Selama jam pelajaran Rega yang duduk di belakangku terus-terusan menggoda aku yang bertengkar dengan mama. Meledek aku yang tadi diseret ke sekolah oleh mama. Dan karena mulutnya yang lebih ember dari perempuan satu kelas pun tahu.
Walaupun tidak ada yang berkomentar. Walaupun mereka hanya tertawa beberapa detik yang kemudian tidak membahas kejadian tadi pagi lagi. Tetap saja aku merasa malu.
Seorang siswi SMA diseret mamanya karena tidak mau sekolah.
Bukankah itu lucu sekali untuk dijadikan lelucon di masa mendatang?
Dan lagi-lagi laki-laki dibelakangku. Laki-laki paling... entahlah aku tidak bisa mendeskripsikannya. Yang jelas Rega adalah tipe teman paling mengganggu kalau sudah bertingkah seperti saat ini. Terkikik-kikik geli sambil mencolek-colek punggungnya menggunakan pulpen sambil terus memanggil namanya.
"Ya... Naya!" panggil Rega lalu tertawa terkikik dengan intonasi pelan.
Syukurlah, laki-laki tengil yang mengganggu ini cukup tahu diri dan memelankan suaranya. Jika tidak guru sudah melotot padanya dan aku akan terkena imbasnya, sebagai objek ketengilan Rega.
"Baru kali ini gue lihat anak SMA di seret ke sekolah sama emaknya." godaan Rega bahkan tak berhenti sampai bel tanda pelajaran berakhir berbunyi.
Rega tertawa lagi sambil memegangi perutnya.
"Apaan sih. Receh banget lo."
Aku mendelik sebal lalu menatap lurus kembali. Pada jalanan di depan mengabaikan Rega yang berjalan di sampingku masih tertawa-tawa.
"Tapi, kenapa? Seorang Naya yang gue kenal rajin, dateng ke sekolah suka paling pertama tiba-tiba telat dan dateng sambil di seret mamanya. Kenapa? Sumpah, ini adalah hal terlucu sepanjang tahun."
"Ini gara-gara lo juga." bentaku.
Memang gara-gara Rega. Gara-gara laki-laki ini mengadakan acara ulang tahun malam-malam dan aku sebagai sahabat dekat, tetangga, dan orang yang sudah seperti saudara perempuannya seperti memiliki kewajiban untuk datang. Yang berakhir debat panjang sepanjang malam dengan mama. Dan berlanjut pada kejadian tadi pagi yang berakhir diseretnya aku sampai gerbang oleh mama.
"Gue? Kenapa kesannya kayak lo melimpahkan kesalahan lo sama gue?"
Aku menghentikan langkah. Memutar tubuh dan menatapnya dengan intens. "Kenapa sih kemarin lo ngadain acara ulang tahun malem-malem?"
"Karena gue bukan anak TK lagi yang acara ultahnya dirayain sore-sore."
Jawaban nyeleneh Rega malah membuat aku semakin kesal. Namun, entah kenapa tiba-tiba saja aku merasakan sebuah perasaan sedih mengingat kejadian tadi pagi. Saat aku tahu bahwa mama menyeretku ke sekolah tanpa menggunakan alas kaki.
"Ga," panggilku terdengar sendu. Entah Rega menyadarinya...
"Apa?" tanya Rega masih dengan senyum lebar. Membuat aku mencebik. Sadar, Rega adalah Rega, orang paling tidak peka pada apa yang aku rasakan. Mana mungkin Rega menyadari ada sesuatu dari cara bicaraku yang berubah?
"Semalem gue berantem sama mama gara-gara gue gak diizinin ke rumah lo."
"Oh, pantesan lo gak dateng-dateng." sahut Rega. Sama sekali belum memahami situasi. Tapi, sudahlah. Rega kan orangnya memang seperti ini. Kelewat mencintai diri sendiri sampai tidak peka pada masalah orang lain, lebih tepatnya tidak peduli pada orang lain.
"Menurut lo wajar gak sih, remaja 17 tahun kayak kita berontak sama orang tuanya? Mencoba buat mendobrak aturan yang dia buat. Karena kita udah besar." Rega terdiam. Matanya mengerjap-ngerjap entah dia mengerti atau tidak. Sudahlah, aku tidak peduli. Yang aku inginkan hanya orang yang mendengarkan. Dan hanya ada Rega.
"Sering gue ngerasa iri sama temen-temen yang cerita kalau dia main malem-malem sama temennya. Nongkrong di cafe mana. Pergi ke mana. Ke pasar malem. Ke tempat keren yang cuma buka malam hari. Iya, sih, orang tua melakukan itu, membuat aturan itu karena mereka khawatir. Dunia malam gak seindah yang dibayangkan. Tapi, lama-lama gue merasa tertekan. Sekali-kali gue pengen pergi ke tempat keren yang cuma buka malam hari. Ke pasar malem. Bukan cuma keluar sunrise buat berangkat sekolah dan pulang sunset dan setelah itu mendekam di sarang sampai matahari terbit lagi.
Kekhawatiran orang tua emang besar. Tapi, kalau mama terus begitu sama gue, gue gak yakin apa yang bakalan terjadi sama gue nanti seandainya gue kerja ke luar kota dan tinggal jauh dari mama. Gue pasti bakalan takut banget buat keluar rumah. Gue mungkin gak bisa menyesuaikan diri sama lingkungan." Aku menatap Rega kembali. "Ga," panggilku lagi.
Rega hanya berdeham.
"Menurut lo gue salah gak sih berontak?"
Rega terdiam beberapa saat. Terlihat dia juga bingung harus menjawab apa. "Menurut gue berontak sekali-kali gapapa. Karena umur kita emang lagi dalam masa-masanya penuh pemberontakan. Kayak yang Pak Jeje bilang."
Rega nyengir saat menyebut nama guru olahraga yang setiap pertemuan selalu menceritakan hal yang serupa dari saat mereka masih kelas sepuluh. "Masa muda masa yang berapi-api. Yang maunya menang sendiri."
Aku mengernyit. Langsung tahu yang Rega katakan itu lirik lagu Rhoma Irama yang berjudul darah muda. "Itu lagu Rhoma Irama, bukan yang Pak Jeje bilang. Otak lo yah, suka miring kadang-kadang."
Rega malah tertawa.
"Tapi, lo harus minta maaf sama mama lo."
Aku menoleh. Terdiam menunggu kelanjutan kalimat Rega.
"Tadi pagi saking pengennya lo jadi orang yang bener, dia nyeret lo ke sekolah gak pake sendal."
Aku terdiam. Perlahan senyumku mengembang. "Gue juga berpikiran hal yang sama."
Tanpa disadari ternyata aku dan Rega sudah berada di depan gerbang masuk kompleks perumahan. Rumah aku dan Rega berada di blok F hanya butuh berjalan lurus dua puluh meter, belok kiri, kemudian belok kanan dan berjalan lurus sedikit sampai akhirnya sampai di rumahku. Sementara rumah Rega lebih jauh, berbeda beberapa rumah tetapi masih berada di blok yang sama.
Namun, sebuah keramaian yang amat asing membuat langkahku tiba-tiba berhenti. Begitu juga Rega. Ada banyak sekali orang di teras rumahku dan sebuah ambulance. Siapa yang sakit?
Sebuah firasat buruk tiba-tiba saja hinggap. Membuat langkahku terasa kian berat bahkan seakan tertancap ke tanah. Tidak bisa bergerak. Mencoba mengenyahkan firasat buruk tersebut dengan berpikir positif bahwa ada kecelakaan di depan rumahku dan korbannya di amankan di rumahku sementara untuk kemudian di bawa ke rumah sakit dengan ambulance yang terparkir tersebut.
Akan tetapi, saat Bi Mirna, asisten rumah tangga yang sudah seperti ibu keduaku berjalan dengan langkah lemah dengan wajah yang walaupun tersenyum menunjukan dengan jelas bahwa ada bekas-bekas air mata, membuat perasaanku semakin tidak enak.
"Neng." panggilan dengan suara serak disertai air mata yang mengalir kembali itu membuat aku semakin pias.
"Yang sabar. Mama Neng Naya kecelakaan tadi pas berangkat kantor."
Saat itu kepalaku terasa pening, kakiku seketika terasa lemas, dan perlahan kegelapan menghampiri. Aku pingsan dengan batin bertanya pada kehampaan. Apakah ini nyata?
***
Terimakasih sudah membaca!!