“Sialan!” William menonjok tembok kamar Rhea.
Tidak ada yang berusaha menahan maupun menenangkan William. Bram yang biasanya selalu bisa mengambil sisi positif dari segala masalah dengan lelucon konyolnya kini terdiam seribu bahasa. Jaxon menjelaskan perkaranya kepada Papa Kiran dan Rhea di luar kamar. Mama? Ia sudah tertidur di sofa karena kelelahan menangis.
Pintu terbuka perlahan, diiringi dengan Papa dan Jaxon yang melangkah masuk dengan langkah-langkah yang hampir tidak menimbulkan suara sedikit pun. Papa Rhea tidak menangis. Meskipun begitu, wajahnya terlihat kusut. Ia menderita. Mungkin juga trauma.
“Kalian pulang aja. Om yang jagain Rhea,” kata Papa.
“Nggak, Om. Kita mau nungguin Rhea,” kata Bram dengan tegas, tidak berusaha terdengar sopan. Bram memang tidak mengerti sama sekali tentang kasih sayang sebuah keluarga. Ia tidak percaya pada Papa dan Mama Rhea. Ia bahkan tidak percaya pada Kiran. Menurut Bram, hanya mereka berempatlah yang bisa menjaga Rhea. Hanya merekalah yang bisa menjaga satu sama lain dengan sepenuhnya.
“Om mohon, Nak. Om butuh memikirkan dan mencerna perkataan Nak Jaxon,” kata Papa Rhea lagi.
Bram tidak bergeming. Ia tetap bersikukuh pada pendiriannya. Barulah ia menurut ketika tangan Jaxon menepuk pundaknya dan mengisyaratkan padanya bahwa Bram lebih baik menuruti permintaan Papa Rhea. Dengan setengah hati, Bram dan William mengikuti Jaxon keluar dari kamar tempat Rhea dirawat.
“Lo kenapa sih?!” seru Bram.
“Papanya minta kita pulang. Mau gimana lagi, Bram?” tanya Jaxon dengan tenang.
“Terus lo percaya? Cuma kita yang bisa jagain Rhea, xon! Jelas-jelas ini tingkah si burung bangke itu!” seru Bram lagi.
“Iya. Tapi orang tuanya udah ada di sana,” kata Jaxon, berusaha membuat Bram mengerti.
“Orang tua emang bisa apa sih!?” Bram setengah berteriak, membuat suster-suster rumah sakit berhenti bekerja dan berpaling menatap mereka.
“Bram!” seru William.
Rupanya ia sadar, Bram sudah terlalu lepas kendali. Rupanya bukan hanya kejadian yang menimpa Rhea yang membuat Bram kalap. Tapi kenyataan bahwa orang tua Rhea meminta mereka untuk pergi.
“Mending sekarang kita pulang. Tenangin diri kita,” kata Jaxon.
“Bram, lo ikut kita!” William bukan lagi bertanya. Ia memerintah dengan nada diktatornya, tak terbantahkan dan tak bisa diganggu gugat.
Maka Bram, Jaxon dan William pun meninggalkan rumah sakit setelah sebelumnya meninggalkan pesan kepada suster rumah sakit atas permintaan Bram. Bram meminta pihak rumah sakit untuk segera mengabarkan mereka jika ada perubahan pada kondisi Rhea. Bram sama sekali tidak percaya pada satu orang pun anggota keluarga Rhea.
“Racun itu dari nastar kan?” tanya William begitu mereka sudah tiba di mobil dan sedang dalam perjalanan menuju rumah William.
“Ya,” jawab Jaxon.
“Nastar apa?” Bram yang memang tidak berada di TKP tidak tahu menahu tentang nastar dan teh jahe yang dihidangkan Kiran siang itu.
“Kiran membawakan nampan dengan toples berisi nastar dan cangkir-cangkir berisi teh jahe.” Lagi-lagi hanya Jaxon yang cukup menguasai keadaan hingga mampu menjelaskan kronologi kejadian kepada Bram yang emosinya meletup-letup seperti gunung berapi.
“Jadi Kiran ngeracunin Rhea?!” Bram pun langsut melompat pada kesimpulan tanpa berpikir dua kali.
“Belum tentu. Kue-kue itu ada di toples. Dan lagi gue dan William juga makan kue nastar dan kita masih nggak apa-apa,” kata Jaxon.
Bram pun terdiam. Begitu juga Jaxon dan William. Mereka semua sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Terus Rhea makan racun di mana?!” Bram berseru dan memaki.
“Bram! Tenang! Lo marah-marah nggak akan bantu siapa pun,” kata Jaxon seraya sibuk memperhatikan jalan.
Bram masih terus memaki entah siapa dari kursi belakang mobil Jaxon. Sedangkan William sibuk dengan pikirannya. Ia menatap jendela di sebelah kirinya dengan tatapan kosong. Entah rencana balas dendam apa yang sekarang sedang diasah dan diputar di dalam otaknya.
“Sampe, Will.” Suara Jaxon membuyarkan pikiran William, terbukti dengan kepala William yang menengok ke kanan dan ke kiri dengan bingung.
“Mobil lo..” William baru sadar bahwa mobil yang kini ia tumpangi adalah mobil Jaxon. Tidak mungkin mobil asing tersebut akan diijinkan masuk tanpa ditanya-tanya oleh para penjaga.
@Kang_Isa Thank you so much! Salam kenal juga, Kak! Nanti aku mampir yah ke cerita Kakak!
Comment on chapter Prolog