Puan, sejak beberapa waktu lalu di setiap yang kulakukan kamu menghantui pikiran. Ingin sekali aku ungkapkan tapi ada sesuatu yang membuatku menahannya. Sungguh entah sejak kapan menghubungimu selalu menjadi pertimbangan, walaupun sangat jarang kuwujudkan.
Beberapa waktu lalu aku melihat rekamanmu. Ternyata kamu sedang menuju ke sini. Kamu terlihat manis sekali. Suaramu yang selalu kau keluhkan sumbang, terasa sangat merdu di telingaku. Rasanya aku ingin segera menghubungimu, bertemu, dan menghapus rindu. Tapi aku selalu tak bernyali.
Tetapi malam ini terlalu dingin hingga mendorongku menghubungimu. Kamu harus tau bagaimana perut dan pikiran ini langsung bergejolak setelahnya. Aku senang luar biasa ketika balasanmu muncul. Entah suhu yang terlalu dingin atau sepi yang terlalu senyap. Akhirnya aku menghampirimu.
“Puan, kita mau naik dari stasiun mana?”
“enaknya? Aku mungkin ke stasiun bandung naik kereta dari rancaekek, gampang”
“Yaudah, dari stasiun Bandung aja kalo gitu.”
“Beres!”
“Yaudah, aku yang transfer sekalian pulang.”
“Bisa? Mau ditemenin?”, pertanyaanmu membuat hatiku senyum. Walaupun aku jadi salah tingkah.
“Gak usah, nanti kehujanan udah agak gerimis.” Kataku.
Terimakasih malam dingin dengan sedikit gerimis karena akhirnya kamu tetap memaksa menemaniku. Aku semakin menyukai sikapmu yang tidak jual mahal sepertiku. Kamu semakin menarik saja, Puan.
Setelah menyelesaikan pembayaran, aku bersikeras mengantarmu pulang. Kamu menolak karena memang tempat kita berlawanan arah. Tetapi, dinginnya malam telah membekukan ketakutanku dan aku memaksa. Akhirnya kamu mengiyakan.
Setelah selesai, aku mengantarmu pulang. Tidak ada perbincangan lanjutan. Semoga kamu lelap malam ini, Puan.
+++
Seperti mimpi, Tuan mengajakku pulang menggunakan kereta. Terimakasih pembuat jembatan yang sekarang miring karenamu aku bisa menghabiskan waktu dengannya, bisa dipastikan akan berjumpa untuk sekian waktu dengan Tuan.
HP-ku berbunyi, ada telepon masuk darimu.
“Halo”
“Jadi, mau pulang bareng?”
“iya”
“Pesenin tiketnya ya, online aja.”
“iya”
“udah bisa?”
Aku menyampaikan segala kesulitanku dan dengan gayamu yang nyeleneh, kamu berkali-kali mengarahkanku. Sampai akhirnya kita menyerah menjadikan kamu langsung menuju tempatku.
Teman-temanku yang sedari tadi memperhatikanku saat bicara denganmu menggodaku habis-habisan. Gilang berkata, “yailah, tutorial kayak gitu bisa diliat di youtube ga mesti teleponan. Lagian kalo cowok lu bisa ngarahin dan ada internet, kenapa gak dia aja yang mesen?! Kenapa harus minta elu yang gaptek. Dasar pasangan bego.”
“resek lu!” hanya dengan kata itu aku membalasnya karena aku jadi kepikiran. Kenapa kamu tidak memesannya sendiri, Tuan? Kenapa kamu meminta aku yang memesannya? Pikiran itu membuat senyumku bertahan lebih lama, apalagi Gilang memberi label pasangan pada kami.
“Gila! Emang ketara banget kalo orang lagi jatuh cinta, senyum-senyum terusss. Apalagi mau ketemu. Deg-degan tuuh.” Kata Ucan yang mulai ikutan menggodaku.
“Apaansih, orang biasa aja!” Kataku pembelaan dengan penekanan yang kutujukan untuk diriku sendiri. Aku takut kalau nanti bertemu tak bisa menahan diri dan langsung berlari memelukmu.
Akhirnya kamu tiba. Lalu semuanya berjalan cepat dan sederhana. Aku menyukai spontanitas yang kita lakukan. Segalanya terasa lebih mudah dan menyenangkan. Terimakasih semesta telah mengizinkan kami menghabiskan sedikit waktu bersama di malam yang dingin ini. Tuan, semoga kamu bahagia seperti aku yang sedang merona.
+++
Nunu sent a message on Sada.
Nunu : Kita manggung ya bro tanggal 6 bisa kan?
Iman : Sabi urang mah.
Dedi : urang, Tio, Bima, Eka sabiiii
Tuan : Mau balik euy. Udah beli tiket kereta.
Nunu : Naon ajig naik kereta. Wadukk…
Tuan : Ih seriusan, nih buktinya
Tuan sent a file to Sada
Iman : Anjirr, nanaonan numpang kereta?
Tuan : Cisomang nyengsol anjiirr..
Nunu : Ya kumaha atuh? Tos di acc ieu teh..
Tuan : Kaleum. Urang tiasa.
Kulempar HPku ke atas kasur sambil menghela napas panjang. Puan, bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku sudah terlanjur janji denganmu dan tidak ingin membatalkannya. Tapi aku sangat menyukai grup musikku. Aku tidak ingin digantikan hanya karena sekali tidak dapat memenuhi tugas. Otak ku langsung kupaksa bekerja. Beginilah alur pemikiranku.
Tanggal 4 sampai jakarta jam 18. Langsung ke Cililitan naik bus ke Jatinangor.
Tidak akan dipilih karena Jembatan Cisomang nyengsol bisa-bisa bus leg
Tanggal 4 sampai jakarta jam 18. Sampai bogor jam 20. Nongkrong sampai jam 2. Ngantuk sampai jam setengah 5. Tidur. Bangun jam 12. Jam 2 naik mobil sama Iman ke Nangor.
Tidak jadi dipilih karena sehabis chat Iman, dia udah di Bandung. Mager naik mobil sendirian.
Minta Puan undur kepulangan
Dipilih dengan harapan Puan tidak buru-buru pulang dan bersedia ubah jadwal.
Tuan : Puan, kalo jadwal tiket kereta diundur gimana?
Puan : Knp?
Tuan : Aku manggung tanggal 6 sama Sada
Puan : Km lupa klo ada jadwal manggung? Ga apa sih diundur.
Puan : Hmm aku ga buru-buru tapi ada acara tanggal 8 dan 9.
Tuan : Hmm.. aku punya usul. Gimana kalo kita pulang tanggal 10?
Puan : Boleh. Tapi, harus diurus ke loket.
Tuan : Besok kita ketemu, ngobrol sekalian aku minjem KTPmu untuk ubah jadwal.
Puan : Kabarin aja.
Aku menghela napas panjang lega. Syukurlah, masih dapat pulang bersama Puan. Tinggal besok aku harus meyakinkan kalau ini ketidaksengajaan agar kamu tak salah paham.
Tuan : Km di mana?
Puan : Kosan.
Tuan : Bisa ketemu jam berapa?
Tuan : Maaf aku bukan lupa jadwal manggung tapi itu mendadak.
Puan : Km ke Bandungnya jam brp? Sblm ke Bandung aja
Tuan : Aku mandi dulu. Habis itu di manapun kamu aku ke situ. Jangan marah. Maafin aku Puan.
Puan : Aku ga marah. Berkabar aja.
Setengah jam kemudian
Tuan : Aku udah di tempatmu
Tak lama kamu keluar menghampiriku. Kamu terlihat semakin cantik. Kamu manis sekali.
“Puan, aku minta maaf. Sungguh aku tidak sengaja membatalkan atau merubah rencanaa.” Aku terhenti karena kemudian kamu tertawa. “Kenapa?” tanyaku.
“Gapapa, lucu aja. Aku ga harus pulang ke rumah dalam waktu dekat. Aku mengiyakan karena kamu yang ajak dan ingin naik kereta. Terus kemarin pas beli tiket semua terasa lancar. Eh ternyata ada aja yang kejadian, hahaha.” Tawamu lepas.
Puan sengaja pulang hanya agar bisa bersama denganku.
“Jadi kita undur ke tanggal 10 ya.”
“Iya, mau pergi sekarang? Sendirian?”
“Iya.”
“Mau ditemenin?”
“Boleh sih ditemenin. Tapi, takut hujan ih.”
“Hujan kan tinggal neduh. Aku print dulu bukti bayarnya sama ambil jaket.”
Jalan-jalan pertama dengan Puan. Harus kubuat menyenangkan. Makan bareng sepertinya asik. Selagi aku sibuk membayangkan akhirya kamu keluar.
“Yuk!”, katamu.
“Kamu tau bakso cuanki enak ga?”
“Enggak. Taunya Bakso keju.”
“Hmm, yaudah kita makan cuanki ya sehabis dari stasiun.”
“oke”
Selama perjalanan kita terus berbincang. Aku berusaha mati-matian terus membuatmu tertawa. Aku tidak mau kamu jengah. Aku sangat menikmati perjalanan ini. Dagumu yang menempel di bahuku. Suaramu yang sangat dekat dengan telingaku. Tanganmu yang sesekali merengkuh pinggangku. Ah, sore ini indah sekali rasanya.
+++
Hari itu, di kota puluhan taman kita mengitarinya sekedar menjawab rasa penasaran. Kamu dengan pertanyaan mengapa harapan pelan-pelan dapat menjatuhkan. Aku dengan pertanyaan bagaimana kota yang cukup pekat membunuh harapan.
Pertanyaan-pertanyaan yang terlantun dalam pikiran akhirnya membuat kita lupa. Kita lupa menikmati waktu yang ternyata hanya tersedia saat itu saja. Kita lupa menghargai kebersamaan yang nyata adanya. Sampai-sampai kita tak sempat bertanya, “Bagaimana perasaan mu hari ini?” di akhir perjalanan. Taukah kamu, Tuan? Mungkin itu yang membuat kita semakin sulit melepas kenangan.
Tuan, bagiku kamu serupa api. Jauh darimu aku dingin, dekat denganmu aku hangat, terlalu dekat aku hangus. Sedang aku tak pernah bisa dekat tanpa berusaha lebih dekat. Lihat aku sekarang, aku legam!
Bagimu, apakah aku serupa air yang harus kau jauhi agar tak padam? Atau aku angin yang dapat membuatmu menyebar, mengecil, tak jelas arah? Atau bagimu aku jelmaan kayu yang harus kau bakar agar tetap menyala?
Aku tak akan menyalahkan waktu karena merasa terlalu sebentar diberi kesempatan. Aku menyesali lidahku yang kelu, sehingga tak juga mampu berkata. Sampai hari ini, Tuan, kamu masih yang menyita pikiran.
Aku mengingat dengan jelas setiap candaanmu. Hari itu menjadi hari yang baik untuk dikenang. Apapun yang terjadi kedepannya aku tak pernah menyesali yang terjadi di hari itu.
+++
Puan : Tuan (08.37 WIB)
Puan : Aku ada tugas mendadak di Bandung. (08.37 WIB)
Puan : Mungkin akan terlambat ke stasiun. (08.37 WIB)
Aku sudah terbangun daritadi dengan kurang bersemangat. Pikiranku keruh sejak aku melihat Puan mengunggah foto beberapa waktu lalu. Di foto itu tampak sepasang siluet laki-laki dan perempuan. Aku menghabiskan beberapa malam menerka-nerka siapa lelaki itu.
Aku mengambil HP ku, ternyata ada notifikasi dari Puan. Apa lagi ini? Apa hal mendadak itu? Apakah dia bertemu dengan lelaki itu? Mengapa rencana pulang ini seakan-akan jadi sulit sekali diwujudkan?
Tuan : Ada kemungkinan ga jadi pulang dong? (09.11 WIB)
Puan : Aku belum tau. Bingung. (09.27 WIB)
Tuan : Gak ada pilihan bingung. Aku bantu kasih solusi. (09.29 WIB)
Tuan : Kamu selesaiin urusanmu. (09.29 WIB)
Tuan : Aku urus perubahan jadwal atau pembatalan. (09.29 WIB)
Tuan : Nanti aku minta temenku nganterin ke kamu. ( 09.30 WIB) read
Aku membalas agak ketus karena reaksi kebingunganku. Aku letih menerka-nerka sikap dan cara berpikirmu. Apa yang membuatmu lama membalas pesanku? Apakah dia sangat menyita perhatianmu?
Puan : Kukabari lagi siang ini (09.48 WIB) read
+++
Tuan, rindu ini semakin tidak kenal rambu. Segala yang kupandang dan kutuju selalu menjelma kamu. Ingatan akan dirimu selalu mendatangiku buru-buru, beruntun, tanpa jeda, tanpa ampun.
Aku merasa sikapmu berubah padaku sejak aku mengunggah foto bersama temanku. Aku sengaja tidak menandai temanku dan juga tidak menuliskan keterangan penjelasan. Pun kamu sampai detik ini tidak juga menyinggungnya.
Lalu semuanya jadi semakin mengusik hatiku karena caramu menjawab pesanku. Aku sangat ingin pulang bersamamu. Aku tidak mengerti kenapa akhirnya semua jadi terasa sulit. Untungnya urusanku selesai sebelum waktu yang kita janjikan.
+++
Puan : Aku jadi bisa ikut pulang (12.23 WIB)
Tuan : Mantap! (12.41 WIB)
Puan : Sampai ketemu di stasiun (12.43 WIB)
Puan : Aku udah di stasiun. Di depan toko Donat (13.17 WIB)
Kenapa aku tidak senang? Padahal sesuai keiginanku dulu akhirnya bisa pulang bersamanya. Tuhan, apakah aku berhenti menyukainya? Puan, maaf aku sengaja tidak membalas pesanmu. Aku hanya ingin segera mengurangi komunikasi kita. Aku tak mau ganggu kamu. Aku tak mau dijadikan cadangan.
Itu dia, sosok gadis yang sering menyita pikiranku. Kamu terlihat tenang membaca sebuah buku. Aku ingin segera mengakhiri perjalanan kita. Berhenti merasa menjadi sosok yang diinginkanmu membuatku marah dan aku tak mungkin menunjukkannya dengan gamblang, siapalah aku bila demikian.
Selama perjalanan, kamu bersikap biasa, bercerita dengan gayamu yang menyenangkan. Aku menyukainya. Aku menikmati melihatmu yang bersemangat akan perjalanan ini. Barangkali memang waktu ini harus kunikmati sebaik-baiknya sampai aku relakan kamu benar-benar pergi.
Di tengah perjalanan keheningan tercipta. Aku tak mau kau mendengar degup jantungku, akhirnya aku memilih mendengarkan lagu. Tanpa kusadari aku tertidur. Begitu aku bangun, kamu juga telah teridur pulas. Kamu nyaris memunggungiku, mungkin kamu berusaha menjaga perasaanku agar tak berpikir yang tidak seharusnya.
Pikiranku masih menerka-nerka. Kenapa kamu bersikap biasa saja, padahal kamu telah memiliki seorang pria di sisimu? Dan aku hanya diam tak berani bertanya. Tidak beberapa lama kepalamu bersandar di bahuku. Wajahmu begitu tenang, tak sampai hati aku membangunkan. Lagipula untuk terakhir kalinya, tak apalah aku merasakan sandaran kepalamu di bahuku. Entah siapa pria itu, aku minta maaf dan izin untuk sekali ini saja.
+++
Sesampainya di Jakarta, perbincangan kita semakin ala kadarnya. Kamu seakan-akan terburu-buru dan menghindariku. Aku merasa kamu terpaksa menemaniku sampai aku menaiki kereta menuju stasiun terdekat ke rumahku. Akhirnya kita berpisah di depan pintu kereta hanya dengan tepukan tangan.
Tuan, aku masih menerka kesalahan apa yang kulakukan. Tetapi tubuhmu yang tertelan lautan manusia tak juga memberiku jawaban. Hati-hati di jalan Tuan. Terimakasih untuk kesempatan yang menyenangkan. Ini terasa seperti perpisahan walau tak ada selamat tinggal yang terucap.
Lagi-lagi cintaku kandas bahkan belum sempat diungkap. Hatiku hancur bahkan belum sempat benar-benar utuh. Tangisku gugur bahkan belum sempat tawa memudar.
+++
Sampai. Ini lah akhir sebuah perjalanan. Puan, maaf membuatmu kebingungan karena sikapku. Mengikhlaskanmu untuk yang lain tidak akan bisa mudah. Sikapku hanyalah karena aku tak benar-benar rela kita berpisah.
Gerbong yang rapat dengan manusia ini tak mampu menghilangkan bayanganmu dari benakku. Tak mampu membuatku berhenti merutuki diri, karena tak berhasil mengungkapkan yang sebenarnya padamu. Mohon maaf Puan, aku memang lelaki pengecut. Bayangan rasaku ditepis atau lebih buruk lagi dijauhimu sangat menakutkan.Jalan pengecut inilah yang kupilih. Ini mungkin terasa seperti perpisahan. Tetapi, bisa jadi kita akan kembali dipertemukan, semoga. Sampai Jumpa lagi, Puan!