentar soal itu. Tetapi, jika Anda menanyakan pendapat saya, Dokter John tidak bisa bertanggungjawab atas apa yang dia telah lakukan. Dia tentunya tidak bermaksud sama sekali untuk membunuh Elizabeth. Dia hanya bermaksud untuk membuatnya cukup sakit hingga memaksanya mengundurkan diri dari dunia modeling. Selain itu, Elizabeth tewas bukan karena keracunan acetaminophen dan penisilin. Dia tewas karena tenggelam di kolam renang pribadinya sendiri.” Profesor Rettler meraih remote control dan melanjutkan ke slide berikutnya. Slide itu menampakkan vila mewah milik Elizabeth. “Ini adalah tempat kejadian perkara.”
“Sebuah rumah yang sangat indah,” ujar Parker.
Profesor Rettler mengangguk sekilas. “Pada waktu kejadian itu, Skizofernia Dokter John telah mencapai tahap yang lebih tinggi. Dia percaya, pada saat itu dia dan tunangannya itu sedang berlibur di sebuah desa di Swiss dengan danau yang indah. Padahal, mereka tengah berada di taman di rumah Elizabeth. Halusinasi yang kemudian adalah ketika Dokter John mendengar suara adiknya memanggil-manngil nama Elizabeth, dia memaksa tunangannya untuk bersembunyi. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, Dokter John merasa adiknya itu adalah ancaman bagi Elizabeth. Karena itu, tidak heran dia melakukan tindakan demikian.” Profsor Rettler menekan kembali remote control dan menunjuk ke sebuah bangunan kayu yang menarik di tepi kolam renang berair biru. “Dalam tahap ini, Dokter John telah meyakinkan dirinya jika Dokter Martin bermaksud mencelakai Elizabeth, jadi dia memaksa tunangannya itu untuk tetap diam dan bersembunyi. Bisa dimaklumi jika Elizabeth merasa panik dan kemudian berteriak. Dokter John menanggapinya dengan menutupkan tangannya ke mulut Elizabeth dan mendorong wanita itu ke dalam kolam renang. Sayangnya, dia kehabisan napas dan tewas sebelum Dokter Martin menemukannya.”
“Yang tidak saya mengerti,” ujar Parker, “sebagai seorang dokter, seharusnya Dokter Martin dapat segera mengetahui hal ini. Maksud saya, bahwa Elizabeth memiliki hipersensitif pada acetaminophen dan penisilin, juga bahwa kakaknya mengalami gangguan mental.”
“Well, hal itu tidak semudah yang Anda pikirkan, Mr. Parker. Sangat sulit sekali memastikan apakah seseorang yang menderita Munchausen itu sedang berkata jujur, atau berbohong. Dan mengenai hipersensitif Elizabeth saya yakin Dokter Martin mengetahuinya.”
“Sialan!”
Profesor Rettler tersenyum. “Sekarang, mari kita langsung pada pokok persoalannya. Motif pembunuhan itu sendiri dapat dijawab dengan referansi pada satu fakta yang sangat jelas: Dokter John mencintai dan menyayangi tunangannya dengan sepenuh hati. Segera setelah menyadari apa yang dia lakukan, Dokter John mengalami episode psikotik yang kedua. Putus asa. Dia ingin memperbaiki segala kesalahannya, untuk membuat tunangannnya membaik kembali, untuk membuat Elizabeth hidup kembali. Dalam keadaan delusionalnya, Dokter John percaya Elizabeth masih bersamanya. Dia membawa tunangannya pergi menemui ahli alergi. Klinik itu sangat sibuk, sehingga tidak ada yang menyadari bahwa Dokter John datang seorang diri. Pada saat itulah, Dokter John tiba-tiba jatuh tidak sadarkan diri di ruang tunggu dan masuk dalam perawatan kami.
“Semula, kami menduga penyakit Dokter John dipicu oleh kematian tunangannya, sehingga kami mengobatinya menurut dugaan itu. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya: seiring berlalunya waktu, keadaan Dokter John semakin mengkhawatirkan. Dia berada dalam kondisi kelumpuhan katatonik, dan tanpa sepengetahuan kami, selama lima tahun berada di sini Dokter John hidup dalam dunia khayalannya sendiri.”
“Sekarang, apa yang membuat Anda berpikir jika Dokter John cukup sembuh untuk diadili di pengadilan?” tanya Slevin, yang khawatir mereka kehabisan waktu.
“Ah, mari kita lihat ini.” Profsor Rettler memasukan roll kamera baru ke dalam proyektor dan menyalakannya. Gambar-gambar itu beralih dalam rangkaian yang cepat. “Ini adalah hari saat Dokter John dimasukan ke dalam klinik. Dia bingung, tetapi dia melihat kamera. Kemudian, ini adalah gambar-gambar selama tahan akhir dia mengalami gangguan mental sepenuhnya. Di sini bisa Anda berdua lihat, dia berbaring di kamarnya, mengeluarkan air liur, dan menatap kosong ke langit-langit.”
“Astaga.”
“Usaha kami untuk merawatnya malah membuatnya semakin bertambah buruk. Obat-obatan, terapi … semuanya sia-sia. Dokter John tampaknya tidak memiliki harapan untuk sembuh. Lalu, tiga hari yang lalu, Dokter Martin menyarankan untuk menghentikan pengobatan kakaknya karena tampaknya semua sia-sia. Tetapi—”
“Apa yang terjadi ketika pengobatannya dihenti—”
“Proses penyembuhan alami dari tubuh Dokter John bisa dimulai,” lanjut Profesor Rettler, memotong kata-kata Slevin. “Delusi-delusinya berlanjut, tetapi kali ini semua delusi itu berkisar di terapis imajinernya, dan itu membuatnya mampu mengobati skizofernianya dengan bantuan delusi-delusinya sendiri.”
Lampu-lampu di auditorium padam.
*****
Sambil menarik napas dalam-dalam, lelaki berambut pirang itu menjauhi jendela dan menyelinap pergi. Di dalam saku mantelnya, dia menggenggam erat-erat sebuah botol kecil berisi obat-obatan.
*****
“Bravo!” John bertepuk tangan dengan tangannya yang kurus dan rapuh. “Bagus sekali kau menanyakan hal itu, Sobat.”
“Jadi, katakan padaku, di mana benda itu? Dan aku menjajikan kebebasan untukmu.”
John berhenti bertepuk tangan, menggosok-gosok pergelangan tangannya, dan menatap lantai. “Baiklah, tapi aku ingin membuat kesepakatan.”
Lelaki yang berdiri di samping John mengangguk sekilas. “Katakan.”
“Aku tahu aku layak dihukum. Aku melakukan hal terburuk yang dapat dilakukan oleh seorang kekasih terhadap tuanangannya sendiri. Aku mencintai dan menyayangi Elizabeth lebih dari apa pun juga di dunia ini, dan aku membunuhnya dengan tanganku sendiri. Tetapi, semua yang kulakuan itu di luar kendaliku. Aku sakit—dan tidak akan pernah sembuh, kau tahu itu dengan baik. Sekarang, coba kau bayangkan, apa yang akan terjadi jika orang-orang sialan itu menempatkanku di pengadilan? Media pasti bersorak gembira, sementara aku akan terkurung di di balik jeruji besi selama sisa hidupku. Tetapi, apakah segalanya akan lebih baik jika aku di penjara? Ya, aku memang melakukan sebuah pembunuhan. Tetapi, aku bukanlah laki-laki yang kejam. Kenapa? Karena aku tidak akan pernah mampu mencintai dan menyayangi orang lain sebanyak aku mencintai dan menyayangi Elizabeth. Aku bahkan tidak pernah mencintai ibuku, ayahku, maupun diriku sendiri.”
“Mungkin tidak, tetapi, sekarang kau ingin aku melakukan apa?”
“Berikan saja obat-obatanku, dan aku akan memberitahumu di mana benda itu sebelum aku kembali ke dunia imajinasiku.”
Lelaki berambut pirang dan klimis itu bergeming.
“Apakah aku tidak layak mendapat sedikit kepercayaan darimu? Selama ini, aku tidak pernah menuntut sesuatu pun darimu, bukan? Sekarang giliranmu. Berikan tablet-tablet itu, dan aku berjanji akan memberitahumu di mana kau dapat menemukan benda itu.”
Tidak ada jawaban.
“Hei, kita semua pernah melakukan perbuatan yang memalukan. Kau sendiri pernah membunuh pujaan hatimu di depan mataku. Tapi itu bukan merupakan bukti bahwa kita akan terus berbuat begitu, kan?”
Hening.
John mengerutkan mulutnya dengan perasaan sedih. “Apa yang kau khawatirkan, Sobat? Aku akan menceritakan segalanya tentang pembunuhan yang kau lakukan hari itu? Tidak akan. Tak ada gunanya, kau tahu. Lagipula, bukankah ini sudah dua minggu? Bukankah ini sudah waktunya penyakitku kambuh? Tidak akan ada yang berpikir untuk melakukan cek darah, dan pengacaraku akan memastikan tidak ada seorang pun yang diadili. Bukankah kau membenci profesor sombong itu seperti kau membenci diriku? Lalu apa yang kau pikirkan? Ini kesempatan emas untukmu membalas dendam.”
“Bagaimana jika dia mengambil urinmu?”
“Itu adalah resiko yang aku persiapkan untuk hidup, atau dengan cara bagaimana aku akan mati. Hidup ini seperti sekotak granat tangan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan menghancurkan kita. Oke, kau punya alasan untuk mengkhawatirrkan resiko ini. Tetapi, kau tidak punya banyak waktu dan pilihan lain.”
“Apa kau mengancamku?”
“Sama sekali tidak. Memangnya apa yang bisa orang gila seperti diriku lakukan untuk mengancamu? Tidak akan ada yang percaya dan mendengarkan kata-kataku, kau tahu persis hal itu. Tetapi, coba kau pikirkan tentang Elizabeth. Dia pasti kecewa sekali jika kau tidak bersedia membantu diriku.”
Lelaki itu mendengus, lalu merogoh ke dalam saku mantelnya dan menangkupkan jari-jarinya mengelilingi botol pil itu. “Baiklah, jika itu maumu.”
*****
Dokter Martin memiringkan tubuh dan memandang bulan yang memancarkan sinarnya yang keemasaan di antara dahan pepohonan di luar jendela. Dibiarkannya pikirannya menerawang ke masa lalu, ke suatu musim panas tujuh tahun silam. Hari ketika segala sesuatunya bermula.
“Anda yakin?”
Martin mengangguk muram. Seragam operasinya yang berwarna hijau masih bersih. Ia tidak cukup lama berada di ruang operasi, tidak sampai membuatnya berkeringat. “Maafkan saya, Miss Sinskey. Penyakitnya sudah menjalar ke mana‐mana.”
“Apakah tidak ada cara untuk menyembuhkannya?”
“Kecuali untuk mengurangi rasa sakitnya, tidak ada.” Martin melanjutkan dengan sangat menyesal, “ia tidak akan mampu bertahan lama. Maksimal beberapa minggu.”
“Ya, saya paham .... ” gadis itu menyeka matanya dengan tisu yang basah dan kusut.
Iba hati Martin melihat ketegaran gadis muda itu. Ketika keluarga pasien menjadi histeris saat mendengar kondisi buruk si pasien, ia merasa mampu menenangkan mereka. Namun, sikap berani gadis tersebut, yang penampilannya sangat rapuh, ketika menerima kabar buruk darinya, membuatnya merasa seperti dokter yang belum berpengalaman dan canggung. “Andai saja ibu Anda memeriksakan diri lebih dini. Barangkali saya dapat menolongnya lebih dari ini.”
Gadis itu menyunggingkan senyum getir, kehilangan harapan. “Tetapi ia tidak mau. Sudah saya bujuk dia untuk memeriksakan perutnya yang tidak enak. Ia berkeras itu hanya masalah pencernaan biasa.”
“Saya dapat mengerti. Orang tua memang selalu takut pergi ke rumah sakit.”
Gadis itu mengangguk. “Ibu saya takut sekali dengan jarum suntik.”
“Miss Sinskey, pengaruh obat bius terhadap ibu Anda baru akan hilang nanti sore. Bagaimana jika Anda pulang terlebih dahulu dan beristirahat?”
“Baiklah, Dokter.”
“Miss Sinskey, Anda baik-baik saja?” kata Martin dengan susah payah.”
“Sebaik seorang anak yang mengetahui ibunya akan meninggal. Segera,” jawab gadis berambut hitam, bermata cokelat keemasan dengan bulu mata yang hitam dan panjang itu. Senyum hangat menghiasi wajah cantiknya, dan pada saat itulah, Martin merasakan hatinya kacau. Ia untuk pertama kalinya merasakan reaksi emosi yang mendalam terhadap wanita.
“Maafkan saya, Miss Sinskey. Saya sama sekali tidak bermaksud menyakiti perasaan Anda,” sahut Martin dengan kikuk. Dalam hati dia mengutuki ketololannya bertanya demikian.
“Saya tahu, Dokter. Terima kasih untuk perhatian Anda.” Gadis itu tersenyum sekali lagi sebelum berlalu menuju lift.
Hari-hari berikutnya terasa seperti dalam mimpi bagi Martin. Kebahagiaan yang kini dirasakan dokter muda bertubuh gempal itu jauh melampaui kebahagiaan yang tergambar dalam kisah-kisah asmara maupun lagu-lagu cinta. Dulu ia meremehkan lirik romantis sebagai omong kosong sentimental, sebagai impian muluk semata-mata. Sekarang ia telah berubah pikiran. Dunia tiba-tiba terkesan lebih cerah, lebih indah. Segala sesuatu seakan-akan mendapat sentuhan keajaiban, dan keajaiban itu adalah Elizabeth Sinskey. Bayang-bayang senyumnya terus saja menari-nari di pikirannya. Tubuh tingginya dengan lekuk-lekuk yang sempurna. Kecantikannya anggun, seperti kecantikan putri bangsawan, yang menyebabkan seakan dia tidak bisa didekati. Dan matanya memancarkan kehangatan. Suaranya rendah dan lemah-lembut, sedikit parau. Tidak bisa diragukan lagi, dia gadis paling cantik yang pernah dilihat oleh Martin. Tapi bukan kecantikannya yang menarik hati Martin. Ada suatu daya tarik yang sulit diterangkan hakikatnya, yang menarik dokter muda itu dengan kuat sekali kepadanya. Entah mengapa, rasanya seakan-akan Martin sudah mengenal gadis itu selama hidupnya.
Martin harus berusaha sekuat tenaga memusatkan perhatiannya apabila tengah melakukan pembedahan, tapi pikirannya terus melayang kembali pada wajah Elizabeth. Perasaan yang disangkanya sudah lama mati, tiba-tiba muncul kembali dengan kekuatan yang membuatnya sangat heran. Cukup lama dia memikirkan Elizabeth, meresapi kecantikannya, mengagumi ketegaran dan ketabahan hatinya. Dicobanya menemukan ketidaksempurnaan, suatu alasan untuk meyakinkan dirinya bahwa gadis itu tidak cocok untuknya—bahwa suatu hari kelak dia akan menemukan wanita yang lebih serasi untuknya—seperti rubah yang berpendapat bahwa anggur rasanya masam hanya karena tidak bisa meraihnya. Tetapi semua itu sia-sia. Elizabeth sama sekali tidak memiliki celah.
Hari itu, adalah hari yang paling bersejarah dalam hidup Martin. Sepuluh menit sebelum pukul sebelas siang, Mrs. Sinskey didorong ke OR Tiga menggunakan tempat tidur beroda. Martin menyusuri lorong di sampingnya. Jantungnya berdebar-debar begitu keras, sehingga ia khawatir Mrs. Sinskey bisa mendengarnya. OR Tiga termasuk ruang operasi yang lebih besar, sanggup menampung monitor jantung, mesin pacu jantung, dan berbagai macam peralatan lainnya. Ketika Martin memasuki ruangan itu, stafnya sudah mulai menyiapkan perlengkapan. Ada dokter pendamping, ahli anestesi, dua resident, perawat instrumentalis, serta dua circulating nurse.
Sebenarnya, operasi itu bukan yang kali pertama dan bukan operasi yang berat. Sudah puluhan bahkan ratusan kali Martin mengoperasi hernia. Tetapi, entah mengapa kali ini dia begitu gugup dan takut. Ia menatap ahli anestesi yang akan memberikan anestesi epidural kepada pasien.
Martin menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. Operasi dimulai. “Pisau bedah.” Martin baru hendak melakukan sayatan pertama, ketika circulating nurse mengatakan sesuatu. “Apa?”
“Anda mau mendengarkan musik, Dokter?”
“Oh, ya. Tolong putar Jimmy Buffet.”
Begitu Martin melakukan sayatan pertama, wajah Elizabeth melintas dibenaknya. Dia tersenyum meyakinkan, seketika kegelisahan Martin langsung lenyap. Dengan terampil ia menyayat lapisan-lapisan lemak dan otot, sampai mencapai lokasi hernia. Dan sambil bekerja, ia mendengar kata-kata yang sudah begitu akrab di telinganya menggema di ruang operasi.
“Spons.”
“Tolong bovie.”
“Itu dia!”
“Syukurlah kita tepat pada waktunya.”
“Penjepit.”
“Tolong suction.” Pikiran Martin sekarang sepenuhnya terfokus pada pekerjaannya. Cari kantong hernia, bebaskan, kembalikan isinya ke rongga perut, ikat bagian bawah kantong, potong sisanya, cincin inguinalis, jahit lukanya. Satu jam dua puluh lima menit setelah sayatan pertama, operasi itu selesai.
“Bagaimana ibu saya, Dokter?” tanya Elizabeth begitu ia keluar dari ruang operasi.
“Operasinya berjalan lancar. Kami telah berhasil mengangkat hernianya, tetapi, kanker ibu Anda telah menyebar hampir ke seluruh tubuhnya, Miss Sinskey. Kita berdoa yang terbaik untuk ibu Anda.”
“Apakah … umur ibu saya bisa sedikit lebih panjang dengan operasi hernia ini?”
Dengan sangat menyesal Martin berkata, “Itu hanya akan mengurangi sedikit rasa sakit di perutnya. Tetapi jauh lebih baik untuk ibu Anda.”
Tiga minggu kemudian Mrs. Sinskey pun meninggal.
“Sekarang saya menjadi yatim piatu,” ujar Elizabeth di sisi tempat tidur ibunya.
“Jangan bersedih, Miss Sinskey. Saya bersedia menjadi teman baik Anda.” Martin meraih kedua tangan Elizabeth dan menggenggamnya untuk menenangkan. Dari sanalah kedekatan mereka bermula.
Pada suatu malam di musim dingin, mereka duduk berdua di apartmen sederhana Elizabeth, menikmati makan malam di bawah cahaya lilin. Setelah makan, mereka duduk-duduk di lantai di depan perapian yang berkobar-kobar mengamati butir-butir salju yang berjatuhan di luar jendela.
“Ini adalah musim salju pertama yang saya lewatkan tanpa ibu yang selalu membacakan puisi,” kata Elizabeth. “Kalau kita, kau dan aku adalah satu, bersama-sama kita akan membentuk dunia untuk menggugurkan bintang-bintang dan mengguncangkan surga. Itulah yang selalu dikatakannya saat melihat langit yang menjatuhkan butiran-butiran salju.”
“Waktu adalah musuh cinta. Pencuri yang memendekkan semua saat-saat emas. Aku tak pernah bisa mengerti, mengapa para kekasih mengukur kebahagiaan mereka dalam hari, dan malam, dan tahun. Sementara, cinta kita hanya bisa diukur dalam kesenangan, dan tarikan napas, dan air mata.” Martin mengutip sebuah syair. Mungkin T.S. Eliot. Atau V.J. Rajadhon, dia sama sekali tidak ingat yang mana.
“Anda baik sekali, Dokter Martin.” Elizabeth terpesona dan hampir tidak mampu berkata-kata.
“Panggil saja Martin, dan saya akan memangil Anda Eliza.”
“Itu panggilan sayang ibuku,” sahut Elizabeth, tidak percaya dengan pendengarannya. “Bagaimana kau tahu?”
Pergantian kata saya menjadi aku dan anda menjadi kau membuat Martin tersenyum. “Kau tidak akan percaya jika kukatakan padamu aku ini ahli meramal, bukan?”
Mereka tertawa.
Suatu pagi, kira-kira setahun kemudian, kehidupan Martin yang serba indah mendadak hancur, dalam sekejap saja. Elizabeth berkaca-kaca ketika menemuinya di rumah sakit. “Oh, Martin. Kau tidak akan percaya ini. John melamarku, John Cutter. Dokter muda tampan yang terkenal dan sering muncul di televisi itu.”
Martin termangu-mangu, bagaikan patung. Sejenak ruangan itu serasa berputar-putar.
“Martin?”
la tersentak kaget. “Ah, ya. A-apakah lelaki yang kau maksud itu Dokter John Cutter yang seorang psikoanalisis?” tanya Martin, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Elizabeth mengangguk. “Aku bertemu dan dengannya di sebuah acara amal seminggu lalu. Kami saling jatuh cinta dan sepakat untuk menikah. Pagi ini, John memberitahuku bahwa dia malam ini akan datang untuk melamarku.”
“Well, aku ucapkan selamat.” Suaranya seakan-akan tersangkut di tenggorokan
“Aku tahu aku sangat beruntung. Aku mengundangmu untuk pesta pertunanganku malam ini.”
“Aku ingin sekali. Tapi tak bisa. Ada pasienku yang harus dioperasi malam ini juga.”
“Aku sedih sekali.”
“Maafkan aku. Semoga kau bahagia.”
Sejak saat itulah Martin menutup diri. Semangat hidupnya padam. Ia membenci dirinya sendiri melibihi apa pun di dunia, dan selalu mengutuki kebodohannya yang tidak mampu menyatakan cinta. Tetapi, lebih daripada itu semua, Martin marah sekali terhadap ayahnya. Sebab menurut Martin, ayahnyalah sumber dari segala kemalangan hidupnya. Jika saja pria itu tidak begitu bodoh menikahi ibunya yang buruk rupa, ia takkan terlahir dengan tampang begitu konyol dan ironis. Martin bertubuh pendek, gendut, dan berperut buncit. Wajahnya bulat dengan hidung yang terlalu kecil dan mata terlalu besar. Meski ia perasa, tetapi ia tidak memiliki apa yang orang sebut sebagai pesona. Sebaliknya, John Cutter bertubuh atletis, memiliki wajah yang tampan, senyum memikat, kecerdasan, dan pesona. Sehingga ia selalu dikeliling wanita-wanita cantik yang tergila-gila kepadanya. Lalu sesuatu yang tak terduga terjadi.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat saat Martin meninggalkan rumah sakit. Saat ia keluar dari lobi ke jalan, angin yang sedingin es menghantamnya. Salju sudah mulai turun lagi. Di langit salju yang seperti cabikan kapas berputar-putar, mengaburkan segala-galanya. Kota kelihatan seperti lukisan di atas kanvas yang catnya belum kering. Gedung pencakar langit dan jalan-jalan tampak seakan meleleh menjadi cairan kelabu dan putih. Jalanan sudah lengang. Di kejauhan hanya tampak seorang pejalan kaki, bergegas-gegas pulang untuk menemui istri atau kekasihnya. Ia baru saja menyeberang ketika tiba-tiba ponselnya berdering nyaring.
“Martin, Elizabeth memburuk. Temui aku sekarang. Aku ingin kau merawatnya.”
Untuk sesaat, Martin menatap kosong ponsel genggam di tangannya. Hatinya bersorak penuh kemenangan, sementara air matanya menetes tanpa ia sadari. Kali ini, kau akan menjadi miliku. Selamanya!
Berita mengenai sakitnya Elizabeth Sinskey, sang model top Berlin, masih hangat diperbincangkan media meski sudah hampir enam bulan lamanya. Terlebih lagi, pasca Dokter John Cutter mengumumkan dirinya mengundurkan diri dari pekerjaannya demi merawat tunangannya yang tengah sakit itu. Mereka semakin memujanya sebagai contoh kekasih ideal. Tetapi mereka tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa sebenarnya dokter yang mereka puja. Tidak, kecuali Martin. Maka, malam itu, ketika ia menerima telepon dari kakaknya, ia pun bergegas sebelum semuanya terlambat.
Sebagai seorang dokter profesional, sudah sejak lama Martin menduga ada yang tidak beres dengan kakaknya. Hal itu disadarinya jauh sebelum John mengenal Elizabeth. Ia sering sekali berbohong kepada Martin bahwa ia sakit pencernaan dan memintanya untuk memberikan beberapa butir obat. Tetapi, menurut hasil pemeriksaan Martin, pencernaan John baik-baik saja. Awalnya, Martin menduga hal itu hanya keisengan semata. Tetapi setelah kejadian yang sama terulang berkali-kali, dan sorot tak bersalah di mata John, membuat Martin yakin ia sakit. John tidak perlu secara lahiriah tampak terlihat gila. Karena untuk setiap kasus kegilaan yang nyata, sekurang-kurangnya ada sepuluh yang terdiagnosa dan tidak bisa ditemukan dengan hanya melihat penampilan fisiknya saja. Selama bertahun-tahun, Martin merahasiakan apa yang terjadi pada kakaknya kepada publik. Ia tidak ingin nama baik keluarga Cutter tercoreng karena ketidakberesan mental kakaknya. Kemudian, sampai pada suatu hari ia membaca berita di sebuah majalah mengenai sikap posesif John terhadap Elizabeth yang sangat berlebihan, yang membuat pasangan ideal ini sering terlibat pertengkaran. Tak lama berselang, ia membaca berita sakitnya Elizabeth yang sulit dijelaskan, yang membuatnya terpaksa mengundurkan diri dari dunia modeling yang telah membesarkan namanya. Dan malam ini, di tengah hujan salju yang semakin lebat, ia mendapat telepon Elizabeth memburuk. Sesuatu pasti telah terjadi.
Lima belas menit kemudian, limusin Martin berhenti di halaman sebuah vila mewah bergaya Victoria. Ia melompat turun dengan membawa tas dokter. Vila itu sunyi dan gelap. Ia berjalan ke pintu dan berseru, tapi tidak ada jawaban. Ia melangkah ke ruang depan, lalu berjalan menuju ruang duduk yang luas. Kesunyian vila itu tidak wajar. Sambil terus memanggil John dan Elizabeth secara bergantian, Martin melongok dari ruang ke ruang. Satu-satunya jawaban hanyalah kesunyian. Ia kembali ke ruang depan. Ada tangga anggun yang menuju ke lantai atas.
“John, Eliz!”
Tak ada tanggapan.
Martin menaiki tangga. Ketika ia tiba di anak tangga paling atas, ia memanggil lagi. Karena masih tidak ada jawaban, ia kemudian berjalan menyusuri selasar panjang. Di depannya ada pintu kamar yang sedikit terbuka. Ia menuju pintu itu, membukanya lebar-lebar, dan langsung pucat. “Ya Tuhan!”
Elizabeth terbaring tak sadarkan di tempat tidurnya. Ia begitu kurus dan pucat, bahkan Martin pun hampir-hampir tidak mengenalinya. Sementara itu, di meja rias, Martin melihat John tengah sibuk dengan beberapa obat-obatan dan tidak menyadari kedatangannya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Martin pun bergegas memeriksa kondisi Elizabeth.
“Hei, apa yang kau lakukan?” John menyambar tangan Martin ketika ia hendak menancapkan jarum infus di punggung tangan Elizabeth.
“Elizabeth akan mati jika kau tidak membiarkan aku menginfusnya.”
“Apa maksudmu?”
“Dia mempunyai hipersensitif pada acetaminophen dan penisilin. Dan kau meracuninya dengan obat-obatan itu.”
Dua hari berada dalam perawatan Martin, kondisi Elizabeth membaik. Sakit kepalanya berkurang, dan nafsu makannya perlahan kembali. Suatu pagi di hari Minggu, Martin datang menjenguknya. Ia tampak segar dan cerah.
“Kau malaikat pelindungku, Martin. Terima kasih banyak,” ujar Elizabeth.
Martin tersipu. “Aku harus ke rumah sakit.”
“Tapi ini hari minggu,” potong Elizabeth.
“Ada pasienku yang kritis dan harus segera di operasi. Aku akan kembali makan siang nanti.”
Lima menit berikutnya yang terjadi adalah kekaburan. Martin tidak ingat bagaimana persisnya. Sejauh yang ia ingat, ia kembali ke vila Elizabeth karena ponsel genggamnya tertinggal … mendengar suara ribut-ribut di taman belakang … melihat John berjongkok di tepi kolam renang dengan tangannya menekankan sesuatu ke dalam air … dan sudah basah kuyup memeluk tubuh Elizabeth yang sudah tidak bernyawa.
Masih berdiri menatap cahaya bulan, Martin mengeluarkan sesuatu dari saku tangannya. Sapu tangan. Ia menatap kain berbentuk persegi dengan inisial “EWS” di salah satu ujungnya itu cukup lama. Dalam keremangan, rambut pirang Martin yang selalu klimis tampak mengkilat tertimpa cahaya bulan. Setelah puas memandangi sapu tangan ditangannya, Martin pun melipatnya kembali, mematikan lampu, dan naik ke tempat tidur.
“Selamat malam, Eliza. Sampai mati pun, aku tidak akan menyesal membunuhmu! Karena aku sangat mencintaimu. Jika tidak bisa aku miliki, maka tak seorang pun berhak memilikimu,” gumamnya, seraya menarik selimut lebih rapat lagi.
Ciamis, 29 Mei 2019
Wah saya suka sekali referensi medisnya! Dialog sama si professor ngalir banget sampai saya juga agak jengkel sama dia ` `)
Top 👍