“Cieeeh…yang lagi kasmaraaaan.” suara Bram menjadi hal pertama yang Kiran dengar pagi itu.
Kiran mengerjap-ngerjapkan matanya karena belum terbiasa dengan cahaya matahari yang nggak tanggung-tanggung menghujam langsung ke bola mata Kiran. Setelah otaknya kembali beroperasi, ia menyadari bahwa semalaman ia tidur dengan kepala tersandar di bahu Clyde. Nggak itu doang! Tangan Kiran juga sedang dalam posisi memeluk sebelah lengan Clyde.
“Aaaaahh!!” Kiran berteriak hampir tanpa suara.
Seperti baru melhat setan, wajah Kiran berubah pucat dan dengan panik ia menendang-nendang lantai supaya tubuhnya bergerak mundur.
“Clyde nggak ngapa-ngapain lo kok, Ran. Dia terlalu capek kayaknya.” Bram mengedikkan kepalanya ke arah Clyde yang masih tertidur pulas dengan kepala tersandar di tembok. Bahkan setelah huru hara mini yang ditimbulkan Bram.
“Jangan gangguin Kiran terus, Bram. Kasihan.” Beruntung, Jaxon datang seperti kesatria berkuda putih untuk menyelamatkan Kiran dari interogasi dan ledekan Bram.
“Rhea mana?” Dengan suara parau William beringsut bangun.
Jaxon, Bram dan Kiran buru-buru mendekati William.
“Lo nggak apa-apa, Will?” tanya Jaxon.
“Lo inget gue nggak? Ini angka berapa?” Serbu Bram seraya mengeluarkan dua jarinya dan mengayun-ayunkannya di depan wajah William.
“Gue nggak hilang ingatan, Bram.” Masih dengan mata mengerjap-ngerjap, William menepis tangan Bram dari depan wajahnya.
“Eh, yang bener.. Gue ngecek mata lo juga,” Bram masih besikukuh dengan tes-tes nggak jelas.
“Dua, Bram. Dan gue masih inget lo,” jawab William setengah hati.
Bram pun menyeringai puas.
“Rhea mana?” William kembali mengulangi pertanyaan.
“Rhea udah sadar kemarin malem, Will. Dia nggak apa-apa. Hari ini juga boleh pulang,” jawab Kiran sambil tersenyum.
Ya! Tidak hanya Kiran yang lega mengetahui bahwa Rhea baik-baik saja. William sekonyong-konyong merasa dirinya sehat kembali ketika mendengar bahwa Rhea baik-baik saja.
“Untung deh. Rhea pulang jam berapa?” tanya William lagi.
“Kayaknya habis makan siang deh, Will. Rhea bakal pulang sama Mama dan Papa,” jelas Kiran.
“Will..” panggil Bram.
“Apa?”
“Rhea doang yang lo urusin! Nasib lo dan Jaxon gimana nih?!” seru Bram sambil mengguncang-guncang bahu William.
William meringis karena kepalanya yang sakit semakin serasa ditusuk-tusuk gara-gara digoncang-goncang Bram. Tapi tentu saja ia tidak mau mengakuinya. Dengan sedikit tenaga yang masih tersisa, William mendorong tubuh Bram supaya menjauh.
“Bokap gue udah neleponin gue non-stop.” Perkataan Jaxon barulah menyadarkan William.
William meraba saku celananya dan mengambil hapenya yang untungnya tidak jatuh selama huru-hara semalam.
“Lima belas Missed Calls,” kata William, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Jaxon.
“Gimana dong, Will?” tanya Clyde.
William terdiam. Dia tidak percaya nasib sebegitu teganya memaksa William mengerahkan otaknya saat satu-satunya bagian tubuhnya yang sakit ya kepalanya. Ia menghembuskan napas panjang beberapa kali.
“Kita bisa apa sekarang? Cepat atau lambat lo dan gue harus pulang ke rumah masing-masing,” kata William kepada Jaxon.
Jaxon sendiri sejujurnya takut untuk pulang ke rumah. Ia sudah bisa membayangkan seberapa murka Papanya dan seberapa khawatir Mamanya. Tapi Jaxon tidak merasa dia berada di posisi yang pantas untuk protes. Masalahnya, berapa pun mengerikannya hukuman Jaxon, William pasti mendapat hukuman dua kali lebih berat. Ditambah lagi William sudah tidak punya Mama yang membelanya. Clayton? Jelas-jelas dia bukan lagi akan menari di atas penderitaan William. Dia bahkan bakal koprol dan baling-baling di atas penderitaan William!
“Rhea bentar lagi pulang. Nggak jadi nunggu makan siang kata Mama.” Tiba-tiba Kiran buka mulut.
Mungkin ia pikir dengan begitu William akan merasa lebih baik. Tidak sampai sepuluh menit sejak Kiran menyampaikan kabar gembira itu, klakson mobil terdengar dari halaman. Wajah William menjadi sedikit lebih cerah, begitu juga Jaxon, Clyde dan Bram. Mereka memang sangat khawatir akan keadaan Rhea. Namun rasanya mereka tidak diberikan cukup banyak waktu untuk mengkhawatirkan Rhea karena mereka sibuk mengkhawatirkan nyawa mereka sendiri kemarin malam.
“Weisss. Pada nyambut gue semua nih lo pada?” suara Rhea yang keras seperti toa menyapa teman-temannya.
“Gila, Rhe! Lo tahu nggak seberapa khawatirnya kita semua kemaren!” seru William.
“Seberapa khawatirnya lo maksudnya,” sindir Bram.
Timpukan bantal dari segala arah segera menyapa wajah nyengir Bram.
“Salah waktu! Salah tempat!” seru Clyde seraya menyerang Bram dengan guling.
“Eeeeh. Guling kesayangan gue!!” Rhea panik dan menerjang Clyde yang segera teriak-teriak minta ampun.
Kiran sendiri tidak ikut perang bantal bersama adik kembar dan teman-temannya. Ia merasa ada desiran aneh di hatinya ketika melihat Rhea akrab dengan Clyde. Apalagi pake timpuk-timpukan guling dan lompat-lompat di kasur.
“Eh.. Kepala lo kenapa?” tanya Rhea yang baru saja menyadari kepala William yang dibalut perban.
“Telat woy! Masa lo baru nyadar sekarang?” Alih-alih Wiliam yang protes, Bram-lah yang angkat bicara.
“Ya kan gue lagi sibuk ngebabuk Clyde,” dalih Rhea.
“Tangan lo juga kenape lagi?” lanjut Rhea seraya jari telunjuknya menunjuk tangan Clyde yang juga dibungkus perban.
“Ini luka perang, Rhe. Gue akan selalu mengingat perjuangan gue bersama yang ketiga teman gue. Mempertaruhkan nyawa menerjang…”
Belum sempat Clyde selesai bicara William sudah membungkam mulutnya memakai kaus kaki bekas.
“Eeeeh. Kaus kaki gueeee!” Rhea panik lagi dan menonjok ringan bahu William.
“Ihni..bbbhh…bhkkk..”
“Ngomong apa sih lo?” Ditariknya kaus kakinya yang bau dari mulut Clyde.
“Sialan lo! Ini kaus kaki bekas yah?”
“Kok lo tahu?” tanya Rhea dengan cueknya.
“Yang luka tuh tangan gue bukan indera penciuman gue! Kaus kaki lo bisa buat ngebunuh gajah saking baunya tau!!” Clyde kembali menyerang Rhea dengan guling.
“Ampun, Clyde. Ampun!!” Kali ini Rhea yang menjerit minta ampun berhubung satu-satunya senjata di tangan hanyalah kaus kaki bekas yang sangat bau.
Hati Kiran mencelos. Ia pun memutuskan untuk keluar dari kamar Rhea karena tidak sanggup lagi menyaksikan keakraban Clyde dengan cewek lain. Walaupun Kiran yakin Rhea nggak punya perasaan khusus buat Clyde, Kiran tetap merasa tidak suka Clyde bercanda dan tertawa-tawa dengan cewek lain.
@Kang_Isa Thank you so much! Salam kenal juga, Kak! Nanti aku mampir yah ke cerita Kakak!
Comment on chapter Prolog