Read More >>"> The Secret
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Secret
MENU 0
About Us  

9 November 2018

 

Aku berlari ke bangku taman di ujung sana. Menemui seorang laki-laki berkacamata yang telah membuatku jatuh hati. Ya, dia adalah pacarku. Namanya Dylan Bridge. Anak tingkat dua dari kelas bintang. Melihatnya dari kejauhan, membuatku teringat tentang kejadian tiga minggu yang lalu, saat dia mengungkapkan perasaannya padaku. Malam itu tidak akan pernah kulupakan.

 

Aku berhenti di sampingnya, mengatur napas yang memburu. “Maaf. Aku terlambat. Kelas fisika baru selesai beberapa menit yang lalu.”

 

Dia tersenyum kecil. “Tidak apa-apa. Duduklah.”

 

Aku duduk di sampingnya, bersandar di bahunya yang hangat. “Sebenarnya aku hanya ingin menyampainkan sesuatu padamu. Tentang pengumuman tes tiga hari yang lalu.”

 

“Tes? Tes penerimaan kelas bintang?”

 

“Iya.”

 

“Lalu, bagaimana pengumumannya?”

 

“Aku lulus.”

 

Senyumnya merekah seperti bunga-bunga di musim semi. Kedua tangannya memelukku dengan erat. Ah, nyaman sekali. Aku suka dengan pelukan ini. Sebentar lagi, aku tidak lagi terpisah dengannya. Aku akan bergabung di asrama bintang dan belajar di kelas bintang. Walaupun aku masih ada di tingkat pertama.

 

“Kapan kamu akan mengemasi barang-barangmu?” tanyanya setelah melepas pelukan.

 

“Mungkin esok pagi. Lalu aku akan berangkat malam itu. Karena lusa, kelas bintang sudah dimulai,” jelasku rinci.

 

“Baguslah kalau begitu.”

 

Aku dan Dylan belajar di sekolah yang sama, Theodorasium, sekolah khusus sains dan teknologi, setara dengan sekolah mengenah atas di Brooklyn. Sekolah ini memiliki dua sistem kelas. Yang pertama adalah sistem bintang. Di sini semua murid dibebaskan dari segala biaya pendidikan dan mendapatkan fasilitas asrama beserta jam makan. Namun, lingkungan sekolah ini jauh dari gedung utama. Untuk menjadi bagian dari kelas bintang tidaklah mudah, aku harus menyelesaikan serangkaian tes tulis dengan kesulitan menengah ke atas. Biasanya, hanya ada tujuh hingga sepuluh siswa saja yang berhasil lulus dari tes ini. Sedangkan sistem yang kedua adalah sistem reguler. Sistem ini sama saja dengan sistem sekolah pada umumnya.

 

“Maaf, El. Lima belas menit lagi waktuku di luar asrama habis. Aku harus segera kembali,” kata Dylan pelan.

 

Aku menatapnya penuh harap, kemudian tersenyum lebar. “Tak apa. Besok malam kita akan bertemu di asrama yang sama.”

 

“Iya.”

 

Dia berdiri, mencium keningku beberapa detik, lalu pergi. Pertemuan singkat ini rasanya sempurna. Aku merasakan cinta yang begitu indah dan memikat. Andai saja aku mengenalnya sejak dulu, pasti hidupku akan lebih berwarna. Dia pasangan yang kucari selama ini. Dia baik, cerdas, dan mengerti semua yang kurasakan.

 

Aku masih duduk di bangku yang sama. Melihat punggungnya yang makin mengecil di bawah daun-daun yang berjatuhan. Sebentar lagi musim dingin datang. Aku tidak ingin di luar terlalu lama. Udara akan semakin dingin. Sementara aku masih mengenakan seragam sekolah, kemeja putih berlengan pendek dan rok hijau sebatas lutut.

 

Aku bangkit dan kembali ke rumah.

 

 

***

 

 

11 November 2018

 

Hari ini adalah hari pertamaku memasuki kelas bintang bersama kedelapan temanku yang lulus. Setiap pagi, kami memulai kegiatan dengan sarapan di kafetaria. Menu-menu yang tersedia cukup banyak, aku bisa memilih sesukaku. Ada telur mata sapi, croissant, sandwich keju, smoke beef, dan omelet. Setelah itu pembelajaran dimulai pukul jam tujuh lewat tiga puluh menit hingga jam dua belas siang. Kemudian istirahat makan siang. Lalu pembelajaran dilanjutkan hingga pukul empat sore. Jadwal yang sangat padat bukan? Pantas saja mereka menginginkan siswa-siswa yang cerdas.

 

Aku merobohkan tubuhku di atas kasur setibanya di kamar. Memejamkan mata sejenak setelah lama menjalani lima kelas hari ini. Aku tidak pernah melakukan hal seperti ini saat di rumah. Jadwal sistem reguler hanya memberikan tiga kelas tiap harinya. Tapi tak apalah. Semua menginginkan kelas bintang, aku harus semangat.

 

Pintu terbuka. “Hai, El.”

 

Aku membuka mata, melirik ke arah pintu. “Hai, Sarah.”

 

Seorang gadis berambut pirang yang indah, sepadan denganku, dan mata berwarna coklat itu adalah teman sekamarku. Namanya Sarah Abigail. Kami dulu berada di kelas yang berbeda saat di sistem reguler. Jadi, kami tidak saling mengenal sebelumnya.Tapi hal itu tidak buruk. Kami bisa berbaur dengan baik.

 

“Apa kamu kelelahan?” Dia duduk di kasurku, di sebelahku.

 

“Sedikit. Aku hanya belum terbiasa dengan jadwal sepadat ini,” jawabku, menegakkan badan dan duduk seperti Sarah.

 

“Aku juga merasakan hal yang sama. Mungkin, beberapa hari lagi kita akan terbiasa,” komentarnya. Aku mengangguk.

 

“Menurutmu ada yang aneh tidak dengan asrama ini?” dia bertanya lagi.

 

“Kurasa asrama ini baik-baik saja. Memangnya ada apa?”

 

“Entahlah. Aku tidak yakin. Aku hanya merasakan sesuatu yang tidak begitu baik.”

 

Otakku mulai memikirkan hal tidak-tidak. Sebenarnya aku bukanlah anak yang pemberani. Kesan pertama ketika aku melihat asrama di pinggir hutan ini, menyeramkan. Ya! aku tidak salah. Bangunan asrama empat lantai ini terkesan klasik dengan gaya arsitektur lama. Di tambah pohon beringin tua yang ada di halaman depan menambah kesan horor dan misterius.

 

“Sudahlah lupakan. Aku hanya menduga-duga.” Dia tersenyum ke arahku, sangat terlihat jika bibirnya sangat dipaksakan. Ucapannya itu membuatku semakin penasaran. Apa benar jika ada sesuatu yang aneh di asrama ini? Tapi apa? Aku harus mencari tahu, tapi tidak seorang diri.

 

Pintu terketuk. Aku berdiri dan membukakan pintu. Seorang laki-laki tegap dengan sweater putih dan celana jeans-nya berdiri di depan pintu. Dia adalah Dylan. Memberiku senyuman kecil sebagai sapaan. Aku heran. Bagaimana bisa dia tahu jika aku di kamar ini? Padahal aku tidak pernah memberi tahunya. Dia memang pemberi kejutan yang baik.

 

“Aku ingin mengajakmu berkeliling sekitar asrama,” ajaknya.

 

“Tunggu sebentar, aku akan mengganti seragamku.”

 

“Baiklah. Aku akan menunggumu.”

 

Pintu kututup, kemudian kubuka kembali beberapa menit. Aku sudah mengenakan terusan warna biru langit dan menguncir kuda setengah rambutku. Kami berjalan sejajar sepanjang lorong. Beberapa siswa memperhatikan kami, aku tersipu malu. Sedangkan Dylan nampak biasa saja.

 

“Oiya, bagaimana kamu bisa tahu jika aku ada di kamar itu?” tanyaku penasaran.

 

“Aku menanyakannya pada prefek Lynn,” balasnya. “Dia mempunyai semua data penghuni kamar.”

 

Aku mengangguk. Mungkin aku bisa melakukan hal yang sama untuk menemukan kamarnya nanti. Tak terasa kami telah sampai depan asrama. Angin berhembus kencang, menyambut kedatangan kami. Sekali lagi mataku melihat pohon beringin itu. Tak tampak menyeramkan jika banyak yang meneduh di bawahnya, seperti sekarang.

 

“Apa yang ingin kamu tunjukkan padaku?” tanyaku pada Dylan. Kami masih berhenti di depan pintu.

 

“Taman di pinggir hutan?” tawarnya.

 

“Boleh.”

 

Dylan bergegas lagi. Aku hanya mengekor di belakang. Kami melewati jalan setapak kecil yang mengarah ke belakang asrama. Suasana kembali sepi. Aku tidak melihat satu orang pun yang melewati jalan ini. Bagaimana tidak, jumlah penghuni asrama saja tidak lebih dari lima puluh orang, sudah termasuk muird, prefek, dan pengurus lainnya. Dan kebanyakan dari mereka adalah seorang introvert yang lebih menikmati waktu di perpustakaan atau kamar dengan kesendiriannya.

 

Padahal, masih banyak hal indah yang perlu dijelajahi di sekitar sini. Termasuk taman di pinggir hutan yang sudah ada di depan mataku. Taman ini terawat dengan baik, andai saja aku kemari di musim semi, pasti bunga bermekaran di mana-mana. Namun tak apalah. Keindahan taman ini ditambah langit senja yang jingga sudah cukup membuatku bahagia.

 

“Bagus juga, ya,” komentarku.

 

“Iya. Aku juga sudah lama tidak ke sini,” sahutnya.

 

“Ayo naik ayunan itu.” Aku menunjuk sepasang ayunan yang ada di bawah pohon. Tanganku menggandengnya untuk mengikut. Dia menurut.

 

Kami berdua menaikinya. Mengayun bersamaan dengan tawa yang merekah. Aku tidak menyangka jika hari ini akan tiba, menghabiskan waktu bersama Dylan sepanjang sore. Kukira, aku tidak mungkin bisa menyusulnya di lingkungan asrama bintang ini. Namun aku terlalu rendah diri, aku bisa membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku salah.

 

“Menjadi bagian di asrama bintang ternyata tidak seburuk perkiraanku,” aku mengawali pembicaraan.

 

“Memangnya, apa yang kamu perkirakan?” tanyanya.

 

“Setelah melihat jadwalnya yang padat, aku sempat ingin kembali ke rumah dan menjalani sekolah seperti biasa. Kupikir tidak akan ada waktu untuk bersenang-senang.”

 

Dia tertawa. “Selama ada aku, kamu akan selalu senang.”

 

Aku tersipu malu.

 

“Aku sangat mencintaimu, Elma,” lanjutnya.

 

Aku menoleh ke samping. Memandang wajahnya yang menatap langit senja yang indah. Mulutnya tersenyum tipis setelah mengatakan hal itu. Entah kenapa, aku merasa dia adalah laki laki yang pantas untukku. Andai saja waktu bisa membeku, aku tidak ingin hari esok dimulai. Aku ingin tetap bersamanya di sini, di taman ini, hanya kita berdua.

 

“El.” Dia menoleh, membalas tatapanku.

 

“Iya?”

 

“Apa kamu sudah mendengar sesuatu di asrama kita?”

 

“Aku tidak tahu apa-apa tentang asrama kita. Memangnya ada sesuatu apa?” Aku penasaran.

 

“Kamu harus berhati-hati dengan teman sekamarmu.”

 

Aku melotot. “Maksudmu ... Sarah?”

 

“Benar.”

 

“Ada apa dengannya?”

 

“Jangan pernah percaya apapun yang terucap dari mulutnya. Dia bukan gadis yang baik,” jawabnya dalam.

 

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

 

“Percayalah padaku.” Dia menyimpulkan sebuah senyuman yang terlihat meyakinkan.

 

Aku dibuat heran sekali lagi. Dia selalu tahu sesuatu yang seharusnya tidak diketahui dengan mudah. Kenapa aku jadi merasa aneh dengan dia? Tidak-tidak. Aku yakin dia benar. Dia adalah pacarku yang baik dan pengertian. Semua ucapannya akan aku turuti. Aku percaya kepadanya.

 

“Sebentar lagi makan malam. Kita harus segera kembali ke asrama.” Dylan bangkit dari ayunan.

 

“Baiklah.” Aku mengikut.

 

Dia menggenggam telapak tanganku. Memasukkan jari-jarinya ke sela-sela jariku, aku membalasnya. Kami berjalan meninggalkan taman ini dan kembali beraktivitas di asrama. Ini adalah malam keduaku di asrama. Kemarin aku hanya di kamar sambil berbincang dengan Sarah. Eh, aku tidak akan banyak bicara dengannya lagi. Ucapannya tidak bisa dipercaya.

 

Sesampainya di kamar, Sarah membaca buku di dekat jendela kamar yang terbuka. Dia nampak serius. Aku melirik judul bukunya, tentang perkembangan sains di masa romawi kuno sebelum masehi. Beberapa detik kemudian, dia menyapaku dan menyadari jika aku telah tiba berbaring di atas kasur.

 

“Kukira kamu akan kembali nanti malam,” pekiknya.

 

“Tidak. Dylan bukan laki-laki seperti itu. Dia sangat taat kepada aturan,” ungkapku.

 

“Apa dia adalah kekasihmu?”

 

“Iya. Masih beberapa minggu ini.”

 

“Jadi, kamu dan dia belum begitu saling mengenal?”

 

Aku menatapnya dengan tanda tanya besar. “Maksudmu?”

 

“Sepasang kekasih baru tidak selalu mengenal pasangannya dengan baik, bukan?”

 

“Tidak. Aku mengenalnya dengan baik. Dia adalah anak kedua dari empat bersaudara. Makanan favoritnya adalah lasagna. Dan dia adalah penggemar Bruno Mars,” aku merinci hal-hal kecil yang kuketahui dari Dylan. Dengan itu, aku bisa menampik perkataan Sarah tentang sepasang kekasih baru.

 

“Baguslah.” Sarah tersenyum padaku.

 

“Ada sesuatu?” Aku berbalik tanya.

 

“Tidak.”

 

Aku tidak percaya. Sepertinya Sarah memiliki sebuah rahasia yang sedang ditutup-tutupi dariku, rahasia besar yang akan berdampak padaku dan beberapa orang yang lain. Aku harus mulai mencari sesuatu untuk menjawab rahasianya. Tapi darimana aku akan memulai? Mungkin Dylan bisa membantuku.

 

“Makan malam sebentar lagi akan dimulai. Segeralah bersiap-siap,” ujar Sarah tetap memandang buku yang dibaca.

 

“Iya.” Aku melepas ikatan rambut yang telah kubuat. Peraturan asrama ini mengatakan jika setiap siswi tidak boleh menguncir rambut disaat kegiatan asrama berlangsung. Termasuk makan malam dan jam kelas dimulai. Menurut mereka, rambut yang diurai dan disisir terlihat lebih anggun.

 

Lonceng berdenting, menggema di setiap kamar, pertanda jam makan malam telah dimulai. Aku dan Sarah keluar dari kamar dan menuju ke kafetaria bersama penghuni yang lain. Sebenarnya, aku tidak begitu menyukai makan malam. Sebab lemak akan menumpuk karena setelah makan malam tidak ada lagi aktivitas fisik yang dapat membakar lemak. Tetapi, peraturan tetaplah peraturan. Aku tidak ingin dihukum hanya karena tidak mengikuti kegiatan asrama dengan baik. Ternyata hidup di asrama tidak seindah yang dibayangkan.

 

Kami mengular, mengantre mengambil makanan yang telah disediakan. Mungkin aku hanya akan mengambil salad jagung dan beberapa buah pir. Kemudian aku dan Sarah duduk di bangku kosong dekat jendela. Benar saja, angin malam berhembus kencang, aku menggigil karena dingin. Seharusnya aku memakai syal tadi.

 

“Hai, El.”

 

Aku menoleh. Dylan berdiri di samping meja kami bersama seorang laki-laki berkulit putih pucat, sepertinya dia orang Inggris. “Bolehkah kami bergabung?” tanyanya.

 

“Boleh,” aku menyutujuinya, lalu mereka duduk. Dylan duduk di sebelahku dan temannya duduk di sebelah Sarah. Bangku yang kami duduki ini cukup untuk empat orang sekaligus. Terbuat dari stainless steel yang mengkilat. Jadi, Aku dan Sarah bisa dengan mudah berbagi tempat dengan mereka.

 

“Perkenalkan, namaku Dylan Bridge.” Dia mengulurkan tangan kepada Sarah.

 

Perempuan itu nampak ragu-ragu. Dia hanya mengangguk dan menyebutkan namanya tanpa membalas uluran tangan kekasihku. Aneh bukan? Meskipun baru mengenalnya dalam sehari, aku sudah bisa menyimpulkan jika dia seorang perempuan yang terbuka dan hangat. Dia juga sangat santun. Tapi apa yang baru saja dilakukannya sangat tidak selaras.

 

“Tak apa. Aku sudah tidak heran lagi. Di sini banyak anak-anak introvert yang sangat tertutup dan sulit bersosialisasi,” ucap Dylan sambil menurunkan tangannya. “Eh, aku hampir melupakannya. Perkenalkan, dia adalah teman sekamarku. Namanya adalah Christo Davoinar. Dia berasal dari Inggris.”

 

“Aku Elma Viandra.”

 

“Baiklah. Kita bisa memulai makan malamnya sekarang,” ujar Dylan.

 

Kami mulai menyentuh makanan kami masing-masing. Aku tidak salah mengambil salad jagung lebih banyak, rasanya enak sekali. Tetapi aku merasa meja kami terasa canggung dan suasananya menjadi lebih serius. Aku dan Dylan juga bersikap biasa saja. Tidak saling menyuap atau apapun.

 

Kemudian Sarah mengajakku untuk pergi terlebih dulu. Meninggalkan kafetaria lima menit sebelum jam makan malam selesai. Dia mengaku jika perutnya terasa mual. Oleh karena itu kami memperlebar langkah agar sampai di asrama lebih cepat. Semua ini membuatku berpikir. Sarah membuatku curiga untuk yang kesekian kalinya.

 

Aku bersimpuh di atas kasur. Beberapa menit selanjutnya dia keluar dari kamar mandi dengan wajah lemas yang memerah. Kedua tangannya memeluk perut, jalan tidak seimbang, matanya setengah terbuka. Dia sepertinya sakit. Yang kulakukan hanya menuntunnya hingga di kasur dan berbaring.

 

“Apa yang terjadi padamu?” Aku khawatir. Dia nampak sangat buruk.

 

“Aku hanya mual-mual. Apa kamu tidak pernah merasakan seperti ini?” dia bertanya.

 

Aku menggeleng. “Tidak. Bahkan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padamu. Kukira ini bukan sekedar mual-mual biasa.”

 

Sarah tersenyum. “Mungkin kamu sudah mendapat pengaruh darinya. Berhati-hatilah saat Dylan menyentuhmu. Atau berkontak fisik secara langsung.”

 

Aku melongo. Dylan memberi tahu padaku jika aku tidak boleh mudah memercayai ucapan Sarah tadi sore. Sementara Sarah melakukan hal yang sama. Aku tidak bisa menimbang siapa yang benar. Dylan adalah kekasihku, dia sangat baik dan jujur. Sementara ucapan Sarah kali ini sangat meyakinkan. Tidak, aku tidak boleh percaya kepada Sarah. Dia pasti sedang berpura-pura.

 

“Kamu gadis polos yang baik, Elma. Aku takut kamu kenapa-napa. Aku tidak bisa melindungimu sekarang,” lanjutnya dengan suara serak.

 

“Aku akan baik-baik saja, Sarah. Aku bisa menjaga diriku sendiri,” jawabku.

 

“Semoga saja.”

 

“Sebenarnya, apa yang terjadi? Kenapa kamu begitu khawatir padaku?” Aku masih penasaran.

 

Sarah melepas pandangannya padaku. Menatap lurus langit-langit kamar. “Sia-sia. Aku yakin kamu tidak akan bisa memercayainya.”

 

Aku mengkerutkan dahi. “Jangan berbicara seperti itu, Sarah. Kamu membuatku semakin penasaran. Katakanlah,” desakku.

 

“Baiklah,” dia menyetujuinya.

 

Sarah mulai bercerita tentang masa lalu asrama ini dibangun. Asrama ini berawal dari hutan yang tak terurus dan angker. Selama pembangunan, semua pekerja selalu diganggu dan dipersulit. Setelah itu banyak pekerja yang mundur dan bangunan itu dibiarkan selama beberapa bulan. Kemudian Mr. Logwin, pendiri asrama bintang, memanggil pastur dan seorang yang ahli dalam bidang ilmu gaib. Mereka berhasil membuat kawasan ini aman, tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi. Jangan pernah membuka ruangan bawah tanah sampai kapan pun. Sayangnya, ada siswa nakal yang telah mengetahui rahasia ini dan ingin menguasai kekuatan ilmu hitam iblis sejak tahun lalu. Kedatangan Sarah di asrama bintang tahun ini membuat keadaan semakin kacau karena Sarah bukan gadis biasa. Dia tahu semuanya.

 

“Karena aku bisa mengendalikan setiap energi gaib, termasuk membaca masa lalu,” Sarah menutup cerita panjangnya.

 

Aku mulai paham apa yang dibicarakan Sarah. Kecurigaanku telah terjawab. “Lalu, siapa siswa nakal yang kamu maksud?”

 

“Dylan, kekasihmu.” Sarah berpaling, kembali memandangku dengan tatapan sayup.

 

Aku terkejut. Mataku terbelalak. Mulutku menganga. Kepalaku menggeleng. Ini tidak mungkin terjadi. Aku bergeser menjauhi Sarah. Benar yang dikatakan Dylan, aku tidak boleh terlalu mempercayai ucapannya. Dia pasti ingin membuat hubunganku dan Dylan berantakan. Aku yakin itu.

 

“Aku sudah menduga jika kamu tidak akan memercayai semua ucapanku. Yang kuinginkan cuma satu, berhati-hatilah. Dia sangat berbahaya. Sebentar lagi, asrama kita akan mengalami kejadian-kejadian yang tidak masuk akal,” kata Sarah. “Kita harus menyelamatkan asrama ini bersama-sama.”

 

“Kenapa harus kita?”

 

“Karena hanya kita yang tahu masalah ini.”

 

“Tidak! Aku tidak akan pernah percaya dengan apa yang kamu bicarakan!” elakku keras. “Dylan bukan laki-laki seperti itu!”

 

Sarah terlihat pasrah. Aku turun dari ranjangnya, menaiki ranjangku, merobohkan badan, dan menutup mata. Dylan tidak mungkin melakukan hal sekeji itu, batinku. Aku lebih percaya kepada laki-laki yang telah kukenal hampir sebulan daripada perempuan yang baru kukenal satu hari. Huh, lebih baik aku tidur.

 

 

***

 

 

12 November 2018

 

Pagi ini tidak seperti biasanya. Sejak perbincanganku dengan Sarah kemarin malam, aku sedikit menjauhinya. Sarah juga sadar dan menjauhiku juga. Kami tidak membicarakan apapun selama bersiap-siap, bahkan hingga di kafetaria dan sarapan pagi. Rasanya begitu canggung dan aneh. Aku tidak nyaman.

 

Keadaan seperti ini terus berlanjut hingga kami memasuki kelas pagi, jam makan siang, hingga kelas siang. Sepanjang perjalanan kembali ke asrama pun juga kami tidak saling berbicara. Padahal sedari tadi kami selalu bersama-sama. Kami masuk kamar, mengganti pakaian, dan menguncir rambut.

 

“Sesuatu akan terjadi,” desis Sarah memecah keheningan diantara kita berdua.

 

Aku menoleh. Menatapnya kebingungan. “Apakah kamu bisa membaca masa depan?”

 

“Mungkin. Karena aku bisa mengendalikan semua energi.”

 

AAA ....!

 

Suara melengking terdengar dari belakang asrama. Kami saling beradu pandangan sebelum berlari ke arah sumber suara. Beberapa anak, hampir semua, ikut berlari menghampiri sumber suara itu. Aku hanya bisa menutup mulutku yang menganga ketika melihat seorang perempuan berambut bob terkapar di atas tanah. Kepala dan mulutnya mengalir cairan merah kental yang amis, darah.

 

“Apa yang terjadi?”

 

“Ada apa dengan perempuan itu?”

 

Banyak pertanyaan desas-desus serupa. Kami semua mengelilingi perempuan itu. Sedangkan gadis berambut ponytail hanya menangis sambil memeluk gadis di sebelahnya. Aku tidak menyangka akan ada kasus bunuh diri di sore ini. Padahal asrama ini terkenal sangat aman dan damai.

 

“Apa ini yang kamu maksud?” bisikku pada Sarah.

 

“Iya,” jawabnya membisik pula.

 

Tak lama, prefek Lynn dan pengurus asrama datang. Membuyarkan kami dan mengangkut mayat perempuan tadi. Aku dan Sarah kembali ke kamar bersama penghuni asrama yang lain. Aku merobohkan badan di atas kasur, sementara Sarah mulai membaca buku yang sama pada saat aku melihatnya.

 

“Jika kamu sudah tahu apa yang terjadi, kenapa kamu tidak menghentikannya?” tanyaku.

 

“Aku bisa melihat hal itu terjadi, karena hal itu pasti terjadi. Dengan kata lain, aku tidak mungkin menghalanginya. Atau ada sesuatu yang akan mengancamku jika aku menghalanginya.” Sarah memandang ke arahku. “Hanya kamu yang akan berhasil menghentikan semua ini, El. Aku percaya itu.”

 

Aku mengkerutkan dahi. Melihatnya seperti meminta penjelasan.

 

“Kamu akan tahu sebab kematian perempuan itu nantinya. Dan kamu akan menyelesaikannya,” sambung Sarah.

 

“Bukannya dia bunuh diri?” Aku menatap Sarah yang duduk di pinggir jendela lekat-lekat.

 

“Ada yang telah menuntunnya untuk melakukan bunuh diri itu.”

 

“Siapa?”

 

“Dylan Bridge.”

 

Aku melonjak. “Kamu serius!?”

 

“Iya.”

 

Perkataan Sarah sudah terlalu jauh. Bahkan dia hingga menyeret nama kekasihku dalam kasus ini. Mana mungkin Dylan melakukan hal itu? Dia tidak seperti yang Sarah katakan. Mungkin Dylan benar, aku harus berhati-hati. Ucapan Sarah terdengar sangat meyakinkan dan bisa mencuci otakku. Aku tidak boleh lengah.

 

Lonceng berdenting sangat keras. Tak terasa jam makan malam telah dimulai, pembicaraan itu mengalihkan semua pikiran kami. Aku dan Sarah menguncir rambut dan berjalan bersama-sama menuju ke kafetaria. Bahkan kami belum mengganti seragam yang kami gunakan sejak tadi pagi.

 

Kafetaria masih seperti kemarin. Kami mengantre untuk makan malam, duduk di bangku samping jendela, Dylan dan Christo menghampiri meja kami. Tapi malam ini Sarah berbeda. Dia langsung pergi di meja tanpa pamit dan menunduk. Kuakui, itu adalah hal yang paling tidak sopan.

 

“Ada apa dengannya?” tanya Christo padaku.

 

“Entahlah.” Aku mengangkat bahu.

 

“Apa dia memiliki sesuatu?” Dylan memandangku penuh tanya.

 

“Dia seperti paranormal,” aku menggumam kecil.

 

“Apa?” tanya Dylan lagi, mungkin dia tidak terdengar.

 

Entah kenapa, aku tidak ingin mengatakan hal ini pada kekasihku sendiri. Kurasa dia tidak perlu mengetahuinya, atau lebih tepatnya jangan sampai mengetahuinya. Sarah pasti membenci kekasihku. Alasan terkuat adalah kepergiannya yang mendadak tadi. Selain itu, dia juga menuduh kekasihku menjadi pennyebab kematian si gadis bunuh diri tadi yang aku sendiri mulai mempertanyakannya. Apa mungkin perkataan Sarah yang benar? Aku jadi bingung.

 

“Elma.”

 

Lamunanku terbuyarkan. “Iya?”

 

“Apa yang kamu pikirkan? Apa Sarah melukaimu?” Dylan nampak khawatir.

 

“Tidak, Dylan. Kami baik-baik saja,” jawabku sembari tersenyum.

 

“Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya.

 

“Bukan apa-apa.” Aku menggeleng, tubuhku gemetar.

 

“Kamu ingat apa yang kukatakan tentang Sarah di taman kemarin sore?”

 

“Aku masih ingat.”

 

“Lalu? Apa dia mengatakan sesuatu padamu?”

 

“Perbincangan antara gadis. Kamu tidak boleh tahu.”

 

“Kamu yakin?”

 

Aku merasa dipojokkan. Dylan menusukkan pandangan padaku, seolah-olah aku adalah mangsanya. Sedangkan Christo hanya memperhatikan kami yang saling beradu pandangan. Cukup! Aku tidak kuat. Aku pergi dari bangku itu setelah berpamitan dengan Dylan. Kurasa Sarah benar. Dia bukan Dylan yang kukenal.

 

Ada yang menahan tanganku, aku menoleh. “Ada apa, Dylan? Aku ingin segera pengi kamar. Aku ingin melihat kondisi Sarah.”

 

“Bolehkah aku ikut menjenguknya?”

 

“Kurasa, seorang laki-laki tidak sopan jika memasuki kamar perempuan.” Aku melepaskan tangannya. Berjalan cepat dan meninggalkan Dylan.

 

Dia benar-benar berubah. Dia sedikit lebih kasar dan pemaksa. Dia bahkan ingin memasuki kamarku? Meskipun tidak ada larangan dari pihak sekolah, tetapi hal itu tetap saja tidak pantas. Setibanya di kamar, kulihat Sarah menatap langit-langit malam di pinggir jendela. Aku mendekat. Derap langkahku membuatnya tersadar akan kehadiranku.

 

“Elma? Apa kamu tidak mengikuti jam makan malam hingga selesai?” tanyanya.

 

“Tidak.” Aku ikut memandang langit malam, di sampingnya. “Kupikir-pikir, apa yang kamu katakan benar.”

 

“Tentang?”

 

“Tentang Dylan,” jawabku. “Dia menunjukkan sikap aslinya tadi.”

 

“Sikap seperti apa yang kamu maksud?”

 

“Dia keras, pemaksa, dan ingin mengetahui segalanya. Terlebih tentangmu.”

 

“Dia ingin tahu tentangku?”

 

“Iya.”

 

“Dia bertanya apa tentangku?”

 

“Dia ingin aku menyebutkan apa yang kamu miliki. Namun aku tidak ingin menjawabnya.”

 

Sarah menghembuskan napas panjang. “Syukurlah.”

 

“Sekarang jelaskan padaku apa yang terjadi sebenarnya,” desakku padanya.

 

Sarah mengiyakan. Dia mulai bercerita dari apa yang dirasakannya, menurut kemampuannya. Dylan memiliki aura negatif yang sangat hebat. Laki-laki itu dilindungi oleh iblis yang selalu mengabulkan permintaannya. Dengan kata lain, Dylan adalah seorang pemuja iblis. Kematian perempuan tadi sore adalah permulaan dari ritual yang akan selalu dilakukan Dylan. Jika dibiarkan, akan lebih banyak korban tak bersalah yang mati sia-sia.

 

“Kamu pernah melarangku untuk jangan bersentuhan dengannya secara langsung. Memangnya apa  yang akan terjadi?” tanyaku.

 

“Dia pasti memiliki permintaan kepada iblis itu tentangmu,” jawab Sarah.

 

Aku menganga. “Kami sering sekali bersentuhan. Bahkan dia sering menciumku.”

 

“Ya. Aku sudah merasakan aura yang aneh darimu sejak kita pertama kali bertemu. Mungkin dia menginginkan sesuatu darimu.”

 

“Apa itu?”

 

“Aku tidak tahu. Dia pasti memohon kepada iblis tentangmu.”

 

Aku menggidik ngeri. Menatap Sarah yang sedang memperhatikanku dengan pandangan ragu. Apa yang diminta dari pada iblis itu? Aku tidak mau. Musuhku sekarang bukan lagi manusia, aku harus berhadapan dengan iblis. Jujur, hal ini tidak pernah terlintas dalam otakku sebelumnya.

 

“Tenanglah. Kamu bisa menghentikan semua ini,” kata Sarah meyakinkanku.

 

“Apa yang harus kulakukan?”

 

Sarah membisikiku. Kami merencakan sesuatu untuk menghentikan Dylan. Sejujurnya aku tidak ingin melakukan hal seperti ini kepada kekasihku sendiri. Namun apalah dayaku. Dia bersalah. Dia harus dihentikan sebelum membabi buta. Asrama bintang dalam bahaya. Hanya aku dan Sarah yang bisa mencegahnya.

 

“Kamu paham, kan?” Sarah memastikan.

 

“Iya.” Aku mengangguk. “Kita harus melakukannya besok malam. Hal ini tidak boleh terjadi lebih lama lagi.”

 

“Baiklah.”

 

Lonceng berdenting dua belas kali. Tak terasa perbincangan malam ini sangat lama dan menghabiskan banyak waktu. Aku dan Sarah beranjak dari jendela, merebahkan diri di atas kasur masing-masing, dan menutup mata. Malam ini sepertinya akan damai. Tetapi seseorang mengetuk pintu kamar kami. Sarah berdiri untuk membukakan pintu. Sedangkan aku hanya memperhatikannya dari atas kasur.

 

“Hai, Sarah.”

 

Aku terperangah. Aku yakin Sarah juga sama. Laki-laki yang baru saja kami bicarakan berdiri tegak di depan pintu. Mulutnya tersenyum. Wajahnya yang kalem itu tertata apik. Dylan tidak mencerminkan kengerian sama sekali, berbeda dengan saat di kafetaria tadi. Namun kami tidak lagi tertipu dengan penampilannya. Aku bangun dan mendekatinya. Sarah mundur beberapa langkah. Kami saling menggenggam. “Kamu harus melakukan seperti yang kukatakan tadi, El.”

 

“Tapi, ini tidak seperti rencana kita,” jawabku membisik.

 

“Aku yakin kamu bisa.”

 

“Kenapa kalian berbisik-bisik?” Dylan melangkah masuk.

 

“Kamu sudah kularang masuk, Dylan,” ujarku.

 

“Aku hanya ingin berbincang sebentar dengan kalian.”

 

“Tidak di malam hari. Sekarang waktunya untuk tidur.”

 

“Semua akan baik-baik saja jika prefek Lynn tidak tahu.”

 

Aku dan Sarah saling menatap. Kami tahu ini bukanlah suatu pertanda yang baik. Tetapi kami tidak boleh gentar. Sarah percaya jika aku berhasil, begitu juga denganku yang yakin dengan diriku sendiri. Aku juga yakin jika Dylan telah menyadari identitasnya yang terbongkar di mata kami.

 

“Kenapa kalian terlihat sangat takut?” tanyanya polos.

 

“Karena kamu adalah pemuja iblis!” pekikku keras.

 

Wajahnya yang berseri mengkerut seketika. Pandangannya melebihi tajamnya pisau dapur. Kemudian sebuah seringai muncul perlahan. Tangan kirinya membanting pintu. Dia membuat kami semakin takut, berdiri menghalangi pintu, memojokkan kami agar tak bisa kemana-mana. Andai saja jendela kamar tidak diterali, mungkin kami bisa melompat keluar dari kamar dengan mudah.

 

Dia berjalan maju satu demi satu, berkebalikan dengan kami. “Apakah Sarah yang memberi tahumu, El?” tanyanya padaku.

 

“Ya. Aku yang memberi tahu Elma,” sahut Sarah.

 

“Sudah kuduga,” desah Dylan pelan. “Manusia sepertimu harus mati terlebih dulu.” Dia merentangkan kedua tangannya dengan arogan, kepalanya menghadap ke atas, mulutnya mengigit geram. Kemudian kamar ini terasa seperti bergoyang. Buku-buku di rak dan cermin yang tergantung di dinding jatuh.

 

“Dia sedang memanggil iblis. Aku akan mencoba melawannya,” ucap Sarah. “Pergilah, El. Lakukan apa yang kuminta.”

 

“Tapi, Sar. Apa kamu bisa melakukan hal ini sendiri?” tanyaku.

 

“Iya. Jika kamu berhasil, semua akan berakhir. Dan aku tidak perlu melawannya lagi,” jawab Sarah. Kakinya mengambil kuda-kuda. Dia menghadapkan telapak tangannya lurus ke depan, seperti sedang menahan sesuatu. Raut wajahnya terlihat jelas jika dia sedang keberatan. Andai saja aku bisa melakukan sesuatu.

 

“Ah ...” Sarah terpental. Teman sekamarku itu terantuk tembok dan jatuh tengkurap.

 

“El,” panggil Dylan lembut. Kakinya bergerak lambat ke arahku. “Kamu masih mencintaiku, kan?”

 

Aku memeluk tubuhku sendiri untuk bertahan. “Jika kamu menyentuhku, akan kutampar kamu!” ancamku.

 

“Kamu tidak mungkin melakukan hal itu padaku.” Dylan tersenyum. “Aku tahu kamu mencintaiku, El.” Dia berhenti satu langkah di depanku. Tangannya mengulur ke arah daguku. Aku menampiknya dan menampar pipinya sekecang mungkin. Sebenarnya aku tidak tega. Tetapi hanya itu yang bisa kulakukan. Jika tidak, aku bisa celaka.

 

“Kamu membuat keputusan yang salah.” Dylan melirikku penuh dendam.

 

Aku sangat takut. Aku mundur beberapa langkah sebelum tangannya mencengkram leherku erat-erat. Dylan mencekikku. Aku sudah berusaha untuk menahan tangannya agar tidak meremas leherku semakin buas. Tapi hal itu terasa sangat percuma. Bahkan dia mengangkatku pelan-pelan. Mungkin aku akan mati malam ini.

 

Sarah muncul di belakang Dylan dan membawa kursi yang biasanya dia duduki di samping jendela. Tangannya tanpa ragu membantingkan kursi itu ke tengkuk Dylan. Laki-laki itu terjatuh, begitu juga denganku. Sarah telah menyelamatkanku. Padahal dia telah kehilangan banyak energi tadi.

 

“Bangun, El.” Sarah memberikan tangannya padaku, aku menerimanya.

 

“Terima kasih, Sarah.”

 

“Tidak ada banyak waktu lagi, El. Pergilah sekarang. Aku akan menahan Dylan agar dia tetap di sini bersamaku.”

 

Aku mengangguk. Namun Dylan bangun dan menghalangi pintu kamar. Sarah segera mengarahkan tangannya ke Dylan. Aku tidak melihat apapun yang keluar dari tangan perempuan itu. Tetapi Dylan berhenti bergerak. Dia menggerliat seperti ingin melepaskan diri dari ikatan tali.

 

“Pergilah sekarang, El!” ujar Sarah.

 

“Baiklah.”

 

Aku mengangguk. Lalu membuka pintu dan melesat pergi. Sarah, berjuanglah!!

 

 

***

 

 

Aku pergi ke ruang bawah tanah asrama yang tak terpakai. Pintunya lapuk dan reot. Aku dengan mudah membukanya dan gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Sedetik kemudian lampu menyala. Guci yang kuincar berada di samping Christo. Dia melirikku lurus tanpa mengedip.

 

“Christo? Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku.

 

Satu-satunya kelemahan yang dimiliki pemuja iblis adalah guci. Guci yang selalu disimpan di tempat rahasia. Karena jika guci itu pecah, semua akan berakhir. Sarah mempercayakan tugas berat ini kepadaku karena dia yakin aku mampu. Tetapi ada satu penggangu yang muncul tiba-tiba. Christo Davoinar.

 

“Kembalilah, El. Aku tidak ingin melakukan apapun denganmu,” ujarnya.

 

“Tidak. Aku tidak akan kembali sebelum memecah guci itu,” balasku.

 

“Kamu tidak akan bisa.”

 

“Kenapa? Apa kamu juga pemuja iblis seperti Dylan yang akan menghalangiku?”

 

“Tidak.”

 

“Lalu?”

 

“Aku adalah iblis yang akan membunuhmu.” Seketika matanya menjadi merah. Ada sepasang tanduk yang keluar dari kepalanya. Baju dan celananya terbakar habis oleh api yang menyelubungi tubuhnya. Kuku-kuku tangannya memanjang dan runcing. Dia menyeringai, dua gigi taring nampak keluar bibir.

 

Aku hanya menengguk ludah. “Apa yang harus kulakukan?” tanyaku pada diri sendiri.

 

Dia adalah iblis yang menjelma menjadi manusia. Dia terlihat kuat. Aku tidak mungkin bisa mengalahkannya. Aku juga tidak mungkin mengharapkan Sarah datang dan menyelamatkanku lagi. Itu kurasa mustahil. Lebih baik aku keluar dan memutar otak untuk melawannya.

 

Ups, pintu tidak bisa dibuka lagi. Iblis itu tertawa jahat, kakinya mulai melangkah ke arahku. Tamatlah sudah. Aku akan mati. Sarah tidak bisa aku selamatkan. Satu per satu penghuni asrama akan tewas karena ulah Dylan dan iblis itu. Ketika dia semakin dekat, aku hanya meringkuk dan menutup mata. Berharap semua berjalan dengan cepat dan tidak menyakitkan.

 

“LEPASKAN BODOH!!!”

 

Teriakan iblis itu membuatku membuka mata. Kulihat, gadis yang telah buuh diri itu menahan tangan iblis api agar tidak menyentuhku. Dia pasti ... sudah menjadi arwah. Ya! Dia pasti sudah menjadi arwah. Tapi belum bisa naik ke atas sana karena dia tertahan oleh kematian yang mengenaskan.

 

Dia memandangku penuh rasa sakit. Cepat lakukan apa yang harus kamu lakukan. Aku tidak bisa menahannya lebih lama. Aku bisa terbakar. Suara pelan itu memasuki telingaku lembut. Aku yakin itu adalah suara arwah si gadis bunuh diri. Dia membantu melawan iblis api. Dengan kata lain, aku bisa menghentikan semua ini. Aku bangun, berlari ke arah guci, dan membantingnya.

 

PRANK!!!

 

Ruangan ini kembali gelap.

 

 

***

 

 

12 Desember 2018

 

Salju telah turun. Hari ini tepat satu bulan semenjak kejadian malam itu. Sarah tidak lagi bersamaku di kamar ini. Dia tertuduh membunuh Dylan karena menjadi satu-satunya orang yang berada di ruangan yang sama dengan mayat Dylan. Laki-laki yang pernah kucintai itu mati karena aku berhasil menghancurkan gucinya, bukan karena Sarah. Sedangkan aku tidak tertuduh membunuh Christo karena mayatnya tidak ditemukan. Dia iblis! Pasti dia telah kembali ke neraka.

 

Arwah si gadis bunuh diri telah naik ke atas sana karena urusannya telah selesai. Dia sempat menemuiku dan tersenyum sebelum benar-benar hilang. Sepertinya dia sangat berterima kasih kepadaku. Padahal, seharusnya aku yang melakukan itu. Jika dia tidak membantuku malam itu, aku pasti sudah mati.

 

Kejadian malam itu tidak mungkin kulupakan.

 

 

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Delapan Belas Derajat
10295      1982     18     
Romance
Dua remaja yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Salah satu dari mereka memiliki kelainan hitungan detak jantung. Dia memiliki iris mata berwarna biru dan suhu yang sama dengan ruangan kelas mereka. Tidak ada yang sadar dengan kejanggalan itu. Namun, ada yang menguak masalah itu. Kedekatan mereka membuat saling bergantung dan mulai jatuh cinta. Sayangnya, takdir berkata lain. Siap dit...
Puncak Mahiya
554      399     4     
Short Story
Hanya cerita fiktif, mohon maaf apabila ada kesamaan nama tempat dan tokoh. Cerita bermula ketika tria dan rai mengikuti acara perkemahan dari sekolahnya, tria sangat suka ketika melihat matahari terbit dan terbenam dari puncak gunung tetapi semua itu terhalang ketika ada sebuah mitos.
Perahu Waktu
382      260     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu
Viva La Diva
592      381     0     
Short Story
Bayang mega dalam hujan
Deandra
2754      1180     3     
Romance
Deandra Wibisono Adalah seorang gadis SMP yang cantik, cerdas, supel namun secara misterius menyimpan banyak masalah di balik kesempurnaannya. Hingga satu hari semua misteri tersibak. Kisah hidupnya terkuak dari empat sudut pandang yang berbeda dan dikemas dalam sebuah kronik yang intens.
Janji
444      307     0     
Short Story
Dia sesalu ada, dan akan tetap ada.
Shine a Light
781      506     1     
Short Story
Disinilah aku, ikut tertawa saat dia tertawa, sekalipun tak ada yang perlu ditertawakan. Ikut tersenyum saat dia tersenyum, sekalipun tak ada yang lucu. Disinilah aku mencoba untuk berharap diantara keremangan
Test From The Spirit World
363      232     1     
Short Story
Kelly mengalami kecelakaan parah yang nyaris merenggut nyawanya. Namun, untuk mengembalikan rohnya ke dalam tubuh, ia harus menjalani tes dari Petinggi Dunia Roh. Dituntun oleh seorang pengawal roh, apakah Kelly akan berhasil melewati tes tersebut? Jika gagal, tentu saja ia harus menanggung risikonya…
Furimukeba: Saat Kulihat Kembali
424      290     2     
Short Story
Ketika kenangan pahit membelenggu jiwa dan kebahagianmu. Apa yang akan kamu lakukan? Pergi jauh dan lupakan atau hadapi dan sembuhkan? Lalu, apakah kisah itu akan berakhir dengan cara yang berbeda jika kita mengulangnya?
Aku Sakit
5210      1359     30     
Romance
Siapa sangka, Bella Natalia, cewek remaja introvert dan tidak memiliki banyak teman di sekolah mendadak populer setelah mengikuti audisi menyanyi di sekolahnya. Bahkah, seorang Dani Christian, cowok terpopuler di Bernadette tertarik pada Bella. Namun, bagaimana dengan Vanessa, sahabat terbaik Bella yang lebih dulu naksir cowok itu? Bella tidak ingin kehilangan sahabat terbaik, tapi dia sendiri...