Read More >>"> Sisi Lain Tentang Cinta (Sisi Lain Tentang Cinta) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sisi Lain Tentang Cinta
MENU
About Us  

SISI LAIN TENTANG CINTA

 

 

 

            Tanpa sehelai benang yang melekat di tubuh langsingnya, Sumini berdiri di atas altar batu yang teronggok di tengah padang ilalang. Matanya yang bulat bening menatap lurus  wajah bulan purnama yang sedang tersenyum riang pada para penghuni mayapada. Dibiarkannya lidah purnama menjilati sekujur tubuh dengan sinar keemasan yang bulat penuh. Angin malam yang sesekali ikut membelai, tampak menahan cemburu tatkala ia menggoyangkan ujung rambutnya yang tergerai sebahu.

            Bayangan pepohonan yang tampak menghitam menjadi penjaga setia yang sedetik pun tak pernah meninggalkan. Sebab lolongan serigala yang bersarang di hutan seberang desa telah mengisyaratkan akan datangnya sebuah marabahaya.

            Sambil menikmati hangatnya belaian bidadari rembulan, bibir mungil Sumini tiada henti komat-kamit merapal mantera yang ia warisi dari para leluhurnya. Suara lirihnya timbul tenggelam di antara desau angin yang bertiup gelisah. Kodok dan binatang malam yang biasanya gemar bernyanyi, malam ini pada lari sembunyi. Aura panas yang memancar dari tubuh telanjang di altar batu, memaksa para pemuja malam untuk diam membisu.

            Sesekali Sumini meliuk-liukkan tubuhnya dengan gerakan ritmis seakan ada sebuah iringan gamelan yang mengalun dari dunia mistis. Begitu kuatnya tenaga gaib yang menyelimuti, sehingga tiap kali tubuh Sumini bergerak, segenap ilalang yang ada di sekitarnya ikut bergoyang seolah terbawa sebuah tiupan kencang.

            Tiap kali Sumini merapal mantera dengan suara sedikit keras, Dewi Malam seakan bertambah mendekat ke bumi, sehingga tubuh telanjangnya yang bergerak ritmis bagai sedang menari tampak berkilat dicumbui bulan purnama. Dan ketika suaranya terdengar melemah, serta merta bulan bersembunyi, timbul tenggelam di balik awan hitam yang berarak pelan.

            Dan ketika sinar bulan purnama yang berkilauan itu membentuk satu pusaran yang meluncur deras ke dada Sumini yang membusung indah, gadis itu melenguh manja sembari menatap deretan rumah warga yang ada di kaki bukit tempatnya berada. Sinar matanya sarat dendam kesumat.

            “Bapa, Biyung…, dengan bantuan kekuatan dari Dewi Rembulan, aku akan balaskan dendam kalian pada orang-orang desa yang telah membakar kalian secara keji,” gumam Sumini sambil menyeringai. Sadis.

            Perlahan ia angkat sebelah kakinya, hingga paha mulusnya membentuk garis lurus. Lutut ia tekuk sedemikian rupa sehingga ujung jari kakinya bisa menempel pada lutut kaki sebelahnya. Sebentuk kertas ukuran postcard ia pakai sebagai tumpuan kaki yang berdiri dengan posisi berjinjit. Pada secarik kertas yang diinjaknya itu ada gambar seraut wajah dari orang yang sangat dicintainya namun sekaligus juga sangat dibencinya.

            “Wahai Dewi Rembulan, ijinkan aku meminjam segenap kekuatanmu untuk membalaskan sakit hati dan kesumatku pada warga desa. Hutang nyawa harus dibayar nyawa. Maka tagihlah kematian Bapa dan Biyungku lewat perantara Panjul. Panjul…, Panjul…, aku datang Panjul….” Suara Sumini terdengar semakin menyayat, menyerupai tembang Lingsir Wengi yang sengaja dinyanyikan untuk memanggil sepasukan setan.

            Purnama masih terus merajai langit, menemani Sumini yang sedang menghimpun bala bantuan dari para dedemit. Perlahan tapi pasti, cahaya purnama yang menjilat dadanya berpendar dan mengalirkan hawa panas di sekujur tubuhnya. Hingga foto Panjul yang ia pakai sebagai pijakan untuk berjinjit, mulai mengepulkan asap akibat terbakar dengan sendirinya.

                                                                      ****

            “Aaakhh….!”

            Panjul yang kala itu sedang tergolek di balai bambu, tiba-tiba melolong keras sambil merabai sekujur tubuhnya yang terasa panas. Akibat tubuhnya yang bergerak liar, ia sampai terlempar ke lantai dan terkapar.

            Tak tahan dengan hawa panas yang menyergap sekujur tubunya, Panjul berniat hendak menceburkan dirinya ke kolam di samping rumah. Perlahan ia pun bangkit dengan susah payah. Dengan sebelah tangan tetap berpegangan pada tembok rumah, ia melangkah tertatih menghampiri pintu depan.

            Di sela rasa sakit akibat hawa panas yang mengurung dirinya, muncul seraut wajah dari seorang gadis yang sangat dicintainya, Sumini. Dalam rasa sakit yang teramat menyiksa, entah mengapa wajah cantik gadis pujaan itu justru menjelma di permukaan angannya. Senyum manis dilengkapi lesung pipit yang menawan, menarai-nari di pelupuk matanya yang sesekali terpejam lantaran sakit yang merajam.

            Kerinduan macam apa ini, hadir menggedor-gedor pintu hati jsutru pada saat sakit sedang menerpa diri. Semakin sakit hawa panas itu mendera tubuhnya, semakin besar pula keinginannya untuk segera berjumpa dengan Sumini tercinta.

            Seperti orang linglung yang kehilangan separo kesadarannya, tangan Panjul meraba-raba menggapai gagang pintu. Krreekk! Perlahan ia tarik daun pintu hingga terbuka setengahnya.

            Oh! Sesaat ia terpana di tempatnya. Angin dingin yang bertiup di sela-sela pasukan hujan yang sedang menyerang bumi, serta merta memadamkan rasa panas yang tadi menyergap sekujur tubuhnya.

            Tak tahan diterpa angin dingin yang menusuk hingga ke tulang, Panjul kembali menghambur ke kamarnya dengan langkah yang dipaksakan. Dalam udara dingin yang beku itu, bayangan Sumini masih juga membayang dalam kalbu.

Sungguh, Panjul heran. Adzan Magrib baru saja berkumandang namun suasana sudah gelap seperti jam 9 malam saja layaknya. Langit ditutupi awan hitam tebal. Gerimis masih juga belum reda. Bahkan sesekali cahaya kilat yang terang benderang tampak membelah langit. Untuk kemudian disusul oleh guntur yang menggelegar memekakkan telinga.

Panjul  duduk menggigil di sudut kamarnya. Sesekali tangannya mencoba menekan saklar lampu yang ada di tembok sisi kanannya. Namun listrik  belum juga menyala. Sudah padam sedari awal turunnya hujan. Suara-suara jendela yang menderit akibat membuka dan menutup sendiri karena terpaan angin yang bertiup beku kian mempertebal rasa takut yang menyelimuti hati Panjul. Ditambah lagi kepergian kedua orang tuanya yang lagi kondangan ke kampung sebelah semakin menciutkan nyali Panjul hingga terbelah-belah.

“Tok! Tok! Tokk...!!

Sayup-sayup terdengar ketukan di pintu beradu dengan desau angin yang menderu. Hiii...! Panjul kian gemetar di tempatnya. Ia semakin meringkukkan tubuhnya hingga mirip udang yang baru diangkat dari panci perebusan.

“Tok..tok..tok...! Panjul...buka pintunya Panjul...! Tok...tok...tok...ini aku yang datang...! Panjul buka pintunya...Panjul...!”

Ketukan di pintu semakin jelas terdengar. Takut hanya salah dengar saja, Panjul mencoba mempertajam pendengarannya. Namun tetap saja suara-suara serak parau yang memanggil-manggil namanya itu terdengar semakin jelas.

“Panjul...buka pintunya...Panjul...ini aku yang datang...Panjul...Panjul....”

Mengira bahwa itu adalah suara bapaknya yang kedinginan lantaran nekad pulang menerobos guyuran air hujan, perlahan ia bangkit dan berjalan ke ruang depan. Sesekali ia merapatkan kerah jaketnya ketika angin dingin dirasa berhembus menerpa tubuh.

“Panjuul...Panjuul....” Panggilan dari arah pintu makin terdengar menggidikkan.

Panjul sedikit mempercepat langkah. Ia takut bapaknya akan marah kalau ia kelamaan membiarkan bapaknya kedinginan di luar. Apalagi ia tahu benar jika bapaknya mengidap reumatik akut.

“Iya Pak, sebentar.”

Panjul  mempercepat langkah. Dengan keberanian yang ia paksakan cowok 17 tahun itu mulai meraih handle pintu yang terasa dingin membeku.

Kraaakk!

Perlahan daun pinru terkuak. Serta merta hembusan angin yang dingin menusuk tulang menerjang masuk. Hembusan yang kencang membuat Panjul menggigil untuk beberapa saat.

Oh! Panjul tercekat.

Dari daun pintu yang terkuak sebagian itu matanya langsung terbelalak lebar manakala menatap sesosok tubuh yang berdiri di hadapannya dalam kondisi basah kuyub. Sayang ia tak dapat melihat dengan jelas wajah tamunya itu. Karena orang itu memakai topi yang terlalu melorot ke bawah hingga hampir menutupi seluruh wajah.

Dengan suara menggigil orang di hadapan Panjul berucap dengan bibir gemetar.

“Panjul...ini aku....Sumini.”

“Oh..kau Sum, silakan masuk. Gak enak bicara di sini, dingin.”

“Gak usah Njul, aku hanya sebentar kok.”

“Ada apa kok hujan-hujan begini kau nekad kemari?”

“Iya maaf  Njul, aku hanya ingin agar besuk kau kembalikan buku puisiku yang kau pinjam minggu kemarin. Tolong kau antar ke rumahku, ya.”

“Apa nggak sekarang saja kau bawa sekalian, aku sudah selesai kok.”

“Jangan! Nanti bukunya basah dan tulisannya luntur gak bisa kebaca.”

“Atau besuk saja aku berikan di sekolah. Besuk kan waktunya daftar ulang?”

“Tidak bisa Njul.”

“Kenapa tidak?” Panjul bertanya dengan wajah keheranan.

“Besuk aku gak masuk.”

“Kenapa?”

“Ada suatu kepentingan yang suatu saat kau akan tahu dengan sendirinya.”

“Tapi kalau kau tidak daftar ulang kan, bisa dianggap keluar.”

Sesaat Panjul terkesima. Sumini adalah anak yang rajin. Jarang banget tidak masuk sekolah kecuali pas ia benar-benar sakit parah. Tapi sekarang, baru hari pertama mau masuk setelah libur semester selama 2 minggu, eh, ia malah sudah mau ijin. Sebenarnya ingin rasanya ia menanyakan ada kepentingan apakah gerangan tapi ia tak mau dianggap terlalu mencampuri urusan orang. Meskipun orang itu adalah kekasihnya. Ia sadar, mencintai bukan berarti mengekang kebebasan orang yang dicintai. Sebab baginya cinta adalah rela sakit demi membahagiakan orang yang dicintai.

“Kakek dan Nenekku sudah mengijinkan aku ke pihak sekolah kok dan mereka mau mengerti dengan keadaanku.”

“Tapi sebenarnya ada apa sih dengan dirimu?”

“Suatu saat kau akan tahu sendiri.”

“Ba…, baiklah kalau begitu. Tapi rumahmu tetap di kampung Krajan itu, kan?” canda Panjul mencoba mengakrapkan suasana.

“Ya...selamanya aku akan tetap tinggal di situ.”

Hehe...Panjul memaksakan tersenyum walau bibirnya terasa beku.

“Baiklah...aku pulang dulu, Njul. Permisi.”

Tak sempat Panjul menjawab. Tak sempat pula ia bertanya temannya itu datang naik apa dan dengan siapa. Sebab begitu gadis itu berlalu dari hadapannya tiba-tiba hujan bertambah deras. Disertai desau angin yang juga kian mengganas.  

Panjul menutup pintu rumahnya kembali. Sambil tetap memikirkan kenekadan Sarinten yang datang di waktu hujan deras seperti ini, ia meninggalkan ruang tamu dan menuju ke kamarnya. Diambilnya tas sekolah yang tergeletak di meja belajar. Lantas dibawanya ke tempat tidur.

Perlahan dikeluarkannya seluruh isi tas sekolahnya. Dibiarkannya aneka buku pelajaran itu berserakan di atas kasur. Kemudian diambilnya buku coklat kusam yang ada di tengah salah satu buku tulisnya.

Memegang buku itu, serta merta hatinya bergetar tanpa sebab. Ujung hidungnya langsung mengembang karena mencium aroma yang tidak lazim. Bau bunga melati! Padahal ia tahu persis bahwa ia tak pernah menyemprotkan parfum ke dalam tasnya. Ia juga tidak pernah menaruh bunga melati di sana. Tapi kini ini, aroma melati itu benar-benar menyengat dari tiap lembar buku itu.

Akh!

Panjul tercekat. Dengan menebarkan aroma melati seperti ini, buku puisi tulisan tangan Sumini itu seolah menjelma menjadi bukan buku biasa. Tapi buku puisi dari alam lain yang terasa hendak mempengaruhi dirinya.

Dan ketika terdengar bunyi tokek di antara rintik hujan yang masih jelas kedengaran, Panjul meletakkan buku puisi dari alam lain itu di mejanya agar besuk tidak sampai terlupa untuk mengembalikan ke rumah yang punya.

                                                          ****

 

Hari Kamis Kliwon malam Jum’at Legi.

Bapak dan Mboknya Panjul hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum ketika melihat anaknya sudah mandi dan berdandan rapi padahal jam baru menunjukkan pukul 08.00 pagi. Padahal biasanya kalau sedang liburan begini Panjul sekitar jam 9 atau 10 baru bangun. Tapi hari ini ia begitu bersemangat sekali.

“Tumben kau jam segini sudah rapi, mau kemana kau Njul?” tanya si mboknya saat Panjul menyisir rambut di depan kaca almari.

“Mau ke rumah teman, Mbok,” jawabnya dengan senyum manis.

“Kok tumben. Teman yang mana itu?” goda si mboknya pula.

“Itu Mbok, teman dari satu sekolah kok.”

“Satu sekolah? Ada urusan apa?”

“Cuma mengembalikan buku, Mbok. Soalnya semalam dia ke sini minta agar bukunya yang aku pinjam dikembalikan hari ini,” sahut Panjul belum juga beranjak dari depan kaca almari.

“Lho, kalau dia sudah ke sini kenapa bukunya nggak sekalian kau berikan saja tadi malam?” selidik mboknya.

“Semalam kan hujan, Mbok. Takut tulisannya luntur kehujanan.”

“Oo, begitu.”

Panjul mengangguk.

“Tapi nanti pulangnya jangan sore-sore ya!”  pesan si mboknya yang kali ini hendak menyiapkan menu sarapan.

“Memang kenapa, Mbok?”

“Ini kan malam Jum’at Legi jadi nanti kau ikut si mbok nyekar ke makam kakek nenekmu.”

Yamg dimaksud  nyekar  itu adalah ziarah ke makam kerabat sambil menaburkan bunga di atas makamnya. Dan sudah menjadi keyakinan sebagian besar orang Jawa kalau nyekar di malam Jum’at Legi akan memiliki nilai yang lebih.

“Iya Mbok.”

“Nah sekarang kau sarapan dulu sama bapakmu, mbok masih ada kerjaan di dapur.”

“Memang Bapak di mana, Mbok?”

“Lagi nonton berita di tivi. Kau panggil sana gih!”

“Baik Mbok.”

Panjul melangkah ke ruang tengah. Memanggil bapaknya untuk diajak sarapan bersama. Dan sama seperti reaksi mboknya saat melihat Panjul yang sudah rapi di jam segini, sang bapak jadi senyum-senyum sendiri. Mungkin teringat masa mudanya saat ia sedang tergila-gila dengan gadis yang sekarang jadi istrinya.

Selesai sarapan Panjul segera pamit pada kedua orang tuanya. Tanpa diminta sang bapak pun memberinya ongkos untuk naik kendaraan. Sambil menenteng buku puisi yang kini beraroma melati, ia bergegas ke tepi jalan raya guna menunggu bus sesuai arah yang akan ditujunya.

                                               ****

 

Melompat turun dari bus di pertigaan jalan desa yang menuju ke kampung Krajan, Panjul terpaksa harus berhenti dan berteduh di sebuah gardu reot yang ada di bawah pohon beringin besar yang berdiri kokoh di tepi jalan. Akar gantungnya yang menjuntai ke segala arah, dalam kondisi mendung gelap seperti sekarang makin tampak angker bagai tangan-tangan setan yang siap mencengkeram siapa saja yang melintas di jalan itu.

Entah sedang apes atau karena hari mau turun hujan, gubug yang biasanya jadi tempat mangkal para tukang ojek itu, sekarang lengang. Yang terlihat hanya Panjul yang berdiri sendirian sembari menyandarkan punggungnya pada salah satu tiang penyangga yang sudah tak lagi tegak posisinya.

Panjul semakin resah.

Dua jam telah berlalu namun belum juga ada seorang tukang ojek yang melintas di jalan itu. Sementara mendung kian tebal menutupi langit. Panjul berdiri termangu seraya menimang-nimang buku kumpulan puisi hasil tulisan tangan Sumini sendiri. Puisi yang sebagian besar berisi ungkapan kata hati yang menyanjungi alam kegelapan. Meski ada juga beberapa puisi yang seolah ingin ditujukan pada seseorang berinisial P. Ia yakin puisi itu pasti ditujukan untuk dirinya. Bukankah perempuan selalu pandai menyembunyikan perasaannya. Meski sudah saling menyatakan cinta, tapi tetap saja cewek lebih banyak berpura-pura sikapnya.

Tapi dasar cinta, andai saja bukan karena permintaan Sumini untuk mengembalikan buku usang itu hari ini, dalam cuaca mendung begini, sudah pasti ia pilih mendengkur di balik selimut tebal di kamarnya.

“Mau ke kampung Krajan, Nak?” satu suara tiba-tiba mengagetkannya.

Panjul  menoleh. Seorang kakek renta berjenggot panjang berdiri membongkok di sisi sepedanya yang usang dan sudah berkarat di segala bagian. Bahkan bisa jadi usia sepeda itu sudah jauh lebih tua dari pemiliknya.

Panjul memberanikan diri untuk tersenyum baru kemudian menjawab.

“I..iya Kek.”

“Mau apa kau ke sana?” kembali kakek itu bertanya sembari memilin-milin jenggotnya yang sudah berwarna putih semua.

“Ini Kek, mau mengembalikan buku milik teman saya.”

“Teman?!”

“Ii...iya Kek, teman.”

“Siapa namanya?”

“Sum...Sumini, Kek.”

“Ohh...,” gumam kakek itu seraya mengangguk-anggukkan kepalanya yang berambut gimbal..

“Apa Kakek mengenalnya?”

Kakek itu menatap Panjul sesaat. Tatapannya menghujam dan membuat jantung Panjul terasa melompat dari tempatnya berada. Lebih-lebih ketika kakek itu menyeringai memamerkan giginya yang tinggal beberapa biji saja.

“Tidak. Tapi jika kau mau ke sana bareng saya, silakan. Saya akan antar sampai ke rumah temanmu itu.”

“Benarkah?” Panjul bertanya riang.

Sang kakek tersenyum disertai anggukan kepala.

                                                              ***

 

Panjul duduk di boncengan sepeda kakek renta yang membawanya melintasi jalan setapak yang membelah hutan belantara. Sepanjang perjalanan tak ada yang buka suara. Hanya mata Panjul yang sesekali menatap jengah ke sekelilingnya. Semakin ke tengah hutan, pohon yang ada di kanan kiri jalan itu semakin lebat. Saking lebatnya daun-daunnya sampai berhimpit sehingga tak menyisakan celah lagi untuk melihat ke langit. Namun seolah hafal dengan jalan yang di tempuhnya, si kakek terus mengayuh sepeda tuanya tanpa lelah.

Aneh memang!

Entah darimana kakek itu mendapatkan tenaga yang demikian besarnya sehingga sampai melebihi usianya. Namun Panjul tak sempat berpikir sampai ke sana.

“Nah, kita berpisah di sini. Rumahku ada di ujung jalan yang berbelok ke kanan itu. Sedang rumah temanmu, di sana, di ujung jalan ke arah kiri,” kata Kakek itu saat menghentikan sepedanya di persimpangan jalan berbatu.

“Baik Kek, terima kasih.”

Merekapun berpisah. Kini Panjul berjalan sendirian di tengah pepohonan perdu setinggi pusarnya. Berkali-kali kakinya terantuk batu atau entah apa, Namun Panjul terus saja melangkah. Bluk! Tiba-tiba buku yang sedari tadi ditentengnya, terjatuh di tengah semak belukar. Panjul spontan menghentikan langkah. Ia langsung berjongkok dan mengulurkan tangannya guna meraba-raba di tengah semak belukar.

Saat tangannya dirasa sudah menemukan sesuatu, ia pun tersenyum. Lantas diangkatnya benda itu lebih dekat ke wajahnya.

Hah!

Panjul serta merta menjerit tertahan. Benda yang ada dalam genggamannya ternyata bukanlah buku yang ia maksudkan. Tapi sebuah nisan yang berlumuran darah di bagian pangkalnya.

“Aaaaaaahh....!!”

Panjul menjerit histeris. Serta merta ia lempar begitu saja nisan yang ada di tangannya. Dengan dada berdegub kencang ia coba berlari meninggalkan tempat itu. Namun sayang, semak belukar yang tadinya diam, kini tiba-tiba bergerak cepat menjerat dan mengikat kedua kakinya. Hingga Panjul pun jatuh terjengkang. Dari bekas tempat nisan yang tercabut olehnya menyembur gumpalan darah hingga menggenangi seluruh tempat Panjul berpijak. Semakin Panjul berusaha untuk berontak semakin besar pula darah yang menyembur di hadapannya.

Kini Panjul sudah hampir tenggelam dalam lautan darah bercampur nanah yang berbau anyir  menjijikkan. Dengan sekuat tenaga ia berusaha berenang dalam lautan darah itu. Namun akar-akar hidup yang menjerat kakinya justru kian menyeretnya ke dasar lautan darah.

Bagai ikan terlempar ke darat, Panjul megap-megap. Genangan darah yang telah mencapai mulut dan hidungnya, perlahan mulai merayapi kerongkongannya dan lantas bersemayam di perut dan mengaduk-aduk seluruh isi perutnya.

Panjul dilanda mual hebat namun tak bisa muntah! Dan setelah itu Panjul tak ingat apa-apa lagi. Yang ia rasakan hanyalah gelap dan gelap seolah dunianya telah tertutupi oleh nisan tanpa nama yang telah membenamkannya ke dasar lautan darah.

                                                             ****

 

            Waktu itu, tepatnya saat Panjul dan Sumini masih kelas VII. Pada hari Sabtu sore jam tiga lewat lima belas menit, Panjul sedang mengantarkan Sumini pulang sehabis mangikuti ekstra jurnalistik. Panjul menjalankan motornya dengan kecepatan rendah. Di atas boncengan Sumini diam membisu. Hingga lepas gerbang sekolah, Panjul tak menambah kecepatan motornya. Dibiarkannya motor itu melaju pelan-pelan. Sementara arloji Sumini sudah menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh menit. 

            “Sum…,” panggil Panjul memecah keheningan suasana. 

            “Hmm.” 

            “Aku punya masalah, kau mau membantu?” 

            “Masalah apa?” Sumini balik bertanya dengan suara merdu. 

            “Jawab dulu! Mau nggak?” 

            “Eng…kalau aku mampu, ya mau saja.” 

            “Saat ini aku lagi sakit, Sum.” 

            “Sakit apa?” tanya Sumini seraya tersenyum. 

            Habis, Sumini kan heran juga. Panjul yang kini segar bugar kok bilang lagi sakit. Aneh kan!  

            “Sakit asmara,” jawab Panjul datar. 

            Sumini tertawa kecil, Panjul melihatnya dari kaca spion. 

            “Kenapa kau tertawa Sum?” 

            “Lucu.” 

            “Kok lucu?” 

            “Habis…, sakit asmara kok jadi masalah.” 

            “Dengar dulu, begini ceritanya….” 

            Belum sempat Panjul mulai cerita, Sumini telah lebih dahulu menutup telinganya dengan kedua telapak tangan. Panjul tersenyum gemas. 

            “Mau dengar nggak Sum?” 

            “Mau.” 

            “Nah gitu dong Sum, saat ini aku lagi jatuh cinta setengah mati, tapi aku jadi bingung sendiri.” 

            Olala, seketika hati Sumini berdesir. Akh, Panjul jatuh cinta. Kepada siapakah Panjul jatuh cinta? Alangkah bahagianya seandainya dialah gadis yang membuat Panjul jatuh cinta. Tak mungkinkah dia gadisnya?

            Tapi dia merasa tak punya kelebihan apa-apa. Sedangkan Lili sang bunga SMA ataupun Prita yang otaknya cemerlang saja tak mampu menggoyahkan iman Panjul. Apalagi dia yang hanya gadis nomer kesekian yang termasuk dalam daftar cewek dengan kategori cantik. Oh…perlahan Sumini menghembuskan napasnya. 

            “Masih melek kan, Sum?” tanya Panjul pula.

            “Ah, siapa bilang aku tidur,” seloroh Sumini.Panjul tertawa ha ha ha. 

            “Habis diam melulu. Mestinya kan kau tanya, mengapa aku bingung.” 

            “Eh iya, kenapa kamu bingung?” 

            “Ugh, bisanya meniru.” Panjul pura-pura kesal. 

            “Sekarang kan memang lagi jamannya sintetis.”  

            “Akh sudahlah, kau mau dengar nggak?” sergah Panjul. 

            “Oke Tuan.” 

            “Aku bingung sebab gadis yang membuatku sakit tadi, tidak tahu kalau aku mencintainya.” 

            “Kok bisa begitu?” tanya Sumini nggak mengerti. 

            Oo, Sumini berpikir betapa gobloknya gadis itu. Dicintai oleh Panjul yang menarik kok tidak tahu. Atau hanya pura-pura tidak tahu. Entahlah!

            “Entahlah Sum, sebab sikapnya padaku nggak ada yang diistimewakan, padahal aku sendiri selalu memperhatikannya.” 

            Sumini diam membisu. Kekesalan merambati dadanya. Wajahnya berubah murung seketika. Mengapa bukan ia yang membuat Panjul jatuh cinta. 

            “Aku takut dia akan di serobot orang. Aku amat menyayanginya. Aku ingin dia jadi kekasihku. Apakah dia akan mau, Sum?” 

            Sumini mengangkat wajah. Dia amat terkejut namanya di sebut. 

            “Apa Njul?” tanyanya tolol. 

            Ya, memang Sumini tak mendengar pertanyaan Panjul. Sebab ia lagi membayangkan betapa cantiknya gadis yang dikagumi sekaligus di cintai oleh Panjul. Jika Lili dan Prita saja tak dapat menakhlukkan hati Panjul, tentu yang satu ini sangat luar biasa. Hingga mampu membuat Panjul mabuk kepayang. Sampai kasmaran sebegitu dalam. Siapakah adanya dia? Sumini mereka-reka wajah-wajah para cewek yang ada di sekolahnya yang menurut penilaiannya tergolong cantik.

            Satu per satu. Dari kelas yang satu ke kelas yang lain. Di cobanya mereka sosok wajah mereka. Sampai akhirnya angannya terhempas pada satu sosok yaitu Bety. 

            Ya, Bety. Teman satu kelasnya ini memang tak termasuk dalam daftar cewek cantik. Tapi manis juga. Pergaulannya yang luwes membuat ia banyak disenangi oleh rekan-rekannya. Jadi jelas, Bety lah yang masuk jadi alternative gadis yang telah berhasil menaklukkan hati Panjul.

            Meski itu baru perkiraan hasil penilaian Sumini semata. Tapi itu hampir dapat dipastikan. Karena dia lah satu-satunya gadis yang tampak paling akrap dengan Panjul. Di samping Sumini sendiri tentunya. Hanya saja Sumini tak berani menempatkan dirinya pada posisi itu. Takut di bilang GR begitu. 

            “Apa dia akan mau jadi kekasihku, Sum?” Panjul mengulang pertanyaannya. 

            “Aku…aku tak tahu, Njul,” seloroh Sumini sekedar menutupi kegugupannya.

            “Mengapa tak tahu?” 

            “Aku….aku kan, bukan dukun,” ucap Sumini lirih. Bahkan mirip sebuah bisikan. Jantungnya jadi lemah sehingga tak ada gairah sama sekali. Sementara Panjul terkekeh mendengarnya. Lucu juga ya si Sumini? 

            “Rupa-rupanya kau juga punya bakat melawak, Sum.” 

            “Akh! Kata siapa?” 

            “Akh sudahlah. Kira kira dia mau nggak, Sum?” 

            “Nggak tahu, Panjul. Tanya saja sama dia,” kata Sumini tenang. 

            Walau sebenarnya dalam dadanya semakin terasa bergemuruh. Ya mirip batu kapur di siram air sumur. Ada rasa sesal dan kecewa yang bersemayam di hatinya.Sebab ia merasa tak menarik bagi Panjul. 

            “Yah, memang sebaiknya aku tanya padanya saja deh. Kau mau Sum?” 

            “Mau, mau apa?” tanya Sumini cepat. 

            “Aduh…! Jangan pura-pura dong, Sum.” 

            “Iya, tapi mau apa sih?” 

            “Eng…, ya mau, seperti kataku tadi.” 

            Senja pun kian temaram. Sumini diam membisu dan telinganya terasa dingin diusap angin senja. Dirapatkannya krah jaket. Pikirannya mengingat apa yang dimaksud Panjul barusan. Dan akhirnya ia tersenyum manis. Pipinya memerah tertimpa sisa sinar mentari senja hari 

            “Mau nggak, Sum?” tanya Panjul lembut sambil memperlambat laju motornya. 

            Seketika Sumini mengangguk. Ah, tolol pikirnya. Panjul tentu tak akan tahu walau ia mengangguk berulang kali. 

            “Kau marah, Sum?” 

            “Enggak,” jawab Sumini cepat.

            Tak terasa perjalanan pun telah usai. Panjul menghentikan motor di depan rumah Sumini yang nampak asri. 

            “Tidak masuk dulu, Njul?” 

            “Apa boleh?” 

            “Untukmu, pintu rumahku selalu terbuka,” ujar Sumini dengan senyum yang teramat manis. Seketika Panjul pun ikut tersenyum. 

            “Jadi…jadi kau mau?”  tanya Panjul tak percaya. 

            Sumini mengangguk dan tersenyum bahagia. Lalu menunduk. Mata Panjul bersinar cerah. Diraihnya tangan Sumini kemudian dengan lembut diciumnya punggung tangan Sumini yang halus  tapi dingin itu. Sumini memejamkan mata meresapi kebahagiaan yang memenuhi sanubarinya.

              Dan untuk hari-hari selanjutnya, setiap ada kesempatan mereka selalu berdua untuk memupuk apa yang dinamakan cinta antara dua anak manusia yang mulai bersemi di akhir senja yang indah sore itu.  

            Sampai di sini lamunan Panjul terputus. Seseorang mengetuk pintu kamarnya.

            “Tok tok tok.” 

            Bergegas Panjul berdiri, beranjak ke depan pintu. Dan betapa terkejutnya ia manakala ia tahu siapa orang yang berdiri di depannya. 

            “Selamat sore, Njul,” ucap Sumini kaku. 

            “Akh, panjang umur kau Sum, baru saja dilamunkan sudah datang sungguhan.” Ucap Panjul disertai senyuman.

            Tapi kelihatan sekali kegugupan Panjul yang belum pernah dilihat Sumini selama ini. Di mata Sumini, Panjul adalah figure cowok yang tak pernah gentar selama ia merasa benar. Dan itulah yang sangat di sukai Sumini di samping wajahnya yang lumayan memikat.

            “Boleh aku masuk?”  

            Astaga! Barulah Panjul sadar kalau ia belum mempersilakan Sumini masuk. Dan dengan senyum sumbang, ia pun berkata.  

            “Masuklah.” 

            Lalu dia sendiri melangkah masuk, mendahului Panjul. 

            “Kok sepi? Kemana Bapak dan Ibumu?” tanya Sumini menutupi kegugupannya.

            Sumini duduk. Panjul telah pula menghidangkan segelas teh dan kue bolu. Tapi semua itu tak mengundang selera Sumini. Padahal Panjul telah pula mempersilakannya. 

            “Kemana Ibu?” Sumini mengulang pertanyaannya. 

            “Bapak dan Simbok masih pulang dulu, beresin rumah katanya.”

            Sumini tersenyum. Senyum manis yang mengandung suatu misteri.

            “Oya Njul, kemarin lusa aku sudah menunggumu di depan rumah. Aku juga sempat melihat kamu berjalan ke arah rumahku, tapi tiba-tiba kamu jatuh dan gak terlihat lagi. Apa sebenarnya yang terjadi denganmu? kok sekarang kamu malah opname di sini?” Sumini menatap wajah Panjul lekat-lekat.

            “Entahlah Sum, tiba-tiba saja aku nyasar ke sebuah kuburan tua. Dan maaf, buku puisimu jadi hilang di sana. Semua ini gara-gara Kakek berjenggot putih itu.” Panjul berkata penuh sesal.

            “Jadi kau dibonceng sepedanya Kakek Djail itu?”

            “Kakek Djail? Kamu kenal juga dengannya?”

            “Gak ada yang tak kenal dengan Kakek Djail. Dia memang sering bikin ulah, ngerjain orang-orang yang ingin bertandang ke kampungku.” 

            “Tok tok tok!” Kembali terdengar ketukan di pintu kamar itu sebelum Panjul sempat menanggapi omongan Sumini.

            Panjul bergegas bangkit dari duduknya. Ia berjalan pelan menuju pintu kamar. Perlahan pula ia kuak daun pintu bercat putih itu. Seulas senyum segera ia tebarkan saat melihat siapa yang datang. Mereka adalah Mbak Sodi, satpam sekolahan bersama dua orang guru, guru Agama Islam dan Bu Tirta wali kelasnya Panjul.

            “Alhamdulillah, akhirnya kau sadar juga Njul setelah pingsan selama tiga hari. Dan omong-omong kedengarannya kau tadi sedang ngobrol seseorang. Apa kedatangan kami mengganggu?” Mbah Sodi mengawali pembicaraan.

            “Oh, tentu saja tidak, Mbah. Dia hanya teman sekelasku kok Mbah, Sumini,” sahut Panjul seraya menoleh ke belakang.

            Astaga! Mata Panjul langsung terbelalak lebar. Betapa tidak! Tanpa tahu kapan keluarnya, Sumini sudah tak ada di kursi plastik yang tadi didudukinya. Sejenak Panjul mengedarkan pandangan mencari-cari keberadaan Sumini. Bahkan ia sampai memeriksa di kolong ranjang.

            Melihat hal itu, Mbah Sodi tersenyum. Ia lantas menggandeng pundak Panjul, membawanya duduk di ranjang.

            “Tak perlu kau cari temanmu yang bernama Sumini itu, Njul. Dia sudah pergi jauuh sekarang,” kata Mbah Sodi penuh kehati-hatian.

            “Maksud Mbah Sodi apa?”

            “Tabahkan hatimu ya Njul. Sebenarnyalah saya sudah lama mengamati kamu di sekolah. Saya sering lihat kamu sedang bicara dengan seseorang, padahal kamu sedang sendiri. Semula saya kira, kamu adalah anak indigo yang mampu berkomunikasi dengan makhluk halus. Baru kemarin ketika kau tak sadarkan diri dan terus menyebut-nyebut nama Sumini, saya baru sadar dengan apa yang sedang kau alami sebenarnya.” Mbah Sodi berkata sambil membelai pundak Panjul.

            “Maksud Mbah Sodi, Sumini itu adalah….”

            Belum sempat Panjul melanjutkan kalimatnya, Mbah Sodi yang rambut, kumis, dan jenggotnya sudah pada beruban itu, serta merta memenggalnya.

            “Ya, Sumini itu adalah roh halus yang sering gentayangan di lingkungan sekolah. Dulu dia memang siswi di sekolah kita juga. Suatu saat orang tuanya dicurigai warga sebagai dukun santet. Lalu keluarganya dibakar hidup-hidup di hutan pinggir desa. Kiranya sekarang dia sengaja mendekatimu untuk menuntut balas atas kematian dia dan keluarganya.”

            “Memangnya dulu dia tinggal di desa mana, Mbah?” Ada kegetiran di balik suara Panjul yang bergetar.

            “Dia tinggal di desa yang sama dengan desa yang kau tempati, Njul.”

            “Kalau begitu dia….” Panjul tak kuasa meneruskan kalimatnya.

            “Ya, dua hari yang lalu saat kau masih tak sadarkan diri, dia telah memperalat ragamu untuk melampiaskan dendan kesumatnya itu. Dia membakar desamu hingga rata dengan tanah. Sebagian besar warganya tewas terpanggang, termasuk kedua orang tuamu, Njul.”

            “Apa? Bapak dan Simbok telah me…ning…gal…? Oh, tidaaakk!”

            Serta merta Panjul menjerit histeris sambil melomcat dari tempat tidur. Sepertinya ia kalap dan hendak berlari pulang. Untunglah Mbah Sodi dengan sigap dapat menahan tubuh Panjul. Dengan paksa Panjul dibaringkan kembali di ranjang. Panjul meronta-ronta tak karuan.

            Tanpa aba-aba sang wali kelas dan guru Agama Islam segera membatu Mbah Sodi, memegangi tangan Panjul yang bergerak liar. Sementara Mbah Sodi sendiri dengan sekuat tenaga memegangi kedua kaki Panjul. Mulut orang tua itu tak henti-hentinya komat-kamit merapal mantra untuk mengusir sisa-sisa kekuatan arwah Sumini yang masih menyelimuti jiwa Panjul.

            “Grrrr…lepaskan aku! Kematianku harus sempurna. Aku harus membawa serta nyawa seluruh warga untuk menyempurnakan kematian bapak dan ibuku. Lepaskan! Lepaskan aku, grrrr….!” Panjul menggeram dan mendesis sambil menebar ancaman.

            Mbah Sodi tak bergeming. Bibirnya tetap komat-kamit. Semakin lama semakin cepat, seimbang dengan gerakan tubuh Panjul yang kian liar tak terkendali.

            “Grrrr…, jangan halangi aku orang tua! Bocah ini adalah kekasihku. Dia harus ikut ke alamku. Aku harus membawa dia! Harus! Hi hi hi hi hi…!” Tiba-tiba suara Panjul berubah menjadi suara Sumini yang penuh dendam.

            Tapi Mbah Sodi sedikitpun tak mau lengah. Usai merapal mantera, ia tiupkan udara dari mulutnya ke mulut botol air mineral. Ia teguk air dari dalam botol itu secukupnya kemudian ia sembur-semburkan ke tubuh Panjul, dari ujung rambut sampai ujung kaki.

            “Kembalilah kau ke alammu, Sumini. Kembalilah! Biar kami yang akan menyempurnakan kematianmu. Kau dan bocah ini sudah berlainan alam. Tak mungkin bisa bersatu dalam cinta. Maka kembalilah ke alammu. Kembalilah Sum…”

            Tak mau kalah, sang guru Agama pun membaca doa-doa yang ia petik dari kitab suci Al-Qur’an sambil memegangi tangan Panjul yang masih meronta.

            “Aaaaaah!” Sesaat Panjul meraung dengan keras. Suaranya terdengar menggidikkan. Seperti suara dari para penghuni alam kegelapan. Saking kerasnya Panjul meraung dan meronta, tubuhnya sampai terangkat setinggi tinggi 30 centi dari ranjang. Brugk! Panjul terhempas dan kembali pingsan.

            Di alam bawah sadarnya, Panjul lamat-lamat mendengar lantunan sebuah puisi tentang kematian yang sempurna. Puisi sama yang pernah i abaca dari buku puisi milik Sumini yang pernah dipinjamnya.

            “Mimpi…

            Adalah bagian terindah dari tidur

            Mati…

            Adalah bagian terindah dari hidup

            Sambutlah kematian yang menjemput dengan senyum

            Biarkan jiwamu terbang mengakhiri dentum

            Merangkul maut, membelai takdir yang usai

            Dalam keranda kematian yang sempurna…”

            Perlahan mata Panjul yang semula masih melotot meskipun pingsan, menjadi redup dan lalu terpejam. Ia seolah terbang mengembara mengikuti alunan puisi yang datang dari alam kegelapan.

            Mbah Sodi dan guru Agama, terus berdoa agar Panjul terlepas dari buaian cinta yang ditebarkan oleh sang pemuja kematian sempurna. Cinta beraroma dupa dari makhluk tak kasat mata untuk menuntaskan dendam kesumatnya.

            Sebab setan tak pernah pensiun menggoda manusia. Beruntunglah bagi orang-orang yang hanya berlindung pada Sang Maha Pencipta. Tubuh Panjul masih terbujur lemah tanpa daya. Separo jiwanya masih mengembara menapaki jejak-jejak kematian yang sempurna.

                                                                     ****

            Purnama datang lagi. Namun kini Sumini tak dapat lagi menjamah batu altar yang makin terlihat samar lantaran tertutup rimbunnya ilalang. Tiada lagi dayanya untuk memuja kehadiran sang Dewi Malam guna meminjam kekuatan. Ia hanya mampu menyasikan semua itu dari dunianya yang terjeda oleh masa.

            Perlahan ia alihkan pandangan ke desa mati yang ada di bawah bukit. Di hutan jati yang kini meranggas itu, jasad dirinya dan keluarga pernah tersia-sia. Hangus terbakar dan jadi abu yang berserak. Terinjak-terinjak kaki kawanan anjing hutan hingga akhirnya raib tertiup hembusan angin.

            Hehe! Sumini tersenyum di lembah paling sunyi yang ada di tepian alamnya. Menyaksikan desa di bawah yang kini rata dengan tanah, tinggal puing-puing sisa kebakaran hebat yang diciptakannya. Jiwanya merasa puas tak terkira. Berakhir sudah derai air mata yang selama ini menyiksa, menghambat langkahnya menuju alam baqa.

            Yang tersisa kini tinggallah sekeping kenangan manis tentang kebersamaannya dengan Panjul dalam meniti hari yang penuh nuansa asmara. Asmara beda dunia yang justru melemparkannya ke sisi lain tentang cinta.

            Sekali lagi, Sumini menatap cahaya purnama. Bulan tampak timbul tenggelam di balik awan yang berarak pelan, seperti timbul tenggelamnya hati Sumini yang masih menyimpan rasa untuk Panjul yang tergelatak dengan separuh nyawa.

            Separuh nyawa yang akan selalu dibawa Sumini mengembara.

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
Perihal Waktu
352      238     4     
Short Story
"Semesta tidak pernah salah mengatur sebuah pertemuan antara Kau dan Aku"
THE STORY OF THE RAIN, IT’S YOU
783      450     7     
Short Story
Setelah sepuluh tahun Mia pulang ke kampung halamannya untuk mengunjungi makam neneknya yang tidak dia hadiri beberapa waktu yang lalu, namun saat dia datang ke kampung halamannya beberapa kejadian aneh membuatnya bernostalgia dan menyadari bahwa dia mempunyai kelebihan untuk melihat kematian orang-orang.
29.02
369      172     1     
Short Story
Kau menghancurkan penantian kita. Penantian yang akhirnya terasa sia-sia Tak peduli sebesar apa harapan yang aku miliki. Akan selalu kunanti dua puluh sembilan Februari
Story of Rein
261      163     1     
Short Story
#31 in abg (07 Mei 2019) #60 in lifestory (07 Mei 2019) Mengisahkan sosok anak perempuan yang kehilangan arah hidupnya. Setelah ia kehilangan ayah dan hartanya, gadis bernama Reinar Lani ini mengalkulasikan arti namanya dengan hidup yang sedang ia jalani sekarang. Bunda adalah sosok paling berharga baginya. Rein menjadi anak yang pendiam bahkan ia selalu di sebut 'si anak Bisu' karena ia me...
Cinta Venus
511      276     3     
Short Story
Bagaimana jika kenyataan hidup membawamu menuju sesuatu yang sulit untuk diterima?
WALK AMONG THE DARK
725      388     8     
Short Story
Lidya mungkin terlihat seperti gadis remaja biasa. Berangkat ke sekolah dan pulang ketika senja adalah kegiatannya sehari-hari. Namun ternyata, sebuah pekerjaan kelam menantinya ketika malam tiba. Ialah salah satu pelaku dari kasus menghilangnya para anak yatim di kota X. Sembari menahan rasa sakit dan perasaan berdosa, ia mulai tenggelam ke dalam kegelapan, menunggu sebuah cahaya datang untuk me...
RUMAH ITU
446      245     0     
Short Story
Seorang laki-laki memutuskan untuk keluar dari rumahnya dan pergi sejauh mungkin, saat di perjalanan, dia menumui seseorang dan pergi ke hutan. Beberapa hari kemudian, kejadian aneh mulai terjadi, apakah dia akan selamat atau tidak?
Do You Believe?
363      249     1     
Short Story
Beredar sebuah rumor tentang serial killer yang akan membunuh siapapun yang percaya dengan keberadaannya untuk balas dendam. Sekelompok remaja memutuskan untuk liburan bersama merayakan kelulusan mereka. Liburan menyenangkan dambaan mereka mulai terusik dengan adanya rumor itu. Satu persatu dari mereka mulai mempercayai rumor itu. Apakah yang akan terjadi pada mereka? Apakah ada yang selamat? B...
What If I Die Tomorrow?
338      203     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
Gue Mau Hidup Lagi
340      212     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?