Lagu mengalun kencang melalui earphone yang aku pakai. Sangat kencang karena aku menyetel volume paling keras. Sehingga mungkin, suaranya bisa kedengaran orang di sampingku. Tetapi, syukurlah. Aku sedang sendiri di kamarku dengan seragam SMA yang sudah melekat dan jam dinding yang seolah memelototiku. Memberi tahu bahwa dua puluh menit lagi gerbang sekolahku di tutup. Tetapi aku tidak peduli. Sama sekali tidak peduli.
Aku masih marah. Dan berniat untuk mogok sekolah.
Kakiku menggoyang-goyang. Sementara wajah dengan mata yang sengaja aku tutup supaya tidak terkena sinar silau matahari pagi hari menghadap ke jendela kamar yang berhadapan dengan kebun hijau milik mama. Dari kaca kecil yang sengaja aku simpan di pinggir jendela aku melihat mama masuk kamar dan marah-marah.
Dia pasti sedang mengomeliku yang masih santai-santai di kamar sambil mendengarkan musik sementara sebentar lagi bel sekolah berbunyi. Omelan dan semuanya yang mama katakan sama sekali tidak berguna. Karena aku tidak mendengarnya.
Menyerah. Mama akhirnya keluar dari kamar. Aku tersenyum. Sebagai anak aku juga sekali-kali ingin melakukan sesuatu yang menarik perhatiannya, sesuatu yang menyadarkannya bahwa aku bukan lagi anak kecil.
Jika kalian tanya apa yang menyebabkan aku marah dan berniat mogok sekolah karena apa?
Jawabannya karena kemarin malam mama melarangku keluar, padahal sahabat baiku Rega mengadaan pesta ulang tahun. Mama melarangku dengan sangat bengis. Bahkan sampai melotot lengkap dengan telunjuk terangkat penuh peringatan. Padahal jarak rumah Rega sangat dekat. Hanya terpisah beberapa rumah dari rumahku. Dan saat aku ijin juga masih menunjuk pukul tujuh malam.
"Kamu ini perempuan Naya. Mau apa kamu berkeliaran malem-malem. Kalau ada yang nyulik kamu gimana?"
Seprotektif itu memang mama padaku. Padahal aku sudah 17 tahun. Sudah memiliki KTP dan mungkin sebentar lagi akan memiliki pacar.
Mama memang selalu khawatir berlebihan. Memangnya ada orang yang mau menculik anak gadis di kompleks yang pagi, siang, sore, atau malam ini ramai? Hanya kriminal dungu mungkin yang mau menculik orang dengan resiko kepergok lalu digebuki orang satu kompleks sampai meninggal.
Dan inilah akhirnya, karena mama bersikeras dan tak bisa dibantah sama sekali, akhirnya aku marah. Berniat mogok sekolah dan mogok bicara pada mama.
Mobil di dalam garasi dinyalakan. Itu artinya sebetar lagi mama akan berangkat kerja.
Tunggu, bukankah ini masih pukul 7 kurang?
Aku menoleh ke arah pintu bersamaan dengan mama yang murka masuk ke kamarku dan langsung melicuti earphone dari telinga kananku.
"Mau jadi apa kamu ha!" bentak mama di susul merampas ponsel dan earphone putih itu dari tanganku. Melemparnya asal ke atas ranjang.
Aku menatap hal itu semakin marah. Namun, aku sama sekali tidak bicara. Mengabaikan mama yang lanjut mengomel panjang aku meraih ponsel dan earphone dari ranjang dan berjalan keluar. Berniat untuk menghindari omelan mama. Dan juga membuat mama berpikir bahwa aku keluar untuk pergi ke sekolah.
Mama ternyata masih mengikutiku, berlari di belakang mengejarku yang menghindarinya sekuat tenaga. Jalan yang aku lewati jelas bukan arah menuju ke sekolah karena aku berbelok ke arah yang berlawanan.
"Naya!! Naya!!" panggil mama.
Aku lagi-lagi mengabaikannya dan terus berlari sambil memasangkan earphone pada kedua telingaku.
Namun, ternyata sangat sulit mengalahkan mama yang mantan atlet lari marathon itu. Dalam sekejap mama sudah mencengkeram tanganku lalu menyeretku ke arah menuju sekolah. Mengantarkanku sampai gerbang yang hendak di tutup.
"Pak!" teriak mama.
Pak Goni, satpam sekolahku yang nyaris menutup rapat gerbang menoleh.
"Jangan dulu di tutup!" teriak mama dua detik kemudian sampai di hadapan Pak Goni dengan aku yang masih meronta-ronta minta dilepaskan.
Namun, saat aku sadar bahwa aku sudah sampai sekolah rasanya sia-sia aku meronta. Aku sudah ada di depan sekolah.
Menghempaskan tangan mama aku berteriak. "Aku gak mau sekolah!"
"Anak bandel!" mama memukul kepalaku sangat keras ala-ala pemain voli mensmash bola. Sampai-sampai kepalaku sedikit pening setelahnya.
"Mau jadi apa kamu nanti kalau gak sekolah?" tanya mama bengis dengan bibir menipis. Wajahnya jelas-jelas sangat murka.
Mama beralih menatap Pak Goni. "Gerbangnya masih buka kan?"
Pak Goni ragu-ragu mengangguk. "Ma...masih."
Raut wajah ramah mama berubah seperti iblis kembali saat menatapku lengkap dengan mata melotot dan bibir menipis. "Sana masuk!"
Satu dorongan pada punggungku dari mama otomatis membuat aku terdorong beberapa langkah masuk ke dalam sekolah.
"Langsung tutup Pak." titah mama sebelum sempat aku berbalik untuk kabur pintu sudah tertutup rapat lengkap dengan gembok yang sudah terkunci.
"Belajar yang bener!"
Aku mengabaikan ucapan mama. Memalingkan wajah ke arah lain tak mau melihat mama. Terlalu menyebalkan dan kesal untuk melihat mama saat ini. Mama selalu tidak adil.
"Neng." panggil Pak Goni.
"Apa?" ketusku.
Pak Goni tersenyum maklum. "Ini mamanya nitip." pria paruh baya itu menyerahkan selembar uang seratus ribu padanya.
Aku menerimanya dengan wajah masih menekuk.
"Neng." Pak Goni kembali memanggil aku yang sudah berbalik hendak masuk melalui pintu front office.
"Neng harus bersyukur karena mamanya marah saat kamu gak mau sekolah. Sampai nyeret anaknya ke sekolah dengan kaki telanjang kayak gitu. Itu artinya mamanya sayang banget sama eneng."
Aku mengerjap. Mencerna apa yang Pak Goni katakan.
"Telanjang kaki?"
Segera aku berlari ke arah gerbang mengintip mama yang berjalan berlum terlalu jauh. Saat itu juga aku melihat kaki mama yang tak beralaskan apapun. Mama mengerjarku tadi sampai lupa tidak mengenakan alas kaki.
Tiba-tiba saja perasaan bersalah menelisik.
Tepukan pada bahu kiri membuat rasa bersalah itu tergantikan rasa kesal. Rega berdiri di sampingku sambil nyengir. Cengiran itu jelas cengiran penuh ejekan.
"Ciee yang berantem sama mamanya."
"Shut up!"
***
Semoga suka!!