Penjaga itu menatap Jaxon lekat-lekat. Kemudian ia membuka kain yang menutupi separuh wajahnya. Mata Jaxon melotot ketika menyadari siapa penjaga itu sebenarnya.
“Lo.. Pengkhianat!” Bisik Jaxon dengan nada mengecam pada penjaga itu.
“Kegan?!” Ternyata Bram masih bisa bersuara meskipun wajahnya sudah mencium lantai sedari tadi.
“Kaget?” tanya Kegan dengan nada menghina.
Jaxon terdiam, tidak sanggup menjawab pertanyaan Kegan. Hanya matanyalah yang berbicara, menatap Kegan dengan nanar dan bara api yang meletup-letup.
“Telepon keluarga Kim. Bilang anaknya nyusup ke sini,” kata Papa William.
Clayton sendiri menyerahkan Jaxon pada penjaga yang lain supaya ia bisa menelepon keluarga Kim. Sebelum pergi, ia menyeringai kepada William, menunjukkan kemenangannya. Sekarang Clayton yakin bahwa Papanya akan lebih menyayangi dirinya dibanding William. Sedikit lagi dan takhta keluarga Nakamura akan jatuh ke tangan Clayton. Tidak mampu menerima kekalahannya, William hampir saja melempar tinjunya ke rahang Clayton kalau Papanya tidak merangkul pundak adiknya itu dan meninggalkan William.
“Tuan muda.” Tanpa disadari William, beberapa penjaga sudah mendorong tubuhnya kembali ke dalam kamar.
“Heh?! Mau apa lo?! Buka pintunya!” seru William. Suara pintu dikunci menyadarkan William dari keterkejutan dan kemarahannya. Ternyata Papanya sudah memerintahkan para penjaga untuk mengurung William di kamarnya.
William pun jatuh terduduk. Ditinjunya lantai kayu berkali-kali untuk melampiaskan amarahnya. Apa yang sudah ia perbuat? Ia tanpa pikir panjang menyelundupkan anak musuh bebuyutan Papanya ke dalam rumah? Sekarang Jaxon dan William berada di ujung tanduk. Mereka hanya bisa berharap bahwa Bram, Clyde, Rhea dan Kiran tidak akan ikut terseret ke dalam peperangan keluarga mereka ini.
“Jaxon..Psst..Jaxon!” Bram berbisik pada Jaxon yang dikunci di sel penjara yang besebelahan dengan sel Bram.
“Apa?” tanya Jaxon. Suaranya tenang. Lebih tepatnya, pasrah.
“Pikirin cara kita kabur, woy!” bisik Bram dengan nada memaksa.
“Buat apa? Nggak ada gunanya,” jawab Jaxon.
“Terus lo mau kita mati busuk di sini?” tanya Bram, tidak mau kalah.
“Sebentar lagi pasti bokap gue ke sini. Nggak mungkin kita mati busuk. Paling ada mati kebakar,” kata Jaxon, masih dengan nada suara yang dingin.
Alih-alih tenang, Bram makin panik.
“Sialan! Ini semua gara-gara burung bangke itu! Rhea sekarat! Kiran dan Clyde nggak tahu di mana! Lo dan gue dipenjara dan William dikerem! Keluarga lo bakal ngebakar kita idup-idup lagi..” kata Bram kepada dirinya sendiri.
Jaxon sendiri tidak protes. Ia diam saja, membiarkan Bram mengeluarkan segala emosinya. Ia sendiri butuh waktu untuk menyusun rencana. Bukannya menyerah dan tidak ingin berusaha kabur. Hanya saja di saat seperti ini, Jaxon yakin tindakan gegabah malah akan membuat mereka celaka. Jaxon juga percaya bahwa betapa pun kejamnya Papanya, ia tidak mungkin ngebakar rumah ini kalau Jaxon masih ada di dalam. Bagaimana pun juga Papanya butuh Jaxon sebagai penerus. Jaxon penting buat klan Kim.
Yang Jaxon khawatirkan saat ini bukanlah dirinya dan Bram, melainkan William. Tidak seperti dirinya yang merupakan pewaris tunggal, Papa William masih punya Clayton. Kalau William berkhianat atau tewas sebagai tahanan perang, Clayton sudah pasti diangkat jadi putera mahkota.
“Gue curiga. Ini semua kelakuan Clayton,” suara Jaxon yang tenang menghentikan rentetan makian yang sedari tadi dikeluarkan mulut Bram.
“Hah? Maksud lo Kegan?”
“Nggak. Maksud gue emang Clayton. Dia orangnya keliatan nggak baik. Gue rasa dia sengaja ngelaporin gue buat ngejatohin William. Dia udah ngincer,” kata Jaxon.
Bram terdiam dan berbagai jawaban mulai muncul di kepalanya. Tubuhnya menggigil ketika jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi tak dapat ia pecahkan kini tersodor.
“Jadi Clayton adalah Black Hummingbird? Atau seenggganya bekerja bareng Black Hummingbird?” gumam Bram.
@Kang_Isa Thank you so much! Salam kenal juga, Kak! Nanti aku mampir yah ke cerita Kakak!
Comment on chapter Prolog