Jaxon menutup pintu ruangan di belakang tubuhnya dan bersandar ke pintu kayu tersebut. Setelah yakin bahwa tidak ada yang memperhatikannya, ia pun menghembuskan napas panjang dan memejamkan mata, melepas semua topengnya. Semalaman Jaxon tidak tidur dan sekarang kepalanya berdenyut-denyut kencang. Bukan hanya ia kurang tidur, tapi juga beban pikiran yang terlalu berat membuatnya merasa ia bisa pingsan. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju mobil.
“Abeoji, aku ingin bicara,” kata Jaxon setibanya ia di ruangan latihan Taekwondo rumahnya.
“Bicara saja.” Papanya menjawab Jaxon dengan asal seraya membanting tubuh salah satu anak buahnya ke lantai.
“Hari ini aku minta ijin tidak ikut makan malam. Aku mau nginep di rumah teman.” Jaxon mati-matian berusaha terlihat santai.
Gerakan Papa berhenti. Ia menoleh ke arah Jaxon dengan ekspresi bingung walaupun auranya masih terasa tegas, tak terbantahkan. Ia berjalan mendekati Jaxon yang sekarang sudah setengah mati menahan diri supaya tidak lari tunggang langgang. Ia yakin ia akan dipukul oleh Papanya. Namun sebagai pewaris tunggal klan Kim, apalagi diawasi anak buah yang mengharapkan kejatuhannya, Jaxon harus terlihat tangguh.
Tanpa diduga, Papa Jaxon menepuk pundak Jaxon dan membawa Jaxon keluar dari ruang latihan. Tentu saja para anak buah, termaksud Kegan, saling pandang. Seperti dikomando, mereka berjingkat-jingkat menuju pintu kayu dan menempelkan telinga mereka di sana.
“Ada apa?” tanya Papa Jaxon setelah ia dan Jaxon berada di lorong rumah.
“Aku ada PR yang aku kurang ngerti,” jawab Jaxon dengan tenang. Setidaknya, pura-pura tenang.
“Kamu masih kelihatan pucat. Istirahat aja di rumah,” kata Papanya. Lebih seperti memerintah daripada menasihati.
Dalam hati Jaxon ketar-ketir. Bukannya lebih aman. Ia akan lebih mampus kalau tetap di rumah. Jangankan tambah sehat, yang ada mungkin Jaxon berakhir di rumah sakit…Rumah sakit jiwa maksudnya.
“Aku tidak apa-apa, Abeoji. PR ini dikumpulin besok dan bobotnya hampir setengah nilai aku.” Jaxon masih menolak mundur.
Papa Jaxon terlihat berpikir sebentar. Mungkin ia bingung karena baru kali ini Jaxon berusaha membantah perintahnya. Biasanya Jaxon akan menurut apa pun permintaan Papanya itu.
“Baiklah. Besok tapi kamu pulang! Nggak ada tapi-tapi. Ngerti?” kata Papa Jaxon.
“Ngerti, Abeoji.” Jaxon membungkukkan tubuhnya.
Papanya tidak banyak omong dan segera membuka kembali pintu ruang latihan Taekwondo begitu ia selesai bicara dengan Jaxon.
“Aduh!”
“Tolong!”
“Gila ya lo!”
Berbagai makian dan hinaan berentet bersamaan dengan robohnya tumpukan manusia yang dari tadi memang memanfaatkan telinga mereka bukan untuk hal terpuji. Nguping maksudnya.
“Eh..bos!” Kegan sontak berdiri ketika menyadari bahwa kepalanya hanya berjarak beberapa centimeter dari kaki Papa Jaxon. Mendengar kegagapan Kegan, anak buah yang lain gelagapan dan bangkit berdiri.
“Kalian apa-apaan! Sit up seratus kali! Cepet!” Teriakan Papa Jaxon yang menggelegar terdengar dari seantero penjuru rumah Jaxon.
@Kang_Isa Thank you so much! Salam kenal juga, Kak! Nanti aku mampir yah ke cerita Kakak!
Comment on chapter Prolog